Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 30 Juni 2017

TAJUK RENCANA: Pertimbangkan Waktu (Kompas)

Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu masih terhenti di DPR. Belum ada kata sepakat terhadap sejumlah isu krusial, sementara waktu kian mepet.

Mengambil contoh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2014 bisa disahkan pada 14 April 2012. Pemilu Legislatif digelar 9 April 2014. Artinya, ada waktu dua tahun bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkan pelaksanaan Pemilu 2014 yang masih terpisah, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.

Mempertimbangkan soal waktu, pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang belum juga tuntas sampai Juni 2017 mengakibatkan KPU terdesak waktu dalam mempersiapkan Pemilu 2019. Belum lagi masih ada agenda pilkada tahun 2018. Situasi ini harus dipertimbangkan pemerintah dan DPR. Konsensus politik harus diupayakan guna menyelesaikan sejumlah isu krusial, khususnya ambang batas pencalonan presiden.

Dalam upaya membangun konsensus politik antarparpol itulah diperlukan sosok pembangun konsensus. Sangat wajar dan masuk akal jika Presiden Joko Widodo sendiri yang diharapkan membangun komunikasi politik dengan ketua umum partai politik guna mencari konsensus politik. Pilihannya bukan hanya soal ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden atau nol persen, melainkan argumentasi di balik itu dan bagaimana konsensus partai politik itu dibangun.

Kita berharap UU Pemilu 2017 menjadi undang-undang yang langgeng dan tidak harus setiap pemilu diawali dengan membuat aturan main baru. Ibarat pertandingan bola, selalu diawali dengan membuat lapangan dan aturan baru. Demokrasi membutuhkan keajekan regulasi.

Wajah Pemilu 2019 berubah ketika MK memerintahkan pelaksanaan pemilu digelar serentak, yakni pemilu presiden, pemilu DPR, pemilu DPD, dan pemilu DPRD provinsi dan DPRD kota. Pemilu serentak yang baru pertama kali akan menjadi pemilu yang kompleks. Dibutuhkan imajinasi yang luar biasa bagaimana mendesain pemilu serentak lima kotak itu dengan segala kompleksitas persoalan dan sebaran geografi Indonesia dengan jumlah pemilih potensial lebih dari 188 juta.

Faktor keterdesakan waktu inilah yang harus jadi pertimbangan. Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu tak boleh dibiarkan berlarut. Harus ada kesadaran bersama tentang waktu kapan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu itu harus diselesaikan. Kehadiran UU Penyelenggaraan Pemilu dan kesiapan KPU akan menentukan kualitas Pemilu 2019. Prakarsa Presiden Joko Widodo membangun konsensus politik soal RUU Penyelenggaraan Pemilu sangat diharapkan. Politik adalah seni untuk mencari berbagai kemungkinan. Tak ada jalan buntu.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Pertimbangkan Waktu".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Keamanan Global TI (Kompas)

Pengalaman Deputi Perdana Menteri Ukraina, Selasa (27/6), dramatis. Ia tulis di Twitter, di layar komputer tertulis "One of your disks contain errors".

Lalu, seperti dikabarkan The Washington Post hari itu, ada lagi ancaman untuk tak mematikan komputer karena kalau proses dibatalkan, semua data bisa rusak.

Itulah salah satu wujud serangan virus komputer—juga sering disebut sebagai serangan siber—yang kembali melanda dunia. Ini terjadi hanya sekitar dua bulan setelah serangan siber masif yang disebabkan oleh program komputer pemeras (ransomware) WannaCry. Seperti serangan terdahulu, virus yang kini dinamai Petya juga mengunci komputer sehingga tidak bisa digunakan. Komputer bisa digunakan lagi hanya jika pengguna membayar tebusan, waktu itu, setara 300 dollar Amerika Serikat (AS).

Ukraina, yang kena serangan terparah, harus menerima kenyataan, jaringan di kantor pemerintahan, perbankan, dan layanan publik terdampak. Sebagai negara yang memiliki hubungan buruk, khususnya setelah pencaplokan Crimea oleh Rusia tahun 2014, Ukraina menduga Rusia berada di balik serangan itu. Namun, Ukraina salah duga. Rusia juga ikut mengalami serangan. Bahkan, banyak juga negara lain, seperti Denmark, Spanyol, Norwegia, Inggris, Perancis, dan AS, yang terdampak.

Seperti Mei lalu, serangan kali ini dikaitkan dengan program peretasan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) EternalBlue yang bocor dan dimanfaatkan oleh orang jahat untuk melumpuhkan komputer yang menggunakan sistem operasi Windows. Sebenarnya, setelah menyadari ada kelemahan, Microsoft sebagai pembuatnya, Maret lalu, mengambil langkah pengamanan dengan menutup celah pada sistem operasi yang rentan dieksploitasi EternalBlue.

Kenapa masih banyak komputer yang terkena serangan Petya, dan variannya yang bernama GoldenEye? MenurutTheWashington Post, faktor pertama adalah kesadaran tentang keamanan jaringan belum menjadi prioritas. Bisa juga tak cukup ada dana untuk meningkatkan sistem keamanan jaringan komputer dengan sistem perlindungan paling mutakhir. Faktor lain, sebagian instansi berpikir, sistem yang ada masih jalan. Pembaruan dipandang kurang perlu. Sebagian lainnya terdampak karena menggunakan perangkat lunak tidak orisinal.

Menanggapi terjadi kembali serangan siber, kita kembali memetik hikmah. Tersedianya komputer dan jaringannya dalam banyak hal membantu kelancaran kerja. Namun, pada sisi lain, terintegrasinya sistem secara global melalui jaringan internet juga membuat kita tersandera.

Mau tak mau harus ada ongkos yang dikeluarkan untuk membangun sistem keamanan. Itu pun bukan jaminan 100 persen karena peretas juga terus meningkatkan kemampuannya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Keamanan Global TI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Transportasi di Bandung//Tanggapan BPJS//Tanggapan JNE (Suara Pembaca Kompas)

Transportasi di Bandung

Selamat atas banyak prestasi Pemerintah Kota Bandung dengan nakhoda Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Meski demikian, ada hal-hal yang belum tersentuh pembenahan. Salah satunya adalah pengelolaan Trans Metro Bandung (TMB).

Moda transportasi gagasan pemerintah pusat ini, awalnya memang ditentang para pengusaha angkutan swasta karena khawatir mengurangi pendapatan mereka. Namun, karena janji Pemkot Bandung untuk hanya berhenti di halte dan melalui jalur yang bukan rute angkot, jadilah TMB menjelajahi wilayah Bandung Raya.

Sayang, janji TMB untuk berhenti di halte saja, tidak sepenuhnya dijalankan. TMB bisa berhenti di mana saja, tergantung di mana penumpang ingin turun atau calon penumpang ingin naik. Lalu untuk apa halte begitu banyak dibangun? Sungguh sayang investasinya.

TMB juga masih menggunakan karcis melalui sopir atau kondektur di dalam bus, belum menggunakan kartu sesuai ajakan pemerintah dengan "Gerakan Nasional Nontunai dengan Menggunakan Uang Elektronik." Sering kondektur atau sopir tidak memberikan karcis kepada penumpang, dengan berbagai alasan.

Padahal, ongkos terus naik, semula Rp 4.000 menjadi Rp 6.000 dan sekarang Rp 8.000 untuk jarak tempuh terjauh. Dari dan ke jurusan kawasan Gedebage, pengamen bahkan diperbolehkan masuk.

Sebenarnya sudah ada usaha Wali Kota dengan beberapa kali mengganti Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung, tetapi belum menampakkan hasil. Mengapa tidak memanfaatkan keberadaan para ahli transportasi ITB? Mengapa tidak belajar dari pengelola transjakarta, Trans Semarang atau Transjogja? Hanya dengan Rp 3.500 sudah ke mana-mana, sepanjang tidak keluar dari halte.

Semoga Wali Kota Ridwan Kamil masih berkesempatan memperbaiki pengelolaan TMB, sebelum ia dipromosikan ke tempat yang lebih tinggi.

TAMSIR RIZAL

Desa Cihanjuang, Kecamatan Parongpong, Bandung 40559

Tanggapan BPJS

Menanggapi surat pembaca Bapak Odang Muchtar berjudul "Mereka Sakit, Bukan Sehat", (Kompas, 22/6), kami sampaikan hal-hal berikut.

Perlu diketahui bahwa kondisi BPJS Kesehatan saat ini bukan defisit, tetapimismatchMismatch ini telah diprediksi sejak awal karena ketidaksesuaian besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dengan perhitungan besaran iuran ideal.

Iuran ideal untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) adalah Rp 36.000 per orang per bulan untuk kelas rawat III. Sementara iuran ideal untuk peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) alias peserta mandiri adalah Rp 80.000 untuk kelas rawat I, Rp 63.000 kelas rawat II, dan Rp 53.000 kelas rawat III.

Besaran iuran ideal sudah merupakan perhitungan aktuaris para ahli, termasuk rekomendasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Namun, kemampuan pemerintah dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia membuat besaran iuran peserta PBI adalah Rp 23.000 per orang per bulan dan besaran iuran peserta PBPU kelas I Rp 80.000 (sudah sesuai besaran ideal), kelas rawat II Rp 51.000 (belum sesuai), dan kelas rawat III Rp 25.500 (belum sesuai).

Dapat kami sampaikan bahwa meskipun seluruh penduduk Indonesia telah menjadi peserta JKN-KIS dan membayar iuran sesuai masing-masing hak kelas rawatnya, ada kendali mutu dan kendali biaya, dan tidak ada lagi konsumsi berlebih dalam hal pemanfaatan pelayanan kesehatan, mismatch yang dialami BPJS Kesehatan tetap tidak akan tertutup. Hal ini terjadi karena masih terdapat gap antara kondisi besaran iuran faktual dengan besaran iuran ideal berdasarkan perhitungan aktuaria.

BUDI MOHAMAD ARIEF

Kepala Grup Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga, BPJS Kesehatan

Tanggapan JNE

Menanggapi surat pembaca di Kompas, Senin (5/6), berjudul "Paket Tertukar", kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami Ibu Lilik Handini.

Sebagai itikad baik, kami telah menghubungi Ibu Lilik dan permasalahan telah selesai dengan baik pada kedua belah pihak.

Terima kasih atas kepercayaannya menggunakan jasa kiriman JNE. Untuk saran dan kritik mengenai kami, silakan menghubungi petugas Customer Care: 021-29278888 atau e-mail: customercare@jne.co.id.

HENDRIANIDA PRIMANTI

Head Of Media Relations Dept, JNE Express

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pancasila dan Subversi Identitas (BONI HARGENS)

Melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017, pemerintah telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Unit ini adalah modus baru membumikan Pancasila (Kompas, 8/6/2017), yang tugasnya merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Singkatnya, UKP-PIP bertugas untuk merumuskan garis-garis haluan pembinaan ideologi Pancasila. 

Sebagai roh, falsafah, sekaligus Weltanschauung, cara kita melihat dan memaknai dunia, Pancasila semestinya menjiwai dan menghidupi kita sebagai Indonesia. Pancasila-lah yang memampukan kita, dalam istilah Benedict Anderson (1983), untuk terus membayangkan diri sebagai satu keluarga besar Indonesia.

Implikasinya, segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) terhadap eksistensi Pancasila serentak merupakan ATHG terhadap eksistensi ontologis kita sebagai Indonesia. 

Turbulensi belakangan, terutama sejak paruh akhir 2016, bukanlah perkara sepele, seperti dipahami sebagian "politisi (masa) bodoh" yang berpura-pura menyederhanakan semuanya dalam bingkai pilkada atau sekadar pemanasan ( warming-up)menuju Pemilu Presiden 2019. Kengawuran yang rumit itu adalah preseden dari kebangkitan politik identitarian (identity politics) dalam batasan buruk. 

Orang turun bergelombang ke jalan, mengibarkan bendera kelompok dan berteriak mempertanyakan Pancasila-bahkan berpretensi mendekonstruksi dasar negara. Jelas, itu melampaui urusan kalah-menang dalam pilkada. Di Minahasa, Sulawesi Utara, gerombolan anak muda mengobarkan semangat separatis. Mereka mengaku gerah dengan kelompok radikal yang merusak demokrasi Pancasila.

Ekses buruk semacam ini, di satu sisi, bakal mengeskalasi jika kelompok garis keras tak ditertibkan. Namun, di lain sisi, negara tak mudah bertindak. Kelompok garis keras acap kali memakai simbol agama-meski itu afiliasi sosial yang kabur dan tak jelas batasnya, tetapi berpotensi merusak agama secara fatal. 

Garis keras dan ormas agama

Untuk itu, harus ada kesepakatan sosial untuk tidak memakai label agama dalam mendiskusikan ormas garis keras. Sebab, seperti ditegaskan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Pol) Budi Gunawan, mereka bukan gerakan dakwah (keagamaan), melainkan gerakan politik.

Yang melakukan persekusi juga mesti dilarang memakai simbol agama dalam keseluruhan perjuangan dan praktik organisasi mereka yang tidak berjuang dalam radius keindonesiaan. 

Sebagai upaya pelembagaan komitmen dan penyatuan kepingan ingatan kolektif tentang Pancasila sebagai roh bersama, UKP-PIP memikul misi besar  , yaitu bagaimana mendarahdagingkan Pancasila dalam diri anak bangsa. 

Namun, dalam kerjanya, perlu ada analisis yang berimbang dan menyeluruh. Sebab, kebangkitan politik identitas tak selalu bermakna buruk. Secara teoretis, tak sedikit ahli secara positif mendefinisikan "politik identitas" sebagai model pengorganisasian diri di kalangan kaum tertindas (Fanon, 1968; Young, 1990; Gutmann, 1994; Brown, 1995; Alcoff, 1997; Butler, 1999; Laden, 2001; Allen, 2008).

Ia dilihat sebagai perjuangan politik menuntut pengakuan terhadap hak dan keberadaan mereka yang disebut  the disinherited  oleh Frantz Fanon (1925-1961) atau mustadafin oleh Ali Syari'ati (1933-1977). Fenomena ini berkembang luas setelah     hegemoni politik liberal melahirkan ketidakadilan struktural dengan segala keturunannya di segala level. Makanya, Wendy Brown (1995) menegaskan politik identitas lahir sebagai risiko dari demokrasi liberal. Mereka yang menjadi korban dari liberalisme mengalami apa yang dalam bahasa kaum feminis disebut "subversi identitas" (Judith Butler, 1999). 

Semangat fundamental yang diperlihatkan kaum puritan yang radikal belakangan perlu juga dibaca dalam beragam perspektif: (1) negara perlu memahami kebutuhan dan isi hati mereka, (2) barangkali masih banyak di antara kita yang belum ikhlas "menjadi Indonesia" karena alasan multikausal, dan/atau (3) mungkin gerakan radikal sudah menjadi bentuk komunikasi politik kontemporer yang tak cukup direspons secara linear. 

Poin ketiga di atas menegaskan bahwa rekayasa politik selalu ada. Campur tangan iblis dalam kekacauan seperti ini tak pernah absen. Namun, ini diagram Fenn yang kompleks dalam matematika politik karena irisan yang tumpang-tindih antara rendahnya pendidikan, lemahnya ekonomi, indoktrinasi yang keliru, ketidakadilan sosial yang endemik, dan rekayasa politik iblis. Maka, ini catatan keras tentang kematangan proses kita berbangsa. 

Proyek membangsa

Selain itu, proyek membangsa bukanlah proyek bongkar-pasang seperti tukang bengkel membuang onderdil rusak dan memasang yang baru. Membangsa adalah membangun keutuhan sebagai komunitas di atas dasar-dasar yang beragam dan mewujudkan  melting pot  sebagai koeksistensi multikultural yang harmonis.

Konsekuensi lurus dari pemahaman ini adalah bahwa menjadi Indonesia memerlukan kebersediaan yang sadar dan ikhlas. Perjuangan dimulai dari diri sendiri. Maka, benar apa yang dikampanyekan Presiden Jokowi:  Saya Indonesia, Saya Pancasila!  Sebab, Indonesia adalah "kumpulan saya" yang dengan sadar membayangkan dan mengakui diri sebagai kita dalam keutuhan sebagai bangsa. 

Konsekuensi terbaliknya, tiap orang yang menolak keberagaman dus sama dengan menolak Indonesia. Untuk itu, perlu pembinaan dari negara dalam rangka menumbuhkan kesadaran keindonesiaan. Pada level yang ekstrem, ketika pembinaan tak lagi efektif, negara boleh memakai kewenangan koersif. Dengan catatan, aturan hukum ditegakkan supaya tidak ada celah bagi pelanggaran hak asasi dan kebebasan sipil.

BONI HARGENS

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Pancasila dan Subversi Identitas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Polemik Lima Hari Sekolah (DONI KOESOEMA A)

Polemik lima hari sekolah dipicu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Banyak salah pengertian terhadap kebijakan ini. Kekuatan dan kelemahan perlu ditelaah secara obyektif dan rasional.

Kebijakan lima hari sekolah merupakan salah satu implementasi penguatan pendidikan karakter (PPK), yang merupakan amanat Nawacita dan termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Kebijakan PPK menjadi instrumen kebijakan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merealisasikan revolusi mental dalam lembaga pendidikan selaras dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).

Dalam dokumen Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter, Kemdikbud mendefinisikan PPK sebagai "gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter melalui proses pembentukan, transformasi, transmisi, dan pengembangan potensi peserta didik dengan cara harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi dan numerasi), dan olahraga (kinestetik) sesuai dengan falsafah hidup Pancasila". Sebagai sebuah gerakan, PPK memerlukan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Jika dicermati isi Konsep dan Pedoman PPK, kita akan menemukan bahwa tri pusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara ingin dikembalikan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Tri sentra ini adalah sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sebagai salah satu implementasi PPK, kebijakan hari sekolah perlu dilihat dalam kerangka partisipasi orangtua dalam pendidikan anak-anak mereka.

Jika dilihat dari perspektif ini, Permendikbud No 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, yaitu lima hari sekolah, memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan enam hari sekolah.

Lima manfaat

Manfaat itu adalah, pertama, sekolah lima hari akan memberi waktu lebih banyak pada orangtua untuk berjumpa dan berkomunikasi dengan anak. Jika sekolah dilakukan selama enam hari, hak orangtua akan terenggut oleh sekolah. Padahal, orangtua juga perlu waktu untuk perjumpaan dengan anak-anaknya.

Kedua, dengan kebijakan sekolah lima hari, anak memiliki waktu untuk mengembangkan hal-hal lain yang tidak mereka peroleh di sekolah. Belajar enam hari berturut-turut bisa menimbulkan kejenuhan dalam diri peserta didik. Mereka bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan keluarga, saudara, atau teman-teman. Kalau secara jujur disuruh memilih, menurut intuisi saya, anak-anak pasti lebih senang sekolah lima hari ketimbang enam hari.

Kedua, kebijakan lima hari sekolah juga merupakan sebuah ruang agar para guru yang kesulitan memperoleh jam tatap muka 24 jam dapat memperolehnya dengan memanfaatkan berbagai macam kegiatan pendidikan di sekolah yang dapat dikonversi sebagai jam tatap muka, yang selama ini tidak diperhitungkan dalam kebijakan tentang sertifikasi guru. Karena itu, sekolah lima hari memiliki dampak pada kesejahteraan guru.

Ketiga, kita juga harus ingat bahwa guru adalah orangtua. Adalah manusiawi meminta mereka bekerja dengan penuh totalitas dan komitmen bagi pendidikan anak-anak orang lain selama lima hari dan bekerja delapan jam. Guru sebagai orangtua juga perlu istirahat dan berjumpa dengan keluarga, terutama anak-anak mereka. Keluarga juga bertanggung jawab pada pendidikan anak-anak mereka.

Keempat, dengan belajar lima hari, secara psikologis tidak akan membebani peserta didik melulu melakukan kegiatan sekolah. Ia memiliki waktu luang dan senggang pada hari Sabtu dan Minggu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mereka sukai, pengembangan bakat, atau bermain agar tubuh mereka tetap sehat.

Kelima, kebijakan hari sekolah akan memutar roda perekonomian bangsa melalui kegiatan-kegiatan wisata, kuliner, kunjungan museum, rekreasi di alam terbuka. Selama dalam pengasuhan orangtua, proses pembentukan karakter itu tetap terjadi. Kalau bukan bangsa sendiri yang mengapresiasi museum, kegiatan seni, budaya bangsa, siapa lagi yang akan melatihkannya? Olahraga, olah rasa, olah hati, olah pikir dapat dilakukan lebih efektif melalui sekolah lima hari.

Polemik jam belajar

Yang dipersoalkan ke publik sebenarnya bukan kebijakan lima harinya, melainkan konsekuensi delapan jam belajar terus-menerus di sekolah. Apa yang terbayang secara langsung di benak publik adalah siswa berada di sekolah selama delapan jam berturut-turut, dalam pengajaran di kelas, maupun melalui kegiatan ekstrakurikuler. Apalagi jika delapan jam belajar ini diwajibkan di semua jenjang, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Di sinilah pangkal keberatan publik.

Pemahaman bahwa siswa delapan jam terus-menerus dan berlaku untuk semua jenjang pendidikan kiranya perlu diklarifikasi. Tidak mungkin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat sebuah kebijakan yang, menurut saya, tidak manusiawi bila memaksa peserta didik SD, terutama kelas kecil untuk tetap berada di sekolah sampai pukul 15.00 sore.

Permendikbud No 23 Tahun 2017 ternyata tidak secara jelas merinci apa yang dimaksud dengan delapan jam berada di sekolah, baik bagi pendidik, peserta didik, maupun tenaga kependidikan. Ini sangat penting dijelaskan karena  konsep jam kerja dan jam pelajaran siswa itu berbeda.

Jam kerja adalah alokasi waktu yang digunakan untuk menghitung lamanya seseorang bekerja, dalam hal ini, satu jam kerja ekuivalen dengan 60 menit. Sementara jam pelajaran merupakan alokasi waktu yang dipergunakan oleh peserta didik dalam menyelesaikan suatu isi kurikulum. Jam pelajaran ini berbeda-beda, tergantung dari tingkatannya. Dalam struktur kurikulum kita, jam pelajaran terdiri dari 35 menit (SD), 40 menit (SMP) dan 45 menit (SMA). 

Polemik terjadi karena tiga hal. Pertama, pencampuradukan antara jam bekerja seorang pendidik yang menjadi tuntutan pekerjaan dengan jam pelajaran peserta didik yang menjadi tuntutan kurikulum. Mencampuradukkan dua jenis jam ini bisa menggiring opini publik bahwa guru dan siswa harus berada di sekolah selama delapan jam. Akibatnya, muncul penolakan publik karena kebijakan ini tidak manusiawi dan justru akan menghalangi tumbuh kembang peserta didik.

Kedua, ketidakpahaman publik tentang konsep PPK yang ingin mengembalikan dinamika tri pusat Ki Hajar Dewantara yang merupakan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Inti Penguatan PPK adalah perluasan makna pemelajaran nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial dalam konteks masyarakat dan dunia.

Ketiga, pasal-pasal di dalam Permendikbud No 23/2017 kontradiktif dalam beberapa pasal dan tidak jelas mendefinisikan apa yang dimaksud dengan jam kerja pendidik, jam pelajaran peserta didik, dan implementasi pemanfaatan hari sekolah. Pasal-pasal masih menyamaratakan makna delapan jam sebagai jam kerja guru.

Fokus ke substansi

Polemik lima hari delapan jam di sekolah sebenarnya bukan isu utama. Lamanya waktu sekolah dan belajar adalah sarana yang bisa dipilih sekolah. Isu utamanya adalah bagaimana memperkuat pendidikan karakter dalam semua kegiatan pendidikan kita dengan mengembalikan lagi roh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Faktanya, selama ini sudah banyak sekolah yang melaksanakan sekolah lima hari dan tidak ada masalah.

Keberatan Nahdlatul Ulama (NU) terjadi karena kurangnya pemahaman tentang makna belajar delapan jam. Kalau semua peserta didik belajar mulai pukul 07.00 dan berada di sekolah delapan jam, artinya mereka akan berada di sekolah sampai pukul 15.00. Jika ini terjadi, peserta didik sudah lelah dan madrasah diniyah (madin) terancam gulung tikar. Namun, masalah ini tidak perlu terjadi jika pihak NU memahami bahwa jam belajar peserta didik sekolah dasar dalam kebijakan lima hari sekolah sesuai tuntutan Kurikulum 2013 paling lama berakhir pada pukul 13.30 karena satu jam pelajaran untuk jenjang sekolah dasar adalah 35 menit.

Konsep PPK justru mengikat hubungan madin dengan sekolah lebih kuat karena kegiatan di luar sekolah ini diakui sekolah sebagai bagian dari perluasan makna belajar, bahkan bisa diintegrasikan dalam sistem penilaian peserta didik. Kearifan lokal dan partisipasi masyarakat sangat diakui dalam konteks penguatan pendidikan karakter.

Keberatan lain adalah ada daerah yang belum siap dari sisi sarana dan prasarana. Permendikbud No 23/2017 memberikan fleksibilitas melalui Pasal 10 yang memungkinkan sekolah mengambil kebijakan berbeda. Berbagai alasan tentang ketidaksiapan sekolah tak relevan di sini. Namun, sekolah lima hari tetap perlu menjadi orientasi sebab pada masa depan lebih banyak manfaatnya. Manfaat ini tak bisa ditemukan dalam sekolah enam hari.

Fokus polemik seharusnya bukan pada kulitnya, yaitu apakah lima hari atau enam hari, apakah delapan jam kerja atau delapan jam pelajaran, melainkan pada substansinya, apakah sekolah lima/enam hari atau belajar delapan jam sungguh-sungguh dikelola dalam rangka pembentukan karakter peserta didik melalui implementasi penguatan pendidikan karakter.

Debat dan polemik yang terjadi memang menjadi hal yang lumrah. Namun, polemik tentang hal substansial akan lebih bermanfaat daripada berkutat pada pilihan sarana jumlah hari sekolah dan jam belajar. Komunikasi dan dialog yang jujur dan terbuka dibutuhkan agar tidak terjadi berbagai macam perpecahan yang tidak diperlukan. Kekuatan dan kelemahan lima hari sekolah perlu ditelaah secara obyektif dan rasional demi peningkatan kualitas pendidikan nasional.

DONI KOESOEMA A

Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Polemik Lima Hari Sekolah"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Lebih Baik Membenahi Negeri Sendiri (JULIANUS MOJAU)

Di harian ini, Jozef MN Hehanussa, menyoal tentang hubungan dualisme tata kelola pendidikan tinggi teologi (di) Indonesia dengan mutu pendidikan tinggi teologi Indonesia.

Dengan judul  "Dualisme Tata Kelola Pendidikan Tinggi Teologi Indonesia" (Rabu, 5/4), ia mengesankan penyebab rendahnya mutu pendidikan tinggi teologi Indonesia adalah dualisme tata kelola sebagai konsekuensi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 dan UU No 12/2012. Pembaca yang tak mengikuti sejarah pendidikan tinggi teologi di Indonesia akan terjebak pada kesimpulan yang tidak tepat.

Hehanussa membuat tiga pokok penyederhanaan: Melepas pendidikan tinggi dari sejarah sosial Indonesia, membaca perbedaan (ilmu) teologi dan ilmu agama yang cenderung mereproduksi memori-memori kolektif ke-Indonesia-an tahun 1950-an, dan tidak membedakan pendidikan agama dengan pendidikan keagamaan sebagaimana PP No 55/2007 dan UU No 12/2012.

Sejarah sosial  

Pendidikan tinggi teologi di Indonesia lahir dari rahim gereja-zending zaman kolonial setelah Revolusi Perancis memisahkan agama menjadi urusan privat-individu. Oleh karena itu, pendidikan teologis di Indonesia cenderung hanya memperkuat identitas eklesial gereja.

Meski demikian, kesimpulan tentang pembedaan (ilmu) teologi dan ilmu agama Hehanussa cenderung dibaca kalangan bukan Kristen sebagai belum tuntas fobia agama lain dalam mengelola pendidikan tinggi teologi di Indonesia.

Kita, tentu saja, juga tidak menyepelekan sumbangan kerangka ke-ilmu-an Revolusi Perancis. Juga kita tidak menyederhanakan sumbangan penting gereja-zending terhadap perkembangan pendidikan tinggi teologi di Indonesia. Itu berarti pendidikan (tinggi) teologi sebagai pendidikan ilmiah sudah ada jauh sebelum 1950-an, sekalipun dalam konteks sejarah sosial saat itu (bdk. Alle Hoekema,  Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia-Sekitar 1860-1960, 1997).

 Membaca kehadiran pendidikan tinggi teologi di Indonesia lepas dari sejarah sosial keagamaan Indonesia adalah kelalaian yang bisa membuat kita terus- menerus menggunakan paradigma ke-ilmu-an Revolusi Perancis yang menggusur peranan agama dari ruang publik.

Kita perlu menyadari bahwa sejarah sosial politik dan sejarah sosial keagamaan di Indonesia tahun 1990-an mempunyai keunikan sendiri. Kesadaran ini memampukan kita membaca keputusan politis di bidang pendidikan tinggi umum dan pendidikan tinggi keagamaan, termasuk ilmu teologi di dalamnya, sebagai proses negosiasi dari hati dan pikiran emansipatoris kelompok-kelompok beda agama untuk memperkokoh semangat kebinekaan sebagai kekuatan yang saling menopang untuk memajukan Indonesia.  

Bukan saling meniadakan

 Pada akhir tulisan, Hehanussa menegaskan, penempatan pendidikan tinggi teologi-berbeda dengan ilmu agama-di bawah Kementerian Agama, perlu dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Ia juga menyebut ada kesan kuat bahwa PP No 5/2007 dan UU No 12/2012 yang mengakomodasi pendidikan keagamaan di lingkungan Islam, berdampak juga pada pendidikan tinggi keagamaan semua agama, termasuk pendidikan tinggi teologi Kristen dan Katolik.

Kita sepakat dengan Hehanussa bahwa perlu membedakan antara (ilmu) teologi dan ilmu agama. Namun, perlu pula adanya kesadaran bahwa perbedaan itu tidak untuk dipertentangkan.

 Dalam buku Apa Itu Ilmu Teologi? saya dan BF Drewes memperlihatkan perbedaan sekaligus hubungan antar (ilmu) teologi dan ilmu agama, bukan untuk saling meniadakan. Lebih lagi membaca perbedaan itu dalam kerangka yang mengesankan perbedaan agama adalah perbedaan "ideologi ke-ilmu-an".

Kami justru menekankan ilmu (teologi) akan diperkaya oleh ilmu agama dan ilmu-ilmu lain sehingga teologi Kristen tidak hanya hasil reproduksi pemikiran-pemikiran teologis inrelevan dan intolerandalam konteks majemuknya masyarakat Indonesia. (BF Drewes & J Mojau, Apa Itu Teologi? (2016:24-28;bdk), David F Ford, The Future of Christian Theology (2011: 148-167).

 Perbedaan sekaligus hubungan kerja ke-ilmu-an yang saling memperkaya antara (ilmu) teologi, ilmu agama, dan ilmu lain membuat isi teologi sebagai hasil dari proses pendidikan tinggi mampu mengemansipasi umat Kristen Indonesia  memasuki memori kolektif dalam semangat kebinekaan.

Kita juga tak boleh membaca amanat nomenklatur PP No 55/2007 dan UU No 12/2012, dalam satu nada dasar saja: pendidikan agama=pendidikan keagamaan. Ada perbedaan PP No 55/2007 dan UU No 12/2012, sekalipun saling berhubungan.

Pendidikan agama sebagai nama mata pelajaran di sekolah dan/atau program studi tidak sama dengan pendidikan keagamaan sebagaipendidikan keilmuan berbasis keagamaan. Pendidikan agama lebih serupa dengan teologi sebagaisensus fidei yang bercorak dogmatis, sementara pendidikan keagamaan lebih serupa dengan teologi sebagai ilmu yang bekerja secara metodis-sistematis dalam dialog dengan ilmu-ilmu lain.

Kemampuan membaca perbedaan nada dasar ini akan mengemansipasi kita dari kecurigaan berlebihan bahwa PP No 55/2007 dan UU No 12/2012 sebagai pengingkaran terhadap pengakuan teologi sebagai ilmu.      

Pembenahan

Kita patut menghargai keberanian Hehanussa menyerukan perlunya pembenahan tata kelola pendidikan tinggi teologi di Indonesia. Tata kelola yang baik akan memacu peningkatan mutu secara bertahap, sekalipun bukan satu-satunya faktor penentu. Seruan itu tidak harus membuat kita bermigrasi ke negeri orang.

Saya menawarkan tiga hal  pembenahan berkelanjutan. Pertama, perbedaan penamaan sekolah tinggi teologi (STT) dan sekolah tinggi agama Kristen (STAK) perlu dipertahankan.

Kedua, perlu pembenahan penamaan sejumlah program studi di beberapa STAKN/STAKS yang masih belum membedakan STT dari STAK sebagai pendidikan keagamaan dengan karakter ke- ilmu-an integratif. Misalnya: apakah pantas dogmatika menjadi nama program studi tertentu?

Ketiga, ke depan perlu ada direktorat pendidikan tinggi dalam lingkup Kemenag yang mengurusi pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Direktorat inilah yang mengawal tata kelola mutu secara lebih sistematis dan berkelanjutan sekaligus mengembangkan kesadaran keilmuan integratif.

Langkah ini untuk menghindari pembacaan kehadiran pendidikan tinggi keagamaan Kristen sebagai dualisme tata kelola mutu karena memang tidak ada dualisme acuan tata kelola mutu. Hanya ada satu kesatuan acuan pendidikan tinggi nasional,  KKNI dan SNPT. Tentu saja pembenahan tak bisa berlangsung semalam. Ia membutuhkan proses dan usaha serius, yang akan memantapkan signifikansi kehadiran pendidikan keagamaan Kristen di Indonesia.

Saya yakin bahwa setelah cukup usia, tidak mustahil ada STT dan STAKN/STAKS yang mencapai mutu akreditasi A.

 JULIANUS MOJAU

 Dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja; Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Agama Kristen Maluku Utara

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Lebih Baik Membenahi Negeri Sendiri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Ritual Mudik dan Konsumen Muda (SUMBO TINARBUKO)

Sudah menjadi rahasia umum, mudik dipahami sebagai kembali ke udik. Meski perspektif udik dalam realitas sosial sudah bersalin bentuk, ritual mudik tetap menjadi pencapaian puncak para pemudik setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.

Fenomena ritual mudik selalu memberi ruang terbuka bagi siapa pun di tanah rantau untuk pulang ke udik. Fenomena ritual mudik juga menyediakan ruang terbuka hijau bagi para pemudik untuk kembali ke udik. Ritual mudik digariskan menjadi momentum tahunan. Kehadirannya ditunggu penuh rindu para penggembara dan perantau untuk menyegarkan kembali energi kekerabatan yang mulai meredup.

Ritual mudik diyakini mampu menumbuhkan energi patembayatanyang lenyap akibat disedot mesin pengisap kehidupan. Sebuah mesin raksasa yang menjadikan manusia perantau sebagai roh industri kehidupan. Pada titik ini, industri kehidupan diposisikan sebagai mesin kecil yang berputar cepat guna memproduksi dan menggandakan uang. Ujung ekstremnya, sebuah industri kehidupan yang mensyaratkan produksi massal dengan target untung melambung.

Identitas simbolik

Para pemudik pelaku ritual mudik, sebagian besar anak muda dengan kategori tenaga kerja produktif. Oleh industri kehidupan, mereka diposisikan sebagai konsumen muda. Konsumen potensial yang menjadi bagian dari industri kehidupan modern.

Realitas sosial di lapangan mecatat, sebagai konsumen muda, para pemudik bagaikan bulan purnama bersinar terang di tengah kegelapan. Sinar terangnya sangat membahagiakan para pengumbar ideologi kapitalisme modern. Keberadaannya pun sangat mudah dijadikan sasaran tembak bagi para produsen produk barang dan jasa.

Atas nama mengejar target untung melambung, para produsen produk barang dan jasa mampu menyihir konsumen muda dengan jargon: merayakan Idul Fitri tidak lengkap rasanya tanpa belanja produk dan jasa.

Dahsyatnya, mereka mampu mengendalikan seluruh media massa cetak dan elektronik. Mereka piawai mengelola media iklan luar ruang, internet, operator telepon seluler, untuk dibombardir beragam promosi serta penawaran produk barang dan jasa dengan menggunakan momentum hari raya Idul Fitri.

Pertanyaannya kemudian, mengapa fenomena ritual mudik menjadikan pemudik sekaligus konsumen muda sebagai sasaran empuk bagi gurita kapitalisme modern? Jawabannya, bagi para pemudik sekaligus konsumen muda yang hidup dengan gaya hidup modern di kota besar, jelas mereka memiliki potensi besar melipatgandakan keuntungan gurita kapitalisme modern.

Mereka adalah sasaran paling empuk dan mudah dipengaruhi. Konsumen muda senantiasa mencampuradukkan aspek kebutuhan dan keinginan dalam setangkup tangan yang sama. Saat memutuskan belanja produk barang dan jasa, mereka lebih mengandalkan emosi ketimbang rasionya. Mereka cenderung menelan mentah-mentah segala informasi yang diterima. Mereka langsung buka dompet atau menggesekkan kartu kredit, asalkan hal tersebut mampu mendongkrak gengsi modern dan menyenangkan dalam konteks kekinian.

Dampaknya, para pemudik sekaligus konsumen muda tidak lagi mempertimbangkan fungsi riil dan kualitas atas sebuah produk barang dan jasa. Mereka dengan mudahnya mengadopsi nilai, sikap, perasaan, dan gaya hidup yang ditawarkan oleh promosi dan informasi pariwara itu.

Kelemahan ini dimanfaatkan secara jitu oleh produsen, biro iklan, dan event organizer yang berkompeten terhadap peluang ini. Mereka mengemas dengan menawan beragam promosi produk barang dan jasa dalam balutan bentuk rupa yang sangat prestisius serta bergengsi tinggi.

Promosi dan informasi pariwara tersebut lebih mengonsentrasikan diri pada "cara penyampaian'' daripada "apa yang disampaikan''. Karena itu, para pemudik yang notabene adalah konsumen muda lebih tertarik pada tampilan promosi dan informasi pariwara. Ketertarikan tersebut bukan karena tarikan magnet kebutuhan atas barang dan jasa yang mereka butuhkan.

Dalam perspektif budaya visual, para pemudik sebagai konsumen muda diminta mengabaikan ideologi konsumsi dalam perspektif fungsional atas dasar kebutuhan hakiki. Yang terjadi justru kebalikannya. Para pemudik dibujuk dan disihir untuk menjalankan praktik konsumsi dalam jalur produk material simbolik. Pada titik ini, mereka dengan bahagia masuk dalam "jebakan Batman" yang dibentangkan secara sempurna oleh kelompok gurita kapitalisme modern. Dalam labirin bentangan itu, mereka menyasar para pemudik menjadi anggota komunitas konsumen muda modern.

Selanjutnya, dalam payung gaya hidup modern, mereka memfasilitasi citra kebanggaan lewat paket produk barang dan jasa yang direpresentasikan melalui identitas simbolik. Skenario cantik seperti ini menyebabkan para pemudik tak bisa secara merdeka melepaskan diri dari radiasi gelombang komodifikasi identitas simbolik yang disemburkan kelompok gurita kapitalisme modern.

Bayi yang fitri

Masalahnya sekarang, lewat momentum ritual mudik, sanggupkah para pemudik menghindari jebakan konsumerisme dan hedonisme lewat budaya pamer harta keduniawian?

Terhadap jebakan konsumerisme dan hedonisme yang senantiasa mengguyur energi kemudaan para pemudik, seyogianya lewat momentum ritual mudik, harus kembali menjadi bayi yang fitri. Minimalnya memiliki jarak dan sikap yang kritis terhadap harta keduniawian. Yang harus dihindari adalah upaya untuk mengarahkan seluruh energi kemanusiaan demi memberhalakan materi harta duniawi. Para pemudik harus punya semangat mengupayakan bagaimana caranya menjadikan materi harta duniawi sebagai sarana berbagi energi kebaikan dan virus kebermanfaatan positif bagi sesama umat manusia. Sanggup?

SUMBO TINARBUKO

Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikas Visual FSR ISI Yogyakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Ritual Mudik dan Konsumen Muda".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, 29 Juni 2017

Pemimpin Pemarah (HERRY TJAHJONO)

Secara umum label kemarahan pada seorang pemimpin lebih dikonotasikan secara negatif daripada positif. Sebagai contoh kasus adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang lebih sering dilabel sebagai pemimpin pemarah yang negatif.

Seorang konglomerat Indonesia yang hebat pernah berkata kepada saya: pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa marah, lewat sebuah kemarahan yang "pada tempatnya".

Dalam praksis manajemen dan kepemimpinan, kemarahan sesungguhnya sebuah kompetensi yang sangat diperlukan oleh seorang pemimpin. Memang ada yang mengatakan, ketegasan lebih diperlukan, bukan kemarahan. Soal ini sesungguhnya lebih terkait dengan cara atau ekspresi kemarahan. Namun, secara esensial, seorang pemimpin perlu memiliki "kompetensi kemarahan" yang memadai.

Mendobrak "status quo"

Terkait konteks tulisan ini, saya ingin mencuplik tulisan Profesor Sarlito Wirawan Sarwono (30 Maret 2014) yang mengungkapkan tentang "kemarahan Ahok". Apa yang salah dengan (kemarahan) Ahok? Dia memang pemarah, tetapi yang dimarahi adalah masyarakat yang mengancam petugas dengan golok. Yang dimarahi, bahkan dipecat, adalah kepala dinas yang terbukti korupsi dan mbalelo sehingga merugikan rakyat. Bahkan hasil analisisnya terhadap kemarahan Ahok bermuara pada kesimpulan tegas bahwa Gubernur itu marah hanya pada dua kondisi: 1) terjadi korupsi, 2) terjadi ketidakadilan.

Sementara Malcolm X pernah mengatakan, ".Namun, ketika mereka marah, mereka tengah membuat perubahan". Dari beberapa uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan  bahwa  salah satu tugas terpenting pemimpin adalah membuat perubahan, dan perubahan itu adalah mendobrak status quo. Dan, untuk konteks kepemimpinan nasional, status quo tersebut setidaknya ada dua hal: korupsi dan ketidakadilan. 

Itu sebabnya jika muncul pemimpin yang suka marah terhadap status quotersebut, para pembela status quo akan balik "marah-marah" kepada pemimpin itu meski jenis kemarahannya tentu berbeda. Jadi, kompetensi kemarahan itu perlu dimiliki seorang pemimpin, baik dalam kondisi organisasi normal maupun terlebih lagi kondisi status quo ekstrem seperti kita. Secara kontekstual bisa ditegaskan bahwa kepemimpinan nasional kita adalah kepemimpinanstatus quo. Kepemimpinan nasional kita adalah kepemimpinan yang tak memiliki "kompetensi kemarahan" memadai untuk mendobrak status quo tersebut.

Sampai di sini persoalannya menjadi gamblang bahwa pemimpin yang baik, bahkan hebat, justru memerlukan kompetensi kemarahan yang memadai. Ada tiga aspek kompetensi kemarahan yang perlu dipahami.

Pertama, spirit kemarahan! Spirit atau landasan kemarahan harus jelas, yakni mendobrak status quo dimaksud; dari kondisinya yang paling sederhana sampai paling kompleks. Seperti telah diuraikan sebelumnya, kondisi status quo (korupsi dan ketidakadilan) bangsa kita termasuk dalam kategori kondisi yang kompleks. Artinya, kita bahkan memerlukan pemimpin dengan kompetensi kemarahan yang bagus untuk menerobos semua itu. Jadi, landasan kemarahan kepemimpinan bukanlah kemarahan tanpa sebab atau karena tabiat temperamental belaka.

Kedua, sifat kemarahan! Kemarahan sebagai kompetensi juga memiliki "sifat kemarahan"-dan dalam hal ini ada dua sifat: (1) genuine (murni, ikhlas); (2) obyektif. Sifat pertama, pemimpin marah karena dia memang ingin melakukan kebaikan dan perbaikan, perubahan positif; bukan karena ingin menunjukkan atau pamer kekuasaan belaka. Itu sebabnya kompetensi kemarahan seorang pemimpin merupakan antitesis dari pemimpin yang hipokrit atau munafik, yang sepintas kelihatan sabar, kalem, tetapi sesungguhnya dia ingin menutupi kebenaran, populis, atau sifat hipokrit lainnya.

Sifat kedua (obyektif), pemimpin marah untuk tujuan yang jelas, perubahan yang lebih baik bagi organisasi, serta sebatas koridor tugas dan kewajiban. Kemarahan pemimpin bukan berlandaskan subyektivitas sang pemimpin, misalnya karena tak suka atau sentimen. Tapi, kemarahan yang "pada tempatnya".

Ketiga, tujuan kemarahan! Kompetensi kemarahan dari aspek tujuan ini sangat penting karena kemarahan itu dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan. Dalam praksis manajemen dan kepemimpinan disebut  anger is a decisive tool-kemarahan yang menghasilkan keputusan efektif; kemarahan yang berorientasi pada hasil. Keputusan efektif itu tentu memecahkan persoalan, memberikan jalan keluar, dan yang terpenting: menghasilkan perubahan!

Kemarahan subyektif

Kompetensi kemarahan seorang Ahok sampai batas tertentu juga dimiliki dan dilakukan oleh para pemimpin potensial lainnya. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga pernah marah dengan hebat ketika menangkap basah petugas di sebuah jembatan timbang di Batang sedang menerima uang sogokan dari seorang kernet truk. Atau Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang mencak-mencak karena Taman Bungkul kebanggaannya hancur lebur akibat ulah satu perusahaan yang bagi-bagi es krim. Hal sama juga dilakukan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil karena Balai Kota Bandung dipadati massa yang memicu kemacetan hebat di mana-mana akibat ulah perusahaan yang sama membagi-bagi es krim gratis. Kemarahan Ahok, Ganjar, Risma dan Ridwan, sampai batas tertentu, bersinggungan dengan korupsi dan nuansa ketidakadilan.

Presiden Joko Widodo sendiri juga tak segan menunjukkan "kompetensi kemarahan"-nya, menyangkut berbagaistatus quo bangsa dan negara kita. Bahkan kemarahan itu bukan hanya tertuju kepada jajaran pembantunya, melainkan juga kepada beberapa negara lain yang selama ini memperlakukan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tidak adil.

Pemimpin pemarah-dalam konteks kompetensi kemarahan seperti dimaksudkan-justru diperlukan oleh kepemimpinan nasional negeri ini. Negeri ini sudah terlalu lama menikmatistatus quo ketidakadilan dan korupsi sehingga kehilangan kompetensi kemarahan yang diperlukan. Bangsa ini justru tak memerlukan kemarahan-kemarahan reaktif-subyektif dari mereka (termasuk politisi pecundang) yang dilandasi dendam dan sakit hati, serta  yang paling ironis: kemarahan subyektif yang ditujukan kepada para "pemimpin yang sedang marah pada status quo".

Ungkapan  fenomenal George F Will (Desember 1981), sesudah pengumuman darurat di Polandia, semakin menegaskan kebutuhan kita akan "pemimpin pemarah". Katanya, "Amarah kita meluap justru disebabkan oleh ketiadaan amarah orang-orang. Kita memerlukan sebuah kemarahan sejati yang bisa mendorong kita untuk bertindak positif".

Ungkapan George F Will itu, terkait konteks tulisan ini, bermuara pada "kompetensi kemarahan" yang diperlukan para pemimpin bangsa ini. Kemarahan yang bisa memprovokasi orang lain dan organisasi untuk mendobrak status quo (korupsi, ketidakadilan, atau lainnya) yang selama ini secara pasti menghancurkan bangsa kita.

HERRY TJAHJONO TERAPIS BUDAYA PERUSAHAAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Pemimpin Pemarah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger