Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Juli 2020

EPILOG: Banyan Tua yang Agung (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas

Arie Smit identik dengan pohon banyan. Hampir di setiap kanvas ia melukisnya. Tak jarang pohon tinggi besar dan rindang ini dikomposisi di bagian muka, sementara di latar jauh terdapat candi bentar sebuah pura atau pasar. Pohon-pohon banyan itu pun ia lukiskan dengan blok-blok warna yang mengesankan keagungan.

Pada akhir perjumpaanku dengan Arie, ia sudah mulai kehilangan sedikit ingatan, walau humornya tetap segar. Tubuhnya yang tinggi besar dengan susah payah ditopang oleh kakinya yang mulai kaku. Di beranda sebuah paviliun milik kolektor Suteja Neka di Ubud, dengan gemetar aku bertemu Arie. Kalimat pertama yang ia ucapkan," Masih ingat pohon banyan," kata Arie.

Aku yang sudah dua malam menunggu bertemu Arie, langsung sadar bahwa perbincangan kami beberapa tahun sebelumnya, terlalu sibuk dengan urusan alam tropis dan pohon banyan.

Pohon banyan tak lain adalah kata lokal dari nama yang lebih populer, yakni pohon beringin (Ficus benjamina) yang banyak tumbuh di Asia Tenggara. Banyan bagi Arie adalah pohon yang selalu tampak tua, tetapi punya kemampuan bertahan hingga ratusan tahun. Ia sering mengumpamakan dirinya seperti banyan tua yang ingin mati, tetapi selalu saja malaikat maut itu terlambat tiba.

Ia sering mengumpamakan dirinya seperti banyan tua yang ingin mati, tetapi selalu saja malaikat maut itu terlambat tiba.

"Saya sudah 96 tahun! Begini, ya, cara mati di Bali pelan saja. Saya ingin mati mendadak," tutur Arie. Aku terakhir bertemu dengannya bulan Juli 2012 dalam perjumpaan yang amat singkat. Sebagaimana kemudian banyak diberitakan, pelukis keturunan Belanda itu, meninggal Rabu, 23 Maret 2016 dalam usia genap 100 tahun! Sebuah usia yang menyamai gairah hidup pohon banyan.

Arie tak sekadar bermetafor dengan banyan, ia benar-benar menjadi "mahaguru" bagi puluhan anak di Desa Penestanan, Ubud. Dengan sabar, ia mengajari mereka melukis, yang kemudian dikenal publik sebagai gayayoung artist. Kini lebih dari 40 murid-murid Arie hidup sebagai pelukis yang setia dengan gaya young artist. Bahkan, murid-murid itu telah menurunkan kemampuan melukisnya kepada anak-anak dan cucu mereka.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Perupa Arie Smit.

Arie benar-benar menjadi pohon banyan, menjadi peneduh sekaligus sumber inspirasi bagi anak-anak Penestanan. Kau pasti tahu, kalau pohon banyan punya karakter yang rindang, di rerimbunan daunnya burung-burung membuat sarang dan beranak-pinak. Lalu akar-akarnya yang kuat dengan batang yang kekar membuat ia bertahan sampai ratusan tahun.

Aku ingat, Bapak selalu bilang, "Kalau kau bisa, jadilah seperti bingin. Ia berasal dari buah yang kecil." Bapak selalu menggunakan kata bingin untuk menyebut pohon beringin. Kami yang berakar di Bali barat, memang lebih akrab dengan sebutan bingin ketimbang banyan.

Tadinya kupikir, kata-kata Bapak sekadar harapan banyak orangtua kepada anak-anaknya. Tetapi setelah kuliah di Denpasar, aku mulai sadar bahwa pohon yang besar seperti banyan, selalu berasal dari buah yang kecil.

Pelan-pelan setelah dibawa burung-burung, yang telah ia beri kehidupan di bawah rindang daun-daunnya, buah kecil itu tumbuh di tempat-tempat jauh. Tak jarang ia tumbuh di atas bebatuan yang keras, pelan-pelan banyan akan tumbuh sebagai pohon besar yang kemudian melindungi warga dari pedasnya terik matahari.

Apakah kini aku layak disebut sebagai pohon banyan? Kaulah yang memberi nama, sebagaimana dalam filosofi hidup manusia Bali: eda ngaden awak bisadepang anake ngadanin, janganlah pernah merasa paling pintar, dan biarlah orang lain yang akan memberimu predikat.

Aku sadar, predikat itu tumbuh dari hal-hal kecil yang kau bisa lakukan, tanpa mengenal lelah. Jangan lupa, kata Bapak, hidup harus ikhlas menjalani apa pun keadaannya. Kupikir, ini bukan ajaran tentang kepasrahan menerima takdir sepahit apa pun kenyataannya, tetapi justru sebuah kondisi kebatinan yang dilandasi keteguhan iman dalam menjalani kehidupan yang keras.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Pohon beringin di dekat Patung Dewi Saraswati di kawasan Kompleks Istana Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali, Minggu (23/4/2017). Sejak dibangun, Bung Karno sendiri yang secara pribadi banyak berperan menanam dan memilih jenis dan penempatan beragam jenis tanaman yang menjadi koleksi Istana.

Teks pada prasasti Bali Kuno, Prasasti Tengkulak dan Prasasti Cintamani (1023 M) di bawah Raja Marakata telah menyebut bahwa waringin atau banyan menjadi salah satu pohon yang dilindungi.

Pada prasasti disebutkan tentang kayu larangan, berupa berbagai jenis kayu yang dilarang untuk ditebang sembarangan. Larangan itu, dalam tafsir banyak peneliti, terkait dengan perlindungan terhadap pohon beringin atau banyan yang memiliki berbagai fungsi ritual dan pengobatan.

Di halaman depan Puri Negara, Jembrana, aku ingat terdapat pohon bingin besar, di mana banyak anak muda berkumpul. Mereka biasanya bermain gitar atau mengobrol sepulang dari sekolah.

Kami selalu bersenda-gurau, seperti juga burung-burung yang hidup damai di antara kerindangan daun-daun bingin. Saat kami tertawa dalam gairah anak muda yang meledak-ledak, burung-burung berceciat di atas (mungkin) bermain loncat-loncatan dengan anak-anaknya.

Pohon bingin ini disucikan karena menjadi tempat bagi warga untuk melaksanakan ritual ngalap don bingin, memetik daun beringin. Ritual ini serangkaian dengan upacara Ngaben, di mana daun beringin dipergunakan sebagai sarana puspa lingga, perwujudan roh yang telah disucikan.

Roh yang telah disucikan diumpamakan sebagai pohon banyan yang kekar, rindang, dan tabah menjalani segala bentuk rintangan. Di alam niskala roh akan mengembara dengan bekal ketabahan dan keikhlasan untuk kemudian memasuki pintu nirwana.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pengunjung mengamati pohon beringin raksasa yang diperkirakan berusia ratusan tahun di Kebun Raya Eka Karya Bali di Bedugul, Kabupaten Tabanan, Bali, Jumat (26/4/2013).

Pada konsep ajaran aku mengenal istilah vasudhaiva kutumbakam, artinya pada dasarnya seluruh makhluk yang ada di dunia bersaudara. Pada tataran roh, seluruh makhluk pada dasarnya berasal dari sinar suci yang sama, yakni div, sinar suci dari Tuhan Yang Mahaesa. Bahwa perbedaan itu terjadi, ketika roh memasuki sarira atau tubuh, yang kemudian memiliki bayu, sabda, danidep (kemampuan untuk bergerak, kemampuan berbicara, dan kemampuan berpikir).

Aku menyebutnya sebagai ajaran Tri Pramana, tiga dasar potensi makhluk hidup yang kodrati. Tiga dasar ini menjadi dasar-dasar kebijaksanaan hidup semua makhluk hidup di bumi.

Kau beruntung sebagai manusia memiliki ketiga dasar pijakan hidup itu. Memiliki kemampuan bergerak dengan energi dalam dirimu, memiliki kemampuan berbicara dengan tutur kata yang diturunkan kepadamu oleh para leluhur, lalu kau juga memiliki kemampuan berpikir untuk merengkuh ilmu pengetahuan. Hewan-hewan atau binatang, cuma memiliki dua hal: bayu dan sabda. Ia tidak bisa menggunakan daya jelajah pikirannya untuk merengkuh pengetahuan. Sementara pohon seperti banyan, hanya memiliki bayu, ia tidak bisa berbicara apalagi kemampuan untuk berpikir.

Aku percaya, di sinilah Tuhan menurunkan vasudhaiva kutumbakam itu, bahkan dalam salah satu bait puja Tri Sandya, kau bisa mendapati mantra suci berbunyi,sarwa prani hitangkara.

Artinya, semoga semua makhluk berbahagia, apa pun wujud fisiknya. Doa-doa itu tentu saja menjelma menjadi kesadaran tentang pentingnya rasa saling menghormati di antara sesama makhluk Tuhan penghuni bumi.

RUDY BADIL

Sebagian besar penduduk Bali yang beragama Hindu masih melestarikan adat istiadatnya dengan berbagai upacara ritual, baik di rumah, pura, maupun tempat lain yang dianggap suci.

Kalau kau nanti melihat pohon-pohon, terutama pohon banyan diberi balutan kain putih atau poleng, apalagi kemudian di dekatnya didirikan tempat suci, bukanlah berarti penyembahan terhadap pohon.

Aku tahu, kau akan menuduhnya sebagai sisa-sisa ajaran animisme. Jika toh benar, apa salahnya ajaran itu? Bukankah masyarakat Jepang yang modern itu juga meletakkan pohon, utamanya pohon-pohon besar, sebagai bagian penting dari caranya menghormati hidup?

Begitulah cara kami menghormati keberadaan pohon, terutama terhadap pohon-pohon yang memberikan manfaat baik terhadap kehidupan manusia dan kelangsungan alam semesta.

Jika Arie Smit dan barangkali banyak pelukis lain melukis pohon banyan, ia tidak sekadar memperlakukannya sebagai obyek artistik. Pohon banyan telah menjelma sebagai sikap hidup, satu sikap rendah hati di hadapan kuasa semesta yang demikian besar.

Kupikir tidaklah sembarangan parafounding fathers kita menggunakan simbol pohon beringin di dalam perisai Pancasila. Pohon beringin telah menjadi simbol teks pada sila ketiga yang berbunyi, "Persatuan Indonesia". Pesannya cukup jelas, bukan?

Selain pesan Bhinneka Tunggal Ika, yang digenggam burung Garuda, kita juga memiliki teks bersimbol pohon beringin, yakni Persatuan Indonesia. Dalam kondisi yang riil di mana Indonesia terdiri dari berbagai berbagai suku, agama, ras, kepercayaan, dan golongan, keteduhan pohon beringinlah yang bisa membuat kita bersatu.

ARSIP AGUS DERMAWAN T

Lukisan Water Temple karya Arie Smit.

Pohon beringin sudah pasti tak lahir sebagai sekadar peneduh persatuan, tetapi ia juga adalah banyan, yang mengantarkan pesan-pesan persaudaraan sebagai sesama makhluk Tuhan di Bumi.

Arie Smit memahami ini setelah puluhan tahun hidup di Indonesia, khususnya Bali. Ia membahasakan dirinya dengan mengatakan, "Saya orang asing terlama yang tak pernah ke luar negeri, 60 tahun!" ujarnya.

Arie kemudian memilih menjadi warga negara Indonesia karena ia mencintai Indonesia, walau pada awal tugasnya ia adalah tentara kolonial di Hindia Belanda.

Pohon banyan tua itu pada masa-masa akhir hidupnya, tetap kokoh di hadapan Sang Pemberi hidup. Ia selalu bergurau dengan menyebut, Tuhan terlalu panjang memberi umur pada dirinya. Ia ingin segera menyudahi hidupnya, tidak dengan bunuh diri, tetapi berserah di hadapan Tuhan sebagai pemilik nyawanya.

Meski lahir di Barat, yang percaya penuh pada rasionalitas sebagai sumber segala penciptaan di dunia, tetapi Arie sangat pantheistik. Ia menyamakan dirinya sebagai pohon banyan tua yang kian rapuh dimakan usia, tetapi tetap ingin memberi sisa-sisa kehidupannya kepada orang-orang sekitarnya.

Kini buah-buah dari banyan tua itu telah tumbuh menjadi karya-karya agung di tangan para seniman muda. Kita mengenangnya sebagai banyan tua yang agung, karena dedikasinya yang penuh kepada Sang Pemberi hidup.

Kompas, 29 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Klepon dan Cemplon (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Seperti biasa, ketika ayam jantan masih malas membuka matanya, apalagi berkokok, ketika embun pagi masih menguasai dedaunan, ketika kabut masih menyelimuti alam raya seisinya, dan matahari masih bermalas-malasan di peraduannya sekalipun sudah bangun, kami sudah duduk bersila di atas tikar yang digelar di pendopo.

Pagi itu, kami semua tidak bisa menahan diam, seperti biasanya. Kami saling beradu pandang, saling bertukar senyum, dan saling mengamit ketika melihat di hadapan kami ada makanan dan minuman. Ini tidak biasa. Biasanya tidak ada makanan dan minuman. Karena kami berkumpul di pendopo untuk mendengarkan ajaran Guru, bukan untuk makan dan minum.

Ada klepon dan cemplon yang ditata apik di atas piring-piring kecil di depan kami. Dan, ada minuman panas yang sudah dituang di cangkir-cangkir yang sangat jarang kami gunakan. Apakah hari ini Guru ulang tahun? Belum terjawab pertanyaan kami, Guru sudah datang dan segera duduk di tempat biasanya: di atas batu hitam pipih, berbentuk bulat, tanpa alas. Guru tersenyum, sambil memandangi kami semua. Lalu berkata:

Kemunafikan masyarakat menggejala dengan adanya gap, jurang antara kata—biasanya kata-katanya indah—dan perbuatan-perbuatan buruk yang sangat bertentangan dengan yang diucapkan dengan teriakan lantang, dengan penuh kesombongan, dengan menganggap dirinya paling benar, paling bersih, dan paling suci. Kami semua, tidak tahu maksud Guru dengan mengatakan itu. Mengapa Guru mengawali wejangannya dengan kata "kemunafikan". Ketika hati kami masih bertanya-tanya, Guru sudah berkata:

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) membacakan sumpah jabatan dengan disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019).

Para pejabat publik, sebelum memangku jabatan mengucapkan sumpah jabatan. Sumpah jabatan diucapkan menurut keyakinan agama yang dianut, yang diyakini, yang diimaninya, dengan menumpangkan salah satu tangannya di atas Kitab Suci. Mereka mengawali sumpahnya—sesuai dengan agama masing-masing—dengan  mengatakan, "Demi Allah, saya bersumpah" atau "Demi Tuhan saya berjanji" atau  "Om Atah Parama Wisesa", atau "Demi Sang Hyang Adi Buddha." Dan, sumpah diakhiri dengan mengucapkan, "Semoga Tuhan menolong saya."

Sumpah jabatan yang diucapkan merupakan ikrar kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk sedia melayani publik dengan seadil-adilnya, juga bekerja dengan jujur, tertib, cermat danbersemangat untuk kepentingan negara, bukan untuk kantongnya sendiri, kelompoknya sendiri, atau partainya sendiri. Namun, untuk kepentingan negara!

Akan tetapi, perilaku mementingkan diri sendiri dalam berbagai bentuk termasuk korupsi terus terjadi. Ini suatu kebohongan, yang disebut sebagai locution contra mentem, ucapan yang bertentangan dengan pikiran. Artinya, tidak ada kesesuaian antara verbum oris, yang diucapkan, dan verbum mentis, yang dipikirkan.

Tentang hal seperti ini, banyak contohnya. Kalian bisa mencari sendiri. Banyak orang melakukan sesuatu perbuatan yang tidak selaras dengan  perkataannya. Ketika seseorang mengatakan pesan-pesan kebaikan kepada orang lain, tetapi dirinya sendiri berperilaku sebaliknya; maka orang tidak lagi mempercayai kata-katanya karena ketidakselarasan menyebabkan hilangnya kepercayaan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sebuah mural dukungan kepada penyidik KPK, Novel Baswedan, di Jalan Anjun-Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (25/7/2020).

Ada yang menyebut hal semacam itu tak ber-akhlaq. Kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, yakni jama' darikhuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab, dan tindakan. Itu berarti, dalam segala hal haruslah menyamakan perkataan dan perbuatan, termasuk dalam hal rohani. Kita bisa berkoar-koar memiliki iman, tetapi jika gaya atau cara hidup kita tidak mencerminkan apa yang kita katakan, bagaimana mungkin orang bisa percaya?

Dilihat orang, rajin berdoa panjang-panjang. Namun, hidup dalam kecemasan, kecurigaan, atau kesinisan. Rajin beribadah, tetapi isi perkataan hanyalah iri hati, dengki, kebohongan, dan hujatan. Bukankah kalian semua tahu bahwa  iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong. Bahkan, mati!

Saya kutipkan pendapat Hassan Hanafi (Greg Soetomo, SJ, 2018): Iman memiliki dimensi internal (pengetahuan dan perasaan) dan dimensi eksternal (kata dan tindakan). Iman yang matang, menurut Hanafi, adalah kesatuan antara pengetahuan dan perasaan, iman dan tindakan. Banyak retorika yang sebenarnya hanya merupakan pencitraan (eksternal), dan tidak keluar dari hati dan batin (internal). Kemunafikan masyarakat menggejala dengan adanyagap antara kata (yang indah) dan perbuatan (yang buruk). Praktik semacam ini membuat manusia stagnan dan mandul, masyrakat menjadi tidak kokoh.

Banyak orang mengira bahwa kata-kata yang keluar bebas dari mulutnya, akan menguap begitu saja dibawa angin. Salah. Orang masih mengingatnya. Apalagi zaman sekarang, zaman teknologi canggih ini. Semua terekam. Semua ada jejaknya. Sangat beruntung kalau yang diucapkan itu kata-kata baik. Namun, bagaimana kalau yang diucapkan itu, kata-kata yang tidak baik, yang buruk?

Momentum Idul Fitri 1434 hijriah dimanfaatkan tokoh dan partai politik untuk melakukan tebar pesona melalui pencitraan untuk kepentingan Pemilu 2014. Salah satunya seperti terlihat di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (4/8/2013).

Bukankah, sudah diajarkan bahwa setiap kata yang baik, menghasilkan pahala yang baik. Namun, setiap perkataan buruk pasti akan dibalas dengan imbalan yang juga buruk. Maka itu, setiap perkataan harus dipertanggungjawabkan. Ketika mulut dan hati tidak mampu seirama, kebohongan terlahir dari dalam jiwa. Sebab, ada tertulis, Quo mendacium publicum continuatum eo hominis ingenium submersum excitatum, yang artinya kurang lebih, di mana kebohongan publik makin diterus-teruskan, maka di situ pula citra kepribadian seseorang akan semakin terperosok.

Dalam rumusan lain, ajining diri saka lathi, seseorang dapat dihargai itu berdasarkan ucapannya. Bukankah, kejujuran tidak mengorbankan apa pun, tetapi kebohongan akan menghabiskan segalanya. Mohon maaf, Guru, sela seorang murid. Mengapa hari ini tidak seperti biasanya, ada makanan kecil? Ini ada klepon dan cemplon. Bahkan dengan minum sereh dan jahe panas juga.‎

Guru tersenyum mendengar pertanyaan muridnya itu. Setelah menyapu wajah-wajah muridnya dengan pandangannya yang teduh, Guru berkata: Kalian semua menduga apa? Apakah kalian menduga bahwa aku hari ini akan menjelaskan soal klepon dan cemplon, kedua jenis makanan tradisional yang enak ini? Inilah makanan kesukaanku.

Hari ini aku sengaja mau berbagi kesukaan kepada kalian semua. Aku menyukai dua jenis makanan ini: klepon dan cemplon. Setiap kali aku makan entah itu klepon, entah itu cemplon, aku merasa bahagia. Aku merasa harus membagikan kebahagiaan itu kepada kalian semua. Bukankah kebahagiaan harus dibagi, dirasakan bersama-sama? Aku diberi, maka aku memberi. Komunitas kita, yang kecil ini, adalah komunitas yang berbagi, bukan hanya masalah dunia di luar sana, di luar pagar rumah kita ini. Tidak! Kita sebagai satu keluarga harus juga saling berbagi. Kita sebagai satu masyarakat, satu bangsa, harus berbagi. Kita berbagi bukan karena kita kasihan kepada orang lain, tetapi memang dilandasi oleh semangat kepedulian, compassion. Itulah spiritualitas kita.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Klepon dan Kue Abuk

Kalian perlu catat dalam hati dan pikiranmu bahwa kita berbagi bukan karena kita berkelebihan. Bukan! Ada kata-kata indah yang bisa  kalian ingat,Nemo dat quod non habet, tidak seorang pun yang memberi dari apa yang tidak dimilikinya. Artinya, kalau kita tidak mempunyai barang, harta benda, uang, ya kita tidak bisa memberikan semua itu. Kalau yang kita miliki adalah kebahagiaan, suka cita, maka kita kebahagiaan dan suka cita itu.‎

Jadi, kalau hari ini kalian semua ikut menikmati makanan kesukaanku—klepon dan cemplon—aku hanya ingin berbagai kesukaan, kebahagiaan, tidak kunikmati sendiri. Itu saja. Jangan memikir yang bukan-bukan.

Mari kita nikmati, klepon dan cemplon serta wedang sereh dan jahe ini, mumpung masih panas. Begitu Guru selesai mengatakan hal itu, tangan kami buru-buru meraih klepon, lalu cemplon, dan akhirnya cangkir berisi wedang sereh dan jahe.

(Trias Kuncahyono, wartawan Kompas1988-2018)

Kompas, 28 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Batu Penanda Makam Sunda Wiwitan yang Disegel (WINDORO ADI)


DOKUMENTASI PRIBADI

Windoro Adi, wartawan Kompas 1991-2019

Kalian bebas memilih agama dan jalan hidup spiritualmu masing-masing. Namun, jangan mengabaikan budaya dan adat istiadatmu sebagai orang Sunda, sebagai bangsa Nusantara. Janganlah merusak tanah kelahiranmu dengan perseteruan dan ketamakan. Hendaknya agama dan jalan spiritual yang kamu pilih menjadi taman seribu bunga di Tanah Parahyangan di Bumi Nusantara.

Tulisan yang ditoreh pada batu besar itu disalin dari catatan Pangeran Sadewa (Madrais) Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832), putra Pangeran Alibassa I, dari Kepangeranan Gebang. Begitulah mimpi Pangeran Djatikusumah (85), sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang atau Sunda Wiwitan, tentang batu besar di atas bakal makam dia dan istri tercintanya, Ratu Emelia Wigarningsih. Djatikusumah adalah cucu Kiai (panggilan kehormatan untuk seorang pemuka atau sesepuh) Madrais.

Saat Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan program Preanger Stelsel, Kiai (sebutan untuk sesepuh) Madrais dan para pengikutnya melawan. Preanger Stelsel adalah tanam paksa kopi di Priangan tahun 1720.‎

Ia mendirikan pasambangan (padepokan) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Selain sebagai tempat menimba ilmu hakikat dan spiritualisme, tempat ini menjadi pusat perlawanan para pengikutnya melawan pemerintahan kolonial. Ia dan kelompoknya mematahkan jurus adu domba penjajah lewat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dengan menyampaikan seruan, seperti tertulis pada batu prasasti tadi.

KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Pangeran Djatikusumah (85), sesepuh Masyarakat Adat Karuhun Urang atau dikenal juga sebagai masyarakat Sunda Wiwitan, beserta salah satu putrinya, Dewi Kanti Setianingsih, di ruang Srimanganti di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, September 2017.

Untuk mencari titik temu semua agama dan aliran kepercayaan, ungkap Pangeran Djatikusumah, cucu Kiai Madrais, kakeknya dan para pengikut mendalami ilmu berbagai agama dan kepercayaan lokal yang terserak di tanah Jawa. Bermodal wawasan perbandingan agama dan kepercayaan itu, ia dan kelompoknya melakukan penyadaran sosial dan laku spiritual yang mencerahkan lingkungan petani dan para pemuka wilayah.

Tahun 1840, mereka berkeliling Jawa Barat. Ke Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, hingga ke Cilacap menyalakan "api perlawanan" terhadap politik adu domba penjajah. Kiai Madrais, para pengikut, dan orang-orang Tionghoa yang bersimpati juga menyerukan petani agar hidup mandiri dengan menanam bermacam kebutuhan pokok serta apotek hidup untuk bahan ramuan pengobatan Tionghoa. Mereka juga memberi keterampilan merajut pakaian dari bahan tanaman.

"Pada masa ini, wilayah Kepangeranan Gebang mencapai puncak kemakmuran, kerukunan, dan semangat kegotongroyongan. Mereka diikat oleh semangat melawan musuh bersama, penjajah," tutur Djatikusumah, mengutip cerita ayahnya, Pangeran Tedja Buwana.

Pasambangan Kiai Madrais di Cigugur (kini Paseban Tri Panca Tunggal) lantas ramai didatangi kalangan elite keraton dari Cirebon, Yogjakarta, dan Jawa Tengah. Maklum, Kiai Madrais dan para pendahulunya masih bertalian saudara dengan elite keraton tersebut. Mereka bergabung melawan. Sebagian di antaranya memilih melawan secara sembunyi-sembunyi.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Anggota DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, meninjau pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go'ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020). Pembangunan makam terhenti setelah disegel Satpol PP Kabupaten Kuningan karena didiga belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) terkait tugu.

Tahun 1869, pecah pemberontakan petani di Tambun, Bekasi. Pemberontakan ini dipicu perampasan tanah petani oleh para tuan tanah kaki tangan pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memastikan, ini ulah Kiai Madrais dan para pengikutnya.

Merasa terancam, pemerintah Hindia Belanda lantas membungkam ajaran Madraisme dan memberi label ajaran tersebut sebagai Agama Jawa Sunda. Sinkretisme sesat. Padahal, Madraisme tak lain cuma gerakan penyadaran sosial, budaya, dan laku spiritual saja. Kiai Madrais lalu dibuang ke Boven Digul, Papua, tahun 1901.

Meski demikian, semangat perlawanan di lingkungan petani di sebagian wilayah Jawa Barat telah telanjur menyala. Hidup damai berdampingan antaragama dan kepercayaan di antara para petani dan sebagian kalangan elite telanjur kuat mengakar.

Ketika kembali dari pembuangan, Kiai Madrais lebih banyak memusatkan perhatian pada unit-unit ekonomi petani. Salah satu di antaranya adalah menggerakkan penanaman massal tanaman bawang. Di kebun kebun bawang petani inilah Kiai Madrais dan para pengikutnya melanjutkan perlawanan.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go'ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020).

Setelah mangkat tahun 1939, perjuangan Kiai Madrais dilanjutkan putranya, Tedja Buwana. Tahun 1949-1962, muncul pemberontakan DI TII (Darul Islam Tentara Islam Indonesia). Kelompok ini membakar sebagian bangunan Paseban. Madraisme dianggap oleh DI TII sebagai penghalang cita-cita Pan Islamisme.

Namun, pupusnya DI TII tak meredakan penindasan terhadap kebebasan memilih laku hidup spiritual masyarakat Sunda Wiwitan ini. Mereka dipaksa memilih masuk agama yang diakui negara. Sebagian akhirnya memilih memeluk agama Katolik dan Protestan. Beberapa di antaranya memilih memeluk Islam, sementara sebagian lagi memilih mengikuti jejak Djatikusumah.

Meski demikian, di antara mereka tak ada pertengkaran karena perbedaan iman. Bahkan, mereka bisa hidup berkeluarga dengan rukun meski berbeda agama dan kepercayaan hingga sekarang.

Terjaga dari mimpi

Saat terjaga dari mimpinya, Djatikusumah mendapati, yang ada hanya bongkahan batu besar di atas bakal makam dia dan istrinya. Tak ada torehan pesan sang kakek pada batu, seperti dalam mimpinya. Padahal, ia berharap batu bertulis pesan persatuan, persaudaraan, dan keberagaman dari Kiai Madrais yang sudah diperjuangkan dalam tiga generasi itu bakal menjadi batu pengingat.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Anggota DPR Komisi VIII Maman, Imanul Haq, bersama anggota DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, mengunjungi Pangeran Djatikusumah (berpakaian putih), sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Paseban, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020).

Saat terbangun dari tidurnya, ia justru mendapat kabar, batu penanda yang diletakkan di atas bakal makam dia dan istrinya disegel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kuningan, Jawa Barat, Senin (20/7/2020).

Batu dan makam itu dituding oleh segelintir kelompok massa, yang diamplifikasi oleh dua media massa lokal, bakal dijadikan tempat pemujaan berhala. Namun, karena tudingan itu tidak terbukti dan media massa nasional mulai memberitakan ketidakberesan kasus ini, tudingan itu kemudian berubah menyoal IMB (izin membangun bangunan) makam.

Tudingan itu pun sebenarnya mentah. Putra-putri sang pangeran ternyata sudah berusaha mengurus IMB makam, tetapi ditolak Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP).

'Untuk IMB pendirian pusara/makam, kami tidak punya kewenangan karena belum ada regulasinya," tulis Kepala Dinas PMPTSP Agus Sadeli kepada putra Djatikusumah, Pangeran Gumirat Barna Alam, 14 Juli 2020.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana pembangunan makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Blok Curug Go'ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020). Pembangunan makam terhenti setelah disegel Satpol PP Kabupaten Kuningan karena didiga belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) terkait tugu. Sementara masyarakat Akur Sunda Wiwitan menilai, bangunan itu merupakan makam. Adapun regulasi belum mengatur IMB makam.

Meski belum memiliki regulasi, Bupati Kuningan Acep Purnama, seperti ditulis sejumlah media massa, bersikeras, makam harus disegel karena tidak memiliki IMB. Satuan Polisi Pamong Praja kemudian menyegel dua obyek, yaitu batu besar di atas bakal makam dan bakal makam Djatikusumah serta iserinya.

Ratusan massa dengan kendaraan bermotor yang sebagian datang dari luar Kuningan mengawal proses penyegelan. Warga Cigugur, Kuningan, hanya bisa terdiam menyaksikan hiruk-pikuk massa dan Satpol PP.

(Windoro Adi, wartawan Kompas1991-2019)

Kompas, 28 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

KOLOM BAHASA: Jaga Jarak (KASIJANTO SASTRODINOMO)


Sebelum didapuk sebagai salah satu elemen protokol kesehatan melawan wabah korona, frase "jaga jarak" hanyalah sebentuk cakapan sehari-hari—seperti halnya "jaga kebersihan" dan yang serupa. Fungsinya, jika tak dimaksudkan lain, sebagai peringatan agar orang waspada atau bertindak sesuai dengan tuntutan situasi tertentu. Suatu kali, saya pernah memergoki tulisan "jaga jarak" di bagian belakang bak kayu truk pengangkut barang di suatu ruas jalan raya. Sepertinya cuma iseng (goresan grafisnya pun asal-asalan), tapi pesan singkat itu bagaikan wewanti emak di rumah agar hati-hati berkendara di jalanan.

Seturut dengan KBBI (Edisi V), "jarak" berarti 'ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat'. Sejauh ini tak tersua sublema atau contoh kalimat memakai "(men-)jaga jarak" dalam kamus itu. Namun, bermodal arti kata dasar "jarak", maka "jaga jarak" bisa dimaknai 'memelihara ruang sela' tersebut. Bisa juga merujuk pada bentuk turunan "menjarak" yang berarti 'membuat jarak', 'menjadi terpisah', 'menjauhkan diri'. "Menjarak" menyiratkan bahwa yang memiliki jarak atau berjarak adalah manusia atau makhluk bernyawa; sementara nomina "jarak" mengacu hanya pada benda atau tempat sebagai subyek yang berjarak.

Ungkapan "jaga jarak" bisa dikata menyangkut sikap sadar dan psikologi manusia. Bisa positif bisa negatif. Para pandega koran ini, umpamanya, senantiasa menjaga jarak dari kekuasaan dunia apa pun demi merawat independensi dan kejujuran dalam menyiarkan kebenaran (testimoni 55 tahun, Kompas, 29/6/2020). Lain ceritanya jika "jaga jarak" adalah suatu retorika politis. Seorang pemimpin yang "menjaga jarak" dari rakyatnya, menurut rasan-rasan warga, dinilai bukan amir yang ideal. Sebaliknya, jika bisa ditamsilkan sebagai khadim alias pelayan, pemimpin semestinya tak berjarak dari kawulanya.

Lantaran serangan korona, "jaga jarak" diserap jadi istilah populer kesehatan sehingga maknanya melebihi pengertian umumnya—yakni serangkaian tindakan intervensi nonfarmasi untuk mencegah penyebaran penyakit menular dengan menjaga jarak fisik atau mengurangi kontak dekat antarorang. Jadi, "jaga jarak" bukanlah obat, melainkan cara preventif menangkal peluang penjangkitan. Metode serupa itu bahkan telah dipakai sejak berabad lampau sebelum Masehi seperti tersurat dalam Kitab Imamat, "Dan penderita kusta yang terkena wabah itu. . . ia akan tinggal sendirian; [di luar] tempat tinggalnya" (dikutip dalam Wikipedia).

Jaga jarak' bukanlah obat, melainkan cara preventif menangkal peluang penjangkitan.

Satu lagi lema "jarak" dalam kamus bahasa Indonesia, yaitu jenis tanaman perdu liar (Latin: Ricinus communis)yang tumbuh di hutan atau lahan kosong. Biji jarak bisa diolah menjadi minyak bakar. Itu sebabnya ketika menduduki tanah Jawa, pemerintah militer Jepang memobilisasi orang-orang desa supaya menanam pohon jarak sebagai bahan bakar tank dan pesawat tempur tentara Nipon selama perang. Jadi, "jaga jarak" (bila diucapkan begitu) pada zaman itu bisa berarti titah penjajah.‎

Sebagai strategi pencegahan pandemi, "jaga jarak" sejatinya tak langsung dihadapkan pada keroyokan virus ganas itu. Namun, ironinya, protokol itu di sana-sini justru "dilawan" sendiri oleh ketakpatuhan orang-orang yang hendak dilindunginya. Idiomatik, "jaga jarak" juga masih harus menyangkak "social distancing" demi mengukuhkan "pengucapan asli" di negeri sendiri agar lebih dihayati orang ramai.

KASIJANTO SASTRODINOMO, Alumnus FIB Universitas Indonesia.

Kompas, 28 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Agar Calon Investor Tidak Terperosok (JOICE TAURIS SANTI)


HANDINING

Anastasia Joice Tauris Santi, wartawan "Kompas"

Dunia investasi bagi sebagian orang bagaikan belantara yang gelap. Namun, sebenarnya, sesudah mampu melewati bentara itu, kita akan melihat secercah sinar. Tujuan-tujuan finansial dapat teraih, kehidupan pun menjadi lebih baik.

Belantara yang gelap itu akan dapat dilalui dengan mengerjakan dahulu "pekerjaan rumah" sebelum menjadi investor. Meskipun daftarnya panjang, yakinlah pekerjaan rumah itu dapat diselesaikan dan akhirnya akan berbuah manis.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui sebelum kita memutuskan berinvestasi, apa pun tujuannya. Kehati-hatian merupakan salah satu prinsip dasar dalam berinvestasi. Dalam berinvestasi, kita pasti menaruh harapan besar investasi dapat berkembang dan kita akan menerima manfaat dari investasi tersebut di kemudian hari.

Uang yang digunakan untuk berinvestasi biasanya kita peroleh dari hasil susah payah, kerja keras dari pagi hingga petang. Tidak banyak rasanya yang memperoleh modal investasinya dari warisan atau undian berhadiah. Namun, tentu saja, modal investasi seperti ini pun harus dijaga sebagai aset yang berharga.

Sebelum menginvestasikan uang kita ke dalam sebuah instrumen investasi, akan sangat baik jika kita awali dengan berinvestasi dalam bentuk pengetahuan. Dalam hal ini, tentu pengetahuan seputar dunia investasi. Menurut Benjamin Franklin, salah seorang bapak pendiri Amerika Serikat, investasi pada pengetahuanlah yang akan memberikan imbal hasil terbaik.

KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J

Chief Executive Officer Jouska Indonesia Aakar Abyasa Fidzuno (kiri) dalam diskusi Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2019 di Jakarta, Sabtu (24/8/2019). Kasus yang melibatkan Jouska menjadi pelajaran bagi calon investor agar mempelajari dulu jenis investasi yang akan diambil, beserta faktor risikonya.

Membeli dan membaca buku, ikut seminar, atau bergabung dengan komunitas merupakan investasi awal yang bagus. Biaya-biaya yang timbul karena kegiatan tersebut dapat dihitung sebagai investasi awal. Dengan demikian, kelak jangan sampai keluar keluhan,"Saya tidak tahu apa-apa, jadi saya ikut saja" atau "Saya memasrahkan saja uang saya dikelola mereka karena saya belum paham investasi."

Jika ingin berinvestasi pada aset kertas, seperti obligasi, reksadana, saham, exchange traded fund, kita dapat berselancar di dunia maya. Informasi mengenai seluk-beluk investasi kertas tersebut tersedia melimpah.

Selama masa pandemi ini, kelas-kelas daring mengenai aset kertas banyak sekali diselenggarakan. Biayanya juga sangat terjangkau. Karena dunia investasi merupakan dunia yang terus bergerak, belajar bersama di sebuah komunitas akan sangat membantu memahami apa yang sedang terjadi di pasar finansial.

Bagaimana dengan investasi di sektor riil? Membeli properti yang akan disewakan atau bisnis bersama dengan teman tentu juga memerlukan pengetahuan awal. Prinsip kehati-hatian harus tetap dipegang.

Ada pepatah, jangan menaruh telur dalam satu keranjang karena ketika keranjang itu jatuh, hancur pula telur-telur di dalamnya. Sebagai contoh, jika kita memiliki modal Rp 65 juta dan sebanyak Rp 62 juta di antaranya kita belikan saham berisiko tinggi, tentu ini membuat risiko probabilitas telur pecah semakin besar.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pergerakan indeks harga saham terpantul pada dinding di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (21/7/2020). Meski akan menggunakan jasa pengelola keuangan, calon investor tetap harus mempunyai pengetahuan tentang jenis investasi yang akan digunakan untuk mengelola dananya.

Ikut proses

Investasi merupakan buah proses panjang. Bukan sesuatu yang cepat jadi, secepat menggunting kemasan kopi saset yang kopinya lalu dapat langsung dinikmati. Setelah belajar mengenali rimba belantara investasi, perkenalan selanjutnya adalah menentukan tujuan.

Perlu diingat, instrumen investasi, seperti reksa dana, saham, atau kos-kosan, merupakan alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan. Dengan menentukan tujuan yang jelas, risiko salah pilih kendaraan dapat dihindarkan. Kesalahan dalam memilih kendaraan investasi dapat berisiko membuat tujuan tidak tercapai atau rencana berantakan di tengah jalan.

Kenali juga diri sendiri, apakah kita termasuk orang yang panik atau tenang-tenang saja ketika pasar sedang bergejolak. Aset di pasar, baik pasar keuangan maupun sektor riil, selalu dinamis. Misalnya, harga properti. Lalu, seberapa besar kita dapat mengikuti dinamika itu?

Memperhitungkan berapa biaya investasi yang harus dikeluarkan juga merupakan pekerjaan rumah selanjutnya. Biaya-biaya investasi, seperti biaya transaksi, biaya pengalihan jenis instrumen, dan pajak merupakan hal yang juga perlu dipertimbangkan.

Besaran berbagai biaya investasi di pasar modal ini sudah ditentukan kisarannya. Biaya yang terlalu tinggi akan membuat hasil investasi berkurang karena sebagian besar hasil terpangkas biaya investasi.

Kenali pula siapa yang akan mengelola uang kita. Uang yang kita dapatkan dengan keringat tentu harus dikelola oleh orang yang mumpuni dan memang memiliki keahlian di bidangnya.

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Novita Dewi menghias "cup cake" di ruang tamu rumahnya di kawasan Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Senin (25/6). Sebelum berbisnis kue di rumah, Novita adalah manajer sebuah lembaga keuangan BUMN. Calon investor harus mempelajari risiko investasi yang dipilihnya, termasuk dalam sektor riil.

Dengan meluangkan sedikit waktu untuk berselancar di dunia maya atau sambil antre di gerai kopi, kita bisa menelisik siapa saja yang memang amanah dalam mengelola uang. Mulai dari bank, manajer investasi, sekuritas, atau perusaahan teknologi finansial yang belakangan ini menjadi pilihan dalam berinvestasi. Temukan siapa di balik perusahaan-perusahaan tersebut sebelum membeli produknya.

Bandingkan produk atau instrumen investasi yang kita incar dengan produk sejenis. Apa saja kelebihan dan kekurangannya. Di akhir pekan, kita bisa membaca dengan cermat dan tenang prospektus atau keterangan tentang produk tersebut. Jika kurang jelas, keterangan tambahan bisa kita cari dari berbagai sumber.

Dengan melakukan pekerjaan rumah semacam itu, risiko salah investasi, salah produk, atau salah pilih pengelola dapat dikurangi. Investasi memang mengandung risiko, tetapi tidak memiliki investasi sama sekali jauh lebih berisiko.


Kompas, 27 Juli 2020




Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger