Selama ini, sejumlah kalangan kebanyakan mencampur adukkan pengertian radikalisme yang positif dan produktif dengan radikalisme yang kekiri-kirian. Hal itu karena mereka awam dengan visi Bung Karno mengenai radikalisme.
Akhir-akhir ini kata radikalisme kerap muncul dalam topik dan perbincangan berbagai kalangan, di pemerintah maupun di masyarakat.
Radikalisme dalam konteks bentuk dan aksi kekerasan yang merusak dan membuat kekacauan, mengusik keamanan publik pada intinya dilihat sebagai suatu bahaya. Karena itu, perlu diminimalkan, dicegah, bahkan dihilangkan (deradikalisasi).
Pemikiran ini berkembang terutama di kalangan tokoh nasional, pemerintahan maupun masyarakat yang melihat radikalisme sebagai paham dan sumber dari tindakan ekstrem yang berujung munculnya aksi-aksi seperti bom bunuh diri dan teror serta terorisme.
Bung Karno yang sejak muda kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB) pada 1921, hingga memimpin bangsa Indonesia 1945-1967 justru berpendirian sebaliknya tentang hakikat radikalisme.
Menurut Bung Karno, sikap, sifat radikal dan revolusioner sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama untuk mencapai cita-cita kemerdekaan dan mendirikan masyarakat yang adil dan makmur (sosialisme religius). Ini, artinya, menurut Bung Karno, radikalisme berada juga dalam makna dan konteks yang positif dan produktif.
Jika kita membaca artikel-artikelnya seperti "Di Bawah Bendera Revolusi" (DBR) Jilid 1 dan 2; "Sarinah; Indonesia Menggugat" khususnya "Mencapai Indonesia Merdeka", Bung Karno antara lain menjelaskan, perlu adanya satu partai pelopor yang harus bersepak terjang, tak hanya radikal tetapi juga revolusioner di masyarakat.
Menurut Bung Karno, Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang radikal dan revolusioner, juga Nabi Isa Almasih atau Yesus Kristus. Hal itu karena keduanya telah menjebol dari akar-akarnya paham-paham lama, dan diganti dengan paham-paham dan ajaran baru secara revolusioner.
Secara etimologis, kata radikal berasal dari kata radix yang dalam Encyclopedia Britannica berarti akar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme selain bermakna paham atau aliran yang radikal dalam politik, juga paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis serta berarti sikap ekstrem dalam aliran politik.
Sementara terorisme dalam KBBI bermakna hampir sama, yaitu sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama politik) atau praktik tindakan teror.
Dimusnahkan atau dikembangkan
Kini, masalahnya radikalisme mana yang harus ditiadakan, dan sebaliknya mana yang didukung dan dikembangkan?
Seperti kata Bung Karno, tanpa sikap radikal dan revolusioner, sulit bagi kita mencapai suatu masyarakat sosialis religius yang adil dan makmur apalagi jika hanya bersikap pragmatis. Dalam teori dan praktik tak akan mungkin dicapai. Yang seharusnya dihilangkan adalah sikap atau perbuatan yang bersifat Anarko Sindikalisme atau perilaku yang kekiri-kirian radikal.
Jika seseorang memiliki sikap kekiri-kirian radikal, tentu sikap dan sifatnya akan anarkistis dan menjurus pada aksi-aksi insureksi atau pemberontakan yang ujung-ujungnya berdarah-darah dan chaos, seperti yang dilakukan oleh para teroris selama ini. Jadi, yang harus dimusnahkan atau dihilangkan adalah radikalisme yang kekiri-kirian dan bukan radikalisme revolusioner yang menghendaki adanya perubahan nilai-nilai lama diganti dengan nilai-nilai baru dari akar-akarnya di masyarakat
Selama ini, sejumlah kalangan kebanyakan mencampur adukkan pengertian radikalisme yang positif dan produktif dengan radikalisme yang kekiri-kirian. Hal itu karena mereka awam atau tak mengetahui adanya visi Bung Karno mengenai radikalisme dan pragmatisme, juga revolusioner.
Apalagi bagi mereka yang berpendidikan Barat dan berpaham liberalisme dan tak memahami teori-teori Bung Karno. Teori itu tertuang dalam cita-cita politik Bung Karno, sebagai seorang nasionalis, cita-cita sosialnya adalah sosialis dan cita-cita sukmanya adalah seorang theis. Singkat kata, seorang yang percaya sepenuhnya adanya Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini ajaran Islam. Jadi kita jadi maklum mengapa ada di antara kita, yang seolah fobia terhadap radikalisme.
Beragam cara dilakukan oleh aparat kepolisian untuk menghadapi gangguan dari kelompok radikalisme dan terorisme yang dilatarbelakangi ideologi dan agama yang bisa memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satunya adalah dengan memasang spanduk ajakan untuk mewaspadai penyebaran paham radikalisme dan terorisme, seperti yang ditemui di Jalan Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (4/1/2021).
Teroris dan radikalisme
Bila kita hubungkan antara kegiatan terorisme yang saat ini merebak lagi dengan masalah radikalisme maka kita harus jelas mengerti bahwa radikalisme yang dianut teroris di mana-mana adalah radikalisme kekiri-kirian atau Anarko Sindikalisme yang ujung-ujungnya bersifat insureksi atau pemberontakan. Aksinya akan berdarah-darah dan membuat chaos.
Terorisme di era sekarang ini, ideologinya—kalau dapat dikatakan "ideologi"— sudah berbeda dengan terorisme klasik beberapa dekade lalu.
Ideologi mereka saat ini, "untuk masuk surga kita harus banyak membunuh manusia, apapun agama maupun keyakinannya, dan jika berhasil roh pelaku akan dijemput 70 bidadari masuk ke dalam surga." Bukan main! Alangkah indah dan eloknya dijemput 70 bidadari langsung masuk surga. Bagaimana kalau pelaku terornya seorang wanita seperti kejadian di Mabes Polri?
Bagi kita yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana caranya kita menumpas adanya benih-benih Anarko Sindikalisme di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda Indonesia. Tentu, dengan mengikuti berbagai ajaran agama secara benar, selain juga peningkatan pendidikan dan pemahaman terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945, serta perbaikan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi dengan pemerataan dan keadilan.
Selain itu, tentunya juga bagaimana caranya meningkatkan kemampuan intelijen dan satuan khusus anti teror kita seperti Detasemen Khusus 88 Kepolisian Negara RI, agar dapat setingkat, bahkan lebih baik dibandingkan Mossad di Israel di dunia intelijen, dan SAS di Inggris atau GSG-9 Jerman dalam satuan khusus anti teror,
Guntur Soekarnoputra
Selain itu, peningkatan pemahaman dan pendidikan serta upaya deradikalisasi yang efektif dan berkelanjutan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) untuk mencegah dan mengatasi Anarko Sindikalisme dan radikalisme yang kekiri-kirian. Jika dilandasi semangat dan sikap radikalisme yang revolusioner, semuanya pasti bisa!
Guntur Sukarno Putra Sulung Presiden RI dan Pemerhati Sosial
Sumber: Kompas.id - 22 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar