Oleh SUWIDI TONO
Demokrasi kita saat ini sedang menginjak tahap krisis legitimasi. Suatu situasi ketika semua pranata politik lalai menjaga batas-batas kesetiaan dan kepatuhan rakyat. Sementara kepentingan-kepentingan ekonomi dan oligarki politik terus mendesakkan pengaruhnya, menguasai dan menentukan hajat orang banyak.
Padahal, silogisme universal yang semakin diterima kesahihannya mendasarkan pada premis, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi adalah mustahil, demikian pula sebaliknya.
Aspirasi rakyat pada akhirnya harus diartikulasikan dalam praksis kebijakan seluruh tatanan. Inilah raison d'etre, cita-cita mulia, mengapa demokrasi dibutuhkan dan dianjurkan sebagai mantra ampuh untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Sukma keadilan
Redupnya antusiasme reformasi mengantarkan kita pada dua jenis cacat sistemik yang saling berkaitan.
Pertama, demokratisasi kental bercorak elitis, mengadopsi kaidah arus utama yang memisahkan para pelaku dan pegiat demokrasi berdasar peran fungsional, bukan substansi. Akibatnya, 15 tahun berlalu, panggung tak banyak berubah. Hiruk-pikuk politik terjerembab ke kubangan involusi, seolah-olah bergerak, sejatinya cuma berputar-putar dengan pola ajek serupa.
Keganjilan praktik demokrasi meruyak. Di tingkat elite, oligarki berkelindan melulu melayani kompromi kepentingan di atas prioritas kebutuhan bangsa. Di daerah-daerah terbentuk pseudo-monarki melalui pemanfaatan akumulasi modal politik, kekuasaan, uang, dan fanatisme primordial. Maraknya politik kekerabatan di berbagai daerah, selain mencederai demokrasi, juga mencemaskan prospek keindonesiaan kita.
Apa yang diidealkan sebagai masyarakat politik, aktif berkontribusi dan sadar hak-kewajiban seharusnya disiapkan, conditio sine qua non, sintesis sekaligus pembelajaran setelah 32 tahun era masa mengambang. Kealpaan dan tiadanya kesabaran menimbulkan apa yang disebut George Orwell (1984) sebagai a continuous frenzy, kekacauan yang tak berkesudahan.
Malapraktik konstitusi dan ketergesaan melansir perubahan merangsang aneka eksperimen minus hakikat. Harapan rakyat terhadap parpol kian rendah, menjurus tak percaya seperti terlihat pada kemerosotan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada dan sinisme atas kinerja elite di eksekutif dan legislatif. Tak tampak kesungguhan melakukan introspeksi, beranjak menuju partai modern, yang jelas platform ideologi, program terukur, dan perekrutan kader berkualitas.
Ironisnya, kekuatan pengimbang, yakni kelompok prodemokrasi, justru terserak-serak, sibuk berebut opini di aneka pentas, tak kunjung melakukan reorganisasi dan konsolidasi. Olle Tornquist, mahaguru politik Universitas Oslo-Norwegia, mengkritik, "Jika aktivis prodemokrasi tidak membangun konstituen, mengorganisasi massa dari bawah, mereka akan termarjinalisasi. Gerakan prodemokrasi hanya akan menjadi kelompok lobi permanen, sementara politik dimonopoli oleh orang-orang buruk."
Kedua, kegaduhan politik paralel dengan kerusakan banyak aspek bernegara. Yang menggelisahkan adalah makin menjauhnya sukma keadilan dalam bangun ekonomi kita. Ketimpangan distribusi pendapatan mencolok, indeks Gini Ratio mencapai 0,41. Sebuah petunjuk telah terjadi penumpukan aset pada segelintir orang/perusahaan.
Majalah Forbes (29/11) merilis data, 40 orang superkaya Indonesia memiliki harta setara Rp 850 triliun, bandingkan dengan 42,1 juta pekerja formal yang berbagi pendapatan senilai Rp 1.450 triliun per tahun. Mayoritas pekerja tidak beroleh jaminan dan perlindungan memadai.
Perusahaan asing menguasai dan mengelola bagian terbesar sumber daya alam. Utang pemerintah dan swasta membengkak. Utang pemerintah (termasuk utang luar negeri) per November 2012 Rp 1.990 triliun, sedangkan utang luar negeri swasta mencapai 123,27 miliar dollar AS per September 2012.
Data itu merefleksikan paradoks kronis bila disandingkan klaim pertumbuhan tinggi, kenaikan pesat jumlah kelas menengah, dan derasnya arus investasi. Minimalnya mitigasi risiko utang dan terbuai capaian makro yang tak mengejawantah pada kesejahteraan rakyat banyak mengingatkan sikap puas diri otoritas 1990-1997.
Kita juga perlu merenungkan ekses hegemoni peradaban industrial-kapitalistis dengan dukungan politik negara yang meminggirkan prinsip keadilan sosial. Tandanya, muncul gejala anomi dan alienasi. Anomi adalah situasi absennya norma, yang hadir semua berbentuk penyimpangan. Adapun alienasi merupakan manifestasi dari depersonalisasi masif. Keduanya tumbuh subur akibat marjinalisasi. Dua jenis patologi sosial yang mengendap dalam keperihan kolektif, bila tidak tersedia jalan damai, mudah berubah menjadi anarki, bahkan revolusi.
Contoh sudah terlalu banyak. Konsorsium Pembaruan Agraria mendata ribuan kasus laten sengketa lahan perkebunan-pertambangan antara rakyat dan perusahaan swasta dan BUMN. Eskalasi protes buruh kian sering terjadi. Semua itu menunjukkan kemacetan mengurai persoalan.
Kita belajar dari sejarah. Tatkala kapitalisme agraris awal, banjir modal "menerjang" Jawa menyertai hadirnya ratusan perusahaan perkebunan (onderneming) Belanda paruh kedua abad XIX, Ronggowarsito (1802-1874) merekam pelapukan sosial. Pujangga Keraton Surakarta itu menyindir perilaku menyedihkan kaum elite. "Jika zaman sudah rusak atau Kaliyuga, tidak ada yang melebihi orang kaya. Orang pandai, berani, ulama/pertapa/ pendeta berilmu tinggi, semua menyembah dan menghadap orang kaya" (Serat Nitisastro: Tembang Kusumowicitro, 1913).
Nasionalisme kreatif
Berkhidmat pada konstitusi, kita menyesalkan praktik politik-ekonomi yang melenceng dari cita-cita proklamasi. Sejajar dengan warisan komplikasi masa lalu, konsentrasi perlu diarahkan untuk mengikis "penyakit" endemis, yakni elitisme (terutama kejahatan kerah putih terstruktur), marjinalisasi, dan ketimpangan. Nurcholish Madjid (1999) khawatir, jika euforia politik tak berakhir dan mengarah chaotic, Indonesia bisa terperosok ke lembah kesalahan yang sama. Rakyat lelah, frustrasi dengan politik, dan kembali menoleransi munculnya "orang kuat".
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, koreksi atas dampak predatorik liberalisasi datang dari ekonom berpengaruh, peraih Nobel, penggugat mashab mainstream, seperti Gunnar Myrdal, Hernando de Soto, Mohammad Yunus, Amartya Zen, Joseph E Stiglitz, dan Eric Stark Maskin. Ketakpastian, asimetri redistribusi aset, dan pendapatan di era pasar terbuka mewajibkan tiap negara melindungi kepentingan rakyat. Pesannya jelas, pengambil kebijakan yang "kenyang" pelajaran krisis ekonomi dunia dua dekade terakhir semestinya mulai condong, bersikukuh membela keadilan dan kemandirian.
Bertumpu pada asumsi tren laju pertumbuhan tinggi dan bonus demografi, tim Visi Indonesia 2030 meyakini bangsa ini bakal jadi lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita 18.000 dollar AS per tahun dan minimal 30 perusahaan Indonesia masuk daftar Fortune 500. Dari pengalaman negara-negara maju, resep generiknya sama, yakni bangkit, berbiaknya nasionalisme kreatif. Negara aktif memfasilitasi daya cipta dan kreasi anak bangsa.
Karakteristik nasionalisme ini adalah necessary condition, padanan cerdas globalisasi. Fondasinya, pendidikan berkualitas tinggi, terbangun basis sosial- kultural pro-kemajuan, birokrasi bersih-profesional, politik profetik melembaga, hukum tegak, dan bekerjanya roh konstitusi. Karena denyut politik-ekonomi kita abnormal, pendakian ke arah itu agaknya masih harus melewati jalan terjal dan berliku.
SUWIDI TONO Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"
(Kompas cetak, 23 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®