AFP/MARTY MELVILLE

Seikat bunga terpasang di pagar Masjid Wellington, Selandia Baru, Jumat (15/3/2019). Bunga tanda simpati itu dipasang setelah insiden penembakan kepada jemaah di dua masjid di Christchurch. Penembakan yang menewaskan sedikitnya 49 jemaah itu dilakukan oleh seorang ekstrimis sayap kanan dari Australia.

Pembantaian yang terjadi di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, menunjukkan bahwa kebencian dan teror dapat muncul di negara mana pun.

Salah satu warga yang tewas dalam insiden dengan 49 korban jiwa itu adalah bekas pengungsi Afghanistan yang datang ke Selandia Baru 40 tahun lalu. Berusia 60-70 tahun, pria ini meninggal setelah dilaporkan berupaya melindungi korban lain dari peluru yang ditembakkan pelaku.

Puluhan tahun meninggalkan Afghanistan untuk menghindari kekerasan dan menetap di negeri yang dilihatnya aman serta damai, sang pria akhirnya tewas dalam serangan teror. Rasanya memang tidak ada orang yang mengira Selandia Baru akan dihantam peristiwa teror mengerikan.

Namun, pembantaian yang berlangsung pada Jumat pekan lalu itu membuktikan kekerasan yang berakar pada kebencian bisa terjadi di mana pun, termasuk di negeri yang terkenal aman.

Pelaku berasal dari Australia. Ditengarai setelah mengunjungi beberapa negara lain, ia mengalami radikalisasi serta memiliki pemikiran ekstrem mengenai supremasi kulit putih. Dikombinasikan dengan kemudahan mendapatkan senjata api, pemikiran ekstrem mendorong dia melakukan teror mematikan di kota berpenduduk sekitar 404.000 orang itu.

Ideologi ekstrem penuh kekerasan bisa masuk ke pikiran siapa saja. Teknologi komunikasi dan informatika memungkinkan penyebaran gagasan ekstrem berlangsung cepat, tak mengenal batas negara. Situasi ini rasanya merupakan salah satu faktor penting yang membuat pelaku yang lahir di kota kecil di Australia mengenal gagasan supremasi kulit putih.

Di sisi lain, pelaku juga memanfaatkan internet untuk menyebarluaskan aksinya. Ribuan tenaga moderator yang dimiliki perusahaan media sosial dan kecanggihan kecerdasan buatan pendeteksi unggahan kekerasan telah gagal mengantisipasi penyebaran video teror Christchurch di internet.

Globalisasi dan kemajuan internet ikut menciptakan prakondisi timbulnya peristiwa kekerasan di Selandia Baru. Tampak seolah-olah penyebaran ideologi ekstrem dan kekerasan yang mengikutinya sebagai hal tak terelakkan di zaman sekarang.

Namun, masyarakat manusia tak boleh tunduk. Ideologi ekstrem bukan sebuah keniscayaan. Dengan semangat berbela rasa, manusia memiliki kekuatan untuk mencegah dan mengakhiri perkembangan ideologi ekstrem penuh kekerasan.

Solidaritas dan dukungan pada korban serta keberagaman yang ditunjukkan warga dunia pascainsiden di Christchurch menunjukkan manusia mempunyai daya besar untuk mengalahkan teror. Ideologi ekstrem yang memecah belah tunduk oleh solidaritas dan empati tulus.

Ideologi ekstrem yang membuahkan kebencian memang bisa menghinggapi siapa pun, kelompok mana pun. Kekerasan yang berakar pada ideologi kebencian dapat dilakukan siapa saja.