Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Juni 2020

TAJUK RENCANA: ”Kompas” Berusia 55 Tahun (Kompas)


KOMPAS/MEDSOS CARD/ RACHAEL DEFANDI

Jakob Oetama, salah satu pendiri Kompas, menekankan jurnalisme Kompas yang keras dalam prinsip dan lentur dalam cara.

Harian umum Kompas, 28 Juni 2020, berusia 55 tahun. Bukanlah media tertua, tetapi perziarahan jurnalistik harian ini selama lebih dari setengah abad patut disyukuri. Di dunia masih ada The Guardian, Inggris, yang terbit sejak 5 Mei 1821, dan The New York Times, Amerika Serikat, yang terbit sejak 18 September 1851.

Hingga 28 Juni 2020, sudah 18.594 edisi nasional diterbitkan, di luar edisi daerah dan digital. Kebetulan, momentum ulang tahun berbarengan dengan situasi bangsa yang sulit. Revolusi sunyi Covid-19 meluluhlantakkan kehidupan. Semua sektor kehidupan terdampak, termasuk harian ini. Namun, dalam perjalanannya, harian ini tetap setia dan menjadi bagian suka dan dukanya negeri.

Tepatlah tema ulang tahun ke-55, "Kawan dalam Perubahan". Harian ini berkomitmen terus menyertai perjalanan bangsa dengan segala dinamika sosial politik dan ekonomi. Terbit di akhir kekuasaan Presiden Soekarno, 28 Juni 1965, harian ini terus menemani perjalanan bangsa. Nama Kompas diberikan Presiden Soekarno. Harian ini sudah melayani pembaca 55 tahun dan melewati tujuh presiden. Diawali dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo.

Dua kali harian ini tidak boleh terbit oleh penguasa. Gaya jurnalisme harian ini tidak akan lepas dari pandangan Jakob Oetama, pendiri dan sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas. Kendati pemimpin media telah berganti delapan kali, cara pandangnya tidak berubah. Manusia dan kemanusiaan adalah pusat dari jurnalisme. Manusia punya dua sisi, kebaikan dan kelemahan. We are no angels.

PK Ojong, pendiri Kelompok Kompas Gramedia dan penulis serial Perang Eropa.

Falsafah ini menjadikan kritik disampaikan dengan penuh pengertian, kritik with understanding. Perdebatan akal sehat dan sikap independen editor di ruang redaksi mengawal agar harian ini punya kepribadian, seperti dikatakan Jakob mengutip kata bersayap dari Perancis,un journal c'est un monsieur. Mengutip PK Ojong dalam buku Hidup Sederhana Berpikir Mulia (2001), karyawan adalah aset utama koran ini.

Perubahan teknologi digital menciptakan ekosistem digital yang tidak mendukung perkembangan pers nasional. Revolusi digital mengubah perilaku masyarakat dalam berkomunikasi atau mengonsumsi berita. Kehadiran media sosial mengubah informasi jadi lebih personal. Tren industri media bergerak ke arah personalisasi. Produsen berita bukan lagi milik organisasi berita. Individu pun bisa memproduksi konten.

Masyarakat memasuki era post-truth society. Kebenaran bukan ditentukan oleh kekuatan argumentasi, melainkan pada keyakinan. Gejala baru muncul, seperti yang dikatakan Elisabeth Noelle Neumann dalam The Spiral of Silence, sebagai spiral kebungkaman (Jagat Digital, Agus Sudibyo, 2019). Dominasi opini mayoritas, apalagi di era post-truth, dianggap sebagai "kebenaran". Mereka yang berpendapat berbeda bisa dihakimi.

Mereka yang berpendapat berbeda bisa dihakimi.

Dalam situasi itu, publik memilih menahan diri daripada bertentangan dengan opini dominan di media sosial yang kadang diorkestrasi. Ruang publik dihantui ketakutan akan isolasi. Dalam situasi itu, masyarakat butuh media penjernih informasi dan media yang berikhtiar merawat ruang publik yang beradab, tetap setia pada kode etik jurnalistiknya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Budayawan Sindhunata bersiap memimpin acara syukuran HUT Ke-55 Kompas di kompleks Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (28/6/2020). Acara doa bersama yang menghadirkan warga sekitar dengan jumlah terbatas tersebut digelar secara sederhana dengan menerapkan protokol kesehatan.

Testimoni sejumlah tokoh dalam rangka ulang tahun harian ini akan dijadikan bahan refleksi. Harian ini berupaya menjawab ekspektasi dan berkomitmen menjadi kawan dalam perubahan, tempat mencari referensi, menjelaskan duduknya perkara, menawarkan solusi, serta menjadikan fakta punya makna. Dan, tentunya tetap menjadi pemantau kekuasaan secara santun (polite watchdog). Gaya bermedia mengadopsi prinsip klasik, teguh, dan keras dalam prinsip, tetapi lentur dan lembut dalam cara (fortiter in re, suaviter in modo).

Media akan berperan sebagai the conscience of a nation. Perubahan perilaku masyarakat mengonsumsi berita serta perubahan perilaku pemasang iklan menjadi tantangan bagi media. Teknologi memudahkan pekerjaan, termasuk aplikasi Zoom yang merebak di era pandemi, tetapi pemanfaatan teknologi tanpa landasan etik hanya akan melahirkan plagiarisme. Dalam A Scorecard for Net News Ethics, Online Journalism Review (2/4/2002) disebutkan, proses pengumpulan berita dengan bantuan teknologi copy and paste sangat mudah, tetapi berpotensi menjerumuskan pada plagiarisme.‎

Harian ini berupaya tetap relevan dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Harian Kompas, Kompas.id, dan e-paper dalam format berlangganan dibuat untuk menanggapi perubahan demi melayani pembaca. Di tengah masyarakat yang berubah dan dunia jurnalisme yang jungkir balik, harian ini berkomitmen memperjuangkan the dreams of convictions, mimpi tentang cita-cita besar, tentang bangsa yang majemuk, bangsa yang demokratis, dan bangsa yang sejahtera serta hadirnya keadilan sosial dan bangsa yang bersih dari korupsi.

Di tengah ketidakrelevanan, butuh kejelasan informasi. Saat ini, tantangan terberat koran adalah mempertanyakan raison d'etre koran di tengah masyarakat. Dalam bukuKompas Way-Jakob's Legacy, Hal Jurgenmeyer (1931-1995), pemimpin media massa di bawah kelompok Knight Ridder, Amerika Serikat, berpendapat, surat kabar bukanlah lembaga yang bergerak semata-mata di bisnis berita atau bisnis informasi. Koran adalah lembaga yang bergerak dalam bisnis pengaruh!

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pengunjung melihat sejumlah foto karya pewarta foto Kompas yang dipamerkan di Taman Yakopan, kompleks Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (28/6/2020). Pameran itu digelar dalam rangka peringatan HUT ke-55 koran ini.

Di tengah pandemi Covid-19, menjadi tugas media mengajak bangsa berefleksi, mencari makna dari pandemi, sambil terus mendorong melakukan pertobatan ekologis, menggalang solidaritas sosial, agar bangsa ini tidak mrucut. Pandemi telah melahirkan orang miskin baru. Ini masalah besar.

Pada sisi ini, pers—di tengah persoalan internal yang dihadapinya—harus memperjuangkan nasib orang miskin untuk mendapat perhatian. Seperti ditulis Frans Seda di Kompas, 28 Juni 1990, Amanat Hati Nurani Rakyat tetap menjadi jati diri. Amanat Hati Nurani Rakyat bukanlah slogan yang diformulasikan sembarangan. Ia merupakan hasil pilihan dan renungan matang yang timbul dari keprihatinan tentang situasi dan kondisi rakyat.‎

Peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, menyebut, kemiskinan adalah absennya hak asasi manusia. Sementara Mahatma Gandhi mengatakan, "Kemiskinan adalah bentuk kekerasan terburuk." Kondisi ini sejalan dengan filosofi harian ini untuk terus membela yang papa dan mengingatkan yang mapan. Itulah arah untuk menggerakkan jurnalismeKompas dalam situasi tak mudah.

Harian ini berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukungnya. Selain karena penyelenggaraan ilahi (providentia dei), ada dukungan pemerintah, narasumber, pembaca, pemasang iklan, loper, dan semua yang terlibat dalam penerbitan media. Dukungan semua pihak tetap dibutuhkan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pandemi Covid-19 yang tengah melanda Tanah Air tidak membuat Ade (56) patah semangat menjajakan koran. Setiap pagi hingga siang, ia mengecer koran kepada pengendara yang melintas di perempatan Gaplek, Tangerang Selatan, Banten, seperti pada Jumat (27/3/2020).

Kompas, 29 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

CATATAN URBAN: Kota Sehat Bukan Mimpi, asal… (NELI TRIANA)


KOMPAS/PRIYOMBODO

Foto udara lanskap kota Jakarta, Selasa (7/4/2020).

Mengelola kota agar warganya sehat dan produktif adalah jawaban atas situasi kini, saat pandemi akan selalu ada. Dan, ternyata, upaya menuju kota sehat sudah dirintis sejak 2005. Tugas besarnya kini adalah mewujudkan program itu cepat dan tepat dengan penyesuaian terhadap kondisi pandemi.

Kawasan perkotaan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paling terdampak pandemi Covid-19 karena tingkat kepadatan penduduknya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perdesaan. Kota merupakan simpul perlintasan orang dan barang ke kota, daerah, hingga negara lain. Kota adalah pusat pertumbuhan ekonomi yang menopang kesejahteraan kota itu sendiri, negara, dan dunia.

Menghentikan semua akivitas di perkotaan, seperti yang terjadi selama beberapa bulan terakhir untuk memutus rantai penularan virus korona baru, tidak dapat terus dilakukan. Perlu segera menemukan cara guna memastikan kesehatan warga terjamin dan roda perekonomian tetap berjalan.

Nilai penting kota itu sejak lama disadari. Banyak negara di dunia memulai gerakan kota sehat yang lantas menjadi program WHO sejak lebih dari 30 tahun silam.

KOMPAS/NELI TRIANA

Tangkapan layar paparan kriteria kota sehat sesuai WHO dari Ake Wihadanto, doktor lingkungan Universitas Terbuka, Rabu (26/6/2020).

Kota sehat, menurut WHO, adalah kota yang terus menciptakan dan meningkatkan lingkungan fisik dan sosialnya serta memperluas sumber daya masyarakat yang memungkinkan orang untuk saling mendukung satu sama lain dalam menjalankan semua fungsi kehidupan dan mengembangkan potensi maksimal mereka.

Di Indonesia, pemerintah pun mengadopsi program kota sehat dengan nama Kabupaten Kota Sehat (KKS) pada tahun 2005. Tujuan KKS adalah tercapainya kondisi kabupaten/kota yang bersih, aman, nyaman, dan sehat untuk dihuni dan sebagai tempat bekerja bagi warga dengan cara terlaksananya berbagai program kesehatan dan sektor lain sehingga dapat meningkatkan sarana, produktivitas, dan perekonomian masyarakat.

Kabupaten masuk dalam sasaran program kota sehat karena kawasan perkotaan saat ini memang tidak terbatas pada daerah yang berstatus administrasi sebagai kota. Kawasan yang tidak berstatus kota, tetapi telah mulai meninggalkan ciri perdesaan, seperti sumber perekonomian utama bukan lagi dari pertanian, terus tumbuh di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun ini ada 56,7 juta jiwa dari 270,6 juta jiwa warga yang tinggal di 98 kota di Indonesia. Menurut Worldometers - Indonesia Population, pada tahun 2020, penduduk Nusantara mencapai 273 juta jiwa dengan 56,4 persen atau sekitar 154 juta jiwa berada di kawasan urban.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap bantaran Kali Ciliwung di kawasan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, kawasan padat penduduk yang sedang terendam banjir, Kamis (21/5/2020).

Baca juga : Pak dan Bu RW, Tugas Melawan Pagebluk Kini Ada di Tanganmu

Kembali ke KKS, program tersebut berlandaskan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor 1138/Menkes/PB/VIII/2005. Peraturan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Ada tujuh tatanan target KKS dengan melibatkan lintas sektor dan program di tingkat pusat dan daerah. Ketujuh tatanan tersebut adalah kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum; kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi; kawasan industri dan perkantoran sehat; kawasan pariwisata sehat; kawasan pangan dan gizi; kehidupan masyarakat sehat yang mandiri; serta kehidupan sosial yang sehat.

Ketujuh tatanan tersebut adalah kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum; kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi; kawasan industri dan perkantoran sehat; kawasan pariwisata sehat; kawasan pangan dan gizi; kehidupan masyarakat sehat yang mandiri; serta kehidupan sosial yang sehat.

Apa hasil program KKS dalam 15 tahun ini? Laporan dari Kementerian Kesehatan, penghargaan KKS tiap dwi-tahunan terakhir berlangsung pada November 2019. Saat itu, Kemenkes memberikan penghargaan kepada enam gubernur, 177 bupati dan wali kota, serta tiga motivator pendorong KKS di daerahnya.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam laporan di laman Sehat Negeriku Kementerian Kesehatan dalam artikel "Menkes dan Mendagri Beri Penghargaan Swasti Saba untuk Kabupaten Kota Sehat" mengatakan, penghargaan diberikan kepada kabupaten/kota yang sudah memiliki program pembangunan untuk mewujudkan KKS. Dari data 2019 terlihat baru 177 kabupaten/kota atau sekitar sepertiga dari 514 kabupaten/kota (416 kabupaten dan 98 kota) di Indonesia yang mulai menerapkan tatanan KKS.

KOMPAS/NELI TRIANA

Tangkapan layar paparan wabah yang melanda dunia oleh Ake Wihadanto, doktor lingkungan dari Universitas Terbuka, Rabu (26/6/2020).

Itu pun masih parsial. Langkah menuju sehat di sektor tertentu, antara lain, meliputi pemenuhan gizi anak untuk mengatasi tengkes, jambanisasi untuk mengurangi tingkat buang air besar sembarangan (BABS), gerakan Jumat bersih untuk memutus wabah demam berdarah dengue (DBD), memperbanyak taman kota, dan pengurusan administrasi kependudukan secara daring.

Saat langkah KKS itu belum separuhnya ditempuh, Covid-19 menyerang. Masalah makin berat ketika WHO mengimbau masyarakat agar bersiap menerima kenyataan Covid-19 akan selalu ada. Bahkan ada potensi serangan wabah lain di luar Covid-19. Semua pihak gelagapan, lalu muncul gagasan perlu tatanan normal baru untuk menangkal pagebluk ini.

Tak perlu tatanan normal baru

Suryono Herlambang, dosen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara (Untar), Sabtu (19/6/2020), mengatakan, selama ini banyak konsep kota ideal dimasukkan dalam kebijakan pengelolaan kawasan urban di Indonesia. Sebutlah kota sehat, kota hijau, kota tangguh, kota cerdas, dan lainnya.

"Pandemi ini tidak membutuhkan tatanan baru lagi, tetapi percepat perwujudan konsep-konsep ideal kota tersebut," kata peneliti di Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Untar ini.

KOMPAS/NELI TRIANA

Tangkapan layar paparan kota sehat sesuai WHO oleh Ake Wihadanto, doktor lingkungan dari Universitas Terbuka, Rabu (26/6/2020).

Merujuk pada kebijakan pemerintah yang sudah berjalan, kota sehat dengan tujuh target tatanannya cukup memenuhi kebutuhan penerapan tatanan di masa pandemi. Di luar ketentuan baru, seperti memakai masker sehari-hari saat di luar rumah dan menjaga jarak, setiap area urban setidaknya harus memiliki program pencegahan penyakit, pelayanan medis, promosi kesehatan, perlindungan masyarakat, dan pembangunan generasi. Semua program itu saling terkait.

Pencegahan berarti memastikan warga kota sehat jasmani dan rohani. Pelayanan medis berkorelasi dengan ketersediaan fasilitas dan petugas kesehatan.

Promosi kesehatan dan perlindungan masyarakat mencakup mengajak warga hidup sehat, seperti menyediakan fasilitas pendukung sehingga warga terhindar dari wabah dan polusi; menyediakan sarana-prasarana penunjang kebugaran, seperti taman dan trotoar; hingga menyediakan sistem sanitasi yang memadai dan jaringan transportasi publik yang baik. Juga agar warga terhindar dari kekerasan, tidak terjebak penyalahgunaan obat, dan lain-lain.

Untuk pembangunan generasi adalah bagaimana kota menyiapkan sistem keamanan lingkungan, menjamin kesehatan ibu dan anak, menekan angka kematian ibu dan bayi, serta menanamkan dan membantu pemenuhan gizi anak ataupun keluarga. Tak ketinggalan, menyediakan pendidikan terjangkau bagi semua warga.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Tempat pembuangan sampah dan kakus umum berada di pinggiran Kali Blencong di kawasan Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (21/11/2018).

Terkait realisasi program tujuh tatanan itu, selayang pandang saja, bisa dilihat kualitas kota-kota di Indonesia yang masih jauh dari target kota sehat. Mari bertanya ke diri sendiri, adakah taman kota yang terjangkau dengan jalan kaki dari rumah atau tempat kerja kita? Bagaimana kondisi jaringan drainase kota kita? Bagaimana pula dengan ketersediaan jaringan angkutan umum? Apakah kota kita masih penuh polusi, fasilitas kesehatan memadai, atau tidak?

Di sini, kepekaan pemimpin diuji.

Pada 21 April lalu, seperti diberitakan di The Guardian, Wali Kota Milan, Italia, Beppe Sala mengumumkan proyek ambisius menata jaringan angkutan massal di Milan. Proyek mencakup mengurangi luas jalan kendaraan bermotor dan menambah luas trotoar bagi pejalan kaki. Memperluas jaringan jalur sepeda dan tentu menambah fasilitas transportasi umum, seperti bus kota dan kereta komuter. Agar tidak berjubel di bus dan kereta demi menghindari episentrum baru Covid-19, kereta komuter di Milan akan mengakomodasi penumpang harian maksimum 400.000 orang dari sebelumnya 1,4 juta orang.

Kebijakan serupa dilakukan Wali Kota Paris, Perancis, Anne Hidalgo. Hidalgo menyatakan, polusi udara berbahaya dan selama ini telah menjadi salah satu penyebab krisis kesehatan masyarakat, terutama di perkotaan. Polusi udara bisa memicu penyakit pernapasan dan membuat risiko kematian akibat Covid-19 lebih tinggi.

Semangat yang sama sebaiknya ditiru di sini.

Tangkapan layar paparan Bappenas dalam webinar IAPTalks Series, 1 Mei 2020.

Manfaatkan deurbanisasi

Mewujudkan kota sehat sekaligus bisa menjawab tantangan untuk mengatasi kemiskinan dan kawasan kumuh padat perkotaan.

Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Perencanaaan Pembangunan/Bappenas Vivi Yulaswati di IAPTalks, 1 Mei lalu, menjelaskan, merujuk pada data Bank Dunia, akibat Covid-19, di Indonesia terjadi penambahan 5,6 juta-9,6 juta orang miskin. Penambahan ini menghapus hasil penanggulangan kemiskinan satu dekade terakhir.

"Apakah Indonesia punya daya lenting untuk bertahan? Saat krisis 1997-1999 dan krisis 10 tahun lalu, sektor informal kuat jadi buffer zone. Kini, semua sektor terdampak pandemi. Apakah perdesaan memiliki daya tahan menghadapi forced migration dari perkotaan yang sekarang terjadi?" kata Wakil Ketua Ikatan Ahli Perencana Kota (IAP) Bidang Ekonomi Wilayah dan Kota Diding Sakri.

Diding, merujuk hasil survei The Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) pada 29 Maret, 6 April, 13 April, dan 20 April, menyebutkan, migrasi dari kota besar ke kota kecil atau desa terjadi di Jawa dan di luar Jawa. Migrasi dilakukan pekerja lulusan sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Tangkapan layar paparan Bappenas dalam webinar IAPTalks Series, 1 Mei 2020.

Catatan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, sekitar dua pekan selama Idul Fitri 2020, sebanyak 1,7 juta orang meninggalkan Ibu Kota. Mereka tidak sekadar mudik, tetapi pulang kampung menyambung hidup karena tak ada lagi pekerjaan di Jakarta. Meskipun saat ini gelombang arus balik ke Jakarta tetap ada, diyakini arus balik tahun ini tidak segencar tahun sebelumnya.

"Selama pandemi, kehilangan pekerjaan dialami semua sektor, agrikultur, jasa, hotel, dan manufaktur," kata Diding.

Selama pandemi, kehilangan pekerjaan dialami semua sektor, agrikultur, jasa, hotel, dan manufaktur.

Fenomena deurbanisasi ini bisa dimaknai positif. Saat sebagian warga telah kembali ke daerah asal dan industri di kota-kota besar lumpuh bahkan ditutup, muncul peluang menghidupkan dan meratakan industri ke daerah.

Di era kemajuan teknologi, pemerataan pembangunan jaringan internet dan pengoptimalan kegiatan daring di semua lini jadi poin penting serta semakin menunjang keseimbangan desa-kota. Sebuah momentum melepas gula-gula kota besar dan membaginya dengan daerah.

KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Arkeolog dan sejarawan, Candrian Attahiyat.

Arkeolog Universitas Indonesia, Candrian Attahiyyat, dalam seminar daring, Sabtu (18/4/2020), menyatakan, pandemi Covid-19 ini bukan peristiwa wabah pertama yang mendera Nusantara. Pada 1644, penyakit cacar menjangkiti warga dan menyebar ke seluruh Pulau Jawa. Setelah itu, silih berganti malaria, muntaber, diare, campak, dan demam berdarah meminta korban tak sedikit.

"Reaksi kita dulu, seperti memindahkan pusat kota dari kota lama Batavia (Kota Tua) ke Weltevreden (Sawah Besar hingga Museum Gajah, Jakarta Pusat), belum menjawab akar masalah. Kali ini, jangan lagi kita seperti itu," katanya.

Reaksi kita dulu, seperti memindahkan pusat kota dari kota lama Batavia (Kota Tua) ke Weltevreden (Sawah Besar hingga Museum Gajah, Jakarta Pusat), belum menjawab akar masalah. Kali ini, jangan lagi kita seperti itu.

Satu nyawa saja tidak boleh dikorbankan, tidak boleh ditinggalkan. Konsep dan kebijakan pembangunan sudah ada, pun pasti anggarannya. Wali kota, bupati, gubernur, hingga presiden tinggal serius mewujudkannya demi kemaslahatan umat. Kota sehat bukan mimpi.

Kompas, 28 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

RESENSI BUKU: Titik Berangkat Memahami Perang Eropa (EDUARD LUKMAN)


Judul : Perang Eropa.

Penulis : P.K. Ojong

Editor : R.B. Sugiantoro

Penerbit : Penerbit Buku Kompas.

Cetakan (Edisi Revisi): Jilid 1 (2019); Jilid 2 (2019); Jilid 3 (2020).

Tebal Buku (Edisi Revisi): Jilid 1 (xxxiii+590 hlm); Jilid 2 (xii+439 hlm); Jilid 3 (xi+597 hlm)

ISBN : 978-602-412-598-1 (Jilid 1); 978-602-412-599-8 (Jilid 2); 978-602-412-600-1 (Jilid 3).

Setelah berkecamuk hebat selama lebih dari lima setengah tahun (1 September 1939 - 8 Mei 1945), Perang Dunia Kedua di kawasan Eropa, akhirnya usai.  Dalam jangka waktu itu, kemusnahan dan kehancuran yang diakibatkannya sungguh luar biasa besar dan luas. Perang total yang melibatkan banyak negara itu, menewaskan puluhan juta manusia, baik militer mau pun warga sipil, meluluhlantakkan jaringan infrastruktur serta menimbulkan dampak parah pada  semua aspek kehidupan manusia di negeri-negeri yang berperang.

Hanya selang seminggu setelah diktator Jerman Adolf Hitler bunuh diri di markas bawah tanahnya di Berlin, 30 April 1945, melalui beberapa perjanjian kapitulasi, Nazi Jerman menyerah total tanpa syarat.  Di pihak Sekutu (Barat), Hari Kemenangan di Eropa  (VE Day) dirayakan 8 Mei 1945. Sedangkan oleh Uni Soviet sehari sesudahnya. Tapi di kawasan Asia Pasifik, kendati kian terdesak, Jepang masih memberikan perlawanan sengit.

Dalam kurun 75 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia di Eropa, konflik global ini  dibicarakan dan dibahas panjang lebar, dari berbagai aspek dan sudut pandang.  Tak terhingga volume artikel, majalah, buku, jurnal, kajian ilmiah yang mengisahkan, mengulas, menganalisis  perang besar tersebut. Teknologi juga kian mempermudah mengakses semua itu, yang terus bertambah kuantitas dan kualitasnya.

Lalu  apa relevansi dan pentingnya menerbitkan buku-buku tentang kisah yang sudah lama berlalu seperti Perang Eropa, bahkan lalu menerbitkan edisi revisinya, bagi pembaca di zaman ini?  Masihkah buku semacam ini menarik bagi generasi saat ini?  Apa pertimbangan Penerbit Buku Kompas menerbitkan dan kemudian merevisi seri buku Perang Eropa yang terdiri dari tiga jilid itu?

Seperti tertera dalam "Pengantar Editor", ada dua tujuan untuk itu. Pertama, untuk mengabadikan karya almarhum P.K. Ojong, salah seorang perintis dan pendiri Harian Kompas(yang tahun ini genap berusia 55 tahun). Tentu juga karena topik dan cara penulis menceritakannya memang menarik. Selain itu ada keinginan agar pembaca generasi sekarang bisa mengenal dan memahami bagian sejarah manusia yang dampak dan implikasinya terasa sampai saat ini (Perang Eropa, edisi revisi Jilid I, 2019, hal.ix).

Selain itu ada keinginan agar pembaca generasi sekarang bisa mengenal dan memahami bagian sejarah manusia yang dampak dan implikasinya terasa sampai saat ini (Perang Eropa, edisi revisi Jilid I, 2019, hal.ix).

Bayangkan, secara keseluruhan, Perang Dunia II menewaskan hampir 55 juta orang.  Korban terparah diderita Uni Soviet, sebagian besar di Eropa, diperkirakan lebih dari 20 juta militer dan warga sipil.  Di pihak Jerman, ditaksir hampir 7 juta manusia binasa (Donald Sommerville,The Ultimate Illustrated History of World War II, 2011).

Perang itu juga mewarisi peta politik internasional dan tatanan dunia yang sekarang masih terlihat, lahirnya negara-negara merdeka (termasuk negeri kita), serta berbagai konflik yang pernah terjadi dan yang potensial pecah kembali (Antony Shaw., World War II: Day by Day, 2004).  Buku ini menjadi penting, seperti menurut peribahasa: "Apa yang terjadi hari ini tak lepas dari kejadian hari kemarin, dan apa yang terjadi hari esok tidaklah lepas dari apa yang terjadi hari ini."

P.K. Ojong pendiri Kelompok Kompas Gramedia dan penulis serial Perang Eropa.

Seperti dikatakan Dr C.P.F.  Luhulima, pakar Kajian Eropa LIPI, dalam "Sekapur Sirih" buku ini, bagi P.K. Ojong Perang Eropa tampaknya lebih menarik dari Perang Pasifik, karena tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi Jerman dan Inggris dinilai setara dalam mengembangkan persenjataan. Kedua pihak yang bertikai itu bersaing dalam alat utama sistem persenjataan.

Sebagai ilustrasi, di udara, pesawat tempur Spitfire (Inggris) boleh dibilang sekelas dengan Messerschmitt Bf 109 atau Focke-Wulf Fw 190. Hanya Jerman memang tidak memprioritaskan pesawat pengebom berat jarak jauh seperti halnya Inggris.

Menjelang akhir perang, Jerman bahkan menjadi negara pertama yang mengoperasikan pesawat tempur dan pengebom bermesin jet, antara lain Messerschmitt Me 262 dan Arado Ar 234 Blitz. Bahkan kemudian mampu meluncurkan misil kendali (V1) dan misil balistik (V2) ke sasaran-sasaran di daratan Inggris.

Di darat, Jerman unggul dalam kualitas tank. Tank berat Jerman seperti PantherTiger, apalagi Royal Tiger tak tertandingi. Tapi di laut, Inggris tetap perkasa, walau Jerman sempat mengancam dengan U-Boat. Namun Jerman mulai kewalahan, setelah Amerika Serikat ikut berperang (dan tentu saja sebelumnya, Uni Soviet).

Sebagai pembanding, di Perang Pasifik, persenjataan Jepang, misalnya pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero, hanya di awal lebih hebat dari AS.  Khusus tentang peperangan di Pasifik, P.K. Ojong sudah menulis Perang Pasifik (Penerbit Buku Kompas, 2001).

Buku ini sebetulnya adalah kumpulan tulisan berseri P.K. Ojong dalam majalah mingguan Star Weekly di tahun 1950an.  Seri tulisan yang terserak itu dikumpulkan, lalu disunting  mantan jurnalis seniorKompas, pengamat masalah pertahanan, R.B. Sugiantoro, diterbitkan dalam format buku sepanjang 3 jilid (edisi pertama berturut-turut terbit 2003, 2004, 2005).  Seluruhnya setebal lebih dari 1300 halaman (termasuk indeks).

YOHANES KRISNAWAN

Tulisan serial Perang Eropa yang ditulis PK Ojong di majalah Star Weekly ,1959. Sumber: Pusat Informasi Kompas.

Mengingat era ditulisnya kisah serial tersebut, terbayang keuletan dan ketekunan penulis menelusuri dan menggali referensi yang luas sebagai rujukan penulisan, kemudian menuangkannya dalam tulisan yang begitu rinci cerita dan informasinya secara memikat.

Perang Eropa diawali "Sekapur Sirih" berisi ulasan pertempuran-pertempuran penting di darat, laut dan udara, serta implikasinya pada jalannya perang, dan kemudian implikasi perang di Eropa itu terhadap berbagai tatanan di benua tersebut. "Pengantar: Peristiwa Sebelum dan Sesudah Perang II Jadi Pelajaran Berharga", oleh Redaktur SeniorKompas, Dr Ninok Leksono, selain juga memaparkan implikasi perang hebat itu bagi keadaan dunia saat ini, terutama memberi bekal pemahaman tentang latar belakang, situasi dan kondisi, serta konteks Jerman dan Eropa pasca Perang Dunia I dan pra Perang Dunia II, termasuk munculnya Hitler di puncak kekuasaan. Situasi, kondisi, dan konteks tersebut  mengerucut pada tidak terhindarkannya Perang Dunia II di Eropa.

Tiap jilid Perang Eropa ditata menurut urutan babak-babak pertempuran. Makanya Jilid 1 diawali dengan Blitzkrieg (Perang atau Serangan Kilat) Jerman menyerbu Polandia. Cerita berlanjut dengan invasi ke Belgia, Belanda dan Prancis. Jilid ini juga mengungkap mengapa Hitler mendadak menghentikan pengepungan pasukan Sekutu yang sudah terpojok di Dunkirk, dan kemudian membatalkan invasi ke Inggris.

Jilid 2  memberi tempat untuk kisah-kisah perlawanan "di bawah tanah" dan gerilyawan berbagai negeri Eropa yang diduduki Jerman. Dalam jilid ini juga ada serangan udara Sekutu  yang semakin gencar terhadap Jerman.

Tiap jilid Perang Eropa ditata menurut urutan babak-babak pertempuran.

Pendaratan pasukan Sekutu di Pantai Normandia, 6 Juni 1944, yang diberi sandi Operasi Overlord membuka Jilid 3. Dari sekian banyak pertempuran yang berlangsung selama Perang Eropa, tentu tidak sedikit yang bersifat menentukan. Namun menurut P.K. Ojong, ada dua pertempuran yang paling menentukan, yaitu pertempuran di Stalingrad (Uni Soviet) dan di Normandia (Perang Eropa, edisi revisi Jilid I, halaman 479}.

Sejak kekalahan berat di Stalingrad, awal Februari 1943, Jerman terus terdesak Soviet dari Timur.  Sementara serangan dari Normandia memaksa Jerman mundur teratur dari sisi Barat. Dijepit dari dua arah, kekuatan Jerman terkuras dengan cepat.

Agar menarik pembaca saat ini, ketiga jilid Perang Eropa memerlukan revisi ekstensif sebelum diterbitkan ulang. Edisi Revisi jilid 1 dan 2 beredar 2019, sedangkan edisi 3 terbit Juni 2020.  Revisi tersebut mencakup penambahan beberapa bab, penulisan ulang, memperbanyak informasi, foto-foto, serta ilustrasi.

DOK. PRIBADI

Eduard Lukman. Penulis resensi.

Yang baru dalam edisi revisi adalah tambahan box yang melengkapi setiap bab. Isinya terutama deskripsi tentang aneka ragam sistem persenjataan darat, laut, dan udara. Selain itu masih ada "bonus". Di Jilid 2  muncul "Parade Pesawat" pengebom dan pesawat tempur (65 halaman).

Di jilid terakhir bahkan ada bab  "Inovasi Persenjataan Tempur", sepanjang  lebih dari 180 halaman, dengan fokus pada matra darat (dari tank sampai peluncur roket) dan matra laut (dari kapal induk, kapal selam,battleship, sampai landing ship tank).  Alhasil, tebal total ketiga jilid edisi revisi Perang Eropa ini menjadi lebih dari 1600 halaman!.

Lalu bagaimana mencerna kemudian memaknai kisah panjang dan rinci dalam tiga jilid buku yang masif ini? Disinilah terasa peran kehadiran "Sekapur Sirih' dan "Pengantar: Peristiwa Sebelum dan Sesudah PD II Jadi Pelajaran Berharga" yang mengawali rangkaian Perang Eropa, serta  "Bab Epilog" (ditulis editor R.B. Sugiantoro) sebagai penutup Jilid III.

Di tengah banjir informasi serba cepat mengenai apapun saat ini, publik memerlukan referensi untuk berbagai topik dan isu, yang selain mudah dipahami haruslah terjaga kredibilitasnya. Dalam hal ini, seperti kata Tom Nichols (Matinya Kepakaran, 2018), sebuah buku yang melalui  proses penerbitan yang ketat dan seksama, tetap menjadi rujukan penting.

Khalayak pembaca umum yang ingin mengetahui dan menambah pemahaman akan Perang Eropa, sebuah perang total berdimensi kompleks, setidaknya bisa menjadikan ketiga jilid edisi revisi Perang Eropasebagai salah satu "titik berangkat".

(EDUARD LUKMAN. Narasumber bincang buku Perang Eropa, Instagram@bukukompas. Editor Majalah Kedirgantaraan ANGKASA, 1989-2003.).

Kompas, 28 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger