Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 Juli 2017

TAJUK RENCANA: Bagai Dua Sisi Mata Uang (Kompas)

Keputusan Mahkamah Agung mendukung darurat militer di Mindanao menegaskan tingkat kegentingan yang dihadapi Filipina dalam krisis di Marawi.

Darurat militer diberlakukan di Pulau Mindanao, Filipina selatan, 23 Mei, beberapa jam setelah kelompok bersenjata pimpinan Maute bersaudara merebut kota Marawi. Presiden Rodrigo Duterte beralasan, penerapan darurat militer selama 60 hari diperlukan untuk menghabisi perlawanan kelompok separatis yang menyatakan setia kepada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ini.

Penerapan kondisi darurat militer memberikan wewenang luas kepada Angkatan Bersenjata Filipina untuk menangkap dan menahan orang yang dicurigai tanpa surat penangkapan, memblokade jalan, hingga mendirikan pos pemeriksaan di sejumlah tempat.

Keputusan ini diajukan ke Mahkamah Agung oleh kelompok pembela hak asasi manusia, yang menyebutnya sebagai langkah mundur dalam demokrasi Filipina. Mereka khawatir kondisi darurat militer mengembalikan negara ini pada era Presiden Ferdinand Marcos, yang memberlakukan darurat militer pada 1972-1981 di Filipina. Selama itu, ribuan orang yang dianggap menentang pemerintah tewas terbunuh atau tidak diketahui keberadaannya.

Ratusan pengunjuk rasa yang berkumpul di Mahkamah Agung saat keputusan dibacakan menyebut Duterte mengadopsi kediktatoran Marcos. Duterte sebelumnya pernah menyatakan kekaguman kepada Marcos, yang akhirnya digulingkan lewat Revolusi Kekuatan Rakyat pada 1986.

Akhir pekan lalu, Duterte mengatakan tidak akan mencabut kondisi darurat militer meskipun Mahkamah Agung membatalkannya. Setelah 11 dari 15 hakim agung mendukung keputusan itu, Manila memiliki landasan hukum kuat untuk melanjutkan pertempuran merebut Marawi.

Keputusan itu juga memperlihatkan ada kesadaran bahwa ancaman teror dan separatisme yang dihadapi Filipina tidak lagi sekadar gerilya menyerang aparat keamanan, pembajakan kapal, atau penyanderaan untuk meraih tebusan seperti yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf. Kelompok yang menyatakan setia kepada NIIS kini memiliki kekuatan untuk merebut dan menguasai wilayah.

Namun, layaknya dua sisi mata uang, keputusan ini perlu pengawasan yang kuat agar tidak disalahgunakan. Militer Filipina didesak untuk menyelesaikan krisis Marawi sebelum masa 60 hari darurat militer berakhir, 23 Juli. Jika tidak, kondisi ini bisa diperpanjang, bahkan terancam diperluas ke seluruh negeri jika kelompok radikal mereplikasi keberhasilan merebut Marawi di wilayah lain.

Keprihatinan para aktivis hak asasi manusia juga harus menjadi perhatian. Rakyat Filipina dan negara-negara di Asia Tenggara tentu tak ingin sejarah kelam Filipina di era Marcos kembali terulang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Bagai Dua Sisi Mata Uang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger