Pemandangan hari itu jadi lain (menjadi Bali) ketika gamelan bali yang riuh mulai ditabuh dan penari menari dengan gerak-gerak patah, kejutan-kejutan pendek pada kaki dan leher, jari-jari tangan mengibas, entakan kelopak mata membuka dan menutup. Patung, tarian, dan musik memperlihatkan konfigurasi pada masing-masing lapisannya sebagai kerja teknologi imajinasi dari komunitas estetis Bali. Namun, apakah yang terjadi dengan komunitas ini ketika mereka mulai berhubungan dengan bahasa, sebuah media yang sama sekali lain, seperti puisi?
Puisi-puisi Bali masa kini umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai media mereka. Tema mereka khas meliputi persoalan sosial-politik adat Hindu-Bali maupun teritori identitas Bali yang kian tersamar dalam bungkusan politik pariwisata multinasional.
Di bale bengong depan hotel, saya ditemani sebuah buku puisi 494 halaman, Leak Jagat (2013), karya penyair Bali, Tabanan, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang. Saya membaca sebuah puisinya yang berhubungan dengan Dewi Saraswati: Sang Hyang Aji Saraswati, 1982: Hari ini, waktu umanis wuku watugunung. Hari odalan Sang Hyang Aji Saraswati. (Hari kesucian, hari Ilmu Pengetahuan). Umbul, taman, pura. Semerbak putih jempiring
Ada hal yang cukup ganjil dalam puisi Samar Gantang di atas. Sebagian besar tubuh puisinya dikonfigurasi tidak terlalu jauh dengan rata-rata tubuh narasi patung-patung Hindu maupun umbul-umbul khas Bali. Sebagian tubuh-puisinya dibangun melalui cara khas: yaitu kata yang ditempatkan sebagai obyek dengan susunan yang mengingatkan kita pada struktur sesajen maupun pernik- pernik lain dalam tradisi Hindu-Bali. Keseluruhan susunan ini memperlihatkan teknologi imajinasi yang rumit dalam kehidupan masyarakat Bali.
Bahasa dan siklus pengosongan
Awal kepenyairan Samar Gantang dalam buku Leak Jagat ini (yang dimulainya dengan puisi tahun penciptaan, 1973), merupakan barisan para penyair yang menulis puisi sebagai "puisi berbahasa Indonesia". Bahasa membawa teritori baru antara Bali dan Indonesia. Teritori ini awalnya tampak megah dalam konstruksi nasionalisme Indonesia. Bahkan beberapa puisinya ditulis sebagai bagian dari peringatan 17 Agustus (hari Kemerdekaan Indonesia).
Ketika Indonesia masih diterima sebagai narasi yang megah dari representasi nasionalisme, pada saat yang sama dalam kehidupan paling dekat dengan Samar Gantang, yaitu Bali, berubah menjadi ruang kosong yang tidak terisi. Bali sebagai ruang kosong dalam kepenyairan awal Samar Gantang lebih tidak tersentuh lagi melalui bahasa Indonesia. Aroma Hindu-Bali belum bisa masuk ke dalam bahasa Indonesia yang usianya masih muda. Samar Gantang baru mulai menemui kembali Bali justru sebagai masalah politik pariwisata dalam ambiguitas: apakah politik pariwisata merupakan masalah Bali atau masalah Indonesia?
Dalam puisinya, "Tuhan Tersapu Duka", Samar Gantang menulis: tuhan tersapu duka. karena sawah jadi rumah. karena puri jadi hotel megah. Puisi itu ditulis tahun 1975. Tahun 1994, 20 tahun setelah puisi di atas ditulis, Samar Gantang kembali menulis dengan tema yang sama dalam puisinya: "Dewa-dewa Marahlah". Kali ini Samar Gantang tidak lagi menggunakan istilah Tuhan yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak digunakan mayoritas Muslim maupun Kristen, melainkan istilah Dewa yang lebih banyak digunakan umat Hindu.
Teritori kemarahan itu tetap bergerak dalam wilayah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak memiliki software untuk sebutan Dewa. Usaha Samar Gantang untuk mendekatkan bahasa Indonesia ke dalam tubuh-Hindunya sebagai orang Bali, sama dengan kesulitan untuk menempatkan Bali dalam konteks bahasa Indonesia. Bali tetap merupakan wilayah kosong dalam bahasa Indonesia. Wilayah kosong ini tetap tidak terisi ketika Samar Gantang mulai mempertanyakan posisi kepenyairannya dalam puisi Indonesia modern yang mayoritas dihegemoni puisi-puisi berbahasa Indonesia.
Di tempat tinggalnya di kota Tabanan, Semar Gantang sehari-hari hidup dalam lingkungan Hindu-Bali. Pembagian ruang dalam tempat tinggalnya mengambil konsep ruang tradisi di mana sejumlah keluarga inti tinggal dalam pagar yang sama, walau dalam bangunan berbeda. Berbagai artefak Hindu-Bali dan pusaka menjaga ruang-Hindu dalam lingkungan tempat tinggalnya.
Tidak teratasinya masalah-masalah yang muncul akibat politik industri pariwisata di Bali, kemudian terjadinya Reformasi 1998 serta perubahan politik melalui otonomi daerah, tampaknya merupakan siklus baru yang mulai terjadi pada kepenyairan Samar Gantang: berputarnya arus balik di mana entitas Bali kembali menggeser entitas Indonesia yang pernah membelah komunitas estetisnya sebagai masyarakat Bali ke dalam identifikasi bahasa Indonesia. Reformasi dalam salah satu puisinya, disebut sebagai "Bintang serigala di langit tanpa warna".
Arus balik itu membuat Samar Gantang mulai memperlakukan bahasa Indonesia sebagai materi bahasa tanpa identitas. Bahasa Indonesia mulai diperlakukan di luar dari representasi ke-Indonesia-an. Dalam puisinya "Apa Api Apaku", dia mulai bermain-main atau memainkan kata sebagai obyek bunyi antara apa, api, dan apaku dalam pilihan rima kata yang senada, tetapi saling berbeda dalam arti pada setiap katanya. Apa dan api digunakan sebagai penggoyahan identitas untuk apaku: Apa api apaku apa upi apa janji. Apa api apaku apa madu apa susu. Apa api apaku apa bunga apa bau
Puisi ini merupakan proses ketika Samar Gantang mulai melepaskan representasi Indonesia dalam bahasa Indonesia. Arus ini, dalam konteks puisi Indonesia, setara pada bagaimana Ibrahim Sattah melepaskan representasi Indonesia dalam bahasa Melayu. Ibrahim mencoba kembali mencari dasar arkhaik bahasa Melayu (yang memang sudah ter-Islam-kan). Antara Ibrahim Sattah dan Samar Gantang, keduanya berada pada garis sama yang membangun narasi baru dalam kepenyairan Indonesia: keduanya sama-sama mencari arkhaik bahasa yang bukan representasi identitas yang menghegemoninya.
Mereka berusaha menemukan kembali tubuh-habitat melalui bahasa, memunculkan kembali representasi mengenai tubuh-laut, hutan, gunung, sawah maupun sungai dalam ruang mistis. Dalam puisinya, Rancage 2003, memperlihatkan orientasi lokalitas dalam memandang bahasa. Rancage adalah lembaga yang bergerak di sekitar bahasa dan budaya Sunda, dipimpin Ajip Rosidi. Lembaga ini setiap tahun memberikan penghargaan terhadap karya sastra berbahasa Sunda, mendorong ruang eksis untuk bahasa-bahasa lokal (yang terancam punah), terutama di kawasan Asia Tenggara yang beragam.
Evakuasi dari "software" bahasa
Arus balik ini membawa Samar Gantang melakukan personifikasi kepenyairannya melalui tubuh-mistis yang hidup dalam ajaran Hindu-Bali, yaitu Leak. Leak menjadi semacam aksara sakti (mantra) yang bersumber pada narasi Calonarang. Pada 29 November 2015, dalam acara "Festival Tabanan, Forum Penyair Internasional 2015", saya kembali berkesempatan menyaksikan pembacaan puisi Samar Gantang, di halaman tengah perumahan keluarga besarnya di Tabanan. Samar Gantang membaca puisi dengan bagian atas tubuhnya dibiarkan telanjang. Hadir sebagai tubuh yang tidak umum: Tubuh petani Hindu di depan mikrofon. Seperti ada makhluk lain yang alih-alih telah menggantikan tubuh tua Samar Gantang. Tubuhnya mengeluarkan berbagai bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Seluruh artefak Hindu-Bali yang menghiasi lingkungan rumah Samar Gantang menjadi hadir dan hidup dalam pembacaan puisi ini. Ruang jadi penuh gelombang energi yang padat.
Dalam periode puisi-puisi Leak karya Samar Gantang, Bali yang sebelumnya menjadi ruang kosong setelah hadirnya Indonesia dalam imajinasi nasionalisme, kini kembali terisi. Namun, sebaliknya, Indonesia kembali menjadi ruang kosong yang mengapung di atas sejumlah masalah politik pariwisata yang menimpa Bali.
Fenomena identitas maupun teritori bahasa yang digunakan penyair dalam puisi, terutama dalam konteks keberagaman "bahasa-bahasa di Indonesia", tidak lagi terletak pada tegasnya kita memandang bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Melainkan pada tegasnya kita memandang kemajemukan di mana masing-masing entitas bahasa mendapat ruang dalam melakukan saling keterkaitan satu sama lainnya dengan hal-hal yang tidak semata-mata bersifat bahasa.
Puisi-puisi Samar Gantang yang memasukkan tubuh-Hindu ke dalam puisinya, dan menjadi ruang yang eksis ketika dia membacakannya, memperlihatkan posisi penyair Indonesia yang khas dalam merespons lalu lintas keberagaman. Samar Gantang seperti berusaha menyalakan dupa dalam bahasa Indonesia. Pada titik ini, Samar Gantang telah melakukan evakuasi dari "software effect" bahasa Indonesia, kembali ke habitat bahasa dalam arti kultur Bali. Setiap penyair Indonesia memiliki situasi khas dalam ambang batas-batas bahasa seperti ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar