Transaksi Gagal di ATM
Saya nasabah BTN Syariah Cabang Al Azhar, Kebayoran Baru. Pada 17 Mei 2015, pukul 16.29, saya menarik uang di ATM BRI (ATM Bersama) yang berlokasi di toko swalayan Indomaret Petir, Serang, Banten, Rp 500.000. Uang tidak keluar dan di layar ATM tertera pemberitahuan bahwa transaksi gagal.
Kemudian, pada 14 Juli 2015, saya mencetak (melakukan print) buku tabungan saya di BTN Syariah. Betapa kecewanya saya karena di sana transaksi tersebut dinyatakan berhasil dan dana tabungan saya terdebit Rp 500.000.
Pada hari yang sama, 14 Juli, saya melapor ke BTN Syariah dan petugas layanan nasabah meminta saya mengisi formulir pengaduan. Hasil yang didapat setelah 14 hari kerja adalah pernyataan bahwa transaksi tersebut dianggap berhasil dan tidak bermasalah.
Kecewa dengan putusan itu, saya meminta difasilitasi untuk melihat rekaman CCTV di ATM BRI Indomaret Petir sebagai bukti dan saya menyanggupi membayar biaya Rp 150.000 seperti disampaikan petugas layanan nasabah BTN Syariah. Namun, saya sekali lagi kecewa karena setelah menunggu sekian lama ternyata pihak BRI tidak bisa memberikan rekaman CCTV yang dijanjikan. Menurut mereka, pihak BRI menyampaikan bahwa laporan keuangan mereka balance dan tidak bermasalah. Pengaduan saya pun jadi buntu dan tidak bisa ditindaklanjuti.
Informasi tentang kemungkinan konfirmasi lewat CCTV berasal dari BRI sendiri, yang berjanji akan menyampaikan kepada saya lewat staf layanan nasabah pada 30 Oktober 2015. Akan tetapi, sampai 17 November, hasil konfirmasi belum juga diterima sehingga saya proaktif menelepon BTN Syariah untuk mengetahui hasilnya.
Sebagai nasabah, saya merasa dirugikan dan tidak mampu melakukan apa pun, termasuk untuk membuktikan bahwa saya tidak membuat laporan palsu. Saya kecewa karena BTN Syariah tidak optimal membantu nasabahnya.
ISYA SYAMSUDIN EMAIL, JALAN KH DEWANTORO, CIPUTAT, TANGERANG SELATAN
Salah Kode Bank
Saya nasabah Bank BRI yang pada 18 Maret 2014 mentransfer dana melaluielectronic data capture atau mesin gesek BRI sebesar Rp 6 juta ke Bank BCA, ke rekening nomor 7510291xxx, atas nama Arpan. Ketika itu, saya salah meng-inputkode bank sehingga dana yang dikirim masuk ke Bank Permata dengan nomor rekening sama, tetapi atas nama Gungun Tusyadi.
Pada 27 Maret 2014, saya menyampaikan pengaduan melalui BRI Otista (Jalan Otto Iskandar Dinata) untuk diteruskan ke kantor pusat BRI dan kemudian dikirim ke Bank Permata. Oleh karena Bank Permata tak kunjung menyampaikan tanggapan ke BRI, pada 10 November 2014 saya mengirim surel ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui telepon, OJK menyampaikan, permasalahan seperti ini harus disampaikan ke Bank Indonesia.
Namun, ketika hal ini saya sampaikan lewat telepon ke Bank Indonesia, mereka mengatakan bahwa Bank Permata yang akan menyelesaikan. Bank Permata saya hubungi dengan mendatangi langsung kantor pusatnya, tetapi tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
Sampai sekarang, kasus perbankan saya ini sudah berjalan lebih dari satu tahun dan belum ada penyelesaiannya. Mohon pihak-pihak terkait membantu menemukan solusinya.
ENDANG MOCHAMAD CHUSNI, JALAN PEMBINA I NOMOR 384 AWALUMBU, BEKASI
Keluhan Tak Ditanggapi
Saya pemegang Garuda Indonesia Citicard nomor 5520-4220-4040-91xx. Setiap bulan saya selalu tertib membayar tagihan kartu kredit ini. Namun, setiap bulan saya juga selalu menerima dua surat tagihan lain, yakni untuk Citi Rewards Card nomor 4140-0940-4092 8299 dan 4140-0920-7126-3008 yang tidak saya miliki.
Meski terus bertambah, tagihan ini tentu saja tidak saya hiraukan dan tidak saya bayar. Saya telah berulang kali mengadukan hal ini kepada Citibank (CB 9999), tetapi tak pernah ada tanggapan.
Tagihan-tagihan ini sangat merugikan dan menjengkelkan saya. Saya pun khawatir di kemudian hari dapat terjadi penyalahgunaan yang lebih besar lagi.
JT SIAHAAN, JALAN SAYUTI RT 003/005 RAWASARI, JAKARTA PUSAT
Sertifikat Tidak Ada di Bank
Pada 23 November 2006, saya dan istri membeli sebuah rumah di Perum Kemang Swatama Blok H Nomor 17, Cilodong, Depok, Jawa Barat. Rumah dibeli dari perusahaan pengembang PT Swadaya Ridatama dengan fasilitas KPR dari Bank Niaga. Perjanjian kredit atas nama Yunita Purwantini ditangani oleh notaris Supriyanto yang beralamat di Mal Depok, Jalan Margonda Raya.
Pada 2008, kami menanyakan status sertifikat rumah tersebut, dijawab bahwa sertifikat belum ada. Sementara itu, berdasar keterangan notaris, data pembayaran PBB induk tahun 2006 belum ia terima sehingga pengurusan sertifikat belum bisa dilakukan.
Selanjutnya, kami mengirim surat kepada pengembang PT Swadaya Ridatama dengan tembusan kepada pihak notaris dan Bank Niaga, memohon agar segera memberikan data pembayaran PBB ke notaris agar pengurusan sertifikat dapat segera diselesaikan. Pada 2010, kami sempat bertanya lagi kepada Bank Niaga dan notaris. Namun, informasi yang kami dapat tetap sama, yakni sertifikat belum ada.
Saat hendak mengambil jaminan (sertifikat) di Bank Niaga Bintaro, setelah kami melunasi pinjaman pada November 2015, ternyata sertifikat tetap belum ada. Kami hanya diminta untuk menandatangani surat serah terima dokumen akta jual beli dan perjanjian kredit. Namun, kami menolak karena di dalam Surat Perjanjian Kredit Nomor 035/PK/017/2/11/2006 Pasal E jelas disebutkan, jaminan yang ada dalam bentuk sertifikat.
Hal yang janggal adalah calon tetangga kami, yang akad kredit pada tanggal yang sama, 23 November 2006, untuk pembelian rumah/tanah yang berdampingan dengan kami, sertifikatnya ada.
Kami mohon penjelasan Bank Niaga tentang hal ini. Apakah dalam proses analisis kredit, unsur jaminan diabaikan? Jika demikian, hal ini merupakan kecerobohan yang sangat merugikan kami. Kami telah memenuhi kewajiban membayar pinjaman pokok plus bunganya, tetapi hak kami diabaikan.
Kami berdoa semoga sertifikat yang menjadi hak kami dapat segera diterima.
RAINLIYUS CAHYA NEGARA, PERUM KEMANG SWATAMA BLOK H NOMOR 17, DEPOK
Tanggal Jatuh Tempo Diubah Sepihak
Saya mohon pihak BII/Maybank agar lebih manusiawi dalam menjalankan aturan. Mohon juga tidak membuat keputusan sepihak dan menyampaikannya hanya melalui pesan teks singkat (SMS).
Sebagai nasabah yang memanfaatkan fasilitas pita (pinjaman tanpa agunan), saya menyesalkan diubahnya tanggal jatuh tempo pembayaran cicilan dari tanggal 27 menjadi tanggal 23 setiap bulannya. Setelah perubahan ini, pihak bank terus-menerus menghubungi saya antara tanggal 23 dan 27. Panggilan telepon bisa sampai lima kali dalam sehari, menanyakan pembayaran angsuran yang dianggap terlambat. Padahal, sejak awal sudah disepakati bahwa tanggal jatuh tempo adalah tanggal 27, dengan alasan setiap bulan saya menerima gaji juga pada tanggal 27.
Sejak angsuran pertama berjalan pada Januari 2015 hingga Oktober lalu, pembayaran lancar, tidak ada masalah. Akan tetapi, setelah tanggal jatuh tempo dipercepat, yang saya anggap dilakukan secara sepihak, saya merasa seperti dikejar-kejar utang, yang tidak bisa saya bayar pada setiap tanggal 23.
Panggilan-panggilan telepon dari bank yang dilakukan dengan nomor yang berbeda-beda dan untuk menanyakan hal yang sama tidak seharusnya dilakukan. Tolong carikan solusi yang tidak merugikan kedua pihak, sesuai misi BII/Maybank yang berbunyi, humanising financial services.
RONNY WIRAYANA RUMANSAH, PERUMAHAN MARGAHAYU RAYA BARAT BLOK Q2, BANDUNG 40286
Meminta Tanggung Jawab Bank
Saya salah seorang pemegang kartu Visa dari Bank Mega dengan nomor 4890-8700-5416-21xx. Pada 2-4 tahun lalu, ada kemacetan membayar angsuran kartu kredit tersebut karena saya terbelit masalah ekonomi.
Suatu ketika, ada program pembayaran pinjaman kartu kredit pelunasan dengan cara dicicil tiga kali, dan saya memutuskan mengikutinya. Saat jatuh tempo untuk membayar cicilan yang kedua, uang Rp 1 juta yang saya titipkan kepada orang suruhan Bank Mega ternyata tidak disetorkan. Saya menitip karena memang diminta menitipkan kepada petugas yang datang mengambil.
Saat akan membayar cicilan terakhir, cicilan ketiga, pihak Bank Mega menanyakan pembayaran cicilan yang kedua. Saya jawab bahwa uangnya telah diambil orang suruhan mereka. Bank Mega menyatakan akan langsung menginvestigasi dan berjanji segera mencari penyelesaian. Namun, hingga kini masalah tersebut belum juga selesai.
Persoalan malah berkembang karena tiba-tiba ada pihak lain lagi yang datang menagih pembayaran utang disertai bunga yang tinggi. Saya sebagai nasabah merasa dirugikan dan merasa dipermainkan Bank Mega. Apalagi, saya kehilangan dana pembayaran Rp 1 juta yang seharusnya sudah dapat menyelesaikan masalah tunggakan saya.
Sekarang, kepada siapa saya harus meminta pertanggungjawaban? Di mana tanggung jawab Bank Mega yang menyuruh pihak ketiga datang menagih dan mengambil dana, yang kemudian ternyata nakal?
EDY SOESANTO, PERUMAHAN DUTA GARDENIA BLOK G6 JURUMUDI BARU, BENDA, TANGERANG
Hati-hati dengan Cicilan 0 Persen
Pada 24 Oktober 2015, saya bermaksud menutup kartu kredit CIMB Niaga saya. Namun, karena masih punya kewajiban mencicil kredit berbunga 0 persen, saya ingin melunasi sisa cicilan tersebut sebagai salah satu syarat agar kartu kredit saya dapat ditutup.
Namun, alangkah kagetnya saya begitu mendengar penjelasan bagian layanan nasabah CIMB Niaga bahwa untuk melunasi cicilan 0 persen tersebut maka saya akan dikenai biaya denda (penalti) sebesar 5 persen dari sisa cicilan. Saya minta agar biaya denda tersebut dihilangkan, tetapi pihak CIMB Niaga menjawab bahwa biaya tersebut sudah menjadi risiko pelanggan yang hendak melunasi cicilan.
Menurut saya, denda ini tidak masuk akal. Saya ingin melaksanakan kewajiban saya untuk melunasi cicilan lebih cepat untuk proses penutupan kartu kredit, tetapi malah kena denda.
CHRISTINA HALIM, SUTERA JELITA UTAMA NOMOR 66, ALAM SUTERA, SERPONG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.