Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 November 2020

ULAS BAHASA: Obral Mantan (RETMAWATI)


Apa bahasa Indonesia yang tepat untuk kata saledan preloved?

Gelaran diskon sepanjang tahun ini, meski dalam situasi pandemi, menarik untuk dicermati. Membicarakan harganya cukup menyenangkan dan mengamati istilah yang digunakan pun tak kalah menarik.

Seorang teman pernah bercerita, suatu hari neneknya minta dibelikan sale. Saat dia berjanji kepada neneknya akan membelikan sale di toko oleh-oleh, sang nenek menolak dan berkomentar,"Tidak usah ke toko oleh-oleh. Di sepanjang jalan saja banyak. Itu tulisannya sale, sale, sale." Dari situ dia paham bahwa yang dimaksud sang nenek adalah sale atau diskon.

Kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini atau pusat perbelanjaan dan toko, baik daring maupun luring, adalah menggunakan kata sale untuk merujuk gelaran potongan harga secara besar-besaran. Apakah salah? Tentu saja tidak. Namun, seberapa familier kata itu dalam masyarakat?

Baca juga: Pasca, Paska, Sesudah, atau Setelah?

Mungkin untuk masyarakat perkotaan dan kaum milenial, kata itu cukup familier. Namun, bagaimana dengan masyarakat golongan lain? Di samping itu, bahasa Indonesia telah menyediakan kata yang sepadan, yaituobral. Bisa juga dipakai kata diskonatau rabat.

Kenapa kita tidak menggunakan pilihan kata yang sebenarnya juga sudah familier di masyarakat alih-alihsale? Apakah kemudian pemilihan kata berpengaruh terhadap "kesan" pada suatu barang?

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pertokoan di pusat perbelanjaan Kuningan City memberikan potongan harga khusus pada saat 'midday madness sale' yang menjadi bagian dari Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2019, Sabtu (25/5/2019). 

Padanan "preloved"

Kita lihat contoh lainnya, yaitu katapreloved. Kata ini beberapa tahun belakangan muncul di banyak tempat, terutama toko daring. Menurut Oxford Dictionary, kata preloved diartikan sebagai 'previously owned' atau 'secondhand'.

Dari pengertian itu kita bisa memadankannya dengan kata bekas. Namun, sejumlah pelaku toko daring menolak menggunakan kata bekasdengan alasan artinya berbeda.

Terkait kata bekas, kita bisa melihat beberapa contoh kalimat yang terdapat di media massa.

Bekas Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung Pinangki Sirna Malasari memakai rompi tahanan seusai menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (21/10/2020).

Sebelumnya, empat terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Mereka adalah bekas Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, eks Direktur Utama Hendrisman Rahim, eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Syahmirwan, serta Direktur PT Maxima Integra Tbk Joko Hartono Tirto.

Baca juga: Penerapan Total Kata Total

Bandingkan dengan penggunaan kata yang sejajar, yaitu mantan.

Di singel ini, Budjana mengajak Simon Phillips, mantan drumer Toto selama kurun 1992-2014. Karyanya antara lain dapat disimak di album fenomenal Toto, Tambu. Budjana juga mengajak basis peraih Grammy Awards kelahiran Kuba, Carlitos Del Puerto.

Dari contoh di atas kita bisa melihat perbedaan penggunaan kata bekas danmantan dari segi "rasa" bahasa.

Lalu, bagaimana dengan preloved? Apakah untuk barang bisa disebut sebagai mantanMantan, dalam KBBI, diartikan sebagai: bekas (pemangku jabatan, kedudukan, dan sebagainya). Dari keterangan itu kita bisa menyimpulkan bahwa katamantan hanya dipakai untuk orang.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Beragam barang mode bermerek yang pernah dipakai (preloved) ditawarkan dalam bazaar produk preloved di Gandaria City, Jakarta, Kamis (30/8/2018). 

Sementara itu, Cambridge Dictionarymenyebutkan bahwa kata preloveddigunakan untuk menghindari katasecond hand. Namun, tidak demikian dengan KBBI. Kita tidak bisa menyebutmantan, alih-alih bekas, untuk barang. Misalnya, kita tidak bisa mengartikanpreloved bags sebagai 'tas mantan' atau malah 'obral mantan' untuk merujuk diskon barang bekas.

Kita tidak bisa menyebut mantan, alih-alih bekas, untuk barang.

Apakah KBBI menyediakan kata selainmantan dan bekas? Masih ada pilihan kata eks. Namun, apakah itu akan berterima untuk menggantikanpreloved? Rasanya pun tidak. Pilihan paling mungkin adalah bekas.

Jadi, apakah Anda siap untuk berburu obral mantan, eh… barang-barang obral dalam gelaran diskon akhir tahun ini?

Retmawati, Penyelaras BahasaKompas

Kompas, 28 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

CATATAN URBAN: Hiperlokal dan Urgensi Pembangunan Kota Digital (NELI TRIANA)


KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga coba memanfaatkan aplikasi pesan dan antar makanan melalui ponsel pintarnya.

Perut keroncongan, dalam dunia serba digital sekarang, segera saja buka ponsel. Tekan ikon aplikasi pesan dan antar makanan, bermunculanlah jejak rekam pemesanan di sela taburan tawaran sajian baru. Semakin dekat jarak lokasi sasaran dengan pemesan, ongkos kirim kian murah. Malah, ada promosi gratis biaya pengantaran. Tawaran pas untuk tanggal tua begini, bukan?

Dunia digital sudah menjadi keseharian hidup. Pemerintah pusat dan daerah pun gencar menyelenggarakan layanan publik berbasis daring. Tahun 2019, misalnya, saat mengurus akta kelahiran dan kartu identitas anak (KIA) di Tangerang Selatan, Banten, sungguh terobosan. Mendaftar dan mendapat jadwal hari cukup dengan membuka laman resmi dinas kependudukan dan catatan sipil setempat. Berkas persyaratan diserahkan di pagi hari, pukul 13.00 di hari yang sama KIA sudah di tangan. Gratis!

Cerita lain dikisahkan seorang warga, Budi. Akhir Oktober, ia merasakan sakit di telapak kaki kanannya. Membawa kartu BPJS Kesehatan miliknya, ia memacu sepeda motor ke puskesmas terdekat dari rumahnya di Pondok Betung, Tangerang Selatan.

Di puskesmas yang seingatnya dulu sebelum pandemi selalu ramai, kini melompong. Kata petugas, semua layanan kesehatan bisa diakses via daring, lewat aplikasi percakapan Whatsapp atau WA. Petugas memberinya nomor telepon resmi puskesmas. Pasien langsung berkomunikasi seputar kondisinya dengan dokter jaga. Bagian yang sakit difoto dan dikirim untuk dianalisis dokter.

Pelayanan publik secara daring menjadi jalan keluar efektif, terlebih di masa pandemi dan setelahnya nanti. Hal ini karena masyarakat memang diharapkan memiliki kebiasaan normal baru yang mereduksi peluang penularan penyakit.

DOKUMENTASI PUSKESMAS PONDOK BETUNG

Isi pesan percakapan di aplikasi Whatsapp antara pasien dan dokter Puskesmas Pondok Betung, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (11/11/2020).

Jika sangat diperlukan, perawatan langsung diberikan di ruang gawat darurat. Jika tidak, berlanjut dengan pemberian resep obat via WA yang bisa ditebus di apotek puskesmas. Lagi-lagi, tidak ada biaya dibebankan pada pasien. Kekhawatiran bakal berjubel di puskesmas dan rawan tertular Covid-19 pun tak terjadi.

Baca juga: Hunian Vertikal atau Rumah Tapak, Mana Lebih Baik?

Pelayanan publik secara daring menjadi jalan keluar efektif, terlebih di masa pandemi dan setelahnya nanti. Hal ini karena masyarakat memang diharapkan memiliki kebiasaan normal baru yang mereduksi peluang penularan penyakit. Sayangnya, di Tangerang Selatan, juga di kota-kota lain di Indonesia, belum semua puskesmas dan layanan publik lain bisa diakses daring. Persoalan jaringan internet, ketersediaan sumber daya manusia, pendanaan, dan banyak lagi menjadi alasan penghambat.

Tren hiperlokal

Di sisi lain, di abad ke-21 ini, teknologi menjadi jalan keluar warga perkotaan dan pengelola kawasan urban dalam mengatasi masalahnya. Rasanya publik paham, perkembangan kota-kota di Indonesia selama ini minim perencanaan sehingga memicu rebakan urban (urban sprawl). Fasilitas publik terus dibangun, tetapi belum cukup terakselerasi untuk mengejar cepatnya pertumbuhan kota.

Di sekitar Ibu Kota, misalnya, masih ada fasilitas kesehatan terdekat yang jauhnya belasan hingga puluhan kilometer dari permukiman warga. Di pusat-pusat kota, meskipun fasilitas umumnya tergolong lengkap dan dekat dari perumahan warga, tetapi ada kendala kemacetan, akses jalan buruk, atau angkutan umum kurang memadai.

Apa yang terjadi di Indonesia juga menimpa banyak negara lain. Sebuah ulasan di Forbes.com edisi 10 September 2019 menjelaskan bahwa di banyak kota di dunia, sebagian besar penghuninya sudah lelah menghadapi kemacetan lalu lintas, sulitnya mencari tempat parkir, dan jalanan yang selalu riuh. Meskipun demikian, migrasi ke kota besar tetap diminati karena fasilitas dan lebih banyak peluang mendapat pekerjaan di kota. Warga kota hanya makin mendambakan perubahan di lingkungan tempat tinggal mereka.

Kemacetan tol dalam kota dan Jalan Gatot Subroto di Jakarta Selatan, Senin (9/7/2019). Kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 100 triliun per tahun.

Laporan Forbes, 70 persen warga di kawasan urban menginginkan lingkungan tempat tinggal yang memungkinkan mereka bisa dengan mudah mengakses berbagai tujuan aktivitas sehari-hari. Sebanyak 88 persen warga kota meyakini kualitas hidup mereka bakal lebih baik jika banyak tempat yang mereka sukai atau butuhkan terjangkau dengan berjalan kaki, menggunakan angkutan umum dengan durasi perjalanan singkat, serta dekat dengan akses ke jalan bebas hambatan.

Desakan tersebut melahirkan tren hiperlokal. Menurut CEO and pendiri perusahaan Life.AI, Dave Ladouceur,yang menulis di Forbes, istilah hiperlokal di masa sekarang berlaku untuk lebih dari sekadar pemasaran produk barang atau jasa. Ketika kepadatan penduduk meningkat di daerah perkotaan, hal itu menciptakan permintaan akan sumber daya terdekat yang mudah diakses.

Agar suatu area menjadi hiperlokal, sebagian besar aktivitas sehari-hari seseorang harus dilakukan di sekitar atau dalam jarak yang bisa dicapai dengan berjalan kaki singkat.

"Toko bahan makanan, restoran, dan semuanya harus berada dalam jarak yang mudah diakses. Itulah sebabnya hiperlokalisasi berkembang seiring tren pembangunan kawasan kompak yang menawarkan kantor, ruang keluarga, makanan, dan hiburan dalam satu blok. Bahkan, terkadang di bawah satu atap. Agar suatu area menjadi hiperlokal, sebagian besar aktivitas sehari-hari seseorang harus dilakukan di sekitar atau dalam jarak yang bisa dicapai dengan berjalan kaki singkat," kata Ladouceur.

Hiperlokal bukan sesuatu yang baru. Ini adalah kebiasaan atau tradisi lama yang telah mengakar. Sepanjang ingatan kita, misalnya, dalam memilih tempat tinggal otomatis akan melihat pula kedekatan dengan pasar, sekolah, stasiun atau halte bus, kantor polisi, rumah sakit atau puskesmas. Jika semua itu ada, kita akan semakin merasa nyaman di rumah.

Baca juga: Menggapai Kota Inklusif demi Pulih dari Pandemi

Beberapa dekade terakhir, di bidang bisnis properti, jejak penerapan konsep hiperlokal diendus dalam kebijakan pembangunan superblok, yang ada kantor, rumah, tempat makan, dan hiburan dalam satu blok. Bahkan, seperti kata Ladouceur, di bawah satu atap.

Konsep yang sama turut diadopsi dalam program pembangunan berorientasi transit (transit-oriented development/TOD). TOD berupaya mengembangkan kawasan di sekitar area hub berbagai moda transportasi sebagai kawasan multifungsi, baik perkantoran, tempat usaha kecil sampai yang membutuhkan investasi kelas kakap, hunian vertikal untuk kelas menengah bawah hingga kelas menengah atas, hiburan, dan lain sebagainya.

Di masa kini, konsep dekat itu makin tak berjarak lagi seiring berkembangnya teknologi internet, teknologi informasi, yang digabungkan lagi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligent). Segala sesuatu ada di genggaman, di gawai kita.

Bagi kawasan perkotaan di Indonesia yang tumbuh berserak juga di pedalaman yang infrastruktur fisiknya masih jauh dari sempurna, teknologi digital bisa menjembatani kesulitan tersebut.

Infrastruktur digital menjadi penting untuk hadir di tengah perkampungan padat perkotaan. Aplikasi terpadu untuk pelaporan gangguan keamanan, layanan cepat untuk kesehatan, penanganan kebakaran hingga peringatan datangnya banjir mendesak untuk menjadi satu kesatuan layanan daring publik.

Penetrasi digital juga bakal membantu warga permukiman di pelosok Bogor atau Bekasi di Jawa Barat juga di Tangerang Raya, Banten, yang meskipun telah menyandang status sebagai kota, tetapi bahkan akses jalan saja ada yang belum terpenuhi. Setidaknya dengan akses digital ini, mereka lebih terkoneksi dengan pihak luar untuk berbagai layanan publik. Di era digital, mau tidak mau berbagai hal akan mudah diekspos ke publik. Kondisi ini bisa menjadi pendorong bagi pemerintah agar lebih meratakan pembangunan.

Namun, tentu saja demi mewujudkan kota digital itu, berarti pembangunan infrastruktur digital masuk dalam kategori mendesak untuk segera disempurnakan. Cakupan luas dan kestabilan jaringan internet, misalnya, harus dipastikan terwujud.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pelajar memanfaatkan akses internet gratis Jak WiFi dari Pemprov DKI Jakarta untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ) di Balai Warga RT 005 RW 002 Kelurahan Galur, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (2/9/2020).

Manfaat kota digital

Kota digital hakikatnya bukan sekadar menambah status menjadi kota cerdas dengan memasang spot internet nirkabel gratis di banyak tempat publik atau menggaungkan layanan satu atap, melainkan ternyata tidak memangkas panjang birokrasi. Bukan pula sekadar sebagai alat dan pasar bagi swasta yang kini marak mengikat warga dengan segala kemudahan, lalu memeras setiap detail data kita menjadi aset perusahaan aplikasi. Pemanfaatan data pribadi tersebut pada akhirnya mengeksploitasi pemilik data, bahkan bisa berujung ke tindak kriminal. Hal ini yang seharusnya bisa dicegah terjadi pada kota digital yang sesungguhnya.

Tujuan inti dari kota digital modern berbasis kecerdasan buatan harus berpusat pada interaksi yang menghormati privasi. Setiap interaksi harus sederhana dan menciptakan kenyamanan. Wargalah yang seharusnya mengontrol suatu layanan daring itu sesuai kebutuhan mereka atau tidak.

Kenyamanan dan kepuasan warga yang meningkat terhadap layanan kota digital mendongkrak daya saing serta daya tarik kota.

Aplikasi layanan publik nantinya diharapkan akan makin sederhana, menjaga data pribadi, dan desain yang berpusat pada manusia, serta menghilangkan biaya, kompleksitas, dan inefisiensi yang tidak perlu. Data pribadi warga memang bisa dibagikan demi pengembangan aplikasi layanan publik, tetapi tidak boleh tanpa seizin pemilik. Aturan hukum maupun perlindungan secara teknis butuh diperkuat sejak dini.

Lembaga Smart Cities Councilmenggarisbawahi bahwa mengadopsi teknologi digital yang aman bagi warganya menjadi keharusan yang tidak dapat ditolak oleh pemerintah dalam melaksanakan tugasnya melayani publik. Pemerintah pusat ataupun daerah turut didorong agar bekerja transparan, efektif, dan jauh dari praktik merugikan seperti korupsi. Menjadi digital berarti merangkul kepentingan seluruh warga dan menjadi instrumen penting dalam upaya mewujudkan kota-kota inklusif.

Dengan menjadi kota digital, berarti meningkatkan keterlibatan serta produktivitas warga. Selain itu, teknologi cerdas memudahkan antardepartemen pemerintah saling berkolaborasi dan membuka peluang bekerjasama dengan pihak swasta serta rakyatnya sendiri.

Tidak hanya itu, teknologi digital juga menyediakan cara yang lebih mudah dan efektif bagi warga untuk memantau pemerintahan kota. Transparansi dan akuntabilitas yang meningkat itu meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan.

Kenyamanan dan kepuasan warga yang meningkat mendongkrak daya saing serta daya tarik kota. Investor tak perlu banyak dirayu untuk datang dan menanamkan uangnya agar perekonomian kota makin kencang berputar. Kesejahteraan rakyat jualah nanti yang akan dicapai.

Senang dan puas seperti dirasakan Budi atau kemudahan pesan antar makanan secepat mungkin, selayaknya makin ditingkatkan dan diperluas cakupan dan jangkauannya kepada seluruh warga kota. Jadi, mumpung sedang masanya pembahasan anggaran pendapatan belanja negara dan daerah 2021, selayaknya jika pemerintah pusat dan daerah memprioritaskan program pembangunan infrastruktur layanan publik digital yang lebih luas mulai tahun depan.

Sumber daya yang diperlukan ada, tinggal kemauan pengambil kebijakan atau  birokrasi, pelayan publik sesungguhnya untuk mewujudkannya. Semoga.

Kompas, 28 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Lagu Daerah di Rindang Pohon Indonesia (FRANS SARTONO)


Frans Sartono, wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019.

Ivan Nestorman dengan lagu "Mata Leso Ge" mendapat penghargaan Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2020 untuk kategori Karya Produksi Lagu Berbahasa Daerah Terbaik, Kamis (26/11/2020). Dari 53 kategori, AMI memasukkan kategori lagu daerah sebagai karya yang mendapatkan penghargaan.

Upaya ini pantas diapresiasi dan memang seharusnya diberikan mengingat negeri ini memiliki sekitar 700 bahasa daerah. Ivan Nestorman adalah salah satu "pejuang" yang menggunakan bahasa daerah dalam lagu-lagunya. Ivan Nestorman (53), pria asal Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, ini menggunakan sejumlah bahasa daerah di NTT.

"Mata Leso Ge" artinya Matahariku ditulis Ivan dalam bahasa Manggarai. Seperti apakah bahasa Manggarai, kita kutipkan bait pertama dan refrain dari lagu "Mata Leso Ge" berikut ini.

Ivan Nestorman adalah salah satu 'pejuang' yang menggunakan bahasa daerah dalam lagu-lagunya.

"One hau de daku nai.../Moro mata ne.../Toe sendo pati sua/ Hanang latang me...."  Terjemahan bebasnya, "Kuberikan kasih dengan segenap hatiku, dan ini aku katakan sejujurnya. Aku tidak akan pernah membagi cinta. Hanya untukmu seorang..."

Kemudian disambung refrain: "Ai hau de, mata leso ge.../ Ai hau de, wulang mongko ge.../ Ai hau de, ntala gewang ge.../ Hanang hau, lo'o capu gula ge...." Yang artinya, "Karena engkau adalah matahariku; Karena engkau purnamaku; Karena engkau bintang pagiku; Karena engkau embun pagiku...."

Jika disimak, isi lirik dan ungkapan dalam "Mata Leso Ge" itu bisa dikatakan sudah standar umum dalam khazanah lagu pop di mana pun. Bukankah Stevie Wonder juga bilangyou are the Sunshine of my life. Dan Tompi dalam lagu "Menghunjam Jantungku" juga mengatakan "Seluruh jiwa kupersembahkan untukmu...." Dengan kata lain, lagu Ivan Nestorman itu merujuk pada kaidah-kaidah lagu pop, hanya saja ia menggunakan bahasa daerah.

Jika menggunakan hitung-hitungan statistik jumlah pengguna, bahasa Manggarai memang hanya digunakan di lingkup terbatas. Bahasa Manggarai digunakan di tiga kabupaten di NTT, yaitu Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur.

Jumlah penduduk di tiga kabupaten tersebut kurang dari 1juta jiwa. Orang Maumere yang berada di satu Pulau Flores pun mungkin tidak memahami bahasa Manggarai.

Jika menulis lagu itu dimaksud hanya sekadar untuk dipahami makna verbalnya, Ivan bisa saja menggubah lagu dalam bahasa Indonesia. "Pasar"-nya jelas luas, yaitu lebih dari 200 juta pendengar.

Baca juga: Pahlawan, di Mana Lagumu Kini?

Akan tetapi, bagi Ivan, lagu bukan sekadar bahasa yang digunakan. Melodi, nuansa, atmosfer, atau suasana batin, cara bernyanyi, dan juga bunyi-bunyi yang terucap dari lirik mempunyai kekuatan untuk berkomunikasi dengan pendengar.

Pada era 1960-an, lagu-lagu Latin terkenal dan banyak digemari di negeri ini meskipun sebagian besar pendengar tidak mengerti artinya. Begitu pula pada era 1980-an, lagu-lagu Sergio Mendes seperti "Mas Que Nada" yang berbahasa Brasil juga populer di Indonesia. Ivan yakin setiap bahasa mempunyai kekuatan masing-masing.

"Bahasa daerah mempunyaisound yang musikal dan bunyinya enak. Melodi yang diniatkan ditulis dalam bahasa daerah akan menjadi berbeda jika ditulis dalam bahasa Indonesia. Bahasa menggiring kita ke rasa musik yang lebih eksotik. Eksotisme itu yang saya jaga," kata Ivan yang sekitar 30 tahun ini menulis dan menyanyikan lagu dalam bahasa daerah yang tumbuh di NTT.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Musisi asal Flores, Ivan Nestorman (2016).

Kekayaan budaya

Sebenarnya Ivan juga menulis lagu dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, dengan menulis lagu dalam bahasa daerah, ia merasa ada sesuatu yang diperjuangkan, yaitu keberadaan bahasa daerah. Sebanyak 700 bahasa daerah adalah kekayaan budaya yang luar biasa.

Di dalamnya terkandung bukan hanya bahasa, melainkan juga beragam budaya, etika, kearifan lokal, termasuk juga musik. Ivan mempunyai misi untuk merawat bahasa ibu sebagai bagian dari kekayaan budaya di Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah, ia berharap orang mengenal kultur setiap pemilik bahasa daerah sebagai bagian dari Indonesia.

Kategori karya lagu berbahasa daerah dari Anugerah Musik Indonesia ini bisa membuka peluang bagi tumbuhnya lagu-lagu berbahasa daerah. Diharapkan, dengan populernya lagu berbahasa daerah, keberagaman Indonesia tertanamkan lewat budaya massa.

Baca juga: Oleh-oleh Rasa dari Indonesia

Pada era 1960-an lagu-lagu berbahasa daerah mendapat ruang papar yang luas di Radio Republik Indonesia. Lagu-lagu berbahasa Batak, Minang, Melayu, Banjar, Jawa, Sunda, Ambon, Makassar, dan Manado terdengar hampir setiap hari di radio.

Lagu dengan bahasa dan cengkok khas daerah itu dinikmati orang layaknya lagu pop. Tersebutlah lagu berbahasa Minang, "Ayam Den Lapeh" dan "Sansaro Badan", lagu Batak "Sigulempong", lantas "Goro-Gorone" dari Ambon, dan "Anging Mamiri" dari Makassar.

Kemudian, ada "Ampar-ampar Pisang" dengan bahasa Melayu Banjar dan lagu berbahasa Sunda, "Bubuy Bulan". Orang menikmati lagu-lagu tersebut meski tidak sepenuhnya memahami bahasanya.

KOMPAS/FRANS SARTONO

Penyanyi dan musisi Ivan Nestorman.

Seperti disebut di atas, Ivan juga tidak memikirkan apakah orang akan menyukai lagunya jika mereka tidak memahami arti kata-kata di dalam lagu tersebut. Ivan percaya, bahasa dalam lagu mempunyai emosi dan energi yang akan sampai ke perasaan pendengar meski mereka tidak memahami makna harfiahnya.

"Rasa itu lebih penting daripada pengertian (verbal). Rasa akan menghadirkan nuansa. Seluruh atmosfer dalam lagu itu akan menuntun perasaan pendengar. Tuntunan musik itu akan mengantar kita akan suatu rasa," kata Ivan.

Bahasa Manggarai adalah bahasa ibu Ivan. Di lidah atau dalam pelafalan Ivan, bahasa Manggarai terasa enak. Bahasa Manggarai disebutnya memiliki sound imagery atau citra dengaran yang enak dan terdengar perkusif.

Baca juga: Menjelajah Tanah Air lewat Lagu

Hal itu dibenarkan oleh drumer Gilang Ramadhan yang pernah melibatkan Ivan dalam grup Nera pada 2005. Bagi Gilang, bahasa Manggarai terdengar ritmis dan musikal. Dalam Nera, Ivan berperan sebagai penulis lagu serta menyanyi dalam bahasa Manggarai.

Ivan dengan bahasa Manggarai-nya juga pernah diajak Erwin Gutawa dalam album Chrisye Akustik (1996). Pada album tersebut, di lagu "Zamrud Khatulistiwa", Ivan memasukkancual, semacam tuturan vokal tradisi Flores dalam lagu.

Lirik Manggarai dan vokal Ivan juga digunakan dalam albumLukisan (1996) dari grup jazz Simak Dialog. Ivan juga muncul di album Franky Sahilatua, Perahu Retak (1995), dalam lagu "Ewada".

BENI LABAN

Penyanyi dan musisi Ivan Nestorman.

Neotradisi

Dari penggarapan musik, lagu-lagu Ivan terdengar tidak beda dengan lagu pop. Akan tetapi, sebenarnya dia juga menyusupkan elemen-elemen etnis dalam lagu-lagunya. Dalam arti, ia menjadikan musik etnis sebagai inspirasi dan materi untuk bereksplorasi.

Ia memberi tafsiran-tafsiran baru, ekspresi baru terhadap motif-motif lokal. Ivan menyebutnya sebagai neotradisi. Dengan konsep neotradisi ini, lagu-lagu Ivan bisa diterima oleh publik yang tidak memahami bahasa dalam lagunya. Salah satunya adalah lagu "Mogi" yang ditulis dan dinyanyikan Ivan dalam bahasa daerah Nage Keo, ini sebuah wilayah kabupaten di Pulau Flores, NTT.

Nusa Tenggara Timur itu anak kandung Indonesia. Setiap bentuk ekspresinya mempertegas eksistensi keindonesiaan.

Ivan memang tidak hanya menulis lagu dalam bahasa Manggarai, tetapi juga bahasa daerah lain yang hidup di NTT. Dalam lagu "Flores Da Bila", ia menggunakan bahasa Ngada; lagu "Flores Sare Pawe" dalam bahasa Ende; "Levo Lamalera" dalam bahasa Lamalera; juga lagu "Dungga" dalam bahasa Sumba Barat Daya. Dari satu wilayah kultural NTT saja, begitu beragamnya bahasa daerah. Suatu kekayaan budaya yang oleh Ivan Nestorman disuarakan dalam lagu.

"Nusa Tenggara Timur itu anak kandung Indonesia. Setiap bentuk ekspresinya mempertegas eksistensi keindonesiaan. Musikku mungkin hanya ranting atau daun pohon yang kehadirannya memperindah pohon Indonesia...," kata Ivan.

Lagu-lagu daerah jika diberi ruang papar yang luas akan semakin memperindah rindang pohon Indonesia….

Kompas, 28 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

PANDEMI COVID-19: Keberagamaan Minus Kemaslahatan Publik (HASIBULLAH SATRAWI)


KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga melintasi mural bertemakan kampanye protokol kesehatan Covid-19 di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Jumat (13/11/2020). Kampanye bahaya Covid-19 di sejumlah tempat belum sepenuhnya memberi efek jera kepada warga yang abai menjalankan protokol kesehatan. Pandemi Covid-19 hingga saat ini masih mengalami penambahan di beberapa daerahnya, termasuk Provinsi DKI Jakarta.

Pandemi Covid-19 tak ubahnya ujian bagi semua dan terkait dengan semua, tak terkecuali pola keberagamaan masyarakat. Melalui ujian Covid-19, terang terlihat pola keberagamaan sebagian masyarakat Indonesia yang masih cenderung mengedepankan kemaslahatan pribadi (mashlahah fardi) dibandingkan kemaslahatan publik (mashlahah ammah).

Sebagai contoh, walaupun sudah diimbau oleh para pemuka agama agar menjalankan ibadah di rumah masing-masing (untuk mencegah potensi penularan Covid-19), sebagian masyarakat masih tetap bersikeras melakukan ibadah berjemaah di rumah ibadah. Selain karena ada alasan hukum di balik ibadah berjemaah di rumah ibadah (seperti shalat Jumat dalam Islam yang berhukum wajib), juga karena adanya keuntungan yang lebih besar (pahala) bila melakukan ibadah berjemaah di rumah ibadah.

Karena itu, anjuran agar melakukan ibadah di rumah masing-masing nyaris tak berjalan sebagaimana diharapkan, baik pada saat-saat PSBB diberlakukan secara ketat pada awal pandemi dan terlebih sekarang setelah PSBB diperlonggar.

Padahal, dilihat dari perspektif kemaslahatan publik, melakukan ibadah berjemaah di rumah ibadah (pada masa pandemi) bisa dipahami sebagai bentuk mengedepankan kemaslahatan pribadi dibandingkan kemaslahatan publik. Karena keuntungan banyak (pahala) yang ada di balik pelaksanaan ibadah di rumah ibadah bersifat pribadi.

Artinya, pahala-pahala itu akan didapat dan dinikmati oleh yang bersangkutan secara pribadi. Sementara potensi penularan Covid-19 melalui ibadah berjemaah di rumah-rumah ibadah mengancam kemaslahatan dan kesehatan publik. Dalam konteks seperti ini, terang benderang pola keberagamaan sebagian masyarakat bersifat minus kemaslahatan publik.

Pribadi tapi bukan egois

Adalah benar bahwa sasaran norma (mukhatab) dari agama adalah pribadi-pribadi, bukan keluarga atau kelompok. Bahkan, pada akhirnya hal-hal yang bersifat keagamaan (khususnya terkait pengalaman ketuhanan) bersifat privasi dan tak bisa dimengerti secara sejati kecuali oleh yang bersangkutan dengan Tuhannya.

Dengan kata lain, hal-hal yang bersifat keagamaan pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi-pribadi. Dosa seseorang tidak akan ditanggung atau dipertanggungjawabkan kepada orang lain. Pun demikian sebaliknya, pahala orang lain tak akan diberikan kepada orang lain, baik orang lain tersebut dalam arti orangtua, anak, saudara, istri, suami, ataupun keluarga inti lainnya.

Namun, keterkaitan atau pertanggungjawaban agama yang bersifat pribadi sebagaimana di atas tak berarti sebuah egoisme; mau masuk surga atau mau selamat sendiri. Sebaliknya, sentuhan dan pertanggungjawaban agama yang bersifat pribadi diharapkan menyentuh sisi terdalam sekaligus paling dasar dari kehidupan ini.

Karena pada akhirnya "kehidupan pribadi bahkan privasi" seseorang menjadi fundamen bagi lingkup kehidupan yang lebih besar, dimulai dari kehidupan keluarga, kehidupan bernegara, atau bahkan kehidupan antarnegara-bangsa dalam konteks global. Baik atau buruknya kehidupan keluarga akan sangat ditentukan oleh kualitas kehidupan pribadi-privasi di dalamnya.

Pun demikian kehidupan bernegara akan sangat ditentukan oleh kehidupan keluarga yang ada di dalamnya. Begitu seterusnya hingga dalam lingkup kehidupan antarnegara-bangsa dalam konteks global.

AP/ANAND MANGNALE

Banyaknya petani yang turun aksi dengan tidak memperhatikan protokol kesehatan menjadi kekhawatiran tersendiri sejumlah kalangan di tengah tingginya angka kasus infeksi Covid-19 di India yang telah mencapai lebih dari 7 juta kasus, 27 November 2020.

Oleh karena itu, melalui sentuhan elemen paling dalam sekaligus paling dasar (pribadi-privasi) agama mengharapkan tercapainya perbaikan-perbaikan dalam kehidupan masyarakat di lingkaran terdekat (pribadi-keluarga) hingga lingkaran terjauh (antarnegara-bangsa secara global).

Sebagai contoh, dalam konteks lingkaran terdekat (pribadi-keluarga), Al-Quran menegaskan "Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...." (QS At-Tahrim [66]: 6). Sementara dalam konteks yang lebih besar (antanegara-bangsa secara global), Al Quran menegaskan visi kerahmatan universal,wama arsalnaka illa rahmatan lil'alamin (tidak aku utus Engkau—Muhammad—kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, QS Al-Anbiya [21]: 107).

Dalam konteks seperti ini, perbaikan-perbaikan ataupun ajaran-ajaran luhur agama yang ditujukan kepada pribadi-pribadi sesungguhnya bersifat antara. Dengan kata lain, nilai-nilai itu diharapkan bisa menjadi perbuatan di tingkat pribadi-pribadi sebelum akhirnya menjadi kebaikan kolektif di tingkat masyarakat yang lebih luas, mulai dari tataran keluarga, bermasyarakat, kehidupan bernegara, bahkan kehidupan umat manusia secara universal. Singkat kata, agama berawal dari kemaslahatan pribadi untuk mencapai kemaslahatan publik hingga kerahmatan universal.

Persoalannya adalah pola keberagamaan sebagian masyarakat belakangan justru berhenti di titik tujuan pertama; kemaslahatan pribadi. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa sebagian umat beragama tetap melakukan pelbagai macam kegiatan ibadah ataupun aktivitas keagamaan secara umum di ruang publik walaupun potensi penyebaran Covid-19 masih sangat tinggi dan mengancam kemaslahatan publik dan kesehatan bersama.

Alih-alih, logika keagamaan-fatalistik tak jarang digunakan untuk melanjutkan pola keberagamaan yang minus kemaslahatan publik; bahwa semuanya sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di kelompok agama tertentu, tetapi bersifat umum hampir di seluruh agama, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun.

Padahal, yang menjadi kewajiban bagi manusia justru adalah usahanya. Takdir adalah kuasa Tuhan. Namun, usaha adalah kewajiban manusia. Sejatinya manusia menyelesaikan kewajibannya terlebih dahulu sebelum menyebut semuanya sebagai takdir Tuhan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Rombongan mobil ambulans dan bus sekolah yang membawa pasien Covid-19 tiba di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Kamis (26/11/2020). Total kasus Covid-19 di Indonesia per 25 November 2020 tercatat mengalami penambahan sebanyak 5.534 kasus dengan total kasus terkonfirmasi mencapai 511.836 kasus.

Menuju kemaslahatan publik

Kemaslahatan publik mendapatkan perhatian yang sangat besar dari agama. Dalam Al Quran, contohnya, penyebutan istilah "orang-orang beriman" (allazina amanu) selalu dibarengi dengan istilah "amal saleh atau kebajikan" (wa 'amilus solihat). Hal ini bisa dijadikan sebagai dalil bahwa keimanan yang bersifat individual (kemaslahatan pribadi) sejatinya harus dilanjutkan menuju amal kebajikan yang bersifat sosial (kemaslahatan publik) dan memuncak pada kerahmatan universal.

Ibnu Taimiyah, salah satu ulama terkemuka pada abad pertengahan (1263-1328), menegaskan bahwa Imam Ahmad bin Hambal (salah satu dari empat imam mazhab terkemuka dalam hukum Islam) pernah ditanya tentang dua sosok yang lebih pantas untuk menjadi pemimpin (konteksnya peperangan), yaitu antara yang ahli ibadah (saleh) tetapi tidak mengetahui tentang tata kelola pemerintahan (taktik dan strategi perang) dengan orang yang ahli pemerintahan tetapi tidak ahli ibadah (thaleh).

Menurut Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad lebih memilih orang yang ahli pemerintahan (walaupun tidak ahli ibadah) untuk dijadikan sebagai pemimpin daripada orang yang ahli ibadah (tapi tidak ahli dalam pemerintahan). Alasan yang digunakan oleh Imam Ahmad untuk menguatkan pandangannya di atas sangat relevan dengan urgensi kemaslahatan publik yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Yaitu bahwa ibadah seseorang hanya akan kembali kepada yang bersangkutan. Sementara dampak buruk kebijakan seseorang akan dirasakan oleh masyarakat banyak (As-Siyasah As-Syar'iyyah fi Ishlâhi Ar-Râ'îy wa Ara'iyah, tanpa tahun).

Dalam konteks beribadah di tempat ibadah (ataupun aktivitas keagamaan lain di ruang publik) pada masa pandemi seperti sekarang, segala keuntungan (termasuk pahala) dari kegiatan tersebut hanya akan kembali pada diri orang yang bersangkutan (kemaslahatan pribadi). Sementara kemungkinan penularan virus dari akibat kegiatan ini akan berdampak buruk terhadap masyarakat luas.

Oleh karena itu, melakukan ibadah di rumah ibadah ataupun aktivitas keagamaan lain di ruang publik pada masa pandemi seperti sekarang bisa dipahami sebentuk pengutamaan kemaslahatan pribadi daripada kemaslahatan publik (sebagaimana telah disampaikan di atas).

Dalam hemat penulis, kemaslahatan publik harus mengalami proses pengarusutamaan dalam tradisi keberagamaan masyarakat ke depan. Mengingat kemaslahatan publik pada akhirnya menjadi salah satu tujuan pokok dari agama-agama.

Dalam tradisi hukum Islam, contohnya, kemaslahatan publik menjadi salah satu semangat utama. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya kaidah hukum yang dibangun di atas semangat pengarusutamaan kemaslahatan publik dibandingkan kemaslahatan yang lebih kecil, seperti kemaslahatan pribadi. Kaidah-kaidah ini tentu dibangun di atas landasan Al Quran dan hadis Nabi sebagai sumber utama dalam hukum Islam.

Oleh karena itu, pengarusutamaan kemaslahatan publik harus dijadikan sebagai tujuan sekaligus kerja sama agama-agama ke depan. Hingga agama bukan melulu tentang kebaikan personal yang bergerak ke dalam, melainkan dan sejatinya bisa menjadi kebaikan publik yang bergerak ke luar hingga pada tataran global.

(Hasibullah Satrawi, Penulis adalah Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir. Warga NU Biasa)

Kompas, 28 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger