Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Juli 2019

Pengamalan Pancasila//Negara Berdaulat (Surat Pembaca Kompas)


Pengamalan Pancasila

Saya sependapat dengan artikel Rikard Bagun (31/5/2019) dan Suyadi Prawirosentono tentang realisasi pengamalan Pancasila (5/7/2019). Menurut saya, mudah saja. Pancasila dapat secara sederhana dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya, ketika kita beramal kepada saudara kita yang membutuhkan sebagai bentuk syukur kita kepada Tuhan. Hal ini akan sesuai dengan pengamalan Pancasila sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Contoh lain adalah ketika menghormati rekan-rekan kita yang berlainan agama atau kepercayaan dan menghargai kebebasan mereka menjalankan ibadah sesuai tata cara agama atau kepercayaan yang dianutnya. Itu sesuai Pancasila sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.

Ketika Indonesia menjadi ketua Dewan Keamanan PBB dan Presiden Joko Widodo datang ke acara G-20 di Jepang, bukankah hal itu termasuk pengamalan sila kedua dan kelima karena turut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial.

Pancasila dan butir-butir Pancasila yang singkat, padat, dan jelas telah mewakili pengakuan hak-hak asasi manusia di dunia. Oleh karena itu, Pancasila sebaiknya diajarkan sejak dini. Mungkin dari anak-anak usia SD karena mereka masih mudah mengingat dan mengamalkan.

Sungguh Pancasila sejatinya sederhana dan merupakan dasar budi pekerti yang baik. Insya Allah, sesuai dengan ajaran kebaikan di setiap agama dan kepercayaan.

Saya ingat, sampai dekade 1980-1990-an, menghafal lima sila Pancasila terbukti efektif. Semoga cara ini dapat membantu penanaman Pancasila sejak dini dan terpatri pada setiap diri manusia Indonesia sampai akhir hayat.

Swasta Priambada
Sedang studi lanjut di Swinburne University of ‎Technology, Melbourne, Australia

 

Negara Berdaulat

Artikel berjudul "Dilema Penanganan 'Alumni' NIIS" oleh Noor Huda Ismail menarik (Kompas, 9/7/2019), mengingat ada Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Indonesia (KWNI) yang harus diterapkan secara tegas. Ini demi kepastian hukum di negara kita sekaligus mewajibkan ketaatan semua WNI atas hukum yang berlaku. Jika tegas menerapkan UU, kita tidak perlu menghadapi dilema yang diungkap Noor Huda.

Dalam Bab IV Pasal 23 tentang KWNI tertulis tentang kehilangan kewarganegaraan Indonesia, antara lain "menjadi tentara negara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden RI". Jadi, berdasarkan UU tersebut, WNI yang menjadi atau membantu NIIS secara otomatis menjadi warga negara asing (WNA).

Adanya eks WNI yang telah menjadi WNA di kamp pengungsian di Suriah saat ini bukan urusan Pemerintah RI. Pemerintah tak berhak lagi mengurus mereka yang jadi WNA. Bahkan, jika ikut campur, berarti RI melanggar UU.

Bagaimana tentang anak- anak mereka? Karena orangtuanya sudah menjadi WNA anak-anaknya otomatis WNA pula. Artinya, Pemerintah RI tak punya hak atau wewenang sama sekali atas mereka.

Bagaimana tentang Pasal 25 Bab IV KWNI yang menyatakan bahwa anak-anaknya tidak otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia?
Jelas bahwa Pasal 25 bertentangan dengan Pasal 23. Mengapa? Karena kedua orangtua sudah menjadi WNA berarti anak-anaknya otomatis WNA. Berarti tidak ada logikanya jika ditulis anak-anak tidak serta-merta kehilangan kewarganegaraan Indonesia.

Jadi, Pemerintah RI telah melanggar UU Pasal 23 dan Pasal 25 dengan membiarkan para WNA dan anak-anaknya kembali tanpa proses hukum, dari WNA menjadi WNI. Jangan diulang lagi.

Mereka akan menjadi dilema. Maka, yang lebih penting lagi adalah cegah jangan ada lagi WNI jadi tentara asing tanpa izin. Memangnya negara tanpa kedaulatan, bebas keluar masuk RI tanpa sanksi.
Enak aje lu pade!

Suyadi Prawirosentono

Selakopi Pasir Mulya, Bogor

Kompas, 30 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger