Dengan judul "Dualisme Tata Kelola Pendidikan Tinggi Teologi Indonesia" (Rabu, 5/4), ia mengesankan penyebab rendahnya mutu pendidikan tinggi teologi Indonesia adalah dualisme tata kelola sebagai konsekuensi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 dan UU No 12/2012. Pembaca yang tak mengikuti sejarah pendidikan tinggi teologi di Indonesia akan terjebak pada kesimpulan yang tidak tepat.
Hehanussa membuat tiga pokok penyederhanaan: Melepas pendidikan tinggi dari sejarah sosial Indonesia, membaca perbedaan (ilmu) teologi dan ilmu agama yang cenderung mereproduksi memori-memori kolektif ke-Indonesia-an tahun 1950-an, dan tidak membedakan pendidikan agama dengan pendidikan keagamaan sebagaimana PP No 55/2007 dan UU No 12/2012.
Sejarah sosial
Pendidikan tinggi teologi di Indonesia lahir dari rahim gereja-zending zaman kolonial setelah Revolusi Perancis memisahkan agama menjadi urusan privat-individu. Oleh karena itu, pendidikan teologis di Indonesia cenderung hanya memperkuat identitas eklesial gereja.
Meski demikian, kesimpulan tentang pembedaan (ilmu) teologi dan ilmu agama Hehanussa cenderung dibaca kalangan bukan Kristen sebagai belum tuntas fobia agama lain dalam mengelola pendidikan tinggi teologi di Indonesia.
Kita, tentu saja, juga tidak menyepelekan sumbangan kerangka ke-ilmu-an Revolusi Perancis. Juga kita tidak menyederhanakan sumbangan penting gereja-zending terhadap perkembangan pendidikan tinggi teologi di Indonesia. Itu berarti pendidikan (tinggi) teologi sebagai pendidikan ilmiah sudah ada jauh sebelum 1950-an, sekalipun dalam konteks sejarah sosial saat itu (bdk. Alle Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia-Sekitar 1860-1960, 1997).
Membaca kehadiran pendidikan tinggi teologi di Indonesia lepas dari sejarah sosial keagamaan Indonesia adalah kelalaian yang bisa membuat kita terus- menerus menggunakan paradigma ke-ilmu-an Revolusi Perancis yang menggusur peranan agama dari ruang publik.
Kita perlu menyadari bahwa sejarah sosial politik dan sejarah sosial keagamaan di Indonesia tahun 1990-an mempunyai keunikan sendiri. Kesadaran ini memampukan kita membaca keputusan politis di bidang pendidikan tinggi umum dan pendidikan tinggi keagamaan, termasuk ilmu teologi di dalamnya, sebagai proses negosiasi dari hati dan pikiran emansipatoris kelompok-kelompok beda agama untuk memperkokoh semangat kebinekaan sebagai kekuatan yang saling menopang untuk memajukan Indonesia.
Bukan saling meniadakan
Pada akhir tulisan, Hehanussa menegaskan, penempatan pendidikan tinggi teologi-berbeda dengan ilmu agama-di bawah Kementerian Agama, perlu dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Ia juga menyebut ada kesan kuat bahwa PP No 5/2007 dan UU No 12/2012 yang mengakomodasi pendidikan keagamaan di lingkungan Islam, berdampak juga pada pendidikan tinggi keagamaan semua agama, termasuk pendidikan tinggi teologi Kristen dan Katolik.
Kita sepakat dengan Hehanussa bahwa perlu membedakan antara (ilmu) teologi dan ilmu agama. Namun, perlu pula adanya kesadaran bahwa perbedaan itu tidak untuk dipertentangkan.
Dalam buku Apa Itu Ilmu Teologi? saya dan BF Drewes memperlihatkan perbedaan sekaligus hubungan antar (ilmu) teologi dan ilmu agama, bukan untuk saling meniadakan. Lebih lagi membaca perbedaan itu dalam kerangka yang mengesankan perbedaan agama adalah perbedaan "ideologi ke-ilmu-an".
Kami justru menekankan ilmu (teologi) akan diperkaya oleh ilmu agama dan ilmu-ilmu lain sehingga teologi Kristen tidak hanya hasil reproduksi pemikiran-pemikiran teologis inrelevan dan intolerandalam konteks majemuknya masyarakat Indonesia. (BF Drewes & J Mojau, Apa Itu Teologi? (2016:24-28;bdk), David F Ford, The Future of Christian Theology (2011: 148-167).
Perbedaan sekaligus hubungan kerja ke-ilmu-an yang saling memperkaya antara (ilmu) teologi, ilmu agama, dan ilmu lain membuat isi teologi sebagai hasil dari proses pendidikan tinggi mampu mengemansipasi umat Kristen Indonesia memasuki memori kolektif dalam semangat kebinekaan.
Kita juga tak boleh membaca amanat nomenklatur PP No 55/2007 dan UU No 12/2012, dalam satu nada dasar saja: pendidikan agama=pendidikan keagamaan. Ada perbedaan PP No 55/2007 dan UU No 12/2012, sekalipun saling berhubungan.
Pendidikan agama sebagai nama mata pelajaran di sekolah dan/atau program studi tidak sama dengan pendidikan keagamaan sebagaipendidikan keilmuan berbasis keagamaan. Pendidikan agama lebih serupa dengan teologi sebagaisensus fidei yang bercorak dogmatis, sementara pendidikan keagamaan lebih serupa dengan teologi sebagai ilmu yang bekerja secara metodis-sistematis dalam dialog dengan ilmu-ilmu lain.
Kemampuan membaca perbedaan nada dasar ini akan mengemansipasi kita dari kecurigaan berlebihan bahwa PP No 55/2007 dan UU No 12/2012 sebagai pengingkaran terhadap pengakuan teologi sebagai ilmu.
Pembenahan
Kita patut menghargai keberanian Hehanussa menyerukan perlunya pembenahan tata kelola pendidikan tinggi teologi di Indonesia. Tata kelola yang baik akan memacu peningkatan mutu secara bertahap, sekalipun bukan satu-satunya faktor penentu. Seruan itu tidak harus membuat kita bermigrasi ke negeri orang.
Saya menawarkan tiga hal pembenahan berkelanjutan. Pertama, perbedaan penamaan sekolah tinggi teologi (STT) dan sekolah tinggi agama Kristen (STAK) perlu dipertahankan.
Kedua, perlu pembenahan penamaan sejumlah program studi di beberapa STAKN/STAKS yang masih belum membedakan STT dari STAK sebagai pendidikan keagamaan dengan karakter ke- ilmu-an integratif. Misalnya: apakah pantas dogmatika menjadi nama program studi tertentu?
Ketiga, ke depan perlu ada direktorat pendidikan tinggi dalam lingkup Kemenag yang mengurusi pendidikan tinggi keagamaan Kristen. Direktorat inilah yang mengawal tata kelola mutu secara lebih sistematis dan berkelanjutan sekaligus mengembangkan kesadaran keilmuan integratif.
Langkah ini untuk menghindari pembacaan kehadiran pendidikan tinggi keagamaan Kristen sebagai dualisme tata kelola mutu karena memang tidak ada dualisme acuan tata kelola mutu. Hanya ada satu kesatuan acuan pendidikan tinggi nasional, KKNI dan SNPT. Tentu saja pembenahan tak bisa berlangsung semalam. Ia membutuhkan proses dan usaha serius, yang akan memantapkan signifikansi kehadiran pendidikan keagamaan Kristen di Indonesia.
Saya yakin bahwa setelah cukup usia, tidak mustahil ada STT dan STAKN/STAKS yang mencapai mutu akreditasi A.
JULIANUS MOJAU
Dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja; Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Agama Kristen Maluku Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar