Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Januari 2019

ARTIKEL OPINI: Di Atas Politik Ada Kemanusiaan (FATHORRAHMAN GHUFRON)


Dalam peringatan haul ke-9 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada sebuah warisan yang sangat inspiratif dan kontekstual untuk direfleksikan dan dilakoni dalam kehidupan kita. Terutama saat kondisi interaksi sosial kita disesaki centang-perenang pemilihan presiden yang akan berlangsung April 2019.

Ketika setiap kontestan dan para pendukungnya terlibat dalam berbagai aksi adu kuat, adu kelit, dan adu pesona untuk memengaruhi beragam massa, sering kali yang hanya dikedepankan adalah perkara politik. Dampaknya, berbagai aspek kehidupan dan anasir-anasir ajaran agama ataupun ilmu pengetahuan dieksploitasi sedemikian rupa agar bisa disesuaikan dengan kehendak dirinya.

Tak peduli apakah di dalam ajaran agama sesungguhnya termuat nilai-nilai sakralitas yang seharusnya diperuntukkan sesuai posisi dan proporsinya. Yang penting segala bentuk kata dan makna bisa diadaptasi ke dalam kerangka politisasinya, maka ajaran agama harus tunduk pada cara pandang dan sistem berpikirnya.

Demikian pula ilmu pengetahuan senyampang bisa dimodifikasi sebagai pendekatan dan metode pengaruh massa agar bisa menciptakan mosi percaya yang besar, maka seberapa pun biaya yang dibutuhkan akan digelontorkan untuk memperkuat berbagai sudut pandang pembenaran tentang dirinya. Bahkan, kalau bisa setiap person maupun tokoh yang mempunyai karisma di bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan disewa dan dibajak untuk menjadi "kacung" yang bisa memperpanjang lidah pesan kepentingan kepada khalayak luas bahwa dirinya adalah yang paling pantas untuk dipilih dalam pilpres.

Lalu, ketika politik mengalami gegar keadaban dan keberadaannya hanya berhenti sebagai cara merebut kekuasaan dengan menghalalkan berbagai upaya dan tipu daya, menjadi penting bagi kita untuk merefleksikan kembali warisan Gus Dur bahwa sesungguhnya ada aspek yang lebih penting daripada politik yang saat ini selalu dipertandingkan dan diperebutkan, yaitu mengedepankan spirit kemanusiaan.

Mengedepankan spirit kemanusiaan

Dalam pupuh sinom serat Wedhatamakarya karya Mangkunegara IV dinyatakan bahwa kebahagiaan harus diawali dengan cara kita memperlakukan antar-sesama melalui spirit kemanusiaan "Amemangun Karyenak Tyasing Sasama". Di antara nilai-nilai prinsipiil dalam spirit kemanusiaan tersebut adalah bagaimana cara merajut sikap dan perbuatan yang bisa menyenangkan setiap orang.

Dengan kata lain, merujuk pada pemikiran almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam buku Islam Agama Kemanusiaan bahwa dimensi esotoris dalam spirit kemanusiaan adalah bagaimana kita adil, egaliter, toleran, saling menghargai, bersikap inklusif, dan tidak memaksakan apa yang menjadi keinginan kita harus dipatuhi oleh pihak lain.

Sikap ini meniscayakan sebuah persepsi dan manifestasi bahwa setiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi. Tidak patut apabila perlakuan secara manusiawi hanya berpulang pada diri sendiri. Sementara perlakuan kepada pihak lain sering kali bercorak despotis dan tidak santun.

Semisal hanya perbedaan pilihan dan dukungan terhadap calon presiden (capres) kita rela mengatakan pihak lain dengan label hewani. Kampret dan kecebong dikonstruksi sebagai penyamaran identitas untuk menggambarkan bahwa pendukung capres 01 tak ubahnya berwatak kecebong dan pendukung 02 serupa kampret. Mirisnya, penyematan ini berlangsung cukup lama dan mungkin akan terus berlangsung meski pilpres sudah selesai.

Padahal, dalam satu riwayat ditegaskan "tak sepatutnya seseorang memanggil nama pihak lain dengan gelar yang tak senonoh". Sebab, pelabelan semacam ini akan menjadi kecacatan sejarah yang akan berlangsung secara menahun dan akan tercatat sebagai bentuk penodaan kemanusiaan yang paling ironis.

Sejatinya kita perlu menyadari bahwa sikap yang paling mendasar dalam kehidupan berbangsa adalah bagaimana memanusiakan diri kita dan orang lain secara adil dan beradab. Hal ini sebagaimana disitir tegas dalam sila kedua dalam Pancasila. Secara filosofis, sila ini meniscayakan pesan moral bahwa sebagai rakyat Indonesia harus menjunjung tinggi budi pekerti dan keadaban publik serta menegakkan spirit kemanusiaan dengan menghargai hak asasi dan tanpa diskriminasi.

Oleh karena itu, dalam bersikap adil dan beradab harus bercorak silang balik (resiprocal across) dengan memperlakukan pihak lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita. Ketika diri kita tidak suka dilabeli dengan penyematan hewani hanya karena berbeda pilihan, maka janganlah kita menyebut pihak lain dengan label hewani. Sebab, sebagaimana diri kita akan sakit hati dan benci dengan ungkapan negatif tersebut, pihak lain akan merasakan suasana batin yang serupa.

Kesadaran resiprokal yang menempatkan pihak lain yang sejajar dengan diri kita merupakan langkah awal berbuat adil dalam memanusiakan diri kita dan pihak lain. Ketika perilaku adil bisa ditegakkan dalam spirit kemanusiaan, maka kita akan tergolong sebagai pihak yang beradab (civilized) karena kita bisa menempatkan diri kita pada derajat yang luhur. Bahkan, merujuk pada istilah Pramoedya Ananta Toer, kita akan bisa memulai sikap adil sejak dalam pikiran.

Menyikapi pilpres

Patut disadari perbedaan pilihan dalam menyikapi pilpres sesungguhnya bagian dari rahmat. Setidaknya melalui perbedaan tersebut sistem demokrasi kita akan berjalan dengan baik dan progresif. Bahkan, melalui perbedaan tersebut ada keseimbangan kosmologis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap orang akan bisa leluasa dan mempunyai hak untuk menentukan setiap capres yang sesuai dengan selera dan pikirannya. Tak ada rasa takut seperti zaman Orde Baru (Orba) yang segala bentuk tatanan kehidupannya diseragamkan dan dipaksa sesuai dengan kepentingan politiknya.

Maka, ketika kebebasan memilih adalah fitrah tertinggi dalam spirit kemanusiaan, dusta politik apa lagi yang akan kita glorifikasi untuk menyikapi pilpres? Ketika spirit kemanusiaan menjadi aspek paling elementer bagi tumbuhnya kebahagiaan menjadi bangsa Indonesia yang sejuk dan aman, masihkah di antara kita rela mempertaruhkan martabat diri kita dan sanak keluarga hanya karena perbedaan pilihan politik? Tegakah kita mencemarkan akal sehat kita untuk "melacurkan" posisi dan profesi kita hanya karena berada di dalam barisan pendukung capres kita?

Pada titik ini, kita perlu berikhtiar lebih cermat dan mendalam lagi bagaimana menyikapi pilpres dengan arif dan sewajarnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Buya Syafii Ma'arif, tak sewajarnya apabila di antara kita menganggap pilpres sebagai perang Bharatayuda, perang badar, dan berbagai ancaman lain yang menakutkan bahwa Indonesia akan kiamat jika tidak memilihkan capres yang kita usung.

Hal ini penting direfleksikan agar kita tidak terjebak ke dalam sebuah perhelatan politik yang semakin dicemari oleh fanatisme buta dan diselimuti hiruk-pikuk hoaks, pelintiran kebencian, konten negatif, kampanye hitam yang begitu mewabah di media sosial dan kehidupan nyata. Sebab, sebagaimana dipesankan Gus Dur, bahwa yang jauh lebih penting daripada politik adalah kemanusiaan. Maka, marilah kita rawat kemanusiaan kita dengan menyikapi pilpres dengan akal sehat, hati nurani yang bersih, dan optimisme yang maslahat.

Fathorrahman Ghufron Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Kompas, 31 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Gizi untuk Daya Saing Bangsa (Kompas)

Bangsa yang berdaya saing ditentukan oleh kualitas manusianya. Oleh karena itu, kita perlu memastikan setiap anak balita cukup mendapat asupan gizi.

Indonesia saat ini mengalami masalah gizi ganda. Sebagian anak-anak terkena masalah berat badan berlebih (obesitas), sebagian yang lain kekurangan gizi sehingga menyebabkan pendek (stunting) dan kecerdasannya pun ikut terpengaruh.

KOMPAS/SAMUEL OKTORA

Filia Tuaoni dipangku oleh neneknya, Dorkas Tuaoni di rumah mereka, Desa Oh'aem I, Kecamatan Amfoang Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (23/12/2018). Filia dengan berat badan 6,7 kilogram menderita gizi buruk, tapi setelah dipantau dan dibimbing oleh kader posyandu, tercatat pada bulan November 2018, berat badannya naik 5 ons.

Secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), ada 30,8 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) mengalami tubuh pendek pada tahun 2018. Meskipun angka tersebut termasuk tinggi, jumlah kejadian anak balita bertubuh pendek sudah menurun dibandingkan dengan jumlah kejadian tahun 2007 hingga 2013 yang relatif stagnan, yaitu antara 36,8 persen dan 37,2 persen.

Perbaikan itu menarik perhatian Bank Dunia, dan cara penanganan di Indonesia menjadi contoh memperbaiki masalah gizi anak balita. Usia tiga tahun pertama adalah periode emas untuk memupuk potensi kecerdasan dan fisik anak yang akan menentukan derajat kualitas hidupnya saat dewasa.

Perbaikan gizi tersebut pada sisi lain tidak terjadi merata di seluruh wilayah. Indonesia bagian timur memiliki jumlah anak stunting lebih tinggi dibandingkan dengan bagian lain Indonesia. Nusa Tenggara Timur berdasarkan data Riskesdas memiliki anak dengan tubuh pendek lebih tinggi dari angka nasional, yaitu 51,7 persen pada tahun 2013 dan turun menjadi 42,6 persen pada tahun 2018. Kejadian anak bertubuh pendek akibat kekurangan gizi ibarat puncak gunung es dari permasalahan lebih mendasar.

Kekurangan gizi dikaitkan dengan kemiskinan dalam arti luas. Kemiskinan menyebabkan keluarga tidak memiliki daya beli untuk mengakses makanan bergizi. Kemiskinan membuat keluarga tidak memiliki akses pada pengetahuan tentang gizi seimbang yang sangat mungkin didapat dari lingkungan sekitar, seperti tanaman dan ternak yang dipelihara di pekarangan. Kekurangan gizi juga dapat disebabkan miskin pengetahuan meskipun orangtua memiliki kemampuan ekonomi. Ketersediaan kebutuhan dasar seperti air bersih dan sarana sanitasi seperti jamban juga memengaruhi status gizi.

Kita ingin pemerintah pusat mendesain program nasional yang akan membuat pemerintah daerah melaksanakan perbaikan kualitas gizi anak balita. Posyandu serta sarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan atas merupakan medium mengubah perilaku menuju hidup sehat dan mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Kita juga dapat mengembangkan kearifan lokal untuk memperbaiki akses pada pangan bergizi.

Membangun manusia seutuhnya telah kita dengungkan sejak tahun 1980-an, tetapi hingga saat ini kita masih menghadapi masalah anak balita kekurangan gizi. Kita memerlukan kebijakan dan strategi jangka pendek, menengah, dan panjang yang dilaksanakan konsisten, meskipun kepala pemerintahan berganti, apabila ingin menjadi bangsa yang memiliki daya saing di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Kompas, 31 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Senjata Perdamaian Massal//Penggunaan Kata di Televisi//Fasilitas Umum untuk Bisnis (Surat Pembaca Kompas)


Senjata Perdamaian Massal

Saya tertarik pada uraian Romo Franz Magnis-Suseno perihal Pancasila dan agama di Kompas (18/1/2019) yang bermuara kepada bahwa nilai-nilai Pancasila mengandung kebenaran hakiki. Terbukti selama ini Pancasila telah menjadi solusi bagi pelbagai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.

Pancasila dapat menengahi perbedaan dalam segala bentuk—ras, etnisitas, tradisi, dan agama—yang tersua di Aceh sampai Papua. Tidakkah kita sebagai bangsa mestinya berbangga dengan itu? Apabila beberapa bangsa di dunia merasa hebat dan bangga punya produk senjata pemusnah massal, sebetulnya kita harus lebih berbesar hati karena kita telah punya produk senjata perdamaian massal bernama Pancasila.

Marilah kita merawat, mempertahankan, memanfaatkan, dan membuktikan Pancasila sebagai senjata perdamaian massal supaya dunia mengakuinya dan menerimanya sebagai salah satu kunci tercapainya perdamaian di seluruh dunia.

Rachman Subroto
Kompleks Perumahan Lemigas,
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan

Penggunaan Kata di Televisi

Beberapa waktu lalu dalam dua acara di stasiun televisi yang berbeda dan pada hari yang berbeda saya mendengar kata laki-laki diucapkan pada kalimat yang tidak seharusnya. Saat itu pembawa acara menyebutkan laki-laki untuk menyatakan jenis kelamin pada hewan.

Bahasa Indonesia mengenal kata perempuan dan laki-lakiwanita dan pria, serta betina dan jantan sebagai penanda jender.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan, jantan berarti 'yang berjenis kelamin laki-laki (hanya untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan)' dan betina bermakna 'perempuan (biasanya dipakai untuk binatang atau benda)'.

Adapun perempuan dan laki-laki, atau wanita dan pria, adalah sebutan jenis kelamin bagi manusia.

Tanyaan saya, bagaimana perekrutan para pembawa acara di televisi saat ini? Adakah uji bahasa Indonesia bagi mereka yang melamar sebagai penyiar atau pembawa acara di televisi? Atau, sudah parahkah pengajaran bahasa Indonesia di SD sampai SLTA: yang diajarkan di kelas adalah linguistik, bukan kecakapan berbahasa tulis dan tutur?

Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan,
Jatiwaringin, Jakarta Timur

Fasilitas Umum untuk Bisnis

Saya melihat pada mulanya tahun 2010 pengembang menyediakan fasilitas umum di Perumahan Metro Permata I Karang Mulya, Ciledug, Tangerang, khususnya di Blok J.

Saat ini tumbuh bisnis kuliner dan bisnis lain di rumah ataupun di dalam fasilitas umum. Kami tidak mengetahui siapa pihak yang menyetujui penggunaan rumah dan fasilitas umum sebagai tempat bisnis kuliner dan bisnis lainnya, serta seperti apa penggunaan uangnya.

Menurut UU No 1/2011, fasilitas umum dibangun agar perumahan layak huni.

Penggunaan fasilitas umum untuk bisnis perlu dikonfirmasi karena mulai banyak (dan kemungkinan digunakan sebagian orang tak bertanggung jawab) rumah yang beralih fungsi menjadi tempat usaha.

Padahal, ruko telah khusus dibangun di area depan kompleks. Praktik tersebut, apalagi tanpa seizin pemda, akan sangat merugikan masyarakat umum. Selain itu juga terdapat pencaplokan sebagian lahan samping rumah.

Penggunaan sarana dan prasarana perumahan tanpa izin pada dasarnya melanggar UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang dapat dikenai sanksi administratif dan pidana. Karena itu, kami mohon klarifikasi pihak berwenang.

Pada hemat saya, pihak keamanan dan/atau pemerintah daerah setempat dapat menertibkan dan menindak tegas dengan memberikan sanksi serta memulihkan kembali fungsi fasilitas umum sebagaimana mestinya.

Edy S
Karang Tengah, Ciledug,

Tangerang, Banten

Kompas, 31 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Kiblat Keberagamaan Dunia (A HELMY FAISHAL ZAINI)

Tidak bisa dimungkiri, keberadaan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas Islam yang menjunjung moderatisme sangat penting bagi upaya harmonisasi serta kelangsungan kehidupan yang damai dan toleran.

Tak kurang pendapat itu muncul dari Ibrahim Hudhud, mantan Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo. Nahdlatul Ulama (NU) berperan penting dalam menjaga persatuan negara dan bangsa serta toleransi antar-umat beragama, antar-mazhab, antar-etnik dan suku yang begitu bineka di Indonesia.

Sejatinya, rel NU—meminjam bahasa KH Ahmad Shiddiq (1986)—adalah melanjutkan perjuangan para  pendiri NU, mulai dari Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan sederet pendiri lainnya. Juga para kiai atau ulama pesantren generasi awal—dan para pemimpin pendahulu—guna memelihara dan mempertahankan Islam ala Ahlissunnah wal-Jamaah maupun untuk mengemban tanggung jawab kultural untuk menyangga tradisi.

Selain itu juga untuk menjaga keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila yang oleh KH Ahmad Shiddiq sendiri pada Muktamar Ke-27 tahun 1984  dirumuskan sebagai "hasil final perjuangan umat Islam". Seluruh tingkat kepengurusan NU, dari pusat sampai anak ranting, sehela dan sepenarikan napas dalam menjaga dan memelihara pengamalan ajaran Islam Ahlisunnah wal-Jamaah dan terus mencermati perkembangan dan tegaknya NKRI.

Dalam catatan saya, setidaknya pada dua dekade terakhir, penetrasi gerakan keberagamaan yang anti-liyan cenderung mengafirkan, menuding, dan menyalahkan pihak yang berseberangan memang menjamur. Sikap demikian—dalam hemat saya—menjadi alarm bagi kita bahwa ada semacam problema serius yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Sikap anti-liyan yang cenderung memandang orang lain yang berbeda pandangan sebagai ancaman dan bahkan musuh yang harus ditumpas, diberangus, dan dimusnahkan adalah akar persoalan yang harus bersama-sama kita carikan formula untuk mengatasinya.

Akar masalah sesungguhnya barangkali berangkat dari rasa ketidaksiapan dalam menerima perbedaan yang pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sebagai kebencian. Saya menyebut yang demikian ini sebagai "biografi kebencian". Kebencian jadi penyakit sosial yang menggerogoti batang tubuh bangsa kita yang bineka. Jika tidak segera kita atasi, tentu saja penyakit "biografi kebencian" itu akan semakin menjalar, menyerang, dan melumpuhkan tubuh kebangsaan kita.

Pada tataran ini, apa yang dikatakan Emmanuel Levinas (1986) sangat relevan untuk dikemukakan. Bahwa, sesungguhnya benih kebencian muncul ketika seseorang merasa terusik dengan kehadiran orang lain, juga ketika kenyamanan dan kebebasan seseorang dipertanyakan oleh orang lain. Di sinilah barangkali pekerjaan rumah terbesar kita.

Sebagai umat beragama, mula-mula yang patut untuk diajukan dan diinterogasikan pada tiap-tiap pribadi kita: benarkah kita sudah yakin dengan keyakinan kita? Jika jawabannya iya, tentu kita tidak akan pernah merasa terganggu dengan mereka yang mengusik keyakinan kita. Persoalannya menjadi rumit tatkala kita—sebagai umat beragama yang tentu saja memiliki keyakinan—tak benar-benar yakin dengan keyakinan kita. Dalam bahasa Radhar Panca Dahana (2015), "Tauhid yang Ilusif", yakni memeluk ideologi keyakinan yang manipulatif, menipu, dan fatamorgana. Kita tidak benar-benar yakin dengan keyakinan kita. Akibatnya, tentu saja kita mudah "masuk angin". Mudah sakit hati, tersinggung, marah, dan tidak siap ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kita.

Menariknya, di NU para mursyid thariqah dan kalangan nahdliyin pada umumnya cukup sigap menghadapi "biografi kebencian" yang saya maksudkan di atas. Kesigapan ini kami intensifkan melalui gerakan deradikalisasi paham keagamaan. Kesiagaan kalangan nahdliyin tentu akan terus ditingkatkan sesuai tantangan dan eskalasi gangguan yang dihadapi.

Strategi kebudayaan

Memelihara atau mengembangkan ajaran Ahlissunnah wal-Jamaah penting dilakukan karena paham Islam yang dikembangkan ulama-ulama Nusantara terdahulu sudah terbukti, dan selalu teruji, mampu menyangga kebinekaan masyarakat Indonesia yang jadi basis sosial bangsa dan negara Indonesia. Teologi Ahlissunnah wal-Jamaah menjadi strategi kebudayaan sehingga NU jadi salah satu kekuatan non-koperasi dalam gerakan kebangkitan nasional di awal abad ke-20, dalam gerakan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan dalam memupuk kesetiaan kepada negara Indonesia serta dalam menghadapi gerakan yang mengubah haluan negara kebangsaan Pancasila.

Dengan mengacu ke khitah Nahdliyah—meminjam Kiai Said Aqil Siroj (2011)—yang menegaskan NU sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, di masa mendatang akan meneguhkan NU sebagai  "syuhud tsaqafah" atau gerakan kebudayaan. Dengan strategi tersebut, kelanjutan perjuangan pengabdian NU terhadap bangsa dan negara ini di masa mendatang akan terus ditingkatkan untuk mendorong peneguhan persatuan bangsa dan penguatan kedaulatan negara di tengah benturan kepentingan antar-bangsa.

Peran NU diletakkan sebagai kekuatan ketiga di luar lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga penyelenggara negara. Kekuatan NU bertumpu pada tiga tataran, yakni (1) paham Ahlussunnah wal-Jamaah (di dalamnya antara lain ada fikrah nahdiyah yang melahirkan Islam moderat), (2) nilai- nilai/tradisi, dan (3) lembaga- lembaga budaya, mulai dari pesantren, jaringan thariqah, hingga jaringan struktur sebagai infrastruktur organisasi yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Jaringan kekuatan tersebut sejauh ini efektif memainkan peran sebagai penyangga bangsa di luar lembaga-lembaga politik dan penyelenggara negara, yang belakangan ini mengalami kemerosotan legitimasi karena lemah dalam menjalankan fungsi pokoknya.

Penting untuk dikemukakan bahwa sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang berorientasi keislaman dan kerakyatan, sekaligus sebagai wujud dari ajaran Ahlissunnah wal-Jamaah, meminjam apa yang diwasiatkan KH Ahmad Shiddiq (1986), NU akan terus-menerus memperjuangkan kepentingan rakyat, dengan cara tarbiyatur ruhiyah (mendidik dan menyirami rohani) serta tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa). Upaya ini memang bernuansa esoteris, tetapi dari yang esoteris itulah bangunan peradaban akan bisa kokoh. Dari yang esoteris itulah karakter akan tegak berdiri. Dari yang esoteris itu pula mental akan terbangun dengan baik. Dari sanalah sesungguhnya revolusi mental itu dimulai.

Pengalaman sejarah

NU memiliki pengalaman sejarah yang panjang, termasuk dalam menghadapi berbagai peristiwa besar. Pengalaman sejarah itu yang ingin dipelajari orang lain, termasuk dari luar negeri. Banyak ahli tarekat yang ingin belajar pada pengalaman Indonesia, demikian juga para aktivis dan politisi dunia, termasuk dari Afghanistan, Yaman, dan Jordania berusaha mencoba bertukar pengalaman dengan kita bagaimana sebuah agama dan organisasi keulamaan bisa menjadi perekat bagi keutuhan bangsa. Pengalaman berbangsa dan bernegara itu yang ingin dibagi bersama bangsa lain, terutama dalam menegaskan hubungan agama dengan negara, dan menerapkan ideologi negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Indonesia memang multietnis, multi-agama dan ideologi, tetapi kerukunan sosial bisa terjaga. Hal itu tidak lain karena kita memiliki ikatan spiritual yang mendalam, serta memiliki ikatan ideologi yang kokoh "kalimatun sawa'" bernama Pancasila.

Secara kontras bisa dibandingkan dengan Timur Tengah. Mereka relatif homogen secara agama, bahkan etnis, tetapi mereka sulit bersatu bahkan selalu dalam ketegangan. Hal itu tidak lain karena spiritualitas mereka keropos sehingga rapuh.

Tak ada sikap tawasuth (moderat), tawazun (proporsional berimbang), dan tasamuh (toleran). Karena itu, mereka ingin belajar pada kita, dan kita siap berdialog dan bertukar pengalaman dengan mereka, sekaligus penting untuk dikemukakan bahwa Indonesia siap menjadi kiblat keberislaman dan keberagamaan yang toleran, penuh kepedulian, tepa salira alias tenggang rasa.

Selamat Harlah Ke-93, NU.

A Helmy Faishal Zaini Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Kompas, 31 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI Bangsa (Tak) Terbelah HASIBULLAH SATRAWI)

Belakangan ini ada kekhawatiran soal keindonesiaan kita bersama. Hal itu terkait dengan keterbelahan, hilangnya persaudaraan, dan akhirnya hilangnya Indonesia sebagai rumah bersama.

Memang belum (sepenuhnya) terjadi, tetapi kekhawatiran ini muncul melihat pelbagai macam fenomena sosial politik mutakhir: dari aksi dukung-mendukung golongan, ras, suku, dan terutama agama.

Kondisi media sosial yang sangat terbuka, tetapi tidak disertai kesiapan wawasan dan kematangan bersikap telah jadi "arena konflik" yang sangat luas dan bersifat terus-menerus.

Seseorang atau pihak mana pun bisa menyerang para pihak yang tidak disukai kapan saja, dengan bahasa apa saja, bahkan dengan cara apa saja, termasuk fitnah dan hoaks. Semua ini membuat soal keterbelahan begitu dekat, di depan mata.

Suasana ini membuat para pihak yang peduli keindonesiaan berupaya menghidupkan narasi kebangsaan, persatuan, dan realitas keberagaman. Pemerintah memopulerkan slogan-slogan keindonesiaan seperti "Pancasila adalah Kita", bahkan mengantisipasi semua itu dengan regulasi dan penegakan hukum.

Namun, pelbagai macam upaya itu belum menuai hasil yang diharapkan. Justru kekhawatiran yang ada semakin kuat karena seakan membentuk pola aksi-reaksi di antara pemerintah bersama pendukungnya di satu sisi, dengan oposisi di sisi lain. Seakan pendukung keindonesiaan (sebagian memang mendukung tanpa kepentingan apa pun) di satu sisi, dengan yang tidak mendukung keindonesiaan (sebagian memang tidak mendukung secara ideologis) di sisi lain.

Rasa persaudaraan hilang

Dalam hemat penulis, ada satu hal yang lebih krusial dari semua tantangan tersebut, yaitu hilangnya rasa persaudaraan. Dalam konteks seperti ini, kita bisa mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri: apakah bangsa ini telah terbelah? Apakah aku sebagai individu telah terbelah dari aku-aku yang lain sebagai satu warga negara-bangsa? Hanya kita yang bisa menjawab secara pasti. Jawaban yang menjadi indikator ke(tak)terbelahan kita sebagai satu warga negara-bangsa.

Manakala kita memandang dan meyakini yang lain sebagai musuh (bukan sebagai saudara), maka sejak saat itu kita sebagai warga bangsa telah terbelah. Baik dalam arti agama, ras, suku, golongan, ormas, mazhab pemikiran, mazhab ekonomi, kenegaraan, kelompok politik, maupun lainnya.

Sebaliknya, manakala yang lain itu masih menjelma sebagai saudara dalam sanubari kita, sesungguhnya keterbelahan itu tak pernah terjadi, sejauh apa pun yang lain itu berada: tak hanya mereka yang berada di rumah ibadah berbeda, tak hanya mereka yang berada di kelompok politik berbeda.

Persoalannya adalah, disadari atau tidak, sebagian dari kita mengidap penyakit "persaudaraan langkah kaki" atau al-ukhuwah al-ba'idah (persaudaraan jauh). Ini sejenis persaudaraan yang berpijak pada bumi-bumi yang jauh di sana. Sementara bumi-bumi yang dekat di sini justru "dilangkahi" dan tak mendapatkan pijakan persaudaraan kita.

Persaudaraan langkah kaki telah membuat penderitaan masyarakat yang jauh di luar Indonesia terasa begitu dekat, tetapi pada waktu bersamaan, kita hampir mengabaikan penderitaan masyarakat di sekitar kita. Persaudaraan langkah kaki membuat kita hampir mengabaikan bahkan mungkin memusuhi mereka yang berbeda di sekeliling kita.

Persis seperti berjalan kaki, kita ayunkan kaki persaudaraan untuk memijak tanah-tanah yang terjauh dalam jangkauan kita, tetapi kita mengabaikan tanah-tanah dekat yang ada di antara langkah-langkah kita.

Persaudaraan menyeluruh

Apa yang disampaikan oleh para tokoh panutan terkait dengan persaudaraan sejatinya menjadi renungan, refleksi, dan introspeksi bagi semua pihak, khususnya para pengambil kebijakan. Sebagai contoh, KH Akhmad Shiddiq (1926-1991) mengenalkan konsepsi persaudaraan menyeluruh yang berpijak pada tiga komponen utama, yaitu persaudaraan atas dasar keagamaan (dalam hal ini Islam, ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukuwah insaniyah).

Dalam hemat penulis, dilihat dari norma-norma keislaman yang bersifat universal, konsep persaudaraan menyeluruh di atas bisa ditambah dengan satu komponen lagi, yaitu persaudaraan sesama makhluk (ukhuwah khalqiyah).

Dalam salah satu ayat Al-Quran (QS 21: 107) disebutkan bahwa kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam (wama arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin, dan, "Kami tidak mengutus engkau—Muhammad— melainkan untuk—menjadi— rahmat bagi seluruh alam)."

Istilah seluruh alam tentu tak hanya merujuk pada golongan-golongan manusia tertentu. Bukan juga hanya merujuk kepada manusia secara umum, melainkan merujuk kepada seluruh makhluk yang diciptakan Allah SWT.

Dalam pancaran konsepsi persaudaraan menyeluruh ini, tak ada pihak di bawah kolong langit ini yang dapat disebut (apalagi diperlakukan) sebagai musuh. Karena kalau bukan saudara seagama atau saudara sebangsa, yang lain adalah saudara sesama makhluk berakal budi. Bahkan yang tak berakal budi sekalipun masuk dalam jangkauan: persaudaraan sesama makhluk.

Rasa persaudaraan ini sangat penting untuk menumbuhkan sikap ataupun kebijakan yang proporsional dalam menyikapi yang lain. Walaupun berada di luar pemahaman keagamaan ataupun kenegaraan kita, martabat dan hak-hak mereka sebagai manusia harus tetap dihormati. Di samping itu, rasa persaudaraan akan mendorong tiap-tiap pihak untuk melakukan perjumpaan secara langsung dan memusyawarahkan hal-hal yang menjadi titik tengkar ataupun perselisihan.

Dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad SAW mengatakan, unshur akhaka dzaliman aw madzluman (tolonglah saudaramu yang zalim maupun yang terzalimi). Dalam hadis ini, Nabi menggunakan istilah saudara (akhaka) terhadap orang yang zalim sekalipun. Bahkan tindakan pun harus berada dalam orientasi yang positif dan  dalam bingkai persaudaraan, yaitu menolong (unshur).

Oleh karena itu, sejatinya persaudaraan menyeluruh ini menjadi modal dan kekuatan bangsa ini ke depan untuk menghadapi segala tantangan. Perbedaan yang ada bisa dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan bersama.

Hasibullah Satrawi Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA); Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir

Kompas, 31 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Indonesia dan Dewan Keamanan PBB (Kompas)

AP PHOTO/RICHARD DREW

Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyampaikan pernyataan dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang pertama kali diikuti Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020, di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Selasa (22/1/2019).

Dewan Keamanan merupakan organ sangat penting di tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tugas pokoknya ialah menjaga keamanan dan perdamaian dunia.

Dewan Keamanan PBB terdiri dari 5 anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap. Kelima anggota tetap—Amerika Serikat, Rusia (dahulu Uni Soviet), Inggris, Perancis, dan China—sangat spesial. Mereka memiliki hak veto atas resolusi-resolusi yang dihasilkan DK PBB. Keistimewaan ini berakar pada posisi mereka selaku pemenang perang dan proses terbentuknya PBB pasca-Perang Dunia II.

DK PBB memiliki wewenang untuk menghasilkan keputusan yang mengikat 193 anggota organisasi dunia tersebut. Lima belas anggota DK PBB bertemu secara reguler untuk membahas keamanan internasional, menangani berbagai masalah yang meliputi perang saudara, bencana alam, pengendalian senjata, serta terorisme.

Pertarungan di antara mereka terlihat dalam sidang organ PBB tersebut. Sejumlah resolusi DK PBB terkait konflik di Suriah yang berpihak kepada AS, misalnya, diveto Rusia dan China. Sebaliknya, resolusi yang mengecam Israel diveto AS.

Situasi itulah yang dihadapi negara-negara yang menjadi anggota tidak tetap PBB, termasuk Indonesia. Mulai 2019 hingga 2020, Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB. Sebelum ini, Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.

Meski ada lima anggota tetap yang memiliki hak veto, masih tersedia ruang bagi negara-negara anggota tidak tetap untuk memberikan kontribusi positif. Saat ini, ruang tersebut terutama terletak pada upaya pencegahan dan penanganan konflik di wilayah Afrika. Centre for International Policy Studies yang berbasis di Kanada menyebutkan, sebagian besar konflik di dunia, dan hampir sepertiga dari pengungsi akibat konflik-konflik itu, berada di Afrika.

Maka, selaras dengan pemaparan Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono di harian ini, kemarin, Indonesia perlu berkontribusi pada penyelesaian instabilitas politik di wilayah itu, selain penyelesaian konflik di Timur Tengah. Karena itu, operasi penjaga dan pembangun perdamaian harus menjadi prioritas utama.

Pada pekan lalu, dalam pertemuan anggota DK PBB, Indonesia menawarkan penguatan misi perdamaian. RI juga menyuarakan sikap membela Palestina serta mengangkat isu perubahan iklim sebagai bentuk ancaman bagi keamanan dunia. Sebagaimana sudah diperkirakan, perbedaan pendapat dengan sejumlah negara besar tidak terhindarkan.

Kritik terhadap DK PBB karena dinilai tak sesuai perkembangan zaman bermunculan. Jerman yang kini menjadi anggota tidak tetap menyuarakan keinginan menempati posisi setara dengan lima pemilik hak veto. Tentu tak mudah melakukan reformasi. Kondisi ini merupakan tantangan bagi Indonesia. Kontribusi yang diberikan Indonesia diharapkan akan bermanfaat bagi kemanusiaan.

Kompas, 31 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ANALISIS POLITIK: Kepemimpinan Agama (AZYUMARDI AZRA)

ABK

Azyumardi Azra

Suka atau tidak, agama semakin menjadi isu kontroversial dalam politik Indonesia menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 17 April 2019. Banyak kalangan yang peduli terhadap keutuhan NKRI, beserta UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika, kian khawatir, penggunaan dan penyalahgunaan (use and abuse) agama dalam pemilu dapat menimbulkan konflik yang, jika tidak terkendali, bisa menyuburkan bibit disintegrasi.

Kenapa hal-hal terkait agama harus dibawa ke kontestasi politik? Hal ini terkait asumsi pelakunya bahwa agama bersifat primordial yang dapat membangkitkan sentimen dan attachment pemilih. Oleh karena itu, bagi pelakunya, ajaran agama, pranata dan lembaga agama, sampai kepemimpinan agama harus dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Penggunaan agama dalam kontestasi politik bukan hanya gejala di Indonesia, melainkan juga di banyak negara demokrasi lain—bahkan yang menganut ideologi sekularisme. Pemisahan atau peminggiran agama dari ranah publik sesuai prinsip sekularisme Amerika Serikat atau laicite Perancis, dalam banyak segi, semakin tidak lagi bisa dipertahankan.

Dengan begitu, perlahan tapi pasti agama kembali ke ranah publik, dan kemudian menjadi bagian dari kebijakan politik pemerintah, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Gejala ini sejak pertengahan 1980-an disebut teolog Harvey Cox sebagai "the return of religion to secular city" (1985).

Semangat kebangkitan agama (religious revivalism) di kalangan Kristen Protestan di AS terjadi pula di negara-negara lain. Gejala kebangkitan agama yang mengimbas ke politik juga terlihat di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim (seperti Pakistan dan Aljazair), Hindu (seperti India), dan Buddha (seperti Sri Lanka dan Myanmar).

Fenomena kebangkitan agama (khususnya Islam sebagai agama mayoritas penduduk) juga terjadi di Indonesia. Di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, sejak awal 1990 mulai berkembang fenomena yang disebut sebagian Indonesianis dan pengamat sebagai "ijo royo-royo" dalam kehidupan sosial, budaya, dan juga politik.

Secara kelembagaan, fenomena ini terlihat dari pembentukan ICMI, pendirian bank Islam pertama (Bank Muamalat Indonesia). Secara sosial-keagamaan, gejala ini tampak dengan meluasnya pemakaian jilbab di kalangan Muslimah. Semua gejala ini mencerminkan peningkatan kedekatan dan kecintaan (attachment) kepada Islam.

Namun, kebangkitan semangat keagamaan dalam bidang politik tidak pernah teraktualisasi. Sejak kekuasaan Orde Baru runtuh untuk digantikan demokrasi—sejak terselenggara pemilu demokratis pertama pada 1999 dan seterusnya (2004, 2009, 2014)—tidak terjadi "ijo royo-royo" politik Indonesia. Partai politik pemenang empat kali pemilu itu tidak satu pun berasaskan Islam; semuanya berdasar Pancasila (PDI-P 1999, Partai Golkar 2004, Partai Demokrat 2009, dan PDI-P 2014).

Dari sudut ini jelas, politik identitas dengan politisasi agama, pranata dan lembaga agama, dan kepemimpinan agama tidak pernah efektif dalam kontestasi politik Indonesia. Juga belum terlihat pertanda meyakinkan gejala ini bakal dapat dibalikkan dalam Pemilu 2019 mendatang.

Kepemimpinan agama

Kepemimpinan agama, baik yang memiliki otoritas keagamaan atas dasar penahbisan resmi (seperti dalam tradisi Kristianitas; Protestanisme dan Katolik), maupun lebih karena pengakuan sosial (seperti Islam) memiliki tanggung jawab khusus menjaga penyalahgunaan agama dalam kontestasi politik. Agama bersifat ilahiah yang kudus dan suci, sementara power politics bisa menghalalkan semua cara.

Masalahnya kemudian, tidak semua kepemimpinan agama dapat mencegah pelibatan dan penyalahgunaan agama dalam kontestasi politik. Keadaan ini terkait sifat kepemimpinan agama; ada yang bersifat sentralistis melalui penahbisan seperti dalam hal Kristianitas, khususnya Katolik yang lebih ketat dan sentralistis. Sebaliknya ada yang longgar dan terbagi ke berbagai lembaga, seperti terlihat dalam kasus Islam.

Indonesia beruntung karena enam agama memiliki majelis agama masing-masing. Namun, tidak semua majelis agama memiliki otoritas penuh atas umat/kongregasi, lembaga keagamaan, dan ormas. Kontestasi dan pemencaran otoritas kepemimpinan agama kian meningkat dengan munculnya otoritas baru yang menyebar melalui dunia maya. Tak jarang, otoritas baru ini menyebarkan paham keagamaan dan politik berbeda dengan paradigma dan otoritas mainstream yang diwakili majelis agama.

Memandang keadaan, seluruh majelis agama perlu mengonsolidasikan otoritasnya untuk dapat memainkan peran konstruktif dalam pencegahan penyalahgunaan agama dalam pemilu. Untuk itu, perlu akselerasi dialog intra-agama guna merumuskan bimbingan politik bagi umat masing-masing.

Tak kurang pentingnya, seluruh majelis agama dapat memberikan panduan sikap politik terkait pemilu sesuai ajaran agama. Pada saat yang sama juga memberikan perspektif tentang kekuatan politik yang lebih mungkin mendatangkan kemaslahatan dan kemajuan bagi negara-bangsa. Umat pastilah sangat terbantu dengan panduan seperti itu.


Kompas, 31 Januari 2019


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Tenggelamnya Politik Progresif (ARIF SUSANTO)

Dalam dinamika politik kontemporer, kekuatan politik progresif tampak menyusut signifikansinya.

Progresivisme politik kini menghadapi tantangan ganda konservatisme di dalam ataupun di luar kekuasaan, yang mengutamakan perolehan sepihak kekuasaan. Merebut kendali diskursus politik menjadi pintu masuk pengarusutamaan ide-ide progresif bagi kemajuan demokrasi Indonesia.

Alas Indonesia dibangun dari pemikiran-pemikiran progresif, yang mengangankan bukan semata kebebasan, melainkan juga perwujudan demokrasi dan segenap nilai kemanusiaan. Pemikiran-pemikiran progresif memberi terang pada gagasan keindonesiaan, yang kelopaknya telah mulai kuncup menyongsong abad XX. Pantaslah apabila keberadaan Indonesia terasa kontekstual hingga kini.

Sikap politik progresif para pelopor tersebut memberi jiwa bagi Indonesia merdeka yang modern, bahkan sejak raga kenegaraan kita belum tegak. Inilah elan kebaruan yang menantang berbagai keterbatasan demi meraih kendali perubahan. Sungguh suatu sikap berisiko, menimbang laju dinamika sosial politik saat itu belum sanggup diimbangi kemajuan kapabilitas pranata politik.

Ketertinggalan tersebut diperparah buruknya kemampuan para pelaku politik dalam mengelola perbedaan kepentingan hingga berujung pada konflik berdarah. Situasi ini mengubah sama sekali arah pembangunan bangsa kita, yang kemudian mandek karena harus memberi jalan bagi penciptaan stabilitas sebagai alas baru bagi modernisasi ekonomi dan ideologi pembangunan.

Gagasan progresif tentang politik lalu menguap di tangan rezim Orde Baru. Bukan saja keberagaman pandangan diberangus, kemanusiaan pun dikebawahkan demi capaian-capaian ekonomi. Dinamika politik ditelan pemusatan kekuasaan dan hanya sedikit berubah pada 1990-an demi melindungi keberlangsungan kekuasaan itu sendiri sebelum akhirnya Soeharto tumbang.

Sempat bersemi pada masa awal Reformasi, politik progresif kembali layu seiring tergesernya kekuasaan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Konservatisme politik menggejala bersama rekonsolidasi ekonomi dan politik kekuatan lama. Bukan hanya sepi terobosan politik, kemunduran demokrasi terasa ironis di tengah stabilisasi kekuasaan hasil kebijakan akomodasionistik pada rezim Megawati, sebagaimana juga pada rezim Yudhoyono.

Kesempatan bagi politik progresif kembali terbuka saat kekuatan-kekuatan sosial nonkonvensional terlibat dalam upaya merebut kendali ruang-ruang politik pada Pemilu 2014. Gagasan-gagasan politik progresif terserap bersama masuknya sejumlah aktor gerakan sosial dalam kekuasaan. Sayangnya, agenda konsolidasi kekuasaan Jokowi mementahkan harapan kemajuan.

Menghadapi kerasnya tekanan-tekanan politik, termasuk penggunaan politik kebencian berbasis identitas, Jokowi cenderung akomodatif demi mempertahankan kekuasaan. Minim perdebatan gagasan, politik nasional berfokus pada kontestasi kuasa. Hasilnya, lima tahun terakhir, kita menyaksikan penjinakan politik progresif dari luar ataupun dalam kekuasaan.

Menggeser episentrum

Dua puluh tahun terakhir, demokrasi Indonesia dibebani kepentingan para pengganggu yang selalu menciptakan ancaman manakala mereka tidak mendapatkan bagian memadai dalam distribusi kuasa. Tidak sekadar mendelegitimasi rezim berkuasa lewat kritik dan intrik, mereka terus-menerus mendegradasi kualitas demokrasi lewat pengaruh politik dan bahkan kekerasan.

Kajian Aspinall (2010) ataupun Power (2018) merefleksikan suatu kondisi konsisten bahwa memburuknya kualitas demokrasi Indonesia adalah harga untuk bertahannya kekuasaan. Agenda pertama setiap rezim terpilih adalah tentang mempertahankan kekuasaan; dan berhadapan dengan para pengganggu, mereka lebih suka mengorbankan kemajuan demokrasi kita.

Dalam pertarungan politik semacam itu, kekuatan politik progresif hampir tidak pernah menjadi pelaku utama. Sementara pengaruh mereka dalam rezim berkuasa masih lemah, mereka pun belum memiliki kekuatan memadai untuk memukul jatuh para demagog. Tantangan demokrasi menjadi kian pelik dan kekuatan politik progresif tampak kewalahan menghadapi itu semua.

Baik pada masa SBY maupun Jokowi, misalnya, KPK mendapat pukulan telak dari perbuhulan culas politik dan ekonomi. Betapapun terdapat gerakan sosial meluas untuk mendukung KPK, penyelesaian politik sebagai suatu win-win solution di kalangan elite hanya menghasilkan keseimbangan baru kekuasaan, yang justru berarti suatu kemunduran bagi penegakan hukum dan demokrasi.

Yang lebih akhir adalah menguatnya populisme kanan memanfaatkan prasangka identitas dan disinformasi. Dalam kasus tersebut, kekuatan progresif tampak digerus konservatisme politik yang bergandengan dengan ide superioritas primordial. Persatuan dalam keberagaman meranggas dirontokkan kecenderungan fasisme mayoritarian, yang juga menghantam secara global demokrasi.

Menghindari skenario buruk ambruknya demokrasi, kekuatan-kekuatan politik progresif yang berserak patut mengonsolidasikan suatu aliansi strategis. Menghidupkan diskursus dan merebut kendali arus informasi menjadi kebutuhan mendesak. Dengan itu, kalangan progresif dapat menghadirkan suatu wacana alternatif atas persoalan-persoalan bersama yang perlu segera diselesaikan.

Yang cukup pokok adalah meyakinkan rezim berkuasa bahwa pemihakan terhadap agenda progresif dalam politik Indonesia berkemungkinan menjaga keberlangsungan kekuasaan sekaligus berkontribusi bagi pemajuan demokrasi. Dua hal terakhir bukanlah alternatif pilihan; keduanya perlu dipahami sebagai suatu kesatuan yang dapat dicapai tanpa mengorbankan salah satunya.

Agar tidak surut dan tenggelam, kekuatan politik progresif memiliki tugas berat menggeser episentrum politik: dari kontestasi kekuasaan menuju diskursus gagasan politik. Sementara agenda politik terus menjauh dari pembaruan sosial, Pemilu 2019 menyediakan suatu momentum untuk menegaskan kesadaran baru bahwa arah politik mesti dikembalikan pada cita-cita progresif para pendiri bangsa.

Arif Susanto Analis Politik Exposit Strategic; Pegiat Lingkaran Jakarta

Kompas, 30 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Modal dari Rakyat untuk Rakyat (Kompas)

Biaya kampanye calon anggota legislatif melonjak. Untuk percaya diri bisa terpilih kembali sebagai anggota DPR, mereka menyiapkan dana hingga Rp 5 miliar.

Seperti diberitakan harian ini, Selasa (29/1/2019), sejumlah calon anggota parlemen mengutarakan kenaikan biaya kampanye Pemilu 2019. Bahkan, kenaikannya bisa 10 kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Padahal, biaya pembuatan alat peraga kampanye hampir tak ada perubahan dibandingkan dengan lima tahun lalu.

ANTARA FOTO/HENDRA NURDIYANSAH

Petugas gabungan mencopot baliho saat penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) Pemilu 2019 di kawasan Kecamatan Kraton, Yogyakarta, Rabu (23/1/2019). Tim gabungan Bawaslu, KPU dan Satpol PP melakukan penertiban atribut kampanye Pemilu 2019 yang melanggar aturan pemasangan.

Pengakuan sejumlah calon anggota DPR, yang kini masih menjabat itu, kian menguatkan pengertian bahwa politik itu mahal. Di negeri ini, jika ingin menjadi pejabat publik, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

Tak hanya menjadi wakil rakyat, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau kepala dinas di daerah pun acap kali mereka harus mengeluarkan biaya besar. Akibatnya, sejumlah kepala daerah ditangkap karena menerima suap dari aparatur bawahannya yang menginginkan jabatan tertentu. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, kurun 2004-2018, ada 121 kepala daerah terbelit korupsi.

Jumlah anggota DPR dan DPRD yang terbelit korupsi lebih banyak lagi, 247 orang, pada kurun 2004-2018. Angka ini yang terbanyak dibandingkan dengan profesi lainnya yang terjerat korupsi dan ditangani KPK. Dalam masa sama, KPK menangani perkara korupsi yang melibatkan 998 orang. Sejumlah wakil rakyat yang terbelit korupsi mengakui "harus mengembalikan" modal yang dikeluarkan saat berlaga dalam pemilu, atau "mengumpulkan modal" untuk kembali berlaga dalam pemilu berikutnya.

Oleh karena itu, pernyataan sejumlah calon wakil rakyat tentang besarnya biaya kampanye Pemilu 2019 menimbulkan kekhawatiran. Jika mereka tidak memiliki modal sendiri, bisa jadi ada orang lain yang mendanai pencalonannya, dan pada gilirannya akan meminta kembali "investasi" yang ditanamkannya, beserta keuntungannya. Dalam politik, ada idiom "tiada makan siang gratis". Semua ada hitungan yang jelas. Jika mereka memakai modal sendiri, apakah tidak ingin "kembali modal", disertai dengan bunganya?

Harian Kompas, 11 Oktober 2018, melaporkan, anggota DPR dalam satu tahun, jika berhemat, bisa menabung sekitar Rp 2 miliar. Jika mereka menjabat selama lima tahun, sebenarnya modal untuk mencalonkan kembali itu sangat memadai. Tak perlu mereka berharap modal itu kembali, dengan keuntungan yang besar, sehingga terjerat korupsi dan menjadi pesakitan seperti yang selama ini terjadi.

Pasal 329 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilu menegaskan, kegiatan kampanye calon anggota DPR dan DPRD didanai dan menjadi tanggung jawab partai politik peserta pemilu. Komisi Pemilihan Umum juga menyediakan alat peraga kampanye. Dana kampanye memang bisa berasal dari calon wakil rakyat, yang selama ini memperoleh uang dari rakyat. Jadi, berapa pun biayanya, uang dari rakyat harus tetap dikembalikan kepada rakyat.

Kompas, 30 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger