Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 Oktober 2020

RESENSI BUKU: Pertempuran Panjang Melawan Kanker (FRANSISCA RIA SUSANTI)


Sampul buku Kanker, Biografi Suatu Penyakit(KPG, 2020)

Judul buku: Kanker, Biografi Suatu Penyakit

Penulis: Siddharta Mukherjee

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tahun Terbit: Mei, 2020

Jumlah halaman: 658 halaman

ISBN: 978-602-481-368-0

Pada suatu hari di tahun 1999, Germaine Berne, seorang psikolog Amerika Serikat yang periang, merasakan perutnya melilit dan mual luar biasa, disertai rasa begah tak tertahankan. Saat ia memeriksakan diri di Baptist Hospital di Montgomery, Alabama, hasil CAT scan menunjukkan ada massa padat bersarang di perutnya sepanjang 20 sentimeter yang mendesak lambungnya. Hasil biopsi yang ia dapatkan pada Januari 2000 menunjukkan, massa padat tersebut adalah tumor gastrointestinal stromal (GIST), jenis kanker langka.

Dalam waktu singkat, kanker tersebut telah bermetastasis ke seluruh tubuh. Pembedahan muskil dilakukan karena penyebaran yang masif, sementara kemoterapi tidak akan efektif. Saat itu belum ada jenis obat kemoterapi yang bisa menaklukkan GIST. Germaine tak punya harapan. Ia bersiap mati setelah dokter yang menanganinya menyuruhnya pulang. Ia tanda tangani surat-surat, melunasi semua utang, dan menulis wasiat.

Ia bersiap mati setelah dokter yang menanganinya menyuruhnya pulang.

Namun, sembari menunggu waktu kematian, ia berselancar di internet dan bertemu komunitas penderita GIST. Dari komunitas inilah, Germaine membaca informasi tentang Gleveec atau imatinib, obat temuan Brian Druker yang sukses melawan leukemia mielogenus kronis, tapi juga terbukti berhasil menonaktifkan c-kit—gen pendorong GIST. Germaine menemukan harapan.

Panjang jalan yang dilalui Germaine untuk mendapatkan obat tersebut karena Gleveec masih dalam taraf uji coba. Namun, pada Agustus 2001, di sebuah rumah sakit pendidikan, Germaine berhasil mendapatkan Gleveec. Sebulan kemudian, tumornya menyusut, energinya pulih, dan ia bangkit dari kematian.

Kesembuhan Germaine adalah keajaiban medis. Koran-koran di Montgomery membagikan kabar gembira ini. Namun, remisi—istilah "sembuh" yang digunakan untuk pasien kanker—Germaine tak lama. Pada 2004, kanker tersebut datang kembali. Gleveec tak lagi mempan menidurkan GIST. Namun, Germaine menolak menyerah. Ia kembali menjelajahi internet dan menemukan informasi bahwa Gleveec generasi kedua sedang diuji coba. Germaine menjajalnya. Namun, obat itu tak tahan lama.

Pada Februari 2005, kanker Germaine sudah tak terkendali. Rumah sakit akhirnya memulangkannya dan Germaine bersiap menyongsong lagi kematian yang sempat diprediksi terjadi pada tahun 2000. Germaine gagal mengalahkan kanker, tapi setidaknya ia bisa memperpanjang waktu hidupnya hingga lima tahun.

Germaine-lah yang agaknya menjadi salah satu inspirasi Siddharta Mukherjee—seorang onkolog dan hematolog Amerika Serikat keturunan India—untuk menulis buku setebal 658 halaman tentang kanker dari sisi sejarah medis dan sosial. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis pada Februari 2011, Siddharta menyebut bahwa buku tersebut merupakan jawaban panjang terhadap pertanyaan salah seorang pasiennya yang menderita kanker perut agresif.

Pasien tersebut mengalami kekambuhan meski telah menjalani kemoterapi. Saat pasien tersebut harus dikemoterapi lagi, ia mengatakan: "Saya mau melanjutkan, tapi saya perlu tahu apa yang saya lawan." Pernyataan pasien tersebut mengusik Siddharta. "Buku saya adalah upaya menjawab pertanyaan dia dengan menelusuri asal-usul kanker dan menunjukkan perkembangannya dalam sejarah" (hlm 577).

Buku saya adalah upaya menjawab pertanyaan dia dengan menelusuri asal-usul kanker dan menunjukkan perkembangannya dalam sejarah (hlm 577).

Tak ada peluru ajaib

Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris dengan judul The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer pada 2010. Sepuluh tahun kemudian, KPG menerbitkan edisi Indonesia-nya dengan judul Kanker, Biografi Suatu Penyakit.

Siddharta adalah dokter kanker lulusan Stanford University dan Harvard Medical School yang menyukai sastra. Maka, ketika ia memutuskan menulis jawaban panjang untuk pasiennya tentang kanker, ia menghasilkan sebuah buku dengan narasi yang memikat dan detail deskripsi yang memukau—kemampuan yang dimiliki sedikit penulis. Kedalaman pengetahuan dan kepiawaian bercerita mengantar Siddharta menggondol penghargan Pulitzer pada 2011 untuk kategori karya nonfiksi.

Buku yang ditulis Siddharta dalam waktu enam tahun (2004-2010) ini menempatkan Sidney Farber—bapak kemoteropi modern—sebagai tokoh sentral. Siddharta mengisahkan detail riset yang dilakukan Farber hingga persekutuan Farber dengan Mary Woodard Lasker—seorang filantropis, sosialita, dan pelobi yang unggul—dalam mendirikan American Cancer Society.

Namun, dari perjalanan Farber, Siddharta juga mengulas sejarah kanker baik dari sisi medis, sosial, maupun politik dengan alur penceritaan gabungan: kilas balik dan kronologis.

Membaca buku ini, pembaca akan dituntun untuk memahami bahwa apa yang diyakini banyak orang hingga hari ini tentang tindakan pembedahan dan radiasi yang justru akan menyebarluaskan kanker serta pasien kanker akan mati lebih cepat dengan kemoterapi memiliki basis historisnya.

Perang melawan kanker, menurut Siddharta, tak hanya membutuhkan senjata, tetapi juga pejuang, tentara, yang terluka, dan yang bertahan hidup.

Tindakan pembedahan untuk menangani kanker sampai abad ke-16 masih menjadi masalah mengerikan. Belum ditemukannya antiseptik dan anestesi saat itu membuat pasien harus berhadapan dengan rasa sakit tak tertahankan karena operasi dilakukan tanpa bius.

Hal yang jamak di masa itu jika para dokter bedah membakar tumor dengan menggunakan solder besi yang dipanaskan dengan batubara. Walhasil, banyak pasien kanker yang meninggal bukan karena penyakit kankernya, melainkan gara-gara pembedahan itu sendiri.

Hal yang jamak di masa itu jika para dokter bedah membakar tumor dengan menggunakan solder besi yang dipanaskan dengan batubara.

Namun, seiring penemuan antiseptik dan anestesi, pembedahan menjadi tindakan yang paling umum digunakan untuk menangani kanker, terutama kanker padat seperti kanker ginjal, kanker pankreas, kanker serviks, dan kanker payudara. Khusus untuk kanker payudara, pendekatan mastektomi radikal—mengangkat payudara hingga sampai otot dada di bawahnya dan kelenjar getah bening—yang diperkenalkan oleh William Stewart Haltsted pada akhir abad ke-17 menjadi acuan banyak pihak.

Namun, sejumlah penelitian kemudian menunjukkan bahwa mastektomi radikal juga tidak bisa menghentikan kekambuhan kanker, terlebih kanker yang sudah bermetastasis. Sementara untuk kanker payudara yang bersifal lokal atau masih stadium awal, tindakan pembedahan lokal sama efektifnya dengan mastektomi radikal.

Hal sama terjadi pada terapi radiasi. Terapi radiasi hanya akan efektif untuk kanker yang bersifat lokal. Sementara untuk kanker yang sudah bermetastasis, radiasi tak akan efektif. Lebih parah lagi, paparan radiasi pada pasien kanker berpotensi menimbulkan jenis kanker baru pada pasien tersebut, bertahun-tahun setelah pasien mengalami remisi.

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Kiri ke kanan, Aysa Aurelya Maharani, Anggina Rafitri, dan Yazid Rafli Akbar. Tiga siswa SMAN 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang mengembangkan penelitian mengenai tanaman bajakah sebagai obat potensial bagi kanker. Mereka menghadiri Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia di Jakarta, Sabtu (17/8/2019).

Kemoterapi setali tiga uang. Obat kemo yang pada dasarnya adalah racun ini menimbulkan efek yang berat bagi pasien kanker karena ia tak hanya menyerang sel kanker, tapi juga menyasar sel normal di dalam tubuh. Tidak ada jaminan pula bahwa pasien yang telah menjalani kemoterapi tak mengalami kekambuhan di masa depan. "Seperti radiasi, kemoterapi sitotoksik terbukti merupakan pedang bermata dua: di satu sisi menyembuhkan kanker dan di sisi lain menyebabkan kanker" (hlm 203).

Terapi kombinasi—bedah, radiasi, dan kemoterapi—yang diterima seorang pasien juga belum menjamin sel kanker tidak muncul lagi. Kini, saat para dokter mulai fokus pada terapi target, salah satunya obat Herceptin untuk pasien kanker payudara Her2 positif, perang melawan kanker tetap belum berakhir.

Kanker pada akhirnya bukan sebuah penyakit, melainkan banyak penyakit. Dengan demikian, tidak ada satu pun peluru ajaib yang bisa membasmi seluruh kanker. Ada pasien seperti Carla Reed—pasien leukemia yang ditangani Siddharta dan dikisahkan dalam prolog buku ini—yang mencapai remisi penuh sejak ia didiagnosis pada 2004. Carla masih hidup hingga buku tersebut diterbitkan. Namun, ada pula pasien seperti Germaine Berne yang pada akhirnya harus menyongsong kematiannya.

Kanker pada akhirnya bukan sebuah penyakit, melainkan banyak penyakit.

Terlalu Amerika

Sayangnya, buku ini memang hanya fokus pada perkembangan penanganan kanker di Amerika meski Siddharta menyinggung sedikit inovasi dan inisiatif medis di sejumlah negara Eropa. Siddharta bahkan secara detail menggambarkan bagaimana pertarungan politik di parlemen dan Gedung Putih punya kontribusi terhadap berhasil atau gagalnya program perang melawan kanker.

Bahkan, ia menceritakan dengan sangat baik bagaimana kelompok advokasi kanker menggunakan momentum pendaratan di Bulan tahun 1969 guna mendesak senat dan Pemerintah Amerika Serikat memberikan perhatian lebih terhadap program penanganan kanker.

Siddharta hampir tidak memberikan ruang pada perkembangan penanganan kanker di kawasan Asia. Barangkali karena lompatan medis terkait penanganan kanker memang terpusat di Benua Amerika dan Eropa. Selain itu, Siddharta memang sama sekali tidak memberikan perhatian pada keberhasilan penanganan kanker yang belum terbukti secara klinis. Ia tidak terlalu yakin bahwa diet makanan bisa mencegah kekambuhan kanker dan sama sekali tidak percaya bahwa pikiran positif akan mematikan sel kanker.

Siddharta hampir tidak memberikan ruang pada perkembangan penanganan kanker di kawasan Asia.

Namun, lepas dari hal tersebut, buku ini benar-benar sebuah sajian yang "mengenyangkan" dari sisi kedalaman pengetahuan tentang kanker dan cecapan rasa bahasanya. Edisi Indonesia yang diterbitkan KPG diterjemahkan dengan cukup baik meski sejumlah typo yang ditemui di sana-sini sedikit mengganggu keasyikan membaca.

Potongan percakapan Alice dan Red Queen dalam novel Looking Through the Looking Glass karya Lewis Caroll yang dikutip dan digunakan Siddharta untuk menutup bukunya memberikan gambar yang tepat tentang pertempuran panjang manusia melawan kanker. Kita harus terus berlari hanya untuk tetap berada di tempat.

(Fransisca Ria Susanti, jurnalis cum penulis, pejuang kanker)
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

CATATAN URBAN: Bijak Berlibur Saat Cuti Bersama (NELI TRIANA)


KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga yang beramai-ramai menjadikan kebun teh di Puncak, Kabupaten Bogor, sebagai tempat rekreasi, Minggu (28/6/2020).

Penawaran menarik datang bertubi-tubi melalui surat elektronik. Layanan kartu kredit bank swasta dan pemerintah menjajakan promosi potongan harga tiket pesawat dan pemesanan kamar hotel. Kemudahan pun diberikan berupa cicilan dengan bunga ringan atas pembelian paket promosi mereka.

Perusahaan penerbangan dan pengelola hotel pun tak kalah kenes menginformasikan kesiapan mereka menyelenggarakan perjalanan dan pengalaman berlibur yang dijamin tak bakal menyalahi aturan kesehatan pencegahan penularan Covid-19.

Coba pula mengintip berbagai situs layanan perdagangan elektronik. Di salah satu situs e-dagang, misalnya, ada diskon 5 persen setiap pembelian tiket moda transportasi dengan tujuan ke mana saja dan potongan Rp 500.000 untuk harga penginapan di mana saja. Ada juga voucer Rp 3 juta untuk sewa penginapan yang bisa menampung empat orang selama 3 hari 4 malam di Bali.

Iming-iming diskon dan paket murah meriah itu menjadi ujian berat bagi setiap insan yang mendamba berlibur dan bersantai. Apalagi yang sudah bosan dan lelah jiwa raga menjalani tujuh bulan pandemi. Dan lagi, sekarang di mana-mana pelonggaran pembatasan sosial sudah terjadi. Status kota-kota Jabodetabek sebagai zona risiko tinggi dan zona risiko sedang, yang berarti potensi penyebaran virus korona baru dan penularan wabah masih tinggi, terkesan tidak terlalu menjadi soal lagi.

Untuk bepergian dengan kendaraan bermotor pribadi sudah sejak berbulan lalu tidak lagi dibatasi. Titik pemeriksaan di jalan-jalan tol sudah menghilang, setidaknya sejak Juni-Juli lalu.

Kini, kebijakan cuti bersama oleh pemerintah diberlakukan dan menambah amunisi bagi warga untuk kembali melanglang buana. Disusul kemudian, pelonggaran aturan bepergian menggunakan moda transportasi umum. Selama cuti bersama, misalnya, ada kebijakan penambahan layanan perjalanan kereta jarak jauh yang berarti minimal peluang mendapat tiket dari Jakarta ke kota-kota di Jawa semakin tinggi.

Nyatanya ada setumpuk umpan diberikan dengan rayuan "kebebasan" atas nama adaptasi kebiasaan baru, tetapi tali kekang tetap ditarik kencang.

Namun, kemudian muncul pula Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada setiap kepala daerah untuk menekankan agar warganya tidak keluar kota selama cuti bersama. Pembatasan, paling tidak tertulis di atas kertas serta dari pernyataan resmi para pejabat di pusat dan daerah, tetap dilakukan. Setiap obyek wisata dan hotel atau tempat penginapan resmi hanya boleh menampung 25 persen hingga 50 persen pengunjung dari total kapasitas normalnya.

Polisi, TNI, dan aparat dari setiap pemerintah daerah dikerahkan menjaga tempat wisata, akses keluar masuk setiap wilayah, sampai kebijakan menambah kapasitas tes cepat dan tes usap reaksi berantai polimerase (PCR). Di sejumlah daerah, seperti Tangerang Raya di Banten bersiap menambah ruang isolasi mandiri untuk mengantisipasi lonjakan kasus, baik pascacuti bersama maupun pascademonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja, beberapa pekan terakhir.

Tim FKM UI bersama Bappenas memproyeksikan kasus Covid-19 di Indonesia diperkirakan baru mereda pada awal 2022. Sumber: presentasi tim UI.

Namun, kebijakan itu laksana janji manis semata. Kenyataannya, fasilitas untuk tes, mulai tenaga kesehatan hingga alat kesehatannya, masih terbatas. Hanya di daerah tertentu, seperti di DKI untuk tingkat provinsi dan di Surabaya untuk level daerah tingkat dua yang dinilai sudah memadai. Ini belum bicara ketersediaan ruang perawatan bagi pasien, baik yang sakit berat maupun ringan, serta ruang untuk isolasi mandiri bagi orang tanpa gejala.

Sepanjang Juni, Juli, dan Agustus lalu, setelah pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap pertama di Jakarta yang juga diikuti kebijakan serupa di kawasan sekitar Ibu Kota, jumlah kasus melonjak drastis. Keterisian ruang perawatan di sebagian besar fasilitas kesehatan di Jabodetabek di atas 80 persen, bahkan ada yang telah mendekati 100 persen.‎

Sebagian perusahaan, sudah beberapa bulan ini menerapkan pengetatan pengawasan atas para karyawannya. Tanpa tugas resmi dari kantor, risiko dampak kepergian karyawan ke luar kota, ke lokasi obyek wisata, hingga makan bersama lebih dari 3-5 orang, menjadi tanggung jawab  yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap orang mau tidak mau wajib menyiapkan biaya untuk tes cepat, tes usap, dan biaya perawatan kesehatan atau beban kerugian jika harus isolasi mandiri sehingga pekerjaannya terganggu.

Memang inilah yang sedang berlangsung. Nyatanya ada setumpuk umpan diberikan dengan rayuan "kebebasan" atas nama adaptasi kebiasaan baru, tetapi tali kekang tetap ditarik kencang. Saat pemerintah belum mampu menjamin pengendalian wabah sepenuhnya, tanggung jawab penanganan pandemi kini disebar merata antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Publik tetap menanggung beban terbesar karena sejak awal terdampak, baik terjangkit korona maupun terganggunya kegiatan sehari-hari dan ekonomi keluarganya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural dengan tulisan ajakan untuk melindungi keluarga dengan tetap beraktivitas di rumah menghiasi tembok rumah warga di Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (10/5/2020).

Untuk itu, godaan cuti besar pekan depan ada baiknya ditanggapi dengan kepala dingin. Begitu pula hujan tawaran diskon paket liburan dari berbagai platform.

Jika memang bisa menjamin diri sendiri dan orang lain tidak bakal tertular penyakit, bepergian barangkali tak jadi masalah. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin? Jika ada keraguan, mengisi libur di rumah sendiri di lingkungan sekitar yang telah dikenal baik seluk beluknya masih menjadi pilihan cerdas.

Kompas, 24 Oktober 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

PEMBELAJARAN JARAK JAUH: Berhamba ”Sang Anak” (KI SUGENG SUBAGYA)


PEMBELAJARAN JARAK JAUH

Berhamba "Sang Anak"

Dalam menyelenggarakan PJJ, guru hendaknya memperhatikan kesulitan yang dihadapi siswa dan orangtua siswa. Setidaknya guru mampu menerapkan prinsip-prinsip PJJ yang baik dan benar agar orangtua siap sebagai pendamping.

OlehKI SUGENG SUBAGYA
·6 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO

Zikro, guru taman kanak-kanak (TK), mengajar siswa didiknya melalui pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan telepon seluler di ruang kelas TK Kartini, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Senin (10/8/2020).

Menjaga suasana belajar bagi anak-anak dalam situasi pandemi Covid-19 bukan pekerjaan mudah. Kebijakan pemerintah yang tidak dibarengi dengan upaya komprehensif tidak akan banyak berarti. Akhirnya, anak didik yang paling terkorbankan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan bantuan kuota internet dalam rangka pembelajaran jarak jauh (PJJ). Siswa mendapat 35 gigabyte (GB) per bulan, guru mendapat 42 GB per bulan, dan mahasiswa dan dosen 50 GB per bulan dalam kurun waktu 4 bulan.

Kebijakan yang patut diapresiasi sekalipun belum cukup untuk mengentas persoalan PJJ, khususnya, dan menyelamatkan anak-anak dari terpaan Covid-19 pada umumnya.

Belum lama ini penulis mendapat pesan nyasar lewat aplikasi Whatsapp peranti telepon seluler. Pertama yang muncul sebuah gambar. Tampak soal ujian tengah semester kelas IV SD/MI. Gambar difoto asal-asalan. Karena itu, tidak dapat terbaca dengan jelas.

Sesaat kemudian muncul pesan berikutnya. Bunyinya, "Bapak/Ibu orangtua siswa, berikut ini tugas untuk putra/putri Anda. Mengerjakan 40 soal Matematika. Soal ditulis ulang di lembar jawab. Jawaban harus disertai dengan caranya dan tidak langsung menulis jawabannya. Besok pagi, paling lambat jam 8.00 lembar jawab di antar ke sekolah".

Membaca teks pesan itu, penulis mengambil kesimpulan, jika ini guru yang membuat, berarti guru yang malas. Ternyata pesan itu datang dari salah satu orangtua murid di sebuah sekolah. Penulis tidak tahu persis apa maunya. Pesan forward dari nomor yang tidak dikenal.

Ternyata pesan itu datang dari salah satu orangtua murid di sebuah sekolah.

Konfirmasi dari banyak orangtua murid, fenomena semacam itu tidak sedikit jumlahnya. Kesulitan orangtua dalam pendampingan PJJ tidak hanya pada penguasaan materi pelajaran, tetapi juga karena kesulitan memahami bahan ajar, baik fisik maupun kontennya. Guru yang menyiapkan bahan ajar jauh dari prinsip-prinsip PJJ yang baik dan benar. Anak-anak menjadi korban. Orangtua yang tidak sabar bisa saja membiarkan anaknya dalam kesulitan belajar, atau sebaliknya menggunakan cara kekerasan dalam "menaklukan anak".

Ketika nalar sudah buntu, tidak sedikit orangtua yang kemudian mendesak agar sekolah segera dibuka sekalipun wabah belum mereda. Desakan membuka sekolah hanya karena kesulitan pendampingan PJJ bukan solusi terbaik. Jika direalisasi, bisa jadi anak-anak kembali menjadi korban. Sekolah/madrasah menjadi sumber penularan Covid-19 terhadap anak-anak.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Seorang ibu membimbing anaknya saat pembelajaran jarak jauh di warungnya yang dikelilingi genangan banjir rob akibat air pasang di kawasan dermaga Pelabuhan Kaliadem, Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu (21/10/2020). Banjir di kawasan tersebut sudah berlangsung empat hari berturut-turut. Menurut para pedagang di sekitar dermaga, banjir rob kali ini merupakan banjir yang paling parah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Menjaga suasana belajar dalam masa pandemi Covid-19 sungguh tidak mudah. Memerlukan cara berpikir dan bertindak komprehensif penuh kehati-hatian. Bahaya pandemi Covid-19 tidak bisa dianggap enteng. Banyak korban sudah berjatuhan. Semua segi kehidupan terdampak oleh merebaknya Covid-19. Kehidupan sosial poranda, kehidupan ekonomi nyaris masuk jurang resesi. Jangan sampai anak-anak generasi penerus bangsa kehilangan masa depan karena terdampak Covid-19 dan kita tidak mampu melindunginya.

"Sang Anak"

Guru, orangtua murid, dan siapa pun yang bekepentingan dengan usaha menjaga suasana belajar dan sekaligus menyelamatkan anak-anak dari terpaan Covid-19 hendaklah mau kembali belajar. Belajar untuk berhamba kepada "Sang Anak". Untuk membuka sekolah normal kembali, hendaklah dipastikan "Sang Anak" tidak menjadi korban. Untuk menerapkan PJJ sebagai upaya menjaga suasana belajar pada masa pandemi, hendaklah dipastikan "Sang Anak" tidak menjadi korban.

Untuk menerapkan PJJ sebagai upaya menjaga suasana belajar pada masa pandemi, hendaklah dipastikan 'Sang Anak' tidak menjadi korban.

Mengapa "Sang Anak" ditulis dalam huruf kapital di awal kata? Penulisan ini terinspirasi oleh alam gagasan besar Ki Hadjar Dewantara, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Secara tekstual, diksi Sang Anak dapat ditemui pada Pasal ke-7 Asas Tamansiswa 1922. "… dengan tidak terikat lahir atau batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan dengan Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan berhamba kepada Sang Anak."

Narasi yang tidak istimewa. Rumusannya lumrah sebagai landasan perjuangan sebuah organisasi sebesar Tamansiswa. Namun, apabila dirunut lebih jauh, inilah narasi sejarah besar yang diwarnai dengan kisah manusiawi yang menyentuh dan mengharukan.

Berawal dari konsekuensi perjuangan seorang patriot sejati. Tulisan dengan judul "Als ik een Nederlander was" mengantarkan Soewardi Soerjaningrat masuk penjara. Harus mengalami hukuman pembuangan ke negeri Belanda. Soewardi menjalani pembuangan dalam suasana bulan madu. Berangkat ke negeri Belanda sesaat setelah melakukan pernikahan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Syauhuki, siswa kelas empat SD Negeri Gandaria Utara 03, menyelesaikan tugas dalam pembelajaran jarak jauh dengan bimbingan ibunya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (23/9/2020).

Masa pembuangan yang tidak kurang dari 6 tahun dinamikanya luar biasa. Putri pertamanya, Niken Wandansari, dan putra keduanya, Subroto Hariyo Mataram, lahir di negeri kincir angin itu. Dari sini diksi kontekstual "Sang Anak" muncul.

Suatu ketika Niken Wandansari yang masih anak balita rewel. Karena dirasa mengganggu ayahandanya yang sedang menyelesaikan suatu pekerjaan, Niken kecil ditaruh di luar ruangan tempat tinggal. Saking asyiknya menyelesaikan pekerjaan, Soewardi lupa membawa Niken kecil masuk rumah. Cuaca negeri Belanda saat itu sedang musim dingin. Keruan saja anak balita itu didapati tak mampu menangis lagi dan kulitnya membiru karena kedinginan.

Setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit, Niken Wandansari terselamatkan. Soewardi merasa sangat bersalah dan begitu sangat menyesalinya telah menyebabkan putrinya sangat menderita. Serta-merta terungkap ucapan dari lubuk hati terdalam, "dalam hidupnya akan berhamba kepada Sang Anak".

Serta-merta terungkap ucapan dari lubuk hati terdalam, 'dalam hidupnya akan berhamba kepada Sang Anak'.

Ucapan itulah yang kemudian abadi menjadi salah satu pasal dari Asas Tamansiswa 1922. Asas inilah yang merupakan salah satu sifat hakikat Tamansiswa yang tidak boleh berubah dan/atau diubah selama nama Tamansiswa tetap terpakai.

Dalam konteks pendidikan dalam arti luas, berhamba kepada Sang Anak menjadi ajaran ketamansiswaan. Bukan denotatifnya, melainkan inspirasi bagi setiap pendidik dituntut tulus ikhlas serta rela berkorban untuk kemaslahatan, keselamatan, dan kemuliaan anak.

Di tengah pandemi Covid-19, apa pun alasannya, kemaslahatan, keselamatan, dan kemuliaan anak merupakan prioritas utama. Melarang anak-anak pergi ke sekolah demi kesehatannya agar tidak tertular dan menularkan virus merupakan salah satu cara menjamin kemaslahatan anak. Tetapi, menjamin anak-anak tetap dapat belajar karena itu hak asasinya juga kemaslahatan yang lainnya. Menyediakan fasilitas memadai untuk terselenggaranya pembelajaran secara daring yang efektif merupakan bentuk berhamba "Sang Anak".

ARSIP PRIBADI

Veronika Keneka Demon, guru SMP Katolik Santo Yoseph Noelbaki, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, melaksanakan pembelajaran di bawah pohon pada Selasa (20/10/2020). Cara kreatif ini dilakukan guru dalam situasi pandemi Covid-19.

Berhamba "Sang Anak" dapat dilakukan dengan menaruh perhatian dan memberi fasilitas atas kesulitan anak-anak mengakses PJJ. Tidak sedikit anak-anak yang tidak memilikias telepon seluler atau peranti internet lainnya. Masih banyak anak-anak yang tinggal di wilayah tidak ada sinyal internet. Banyak sekali anak-anak yang orang tuanya tidak mampu membelikan kuota data interne, dan sebagainya. Inilah ladang berhamba "Sang Anak".

Dalam menyelenggarakan PJJ, guru hendaknya memperhatikan kesulitan yang dihadapi siswa dan orangtua siswa. Setidaknya guru mampu menerapkan prinsip-prinsip PJJ yang baik dan benar agar orangtua dapat memosikan diri sebagai pendamping PJJ yang tepat. Jika terpaksa harus terjadi penurunan kualitas pembelajaran yang pada gilirannya dapat menurunkan mutu pendidikan secara nasional, itulah konsekuensi logis yang harus ditanggung ketika kita lebih memilih "berhamba Sang Anak".

(Ki Sugeng Subagya, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta)

Kompas, 24 Oktober 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

HARI SANTRI NASIONAL 2020: Meneguhkan Khitah Kebangsaan Santri (MUHBIB ABDUL WAHAB)


KOMPAS/YOLA SASTRA

mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif meninggalkan lokasi seusai acara peresmian rumah susun dan ruang kelas baru Pondok Pesantren Modern Terpadu Prof. Dr. Hamka II Padang di Padang, Sumatera Barat, Selasa (3/9/2019).

Sehari menjelang peringatan Hari Santri Nasional, 22 Oktober, Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, KH. Dr. (Hc.) Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. Wafatnya putra pertama pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, KH. Imam Zarkasyi, merupakan berita duka mendalam, terutama bagi keluarga besar Gontor dan komunitas pesantren di persada nusantara.

Pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren), termasuk Pondok Modern Darussalam Gontor, merupakan aset umat dan bangsa yang sangat strategis. Karena eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa. Pesantren, para kiai dan santri terlibat langsung dan berkontribusi sangat signifikan dalam perang melawan penjajah Belanda dan Jepang, hingga perjuangan meraih kemerdekaan RI.

Setelah kemerdekaan, pesantren berperan aktif sebagai garda terdepan dalam mempertahankan dan mengawal NKRI, terutama dari pengkhianatan dan usaha percobaan kudeta PKI (1948 dan 1965). Penting dicatat, bahwa di antara pendiri bangsa ini (founding fathers), Ki Bagus Hadikusumo dan KH. A. Wahid Hasyim, adalah santri sejati yang berperan besar dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Soedirman, Jenderal Besar, pemimpin perang gerilya juga seorang santri tulen yang pernah diwakafkan Muhammadiyah untuk bangsa Indonesia.

Penting dicatat, bahwa di antara pendiri bangsa ini (founding fathers), Ki Bagus Hadikusumo dan KH. A. Wahid Hasyim, adalah santri sejati yang berperan besar dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara.

Namun demikian, pesantren kerap "dimarginalisasikan" karena sistem pendidikannya dinilai tradisional, dikesankan "ndeso", kolot, dan tidak kompatibel dengan kemajuan sains dan teknologi. Beberapa oknum pelaku aksi terorisme di Tanah Air beberapa tahun terakhir juga dialamatkan kepada pesantren tertentu yang "berhaluan keras dan radikal".

Perjuangan komunitas santri dalam meningkatkan citra positif dan kualitas pendidikannya, antara lain melalui proses politik dan legislasi di DPR RI, membuahkan hasil dengan ditetapkannya Undang-undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah anak-anak yang mengikuti jamaah pengajian anak di Kampung Tapos, Kelurahan Tapos, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat, melakukan pawai jalan kaki untuk menyambut Hari Santri Nasional, Kamis (22/10/2020). Semangat santri menuju kemandirian serta pentingnya menjaga kesehatan menjadi tema yang diserukan anak-anak yang merayakan peringatan di tengah masa pandemi ini.

Wajah pesantren

Apakah dengan terbitnya UU tersebut masyarakat pesantren menjadi "partisan" dan berorientasi politik aliran? Pengesahan UU tersebut oleh DPR RI pada 24 September 2019 merupakan buah "perjuangan politik" yang diharapkan dapat membawa perubahan signifikan pada pemajuan sistem pendidikan pesantren di masa depan.

Bagi sebagian kalangan, pemberlakuan UU tersebut dapat dinilai sebagai upaya negara untuk "mencampuri urusan" rumah tangga pesantren. Ketika misalnya bersedia menerima "bantuan pemerintah", baik finansial maupun fasilitas, pesantren dipastikan harus tunduk dan mengikuti regulasi dan prosedur birokrasi pemerintah.

Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, UU tersebut merupakan payung hukum dan landasan konstitusional yang memberikan rekognisi dan proteksi terhadap eksistensi pesantren. Secara de jure, pesantren menjadi setara dengan sistem pendidikan sekolah dan madrasah yang pembinaan keduanya menginduk pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama RI.

Dengan kata lain, UU tersebut melegitimasi dan mengafirmasi peran dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan berorientasi kepadatafaqquh fi ad-din (pendalaman dan penguasaan agama Islam).

Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, UU tersebut merupakan payung hukum dan landasan konstitusional yang memberikan rekognisi dan proteksi terhadap eksistensi pesantren.

Fakta sosial menujukkan bahwa dengan segala plus minusnya, pesantren memang unik dan menarik, berwajah khas dan autentik: sederhana, religius, mandiri, harmoni, moderat, dan bersahabat. Pendidikan pesantren itu memang khas Indonesia, karena menampilkan perjumpaan atau akulturasi Islam dengan budaya nusantara yang sarat dengan kearifan lokal, kebinekaan, dan kekayaan mental spiritualnya.

Meskipun dalam perkembangannya muncul beberapa pesantren kecil yang cenderung berideologi radikal, namun secara sosio-historis, pesantren umumnya merepresentasikan moderasi Islam, wajah Islam yang moderat dan rahmatan lil 'alamin. Dengan kata lain, pesantren arus utama (mainstream) adalah miniaturwasathiyyah (moderasi) Islam yang tumbuh dan berkembang sebagai garda terdepan dalam pembangunan mental spiritual dan karakter bangsa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Santri menggelar kirab dan pembacaan ikrar pada Hari Santri Nasional 2020 di Desa Tuntang, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/10/2020). Santri menjadi bagian dalam perjuangan dan pembangunan bangsa di tengah keberagaman masyarakat.

Sebagai institusi pendidikan sekaligus sosial keagamaan, menurut Abdurrahman Wahid (Gusdur), pesantren merupakan subkultur dengan segala keunikannya yang mampu mempertahankan eksistensinya dengan nilai-nilai hidupnya sendiri. Sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) terhadap masyarakat di sekitarnya, pesantren juga diharapkan tampil sebagai dinamisator dan katalisator pembangunan masyarakat (Muntahibun Nafis, Pesantren Pluralis, 2017:156).

Menurut Azyumardi Azra, sejak abad ke-15, pesantren telah memainkan tiga peran strategis, yaitu: sebagai institusi yang mewadahi transmisi ilmu pengetahuan agama, pemeliharaan tradisi keislaman, dan mencetak kader ulama, termasuk pemimpin bangsa.

Selain itu, banyak pesantren dewasa ini telah melampaui tiga peran tradisionalnya tersebut dengan mengembangkan diri sebagai pusat pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Oleh karena itu, lahirlah sejumlah varian baru pesantren. Misalnya saja, ada pesantren fikih, pesantren ilmu alat (menekankan pembelajaran bahasa Arab), pondok pesantren modern, pesantren pertanian, pesantren tahfiz, pesantren sains (trensains), pesantren muallaf, pesantren kelautan, pesantren virtual, dan sebagainya.

Oleh karena itu, lahirlah sejumlah varian baru pesantren.

Khitah kebangsaan

Bagi pesantren dan santri, komitmen dan khitah kebangsaan itu bagian integral dari jati diri dalam "merajut tenunan" persaudaran dan persatuan bangsa. Karena selama ini pesantren itu tumbuh dari bawah dan mengakar kuat di masyarakat. Khitah perjuangan santri adalah membina dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang dilandasi nilai-nilai moderasi Islam dan wawasan kebangsaan (nasionalisme) yang tidak perlu diragukan.

Sistem pendidikan pesantren (boarding school) bermuatan "kurikulum kehidupan" yang berlangsung hampir 18 jam/hari (karena santri rata-rata tidur pada pukul 22.00 dan bangun pada pukul 04.00). Para santri dibiasakan dan dibudayakan menghargai dan disiplin waktu, hidup sederhana, jujur, ikhlas, mandiri, merdeka, bersaudara, dan cinta tanah air. Karena itu, spirit dan nilai "hubbul wathan min al-iman" (cinta tanah air itu bagian dari iman) merupakan khitah kebangsaan yang terpatri kuat pada diri dan kepribadian santri.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Guru Agung Sudarwanto memimpin pementasan wayang kulit bertema pandemi di atap SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (16/10/2020). Kegiatan itu digelar untuk menyambut peringatan Hari Santri dan Hari Sumpah Pemuda. Pementasan itu menjadi salah satu sarana perwujudan ekspresi seni para pengajar sekolah itu di tengah kegiatan mengajar daring selama pandemi.

Tradisi peng[k]ajian kitab kuning (kutub at-turats) dan Dirasat Islamiyyah di pesantren tidak hanya sarat pelajaran keislaman, tetapi juga berisi wawasan kebangsaan, bela negara, dan komitmen mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama di bidang pembangunan mental spiritual, dan pembentukan karakter positif (akhlak mulia).

Jika dipotret dengan teori Thomas Licona, pendidikan karakter positif di pesantren pada umumnya berfungsi sebagai peneguh dan pengokoh khitah kebangsaan santri. Betapa tidak, secara efektif dan fungsional, proses pendidikan keislaman, khusus pendidikan karakter di pesantren itu, dimulai dengan mengenalkan kebajikan (knowing the good) kepada para santri, lalu ditumbuhkan sikap merasakan kebajikan (feeling the good) dan mencintai kebajikan (loving the good) melalui aktualisasi nilai-nilai budaya kepesantrenan seperti gaya hidup sehat dan bersih, bersahaja, bersaudara, bertoleransi dan menghargai perbedaan.

Bahkan mayoritas pesantren besar di Indonesia itu berwajah multikulturalisme. Selain itu, para santri juga dibudayakan mengingini kebajikan (desiring the good), dan dibiasakan (habituation) melakukan kebajikan (doing the good).

Lebih dari itu, peneguhan khitah kebangsaan santri juga dikembangkan melalui sistem pendidikan pesantren yang ditanamkan melalui peneladanan kebajikan (exampling the good) dari pimpinan dan asatiz pesantren sebagai role model (uswah hasanah).

Bagi santri, adab (etika moral) lebih utama daripada ilmu itu sendiri, sehingga menjadi santri sejatinya harus menampilkan diri sebagai figur teladan moral dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menjadi santri sehat jasmani dan ruhani adalah panggilan jiwa untuk tulus berdedikasi tinggi dalam mewujudkan kemasalahatan dan kemajuan bangsa.

Menjadi santri sehat jasmani dan ruhani adalah panggilan jiwa untuk tulus berdedikasi tinggi dalam mewujudkan kemasalahatan dan kemajuan bangsa.

Oleh karena itu, sebagian besar pesantren menerapkan pola pengabdian santri sebelum dinyatakan lulus dan diberi ijazah, misalnya mengabdikan diri di pesantren dan/atau di masyarakat sebagai pendidik, dai, muballigh, imam shalat, penggerak sosial, dan sebagainya. Dengan integrasi sistem pendidikan dan pengabdian, khitah kebangsaan dan keumatan santri semakin teruji.

Jadi, peneguhan khitah santri merupakan strategi aktualisasi pendidikan pesantren dalam pembudayaan nilai-nilai Islam dan kebangsaan di tengah pergumulan kehidupan bangsa. Jika demikian halnya, maka peneguhan khitah kebangsaan santri dengan wawasan moderasi beragama diharapkan tidak menjadi pesantren terfragmentasi politik aliran dan partisan. Peneguhan khitah kebangsaan santri adalah bagian dari panggilan iman menjadi santri sehat berwawasan Islam Rahmatan li al-'alamin. Selamat Hari Santri Nasional 2020: Santri Sehat, Indonesia Kuat!

(Muhbib Abdul Wahab, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia)

Kompas, 24 Oktober 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger