Simak saja bantahan-bantahan mereka yang tertangkap KPK setelah diduga menerima suap. Anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo, sesaat sebelum ditahan masih dengan tegas membantah.
"Saya akan buktikan kalau saya tidak bersalah. Saya tidak pernah menerima uang itu, melihat saja tidak. Mendengarnya baru sekarang," kata Dewie di Jakarta, Kamis (22/10).
Bantahan seperti yang dikatakan Dewie sebenarnya akan membuatnya malu sendiri jika kelak rekaman sadapan telepon dirinya diputar di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tersangka yang ditetapkan setelah tertangkap tangan KPK biasanya telah terekam pembicaraan teleponnya oleh penyidik. Bukti ini yang paling menohok dalam persidangan.
Simak saja bantahan pengacara senior OC Kaligis yang berkukuh tidak menyuap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara. "Saya tidak merampok uang negara. Bukan saya yang memberi duit kepada hakim. Saya bahkan melarang anak buah saya ke Medan," kata Kaligis.
Mantan Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto, yang didakwa menerima suap dari Kaligis, justru mengakui penyuapan tersebut di persidangan. Saat bersaksi untuk Kaligis, Tripeni dengan gamblang menjelaskan bagaimana dia menerima amplop berisi uang. "Pada 29 April 2015, OC Kaligis datang ke ruangan saya untuk konsultasi mengenai permohonan gugatan. Dalam pertemuan tersebut, OC Kaligis memberikan saya amplop. Pada 5 Mei 2015, OC Kaligis datang lagi ke ruangan saya untuk konsultasi. OC Kaligis juga memberikan uang kepada saya," papar Tripeni dalam sidang.
Kaligis tak cuma membantah saat masih menjadi tersangka. Ketika duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor, Jakarta, dia masih membantah menyuap hakim dan panitera PTUN Medan. Meskipun dalam sidang jaksa KPK memutar rekaman sadapan telepon dirinya, Kaligis masih enggan mengakui.
Dalam salah satu rekaman pembicaraan telepon antara Kaligis dan anak buahnya yang disuruh menyuap hakim dan panitera PTUN Medan, Yagari Bhastara Guntur alias Gerry, perintah memberikan uang dalam mata uang dollar AS jelas terdengar. "Nanti ngomong sama panitera. Kau kasih dollarnya itu dulu," kata Kaligis dalam rekaman telepon tersebut.
Saat diputar, durasi rekaman itu memang agak panjang. Begitu jaksa bertanya kepada Gerry apa maksud kalimat tersebut, Kaligis dan pengacaranya serentak membantah ada kalimat tersebut. Mereka pun meminta rekaman itu kembali diputar.
Begitu terdengar jelas ucapannya soal memberikan uang dalam bentuk dollar AS, Kaligis dan pengacaranya pun terdiam.
Menutupi malu
Meski tertangkap tangan, yang berarti KPK punya bukti kuat, bantahan seperti ini kerap terdengar saat para tersangka ditanya wartawan. Bisa saja karena mereka malu dan belum menerima kenyataan kalau tertangkap karena korupsi.
Lihat saja bagaimana dulu mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Rudi Rubiandini membantah korupsi setelah ditangkap KPK menerima uang dari petinggi perusahaan migas. Menjelang masuk mobil tahanan, Rudi mengatakan, "Saya tidak melakukan korupsi, tapi saya kelihatan masuk masalah gratifikasi."
Atau bagaimana mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjelaskan versi kronologi penangkapannya oleh KPK di rumah dinas. "Orang itu mengaku dari Kalteng. Saya masih di dalam rumah dan diberi tahu ada tamu. Begitu keluar, sudah ada anggota KPK dan orang itu di teras," kata Akil sesaat sebelum ditahan.
Dalam persidangan, jaksa KPK sempat membeberkan pesan pendek dari pengacara yang jadi perantara suap ke Akil, Susi Tur Andayani, bahwa mantan politikus Partai Golkar itu meminta Rp 3 miliar sebagai "ongkos" memenangkan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak. "Ya, sudah kamu minta kawanmu siapin Rp 3 miliar," kata Susi menirukan ucapan Akil ketika itu.
Tak hanya mereka yang tertangkap tangan mengingkari sangkaan korupsi. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mungkin yang paling fenomenal membantah dirinya terlibat korupsi proyek Hambalang. "Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," begitu sesumbar Anas.
Pada akhirnya majelis hakim memutuskan Anas terbukti sah dan meyakinkan melakukan korupsi sebagaimana yang didakwakan. Bahkan, putusan kasasi Mahkamah Agung menetapkan vonis Anas dengan hukuman penjara 18 tahun, naik drastis dari 8 tahun pada pengadilan tingkat pertama dan 7 tahun saat banding ke pengadilan tinggi.
KPK memang tak ambil pusing dengan bantahan para tersangka korupsi. Biarlah pengadilan yang membuktikan. Segala bantahan tentu mempermalukan mereka sendiri ketika hakim memutuskan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 November 2015, di halaman 4 dengan judul "Yang Penting Bantah Dulu, Soal Terbukti Urusan Belakangan".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar