Dalam Kompas, 30/3/2019, artikel "Neotribalisme dalam Politik di Indonesia" tulisan Komaruddin Hidayat pada dasarnya mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak terjerumus dalam perpecahan.
Menurut Komaruddin, dunia sedang dilanda perpecahan antar manusia dengan dalih berbeda warna kulit. Ada kulit putih yang merasa harkatnya lebih tinggi dari kulit berwarna. Padahal, alasan sesungguhnya adalah sekelompok manusia kulit putih Amerika Serikat atau Eropa merasa terancam kehilangan pekerjaan karena "direbut" para pendatang kulit berwarna. Idem di Inggris juga terjadi Brexit.
Dalam konteks Indonesia yang lahir atas prakarsa pendiri bangsa atas dasar satu nusa satu bangsa dan satu bahasa, juga tidak luput dari gangguan, seperti DI/TII Karto Soewirjo, PRRI-Permesta, dan G30S/PKI. Para ekstremis berbaju agama atau kesukuan akan selalu ada mengancam NKRI yang berdasarkan Pancasila, jika kita tidak pandai merawatnya.
Kita harus menengok betapa sulitnya Pemerintah Afghanistan menyatukan suku-suku menjadi satu bangsa yang solid agar bisa bersama-sama membangun negara. Bahkan, Yugoslavia bubar karena suku-sukunya bersikap egosentris tinggi, ogah bersatu.
Demikian juga dengan melihat negara -negara di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin yang elite politiknya selalu bertengkar. Dengan begitu, kita dapat mensyukuri betapa kita mendapat warisan mahakarya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang menyatukan kita. Warisan ini yang harus kita pelihara bersama untuk menuju masyarakat adil makmur.
Akhirul kata, mari kita ikut pemilihan umum 17 April 2019 dengan penuh senyum dan kedamaian.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi Pasir Mulya, Bogor
Klarifikasi BPS
Terkait dengan Surat kepada Redaksi di Kompas (2/4/2019) berjudul "255 Suku Asli di Papua", kami sampaikan penjelasan berikut.
Sensus Penduduk 2010 (SP2010) tidak mengenal istilah kelompok etnik, yang ada adalah suku bangsa. Dalam sensus atau survei, pertanyaan tentang suku dibuat terbuka dan menerapkan self identification method, yaitu suku dicatat berdasar pengakuan responden karena sulitnya mendefinisikan suku.
Umumnya seseorang mengidentifikasi diri pada suku tertentu berdasar keturunan, kebiasaan hidup, bahasa, hubungan kekerabatan, bahkan unsur politik. Untuk memudahkan analisis, tiap jawaban dibuatkan kodingnya.
Dalam SP2010 tersedia 1.331 suku bangsa. Data tercantum dalam publikasi resmi BPS berjudul "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2010". Total 1.331 kategori itu merupakan kode untuk nama suku, nama lain/alias suku, nama subsuku, bahkan nama sub dari subsuku.
Imbasnya, untuk menganalisis suku diperlukan pengelompokan ulang. Saat menganalisis suku Batak, misalnya, perlu diidentifikasi lebih dahulu kode apa saja yang merujuk pada sub-sub suku, subsuku, dan nama lain suku Batak. Selanjutnya diidentifikasi, apakah perlu pengelompokan atau tidak. Kode suku dalam Sensus Penduduk memberikan kebebasan bagi para peneliti untuk mengelompokkan sesuai substansi penelitiannya. Inilah nilai lebih kekayaan data suku di SP2010.
Kerja sama BPS dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada 2013 menghasilkan klasifikasi baru yang dapat digunakan untuk menganalisis data suku pada SP2010. Dihasilkan 633 kelompok suku besar dari kode suku yang tersedia dalam SP2010. Pengelompokan suku berdasarkan literatur seperti buku ensiklopedia suku ataupun dari pengetahuan para jejaring di seluruh Nusantara.
Dwi Retno Wilujeng Wahyu Utami
Kepala Biro Humas dan Hukum, Badan Pusat Statistik
Kompas, 11 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar