Dalam rentang waktu itu tentu saja banyak pengalaman berbangsa yang semestinya mengharuskan kita lebih dewasa. Lebih matang dalam bernegara. Kekuasaan silih berganti, muncul dan tenggelam. Kedatangannya dirayakan karena membersitkan harapan baru, tetapi akhirnya berujung dengan kutukan karena menyelewengkan wewenang.
Orde Lama yang notabene lahir dari rahim kaum pergerakan, bahkan langsung di bawah kendali Bung Karno, ditumbangkan dengan arak-arakan karena dipandang terlampau sibuk dengan retorika politik dan utopia, tidak pernah lelah memburu mimpi revolusi yang sedari awal dianggapnya belum usai, tetapi alpa mendistribusikan kesejahteraan.
Orde Baru semula disambut gempita. Soeharto dipandang antitesis Soekarno. Lembut, kalem, dan tak cakap berorasi. Senyuman khasnya seperti membersitkan tawaran hidup teduh. Namun, sejarah juga yang mencatat. Alih-alih menghadirkan negara kesejahteraan, negara kepulauan yang dipimpinnya tak ubahnya harta warisan menjadi bancakan keluarga dan handai tolannya dengan menjadikan Golkar mesin politik despotiknya. Golkar di tangannya, meminjam istilah Friedrich Nietzsche, lebih dingin dari monster paling mengerikan sekalipun. Yang berbeda dilibas, falsafah negara dimonopoli penafsirannya selaras nafsu kuasanya.
Di tangan Orde Reformasi, Orba menemui ajalnya yang sangat tragis dalam sebuah huru-hura politik yang banyak memakan korban. Kekuasaannya yang panjang, 32 tahun, rontok. Ekonomi yang semula dibanggakan, bahkan nyaris dipandang sebagai kekuatan Asia, ternyata hanya isapan jempol belaka.
Orde Reformasi tentu saja risalah awalnya "interupsi ideologis" atas segenap kebobrokan sebelumnya. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY adalah tiga sosok yang diberi peran sejarah untuk membenahi sengkarut sosial, politik, dan ekonomi. Satu hal yang tak boleh diabaikan berkah reformasi adalah kebebasan yang sebelumnya tak terbayangkan. Nyaris di luar kebebasan yang menjadi bagian dari politik harian bangsa kita, kita tidak (belum menemukan) capaian pemerintah yang cukup berarti. Boleh jadi kita jatuh dari satu kutub ekstrem yang satu ke kutub yang lain. Dan, hari ini yang menjadi daulat utama, seperti mendaur ulang kisah lama dengan format sedikit berbeda, bukan lagi ekonomi dan budaya, melainkan politik tampil sebagai panglima.
Politik panglima
Politik seperti menemukan habitatnya. Dipercakapkan tidak saja di tingkat elite, tetapi juga menjadi santapan khalayak lewat terpaan televisi dan terlebih media sosial yang tak lagi terhindarkan. Politik didedah di ruang publik, terbentang mulai dari perbincangan sangat ilmiah (bahkan nyaris tidak dipahami, tidak hanya oleh pemirsa, tetapi juga oleh narasumbernya) sampai yang berwatak entertainment atau fitnah dan aksentuasi kemurkaan.
Yang paling pendek rentang waktunya, seperti dalam Pilpres 2014, kita melihat bagaimana politik dihadirkan tak ubahnya pergelaran "perang Baratayuda". Yang dilemparkan ke segenap rakyat senarai isu yang seharusnya terkubur: sentimentalisme agama, ihwal "tubuh", dan segala hal yang berujung "kampanye hitam". Politik yang semestinya tampil sebagai "seni" justru menjadi "air seni" yang tak layak dikonsumsi karena "najis", "bau pesing", dan sangat mendangkalkan akal sehat.
Politik yang kemudian, lewat risalah otonomi daerah, ternyata di sisi lain menghasilkan para penguasa lokal bermental raja-raja tempo dulu. Tak ubahnya daulah, APBD (dan APBN) diolah dengan semangat "kekeluargaan". Sejarah juga yang mencatat hari ini setelah Indonesia merdeka 69 tahun dalam hitungan ratusan kepala daerah, pimpinan partai, bahkan anggota kabinet harus mendekam di terali besi. Kalau dulu kaum pergerakan memaknai politik sebagai siasat agar bangsa lekas terbebas dari jeratan kaum kolonial dengan mempertaruhkan benda dan nyawa, kini mereka yang mengaku kaum elite dengan sempurna menganggit politik sebagai kendaraan untuk memburu rente juga dengan pertaruhan "tubuh" dijerat KPK (kalau ketahuan).
Tempo hari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Soepomo, Wahid Hasyim, Natsir, dan yang lainnya memasuki gedung konstituante dengan nalar menjulang, bacaan literasi kuat sehingga tercipta perdebatan mencerahkan. Sekarang modal masuk gedung Senayan cukup popularitas dan selebihnya modal finansial. Maka, jangan heran, produk perundang-undangan yang dihasilkan alih-alih visioner malah hanya menjadi ajang transaksi kepentingan. Legislasi hanya menyisakan pasal-pasal persembahan untuk kepentingan kaumnya, kepentingan sempit dan sesaat. Jangan harap dapat menyimak sebuah perdebatan cerdas kalau penampilan luaran jauh lebih didahulukan ketimbang isi kepala. Tidak perlu banyak meminta mereka berpikir sistematik, runtut, dan rasional seandainya keyakinan metafisis dan klenik masih dijadikan pegangan utama dalam jas dan jubah politiknya.
Pasaraya agama
Tak kalah mengenaskan, setelah Indonesia merdeka 69 tahun, ternyata pemahaman keagamaan tak banyak mengalami perubahan kalau tidak dikatakan mengalami kemunduran. Kontestasi menawarkan "agama" sebagai ideologi bangsa pasca Reformasi lebih gempita. Importir keagamaan yang berhaluan keras, fundamentalis, dan eksklusif tampaknya kian gencar karena kaum importir yang kebanyakan KTP-nya dari Timur Tengah tahu kondisi sosial bangsa kita sedang tak stabil, kepemimpinan lemah, negara tak memiliki sikap tegas, masyarakatnya mudah terpesona hal yang datang dari luar, baik dari Barat (budaya Barat) maupun dari dataran padang pasir (budaya agama).
Sikap lapang dalam mengapresiasi keragaman budaya, etnik, dan agama yang jadi warisan kaum leluhur dan telah dipraktikkan dalam penghayatan manusia Nusantara ratusan tahun lebih mendapatkan ancaman serius. NKRI yang diperjuangkan para pendiri bangsa justru diuji hari ini dari gempuran yang datang dari anak negeri yang telah terpikat fantasi haluan bernegara khilafah abad pertengahan, terpesona gerakan eksklusif keagamaan yang menawarkan hidup dalam sebuah "negara" penuh dongeng yang digali dari hikayat kerajaan Tuhan pada masa silam. Setelah 69 tahun, seharusnya negeri ini telah menemukan adabnya. Kita harapkan, di tangan pemerintahan baru, kaum penguasa tak boleh lagi disibukkan hal-hal tak penting, tetapi harus jelas menuju rute bernegara yang sehat. Politik dagang sapi, bancakan anggaran, pengemplangan dana haji, dan jualan citra diri yang jadi muasal situasi berbangsa tak ubahnya rimba (homo homini lupus) harus ditanggalkan. Segenap rakyat juga harus tegas memberikan sanksi sosial atas setiap pelanggaran itu. Wakil rakyat dan eksekutif yang bermain-main dengan kekuasaannya fardu ain difatwakan haram dipilih lagi pada pemilu mendatang.
Negara harus jadi payung besar segenap anak bangsa, tenda yang memberikan rasa nyaman dan jaminan tumbuh kembangnya keragaman. Sekaligus tegas ketika melihat setiap ancaman gerakan politik dan keagamaan yang bisa jadi batu sandungan tegaknya negara kesatuan.
Asep Salahudin
Intelektual Muda NU; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008396208
Powered by Telkomsel BlackBerry®