RUU Kebudayaan masih normatif, belum menyentuh persoalan krisis kebangsaan dengan realistis. Kebudayaan hanya dianggap bernilai jika ada hubungan dengan kepentingan nasional, seperti jadi branding nilai dan produk yang potensial mendatangkan kontribusi ekonomi demi keperluan pembangunan.
Perspektif ini memberi peluang bagi negara untuk memperoleh keuntungan besar dengan menempatkan kebudayaan dalam dua hal. Pertama, sebagai "nilai-nilai yang mengusung orientasi tindakan produktif". Kedua, sebagai "benda-benda yang bernilai ekonomi tinggi".
Inilah yang mendatangkan kritik. Substansi RUU dianggap terlalu menempatkan kebudayaan sebagai hal yang harus diatur- atur dan dikontrol serta dilepaskan dari manusia yang membuat dan memilikinya. Namun, apa yang sesungguhnya jauh lebih darurat dari kritik di atas?
Konstitusi Pasal 32 (amendemen) menyebutkan, negara memajukan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan nasional diterjemahkan sebagai mozaik dari kumpulan berbagai etnis yang unik dan bersatu padu secara harmonis.
Boleh saja model "fungsional- utopis" tetap digunakan untuk menjelaskan kepada turis asing soal keanekaragaman ideal, tetapi tetap perlu analisis lain untuk bergerak maju. Pembahasan kebudayaan harus bersifat otokritis, korektif, strategis, dan dialogis atas perbedaan kultural. Itu satu-satunya jalan realistis untuk hidup di alam kebinekaan.
Tubuh yang paradoks
Orde Baru memotong-motong tubuh kompleks realitas sosial jadi organ-organ terpisah. Melalui kurikulum sekolah, SD sampai perkuliahan, orang Indonesia dibesarkan dalam label keilmuan yang mengharuskannya membedakan persoalan politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, penegakan HAM, dan sejarah sebagai hal yang berdiri sendiri. Maka, siswa tidak terbiasa membangun analisis dari berbagai sudut yang berbeda untuk mencapai kesimpulan besar. Mereka jadi fasih untuk berpikir sektoral untuk soal-soal besar dengan kesimpulan kompromis biasa.
Apa yang terlewat dari RUU Kebudayaan adalah aspek manusia dinamis dengan segala holistik kemanusiaannya dalam proses pembentukan kebudayaan. Politik Orde Baru melahirkan manusia-manusia tipikal paradoksal: religius dan patuh dalam berbelanja, konsumtif dalam simbol-simbol agama, dan toleran terhadap kekerasan dalam penegakan moral. Namun, juga lunak dan ragu terhadap korupsi, ketidakadilan, serta pelanggaran HAM di depan matanya.
Tipologi manusia seperti ini tak lepas dari keberhasilan Orde Baru membangun sikap alergi terhadap soal politik sebatas cermin dari kegagalan "Orde Lama" akibat terlalu "larut" berpolitik dan "lupa" mengurus ekonomi. Sampai hari ini transisi ideologi 1966 belum dibahas secara benderang dengan mengaitkan penindasan perjuangan kelas, kekerasan sistematis negara, sebagai konsekuensi pembentuk wajah sesungguhnya dari "kepribadian bangsa" yang patuh terhadap desakan pasar, dan toleran terhadap kekerasan.
Puitis dan progresif
Dari perspektif pelaku, kebudayaan adalah tindakan. Kebudayaan merupakan respons strategis atas tantangan-tantangan zaman yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku kolektif. Kebudayaan kental dengan suasana praktik membangun solidaritas untuk memperkuat diri dan kelompok. Kebudayaan juga berkembang karena proses interaktif dan negosiatif antarpelaku dari kelompok lain. Dalam taraf tertentu , bahkan kebudayaan adalah pedoman untuk melakukan perlawanan dan gerakan sosial kolektif dalam menuntut hak.
Dari perspektif pengelola, termasuk pemangku kepentingan dan negara, kebudayaan adalah kumpulan kearifan lokal dan juga etos atau nilai-nilai yang dianggap kepribadian luhur. Definisi kedua ini lebih puitis dan populer, tetapi tidak cukup operasional untuk membuka sekat-sekat ketidakadilan, kritik, dan dialog. Justru malah menciptakan kebingungan paradoksal. Misalnya, mengapa orang Indonesia yang ramah-ramah ini makin lama makin keji saja terhadap perbedaan kepercayaan?
Maka, masukan penting jika RUU Kebudayaan ingin berguna, kaji kembali kehadiran negara dalam mengelola kebudayaan. Banyak pranata lokal Nusantara ini sudah hadir demokratis dan berdikari sebelum Indonesia ada, tetapi hilang denyutnya. Cegah penetrasi kapital yang membuat ketergantungan dan menciptakan hierarki kelas, buka kembali dialog. Kaitkan penegakan HAM sebagai bagian kebudayaan, bela dan jalankan rekonsiliasi terhadap korban-korban konflik politik dan sosial pada masa lalu.
Iwan Meulia Pirous
Pengajar Departemen Antropologi FISIP UI
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008552360
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar