Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 Februari 2019

ANALISIS POLITIK: Tegal Kurusetra (J KRISTIADI)


KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

J Kristiadi

 

Semakin dekat hari pemungutan suara 17 April 2019, pancaran sinar terang yang mencerahkan dalam kontestasi politik "pesta demokrasi" terasa temaram dan cenderung semakin remang-remang. Langit politik tertutup kabut nafsu kuasa arus kecil yang mengarah pada sikap politik yang mengeras serta memutlakkan kebenaran subyektif.

Aliran mini tersebut dapat mengancam kehidupan bersama dan tertib demokrasi karena militansinya mampu menyusup ke segala arah serta saling memanfaatkan dengan elite politik demi kepentingan kekuasaan. Fenomena arus kecil semakin mampu mengapitalisasi porsi kekuatannya menjadi signifikan karena mengeksploitasi sentimen dan emosi primordialistik serta doktrin keyakinan yang digeber melalui media sosial.

Akibatnya, percaturan politik keruh dengan limbah yang diproduksi oleh ujaran-ujaran yang tidak memuliakan kehidupan bersama, melainkan justru semakin mempertegas garis batas sehingga masyarakat semakin dalam terbelah menjadi dua kubu dengan nuansa primordialitas yang semakin mengeras. Perdebatan publik hanya berputar-putar serta tidak jelas arahnya karena terperangkap dalam dialektika dikotomik. Pada tataran akar rumput, setiap kubu nuansanya selalu membenarkan pendapatnya sendiri.

Misalnya, sikap "gentleman" Prabowo dalam debat capres kedua yang beberapa kali mengakui keberhasilan pembangunan pemerintahan Joko Widodo, yang direspons dengan sikap rendah hati dari lawan debatnya, tidak mempunyai resonansi di kalangan arus bawah. Bahkan, ketika Prabowo dipersilakan moderator menambah argumentasinya karena waktu masih tersisa, ia merasa tidak perlu, serta menambahkan kalimat supaya jangan "diadu-adu" terus, kalau Joko Widodo berhasil harus diakui.

Sayangnya, pascadebat, tataran grassroot bukan mengapitalisasi narasi yang dapat saling mendekatkan, tetapi justru ramai perang tagar saling menafikan satu sama lain. Polarisasi politik menjadi menikeanistik, masing-masing memutlakkan kebenaran subyektif.

Fenomena kosmologi menikean (Manichaeism), doktrin mengajarkan kosmologi dualistik pergulatan antara dunia spiritual yang baik dan dunia kegelapan, kebenaran versus kebatilan, antara hitam dan putih, sehingga menghasilkan absolutisasi perbedaan dan pembelahan publik. Akal sehat tidak mendapat kesempatan melakukan tugasnya menggali pemaknaan dari pesan-pesan mulia.

Sinar terang mulai menembus kabut pekat jagat perpolitikan Indonesia berkat pancaran sembilan bintang (Nahdlatul Ulama) serta matahari yang bersinar ke segala penjuru (Muhammadiyah), yang memberikan pencerahan bangsa Indonesia mengidentifikasi masalah fundamental dewasa ini.

Isu-isu tersebut, antara lain, dinarasikan KH Ma'ruf Amin yang menegaskan pasangan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin tidak menampung kelompok radikal. Pilpres 2019 sebagai momentum pertarungan menjaga ideologi Pancasila dan keutuhan bangsa karena ada gerakan radikalisme dan sistem transnasional yang ingin mengganti sistem politik (Republika.co.id, 12/1/2019). Penegasan ini mungkin merupakan respons dari sinyalemen Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) bahwa kelompok radikal masuk ke salah satu pasangan capres-cawapres Pilpres 2019 (Kompas, 13/2/2019).

Sementara itu, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam Tanwir Muhammadiyah bertema "Beragama yang Mencerahkan", menyerukan urgensi Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya menyebarkan pesan praktik Islam yang mencerahkan kehidupan. Mengingat dewasa ini masih terjadi pengamalan beragama yang menimbulkan sikap ekstrem, takfiri, penyebaran hoaks, politisasi agama dan ujaran kebencian yang dapat berujung perang saudara di tegal Kurusetra.

Dalam dunia perwayangan, palagan laga tempat sesama saudara trah barata saling membinasakan demi segenggam kekuasaan. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia jangan sampai ikut arus kecil yang bernuansa Kurusetra (Kompas, Sabtu, 16/2/2019).

Ungkapan senada disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat memberikan pidato dalam penutupan Tanwir Muhammadiyah. Intinya, walaupun agama telah menjadi bagian dari sesuatu hal yang banyak menurunkan kebaikan, tetapi pengaruh agama banyak juga terjadi masalah-masalah yang besar. Semakin diperlukan pencerahan agar praktik dan pengamalan agama semakin memuliakan hubungan antarmanusia (Kompas.com, 17/2/2019).

Kegalauan Pemilu 2019 menjadi palagan tegal Kurusetra mendapatkan penjelasan lebih gamblang dari dalil Aksin Wijaya yang menegaskan jika arus dan lingkaran kekerasan dibiarkan, ia akan menjadi kebiasaan bahkan kekerasan akan menjadi nalar masyarakat yang menganggap kekerasan adalah cara paling efektif mengatur pola hubungan antara manusia. Pada titik inilah kekerasan akan merembet ke ranah agama, apa pun agama itu (Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan, 2018).

Benang merah penegasan dan wanti-wanti dari para tokoh pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, membuktikan bahwa kedua organisasi tersebut serta umat Islam di Indonesia, pada umumnya secara natur dan kultur selalu meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan serta kehidupan bersama yang harmonis. Kedua institusi keagamaan yang tidak pernah lelah menyebarkan pesan perdamaian yang menyejukkan menjadi pilar dan benteng yang kukuh bagi keutuhan bangsa Indonesia.

Tugas bangsa Indonesia di depan mata dewasa ini adalah menangkal arus kecil bernuansa Kurusetra dalam Pemilu 2019. Selain itu, menjadikan kompetisi politik sebagai pesta kemenangan rakyat mengingat rakyatlah yang harus menjadi pemenang sesungguhnya siapa pun yang unggul dalam setiap pemilihan umum.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Kompas, 28 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Inspirasi ”Garuda Muda” (Kompas)

Kesuksesan tim nasional U-22 menjuarai Piala AFF membuktikan betapa RI kaya talenta-talenta muda. Prestasi di level senior jadi target berikutnya.

Bagi Indonesia, ini prestasi ketiga di level yunior dalam enam tahun terakhir setelah menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013 dan tahun lalu meraih trofi AFF U-16. Gelar kali ini melebihi ekspektasi PSSI dan pencinta sepak bola nasional. Hal itu mengingat target Andy Setyo dan kawan-kawan sebetulnya merebut medali emas SEA Games Filipina 2019 dan lolos ke putaran final Piala Asia U-23 pada 2020.

ANTARA FOTO/NYOMAN BUDHIANA

Pemain dan ofisial Timnas U-22 membawa Bendera Merah Putih setelah berhasil memenangi babak Final Piala AFF U-22 di Stadion Nasional Olimpiade Phnom Penh, Kamboja, Selasa (26/2/2019). Indonesia menjadi juara setelah mengalahkan Thailand di babak final dengan skor 2-1.

Tim ini juga mengawali penampilan dengan kurang meyakinkan setelah dua kali bermain seri, yakni 1-1 dengan Myanmar dan 2-2 dengan Malaysia, pada dua laga awal Grup B. Kemenangan baru diraih tim asuhan Indra Sjafri pada laga ketiga, yaitu 2-0 atas tuan rumah Kamboja. Hasil maksimal ini sekaligus memastikan Indonesia lolos ke semifinal.

Keraguan membayangi fans tim "Merah Putih" soal kemungkinan tim pujaan mereka menyisihkan Vietnam di semifinal. Maklum, Vietnam berada di tangga ke-99 peringkat Federasi Asosiasi Sepak Bola Dunia (FIFA) dan menjadi satu-satunya tim Asia Tenggara di 100 besar dunia. Adapun RI di urutan ke-159, atau 60 tangga di bawah Vietnam.

Namun, keraguan itu lenyap berkat permainan impresif "Garuda Muda" yang menang, 1-0, atas Vietnam berkat gol tunggal M Luthfi Kamal. Penampilan pantang menyerah tim Indonesia berlanjut di laga puncak. Meski tertinggal 0-1, tim Merah Putih berbalik menang, 2-1, dan tampil sebagai juara.

AFP/TANG CHHIN SOTHY

Timnas Indonesia U-22 gelar juara dalam Piala AFF U-22 usai penyerahan tropi di Stadion Nasional, Phnom Penh, Kamboja, Selasa (26/2/2019). Timnas Indonesia U-22 merebut gelar juara Piala AFF U-22 setelah dalam pertandingan itu mengalahkan Thailand 2-1. Menit ke-57, Thailand sempat memimpin pertandingan lewat gol Saringkan Promsupa. Gua gol balasan Indonesia dicetak oleh Marco Ballini (59′) dan Osvaldo Haay (64′).

Kesuksesan ini terasa ironis di tengah lumpuhnya PSSI karena terbelit kasus pengaturan skor. Polisi menetapkan 16 tersangka, termasuk Ketua Umum PSSI Joko Driyono.

Yang patut dicermati, tak lain bahwa prestasi ini masih di level yunior dan di level regional terendah, yakni Asia Tenggara. Singkatnya, kita belum apa-apa. Jangan sampai terlalu cepat berpuas diri.

Perjalanan tim ini juga masih jauh. Mereka harus membuktikan diri mampu meraih emas SEA Games 2019, mengakhiri penantian 28 tahun. Tak ketinggalan, dituntut lolos kualifikasi Piala Asia U-22 pada 2020.

Jangan lupa, prestasi yang sebenarnya ditunggu adalah di level senior. Di peringkat FIFA, Indonesia terseok di posisi ke-159, di bawah tim-tim Asia Tenggara lainnya. Sebut saja Myanmar di urutan ke-138, Filipina ke-123, Thailand ke-115, dan Vietnam ke-99.

ANTARA FOTO/NYOMAN BUDHIANA

Pemain Timnas U-22 Osvaldo Ardiles Haay (tengah) beraksi bersama rekannya setelah membobol gawang Thailand dalam pertandingan Final Piala AFF U-22 di Stadion Nasional Olimpiade Phnom Penh, Kamboja, Selasa (26/2/2019).

Indonesia layak gusar dengan lolosnya Thailand, Vietnam, dan Filipina ke Piala Asia 2019. Bahkan, Vietnam bisa lolos ke perempat final. Namun, fakta itu, toh, tak membuat PSSI meradang. Seperti fenomena biasa saja.

Melihat potensi talenta-talenta muda kita, perlu segera disiapkan kompetisi berjenjang sejak usia muda. Di puncaknya, mutlak harus digelar kompetisi yang profesional, tanpa "racun" pengaturan skor. Semakin profesional kompetisi kita, semakin berkelas pula pemain-pemain yang berkiprah di dalamnya. Semakin tangguh pula pemain-pemain produk liga, yang terpilih ke tim nasional senior.

Kompas, 28 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Tuhan dalam Gemuruh Politik (KOMARUDDIN HIDAYAT)

Sentimen dan isu agama mendapatkan saluran untuk tampil ke ruang publik secara leluasa ketika Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan religius bertemu dengan sistem demokrasi yang liberal. Kelompok-kelompok radikal-ekstremis pun mendapatkan panggung legal untuk memperjuangkan agendanya.

Hubungan agama dan negara di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, berbeda dengan masyarakat Barat yang sekuler atau negara-negara kesultanan di Timur Tengah. Di sini kelahiran negara sangat berutang jasa pada gerakan dan perjuangan keagamaan, khususnya Islam, sehingga agama dan negara tak terpisahkan, sekalipun bisa dibedakan.

Pancasila adalah ideologi penghubung antara keduanya. Jika cermati, dalam kelima sila itu terdapat elemen dan spirit paham teokrasi, liberalisme dan sosialisme. Ketiganya disintesakan sebagai ideologi negara, suatu eksperimentasi historis-politis  yang akan menjadi kontribusi Indonesia pada teori kenegaraan dan menjadi model dunia kalau saja berhasil.

Ketuhanan dan kebertuhanan

Dari segi bahasa, yang pertama merujuk pada sebuah pemikiran konseptual-filosofis, sedangkan yang kedua merupakan "kata kerja", wilayah praksis.  Negara dan warganya secara konstitusional peduli dan meyakini adanya Tuhan, bukannya sebuah negara sekuler ataupun ateis. Adapun pemahaman dan praktik kebertuhanannya masuk pada wilayah pribadi dan komunal yang dilindungi dan difasilitasi negara.

Makanya di Indonesia terdapat Kementerian Agama yang  membina pendidikan dan kehidupan beragama. Sedikitnya Rp 60 triliun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disalurkan melalui Kementerian Agama, sebuah anggaran yang cukup besar. Belum lagi biaya kegiatan keagamaan yang dibelanjakan oleh BUMN dan departemen lain sehingga jumlah dana untuk kehidupan beragama di atas Rp 60 triliun. Kenyataan ini sudah mematahkan tuduhan  bahwa negara dan pemerintah itu anti-Islam.

Akhir-akhir ini muncul pertanyaan bernada protes, mengapa jumlah agama yang diakui pemerintah hanya enam, mengingat definisi agama sesungguhnya cukup inklusif, tidak sebatas enam agama yang kesemuanya merupakan  agama pendatang (asing). Ketika kita memunculkan istilah asing dan pribumi, akan menimbulkan implikasi baru yang cukup serius ketika dialamatkan pada agama. Konsep Tuhan, nabi, kitab suci, dan aturan peribadatan tidak bisa dimonopoli pengertiannya oleh komunitas agama yang kebetulan diakui pemerintah.

Bahkan, konsep ketuhanan dalam setiap agama dan kepercayaan pun berbeda. Begitu pun tentang konsep nabi dan kitab suci. Jadi, definisi dan penetapan sebuah agama merupakan produk politik yang berimplikasi pada anggaran belanja negara dan pejabat birokrasi untuk membinanya.

Penodaan agama    

Tidak hanya definisi agama, berbagai isu tentang penodaan, penistaan, dan pelecehan agama juga dipermasalahkan akhir-akhir ini. Tidak mudah memutuskan seseorang menodai agama mengingat di sana tidak ada kesepakatan bulat siapa yang memiliki mandat atau otoritas untuk bicara atas nama agama.

Setiap agama memiliki pluralitas mazhab dan ulama yang tingkat ilmunya dan sudut pandangnya berbeda.  Persoalan menjadi semakin sulit andaikan penjelasan akhir harus datang dari Tuhan yang diyakini sebagai pencipta agama yang diturunkan untuk manusia lewat rasul-Nya. Jadi, jangankan meminta klarifikasi dan konfirmasi kepada Tuhan, sedangkan kepada rasul-Nya saja mustahil dilakukan.

Lalu, adakah berarti kita bisa seenaknya merendahkan dan mempermainkan agama? Ketika nilai-nilai agama dielaborasi dan dituangkan ke dalam formula undang-undang (UU) dan etika sosial, pengamanan dan tindakan hukumnya lebih mudah jika ada yang melanggar. Oleh karena itu, sekalipun agama diyakini datang dari Tuhan, tetapi implementasinya memerlukan instrumen negara.

Contoh paling mudah adalah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), substansi dan fungsinya sangat religius karena semua agama antikorupsi. Para koruptor itu telah menghina agama, melanggar peraturan negara, merusak etika sosial, dan menyengsarakan rakyat.

Menghargai agama membutuhkan sikap empati pada pemeluknya. Begitu pun penistaan agama, biasanya pelakunya tidak punya empati bahwa yang dia ucapkan dan lakukan itu menyakiti perasaan pemeluknya. Oleh karena itu, penodaan dan penistaan agama lebih berkaitan dengan etika relasi antarpemeluk agama, bukannya manusia dan Tuhan. Dalam kaitan ini, menyampaikan ucapan selamat ketika teman beda agama merayakan hari besar agamanya, ucapan ini lebih bersifat menghargai persaudaraan sosial, bukan wilayah teologis. Apakah manusia akan mencaci atau memuji agama, tindakannya tidak akan memengaruhi kebesaran dan jabatan Tuhan.

Tepat isi deklarasi bersama antara Paus Fransiskus dan rektor Al-Azhar Mesir di Abu Dhabi bulan lalu, bahwa Tuhan tak perlu dibela. Yang dikehendaki adalah agar dengan agama seseorang bisa membela nasib manusia yang teraniaya dan mengentaskan dari derita hidupnya. Di sini terkandung pesan Tuhan bahwa agama itu sumber dan penebar rahmat bagi semesta. Agama itu penggerak kedamaian dan pilar peradaban, bukan gerakan yang penuh intimidasi dan menakutkan.

Politik atas nama Tuhan

Mengingat semangat beragama masyarakat Indonesia begitu tinggi, sementara itu para politisi tengah bekerja keras mengumpulkan suara untuk memenangi kontestasi pemilu dan pilkada, maka agama dipandang sangat instrumental jika  dimanipulasi untuk kontestasi politik. Ketika kesadaran masyarakat sebagai warga negara (sense of citizenship) masih rendah,  orang lebih mudah membangun afiliasi politik atas dasar kesamaan etnis dan agama.

Namun, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, diperlukan insentif lain untuk menarik mereka. Insentif lain itu, antara lain, adalah uang, kesamaan ormas, dan slogan ideologis-utopis untuk membangkitkan emosi serta militansi kelompok. Ideologi tanpa ikatan emosional dari  pendukungnya akan mati pelan-pelan sehingga setiap perjuangan politik kekuasaan mesti "menciptakan" musuh bersama untuk mengikat simpatisannya agar bekerja secara militan. Sikap militan dan radikal akan tumbuh jika faktor agama dan Tuhan dijadikan titik keberangkatan dan tujuan akhirnya (alfa-omega) karena agama menawarkan insentif keselamatan  eskatologis berupa surga setelah kematian.

Tak ada konsep kalah dalam perjuangan ideologi keagamaan. Yang ada hanyalah kemenangan, jika tidak di dunia, ditemui di akhirat nanti.

Berpolitik mengatasnamakan kehendak Tuhan menimbulkan kesulitan untuk dilakukan verifikasi mengingat sosok Tuhan tidak terjangkau, jumlah agama banyak, dan dalam internal komunitas seagama juga banyak tokoh dan mazhab pemikiran yang tidak selalu sejalan terhadap satu masalah yang tengah dihadapi. Sering terjadi, seseorang melakukan tindakan kriminal yang bersifat horizontal dan menurut hukum agama jelas dosa, lalu yang bersangkutan menyelesaikannya dengan melobi memohon maaf kepada Tuhan melalui tindakan ritual. Bahwa berdoa dan beribadah itu baik, tetapi tidak menyelesaikan kriminalitasnya.

Sikap beragama semacam ini jangan-jangan ikut andil memperlemah etika sosial dalam masyarakat yang tinggi semangat agamanya sehingga pertumbuhan korupsi sejalan dengan semaraknya ritual keagamaan. Di sini Tuhan diposisikan untuk meringankan beban jiwanya dengan limpahan maafnya. Yang demikian tidak terjadi pada masyarakat sekuler. Perbuatan kriminal mesti diselesaikan dengan hukum positif di dunia ini, tidak usah menunggu pengadilan akhirat. Mungkin pola pikir (mindset)ini yang membuat beberapa negara sekuler tingkat korupsinya lebih rendah ketimbang masyarakat yang tinggi semangat agamanya.

Menghadapi pemilihan presiden (pilpres), April mendatang, Tuhan dan agama dilibatkan sedemikian jauh. Yang meramaikan dan membuat suhu politik panas tidak semata persaingan antarparpol, tetapi justru antarormas dan penceramah agama dengan melemparkan isu dan slogan keagamaan. Bahkan, Tuhan pun diajak berkoalisi dalam kontestasi pemilihan calon presiden. Pernah beredar pernyataan, partai Tuhan tengah bersaing melawan partai setan. Pilpres ini layaknya sebuah perang jihad yang akan menentukan nasib Islam ke depan.

Ada pula koalisi parpol dan ormas yang  mengadakan doa akbar yang tujuannya memohon kepada Tuhan untuk kemenangan jagonya. Padahal, kedua pihak yang berkompetisi ini mengaku agama dan Tuhannya sama. Mungkin hanya di Indonesia fenomena ini terjadi, menambah cerita bagi anak cucu kelak.

Komaruddin Hidayat Komaruddin Hidayat Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Kompas, 28 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Hubungan Pakistan-India Memanas (Kompas)

REUTERS/DANISH ISMAIL

Tentara India berkerumun di dekat puing helikopter Angkatan Udara India yang jatuh di Distrik Budgam, Kashmir, Selasa (27/2/2019). Militer Pakistan mengklaim menembak jatuh dua jet India, masing-masing jatuh di wilayah Pakistan dan India.

Ketegangan antara Pakistan dan India memasuki fase sangat membahayakan. Terbuka kemungkinan, situasi berkembang menjadi "tak terkendali."

Pada Rabu (27/2/2019), Pakistan mengumumkan telah menembak dua pesawat tempur India. Salah satu pesawat jatuh di wilayah Kashmir yang dikelola oleh Pakistan. Satu pesawat lagi jatuh di wilayah Kashmir yang dikuasai India. Dua pilot India disebut oleh Pakistan telah berada di bawah kendali otoritas negara itu. Satu orang dirawat di rumah sakit. Beredar pula rekaman video yang menunjukkan pilot India diinterogasi oleh petugas Pakistan.

Di pihak lain, India mengakui kehilangan salah satu pesawat tempurnya. New Delhi juga menyebutkan bahwa pilot pesawat mereka hilang dalam tugas.

Peningkatan ketegangan pada Rabu tak lepas dari aksi India yang pada Selasa mengirim pesawat-pesawat tempur untuk menyerang sebuah area di wilayah Balakot, Pakistan, yang diperkirakan menjadi kamp kelompok militan Jaish-e-Mohammad (JeM). Wilayah Balakot terletak sekitar 50 kilometer dari line of control (LOC) atau garis gencatan senjata di perbatasan Kashmir yang diperebutkan kedua negara.

Seperti diberitakan harian ini pada Rabu, India mengklaim 300 anggota JeM tewas dalam serangan udara itu. Sebaliknya, Pakistan menyatakan tak ada korban tewas. Serangan India, menurut Islamabad, hanya menghantam areal hutan.

Penyerangan atas sasaran-sasaran JeM dilakukan oleh New Delhi sebagai respons atas apa yang dilakukan kelompok itu terhadap petugas keamanan India, 14 Februari. Saat itu, kendaraan pengangkut puluhan petugas keamanan India diserang bom bunuh diri di jalan raya Srinagar-Jammu, di wilayah Kashmir yang dikontrol India. Akibatnya, 41 petugas keamanan India meninggal. New Delhi selama ini menuduh Islamabad melindungi JeM.

Aksi bom bunuh diri yang dilakukan JeM memicu kemarahan masyarakat India, ditandai dengan berlangsungnya demonstrasi di berbagai kota di negara itu. Tekanan besar terhadap PM India Narendra Modi untuk bersikap keras terhadap Pakistan yang dituding melindungi JeM menjadi latar belakang serangan pesawat tempur India di Balakot. Serangan ini berlanjut dengan pertempuran antar pesawat militer milik kedua negara.

Sama-sama memiliki bom nuklir, India dan Pakistan sudah tiga kali berperang satu sama lain sejak terbebas dari kolonialisme Inggris dan pemisahan kedua negara pada 1947.

Sejumlah negara besar telah menyatakan keprihatinan atas ketegangan yang dihadapi India dan Pakistan. Banyak pihak akan mengalami kerugian jika sampai pecah perang lagi antara India dan Pakistan. Menjelang pemilu yang berlangsung lebih kurang dua bulan lagi di India, pemimpin kedua negara perlu mengutamakan kearifan dalam menangani eskalasi ketegangan di antara mereka agar situasi tidak berkembang menjadi "tak terkendali."

Kompas, 28 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: PT dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (JULIATY ANSYE SOPACUA)

Universitas punya peran penting dan strategis dalam mewujudkan tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia. Untuk bisa mencapai hasil optimum dari 17 tujuan, 169 target, dan lebih dari 300 indikator pada 2030, perlu partisipasi aktif dan kontribusi signifikan dari semua pihak.

Dalam konteks ini setidaknya ada dua hal penting yang berhubungan langsung dengan universitas: pendidikan dan inovasi. Pertama, pendidikan TPB diperlukan, baik di dalam maupun di luar lingkungan kampus. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, universitas punya mandat dan kesempatan untuk memberikan pengetahuan dan keahlian yang diperlukan guna menciptakan ilmuwan, teknisi dan pemikir bangsa Indonesia pada masa depan. Universitas juga punya kesempatan menanamkan ide-ide keberlanjutan bagi calon pemuka dan pengambil keputusan. Universitas juga berkesempatan mendorong pendidikan di luar kampus, menjangkau masyarakat luas dengan program pendidikan terapan ataupun pengabdian dan aplikasi pengetahuan.

Kedua, inovasi adalah faktor penting untuk percepatan menuju capaian TPB. Pendekatan business as usual dalam pelaksanaan pembangunan tak akan memberikan hasil yang diharapkan terutama dalam menjawab berbagai tantangan pembangunan yang masih sulit diselesaikan sampai saat ini. Analisis proyeksi tren capaian indikator TPB di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi oleh UNDP Indonesia dan SDG Center Universitas Padjadjaran menunjukkan semua indikator TPB tak akan tercapai jika hanya mengikuti tren yang ada. Capaian TPB pada 2030 butuh inovasi di sisi regulasi, pendekatan ataupun model implementasi.

Dalam konteks inilah peran penting universitas sangat diperlukan dalam memelopori, menghadirkan, dan mendorong berbagai bentuk inovasi untuk semuatujuan. Contohnya, analisis-analisis dan pengembangan alat-alat diagnostik yang inovatif untuk membantu pemerintah menentukan kebijakan dan regulasi ataupun pengembangan penelitian teknis untuk membantu percepatan capaian atas tujuan-tujuan tertentu.

Misalnya, (1) penggunaan teknologi di bidang kesehatan untuk membantu menurunkan tingkat kematian ibu (tujuan ke-4), (2) mencari sumber energi alternatif untuk menerangi desa-desa di pelosok Indonesia (tujuan ke-7), penggunaan teknologi satelit dan sistem radar untuk melindungi laut dan perairan Indonesia (tujuan ke-14), menemukan sumber makanan baru yang dapat membantu menghilangkan stunting generasi penerus bangsa (tujuan ke-2), dan sebagainya.

Pendidikan dan inovasi adalah bagian dari Tri Darma Perguruan Tinggi untuk menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, seperti tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2012. Peran dan kontribusi PT terhadap capaian TPB sudah tercakup dalam tugas utama PT.

Koordinasi TPB

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen luar biasa dalam mengangkat dan memasyarakatkan TPB. Komitmen tertinggi ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Perpres No 59/2017 yang memandatkan empat hal penting: (1) tata kelola yang inklusif, (2) penyusunan rencana aksi, (3) pelaporan keberhasilan, dan (4) pembiayaan TPB, yang berlaku di tingkat nasional maupun lokal (provinsi dan kabupaten/kota).

Dengan mengedepankan prinsip inklusivitas sebagai salah satu prinsip penting dari TPB, tata kelola TPB dibangun dari empat pilar pemangku kepentingan, yaitu pelaku usaha dan filantropi, akademisi dan pakar, serta masyarakat madani, dan media.

Pelaksanaan dan keberhasilan TPB bertumpu pada keempat pelakunya. Sejauh ini, antusiasme dan keterlibatan pemangku kepentingan TPB di Indonesia sangat menggembirakan. Filantropis giat bekerja sama dengan masyarakat madani dalam implementasi berbagai program; pelaku usaha berpartisipasi dalam pengembangan berbagai instrumen pembiayaan yang inovatif, masyarakat madani bekerja langsung dengan masyarakat dan mengadvokasikan komitmen pemerintah kepada prinsip- prinsip TPB, serta beberapa universitas berperan melakukan analisis dalam rangka penyusunan Rencana Aksi Nasional/Daerah (RAN/RAD) beserta kerangka pemantauannya.

Selain menjadi anggota tim koordinasi TPB dan membantu penyusunan rencana aksi daerah dan nasional, universitas juga diharapkan melaksanakan riset-riset penting yang dapat membantu menjawab tantangan yang masih sulit diselesaikan. Universitas hendaknya menjadikan dokumen-dokumen perencanaan TPB (baik RAN maupun RAD) sebagai referensi dalam menentukan jenis riset unggulan untuk lembaganya. Berbagai tantangan yang diidentifikasi sebagai bagian dari RAD/RAN bisa menjadi bahan universitas dalam menyusun program pengabdian masyarakat.

Forum universitas

Hingga 2018, tercatat berbagai hal penting telah dilakukan berbagai universitas di Indonesia dalam konteks TPB. Mulai dari event untuk mengenalkan TPB kepada mahasiswa, seminar, konferensi, dan berbagai lokakarya dengan tema TPB, serta upaya mengembangkan kurikulum mata kuliah dasar berbasis TPB, seperti dilakukan Universitas Padjadjaran. Beberapa universitas juga telah mendirikan pusat studi/penelitian hal-hal terkait TPB, seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Jember, Universitas Andalas, Universitas Bengkulu, dan Institut Pertanian Bogor.

Upaya ini perlu diapresiasi. Diharapkan, partisipasi aktif juga dilakukan perguruan tinggi lainnya. Akan lebih baik lagi jika universitas-universitas tersebut saling bekerja sama dalam satu jaringan, seperti dilakukan pemangku kepentingan lainnya. Pelaku usaha dan filantropi serta kelompok masyarakat madani telah berhasil mengorganisasi kelompok mereka sendiri dan membentuk "forum" atau "jaringan" yang menjadi wadah untuk berdiskusi dan menentukan kontribusi yang tepat sebagai salah satu pemangku kepentingan utama TPB.

Akhir Januari lalu, UNDP Indonesia bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas menginisiasi pembentukan "jaringan universitas untuk TPB" dengan mengundang rektor serta ketua lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LPPM) dari 50 perguruan tinggi (PT) di seluruh Indonesia, direktur SDG center dari keenam universitas, partner pembangunan dan kedutaan besar negara sahabat, serta pelaku usaha dan representasi masyarakat madani.

Antusiasme peserta luar biasa. Hampir semua universitas di Indonesia telah berperan dalam upaya TPB, dengan cara mereka sendiri. Diskusi tentang pembentukan jaringan mendapat sambutan positif dari semua peserta, dan didukung perwakilan pemprov yang hadir. Pembentukan forum atau jaringan universitas untuk TPB bisa menjadi salah satu platform yang strategis di mana anggotanya bisa mendiskusikan dan menentukan pendekatan dan cara yang jitu dalam memberikan kontribusi nyata kepada TPB, terutama mendorong percepatan capaian TPB.

Sebagai pencetus ide, UNDP Indonesia mengusulkan tiga pendekatan dalam pembentukan jaringan, yakni (1) pendekatan geografis di mana universitas yang berlokasi dalam pulau yang sama bisa bekerja sama dalam menyelesaikan isu-isu yang kemungkinan besar mirip, (2) pendekatan tematik di mana anggota jaringan mengelompokkan diri dalam berbagai tema, misalnya tema energi terbarukan, tema pengentasan orang miskin, tema pengurangan angka stunting, dan lainnya, serta (3) pendekatan "pilar" TPB di mana universitas mengelompokkan diri atas pilar ekonomi, sosial, lingkungan dan tata kelola.

Dengan kompleksitas TPB dan banyaknya isu yang masih dihadapi Indonesia, kontribusi universitas adalah suatu keniscayaan. Sambutan positif universitas untuk membentuk jaringan harus segera ditindaklanjuti, dengan empat kemungkinan pendekatan di atas.

Juliaty Ansye Sopacua SDG Advisor, UNDP Indonesia

Kompas, 28 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

INDUSTRI DIGITAL: Tantangan Media Sosial di Pemilihan Umum (ANDREAS MARYOTO)

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas

Beberapa tahun lalu banyak kalangan berpendapat, media sosial efektif untuk kampanye politik dan perubahan sosial. Akan tetapi belakangan peran media sosial dikritisi karena kehendak memilih bebas bisa dikalahkan oleh akun palsu dan robot.

Mengapa media sosial dipersepsikan malah lebih banyak digunakan untuk menebar fitnah dan kebencian? Mengapa kisah sukses, kabar baik, dan lain-lain bisa kalah dengan unggahan-unggahan negatif di media sosial?

Kini posisi media sosial menjadi tantangan. Tak sedikit yang mengatakan media sosial menjadi ancaman bagi demokrasi.

Tidak mengherankan bila para calon dalam pemilu mengatakan, tantangan mereka adalah media sosial. Dana dalam jumlah besar dikucurkan untuk tim media sosial mereka. Meski sebenarnya tidak ada hubungan lurus antara kesuksesan kampanye di media sosial dengan kesuksesan mereka kelak di pemilihan. Istilah mereka: menang di media sosial belum tentu menang di riil. Lalu, mengapa mereka memasuki kampanye di media sosial?

Tak sedikit yang mengatakan media sosial menjadi ancaman bagi demokrasi.

Berkaca dari kecanggihan Cambridge Analytica, perusahaan ini mampu menganalis preferensi calon pemilih berdasarkan aktifitas akun mereka di media sosial. Analisis itu berdasakan beberapa aktifitas seperti tanda suka dan juga berita-berita yang sering dibagikan oleh pemilik akun selama ini.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Media sosial seperti Facebook dan Twitter, menjadi tempat bertebarannya ujaran kebencian, berita bohong, dan informasi sampah, dan kian marak menjelang pemilihan umum.

Semisal A telah memutuskan akan memilih Y, si B masih ragu-ragu dengan Y, dan si C tidak akan memilih Y. Dengan informasi itu, Cambrige Analytica bisa memengaruhi A dengan menggunakan unggahan-unggahan yang berbeda dan telah dikemas agar membuat A makin yakin dengan Y, si B akan dipengaruhi agar secepatnya memilih Y, dan semakin banyak unggahan ke C agar dia ragu dengan calon lain dan memilih Y.

Media konvensional bersifat menarget calon pemilih secara tidak langsung sementara media sosial bisa menarget langsung ke sasaran. Bila Y ingin menarget massa tertentu seperti berada di area tertentu, memiliki hobi tertentu, atau memiliki keterikatan dengan organisasi tertentu maka media sosial menyediakan fasilitas penargetan tersebut.

Sebaliknya calon pemilih menjadi memiliki kedekatan atau hubungan langsung dengan Y. Salah satu riset di Amerika Serikat mengatakan, sekitar 62 persen orang mendapatkan berita dari media sosial. Data ini menunjukkan betapa vitalnya peran media sosial di dalam kampanye.

Pemikiran ini setidaknya membantah pendapat: menang di media sosial belum tentu menang di riil. Dengan strategi yang tepat maka mereka bisa memenangkan di media sosial sekaligus memenangkan pemilihan riil.

Meski demikian di balik itu semua media sosial kita banyak dikiritik. Kalangan penggerak revolusi yang sukses beberapa waktu lalu mengatakan, mereka sukses menumbangkan rezim dan membuat perubahan melalui media sosial namun mereka gagal untuk membuat konsensus dan perubahan ketika rezim berganti. Kini mereka mengatakan, untuk membebaskan masyarakat maka bebaskan mereka dari internet terutama media sosial.

Ada juga yang mengatakan, keberadaan media sosial menjadi ancaman bagi demokrasi. Kehendak memilih bebas dari calon pemilih bisa dikalahkan oleh propaganda komputasional. Perang opini di media konvesional yang langsung diutarakan oleh sosok yang berlaga di pemilihan umum di dunia media sosial bisa digantikan oleh akun-akun palsu dan robot. Komentar dan unggahan bisa dijalankan oleh mesin.

Kehendak memilih bebas dari calon pemilih bisa dikalahkan oleh propaganda komputasional.

Kebencian dan fitnah yang tak mudah dan tak akan diutarakan di media konvensional atau kampanye langsung akan mudah meluncur di media sosial. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa fitnah dan ujaran kebencian bermunculan di media sosial. Sebaliknya kabar baik dirasakan sedikit tenggelam di media sosial. Perbedaan di masyarakat juga dipertajam dan dampaknya diperbesar oleh media sosial.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga melakukan aksi simbolik penolakan penyebar luasan hoaks, ujaran kebencian, dan praktik politik uang, dalam acara yang digelar oleh Bawaslu Kota Yogyakarta di Alun-alun Selatan, Yogyakarta, Minggu (24/2/2019). Penyebar luasan hoaks dan ujaran kebencian banyak dilakukan melalui media sosial.

Di sini terlihat tantangan media sosial. Perusahaan teknologi media sosial pasti telah memiliki berbagai upaya untuk menangkal penggunaan media sosial yang tidak benar ini. Facebook telah menurunkan sejumlah unggahan yang mengandung misinformasi. Polisi juga telah menerjunkan aparatnya untuk menangkap para pengunggah fitnah dan ujaran kebencian. Beberapa kali polisi menangkap pembuat dan penyebar ujaran kebencian dan fitnah.

Beberapa organisasi juga telah memberikan panduan bermedia sosial dalam kampanye. Bahkan ada yang mengusulkan untuk meregulasi media sosial agar pemilihan umum menjadi berintegritas dan berkeadilan. Pengaturan bisa dilakukan salah satunya dengan mengendalikan iklan digital di media sosial.

Kita masih membutuhkan banyak cara agar media sosial bisa menjadi media yang sehat dan mencerahkan. Media sosial masih perlu diisi dan dipenuhi dengan kisah-kisah baik dan informasi yang benar. Kerja keras dalam waktu yang lama sepertinya harus dilakukan sehingga sosok media sosial sebenarnya bisa terbentuk alias tidak liar seperti sekarang ini.

Kompas, 28 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Rabu, 27 Februari 2019

ARTIKEL OPINI: Tarian Politik Pilpres 2019 (AHMAD SUAEDY)

Di laman opini The New York Times (14/2/2019), novelis Eka Kurniawan membuat analisis tentang kemenangan di Pilpres Indonesia 2019.

Dengan menempatkan Calon Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin sebagai faktor utama dalam pasangan 01 (Joko Widodo-Ma'ruf Amin) dan isu-isu identitas Islam yang diusung oleh pasangan 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno), dia menyimpulkan kemenangan pilpres sudah bisa ditentukan sekarang, yaitu kelompok Islamis atau konservatif Islam, pasangan mana pun yang akan menang nanti.

Menurut Eka, dengan melihat rekam jejak kiai Ma'ruf dalam isu-isu sektarian agama dan diskriminasi terhadap minoritas serta lembaga di mana dia berafiliasi dan produk-produknya pada masa lalu, tidak bisa dimungkiri itulah yang akan terjadi nanti. Dan, Jokowi—meskipun posisinya sebagai presiden—sudah terperangkap di dalam bingkai tersebut. Sementara jika yang menang pasangan 02, dengan melihat kelompok pendukung utama yang vokal dengan isu-isu sektarian yang diusung, akan menunjukkan hal yang sama.

Matras putih  

Dengan melihat faktor-faktor dan unit analisis yang digunakan, kesimpulan yang ditarik oleh Eka itu benar adanya. Namun, saya kira dia melupakan faktor-faktor lain yang berkembang, baik dalam atmosfer Indonesia secara umum maupun pergeseran pribadi masing-masing dan kelompok yang melingkupinya. Meminjam varian agama Jawa atau Indonesia oleh  MC Ricklefs sebagai abangan dan putihan, atau Clifford Geertz dengan tiga varian priyayi, santri, abangan, di mana varian-varian itu berada di atas matras tebal abangan.

Akan tetapi, kini matrasnya sendiri sudah berganti dengan apa yang oleh Bob Hefner (2018) disebut sebagai whiter religious field (matras agama yang makin putih)". Namun, bagi Hefner, makin putihnya matras itu tidak dengan sendirinya makin konservatifnya perilaku masyarakat Muslim, tetapi terjadi juga penebalan kelompok-kelompok prokeragaman dan pluralisme di dalam kelompok-kelompok "pemutih" matras tersebut. Hefner menunjukkan dua kelompok yang kian mencolok di masyarakat Muslim Indonesia, yaitu adreng-nya kelas menengah Indonesia terhadap sufistik dan kesetaraan perempuan dalam berbagai lapangan kehidupan.

Islam sufistik tidak saja berkarakter terbuka, juga memperjuangkan keterbukaan itu sendiri untuk membuka ruang bagi dirinya. Dalam sejarah, sejak Islam meluas di Jawa atau Indonesia, paham Islam sufistik menjadi pencair dalam "campuran" Islam-budaya dan kepercayaan lokal atau Ricklefs menyebutnya sebagai mystic synthesis in Java (2006) sejak abad ke-14 hingga ke-19. Namun, karakter sufi kini lebih menampakkan watak sosialnya ketimbang kepercayaan mistiknya.

Menurut Hefner, sekolah-sekolah agama Islam kini cenderung didominasi atau setidaknya 50 persen perempuan, hal yang tidak terjadi pada masa lalu. Dalam waktu bersamaan banyak lahir aktivis feminis untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan di masyarakat dan doktrin Islam itu sendiri. Juga mudah ditemukan pemimpin politik perempuan dengan penampilan asesoris Islam tetapi maju dalam menggerakkan pelayanan publik yang baik dan nondiskriminatif.

Jika diluaskan amatan kita, kita bisa temukan bahwa PDI-P sudah lama mendirikan sayap Islam di dalam kepengurusan dengan nama Baitul Muslimin, partai yang sampai sekarang masih dicap gudangnya "abangan". Di samping itu, kini kita dengan mudah menemukan para pejuang hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender dan demokrasi yang berlatar santri atau "putihan" dan sehari-hari mereka menggunakan simbol Islam di ruang publik seperti jilbab bagi yang perempuan.

Dengan kata lain, benar belaka bahwa dengan merekrut kiai Ma'ruf sebagai wakilnya, Jokowi sedang menggelar matras putih sebagai tempat menari dalam politik Pilpres 2019. Namun, irama tarian berikutnya tidak dengan sendirinya akan didikte oleh irama konservatif yang merupakan representasi kiai Ma'ruf sebelumnya. Demikian pula jika pasangan 02 menang, konsesi lebih luas mungkin akan diberikan kepada mereka, tetapi tidak dengan sendirinya akan mengikuti seluruh kemauan kelompok tersebut, mengingat penebalan lapisan keragaman dan pluralisme juga ada di dalam setiap kelompok pasangan tersebut.

Pergeseran

Sejak demonstrasi 212 yang berujung pemenjaraan dan kekalahan BTP atau Ahok di Pilgub DKI Jakarta, sebenarnya terjadi pergeseran pula, baik di Jokowi maupun kiai Ma'ruf dan komunitas besarnya, Nahdlatul Ulama (NU), juga di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jokowi makin sadar bahwa Islam moderat penting bukan hanya untuk kelangsungan kepresidenannya, melainkan juga kesuksesan pembangunan yang adil dan merata serta menutup kesenjangan yang jadi salah satu sebab gerakan oposisi bermotif agama itu. Sejak itu, misalnya, Jokowi tak hanya sangat sering berkunjung ke komunitas Islam dan pesantren, juga mengarahkan dana cukup besar untuk pemberdayaan umat yang ada di bawah, baik melalui NU dan pesantren maupun Muhammadiyah dan ormas Islam yang lain.

Kebetulan bahwa sejak Agustus 2015, kiai Ma'ruf yang sebelumnya full time sebagai ketua umum di MUI kemudian terpilih sebagai Rois 'Am PBNU sehingga harus membagi waktu dan keseimbangan. Semula terpilihnya Ma'ruf di posisi Rois 'Am PBNU membuat banyak orang khawatir tentang kemungkinan perubahan pada PBNU kian konservatif. Namun, yang terjadi adalah kiai Ma'ruf-lah yang menyesuaikan dengan pandangan PBNU yang juga sering bertabrakan dengan MUI sejak lama dalam hal minoritas dan sektarianisme.

Kiai Ma'ruf sejak itu berganti haluan lebih dekat ke Jokowi dan mengubah perhatian dari paham keagamaan umat (minoritas) ke pemberdayaan umat. Kiai Ma'ruf juga mendukung pembredelan ormas HTI.             Dengan demikian, belum bisa diukur bahwa pasangan mana pun yang menang akan seratus persen lebih konservatif atau seberapa konservatif nantinya. Keduanya memiliki potensi yang sama untuk lebih konservatif, tetapi melihat pergeseran-pergeseran yang terjadi, kiai Ma'ruf tidak bisa disebut sebagai faktor dominan yang bisa mengarahkan kebijakan itu.

Masih terbuka peluang bagi mereka yang tidak ingin pemerintahan lebih konservatif bagi pendukung di dalam maupun yang di luar untuk menjaga agar pasangan yang menang tidak mengarah pada konservatisme agama. Akan tetapi, memang kita dipaksa oleh zaman untuk menari di atas warna matras yang makin putih.

Ahmad Suaedy Anggota Ombudsman RI

Kompas, 27 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Intelektualisasi Kekuasaan (M ALFAN ALFIAN)

Pidato Cornelis Lay dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (6/2/2019) menarik disimak. Sebagaimana dikutip Kompas (7/2/2019), Cornelis berpendapat kaum intelektual di Indonesia tidak perlu alergi dengan kekuasaan.

Demi kepentingan kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan dan berkolaborasi dengan kekuasaan. Namun, hubungannya dengan kekuasaan tak boleh membuat seorang intelektual kehilangan karakter dasarnya, yakni berpikir bebas dan bertindak bijak. Apa yang disampaikan Cornelis menambah khazanah wacana intelektual dan kekuasaan ketika menawarkan jalan ketiga.

Menurut Cornelis, selama ini seolah-olah kaum intelektual sekadar dihadapkan pada dua pilihan ketika berhubungan dengan kekuasaan, apakah tunduk pada atau menjauhi, bahkan memusuhi kekuasaan. Pilihan atau jalan ketiganya, kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, serta berdasarkan motif kemanusiaan. Hubungan intelektual dan kekuasaan, dengan demikian, tidak didikte oleh motif kecintaan atau kebencian.

Jalan ketiga yang ditawarkan Cornelis menggarisbawahi independensi intelektual yang semata-mata berpihak kepada moral kemanusiaan, bukan pada kekuasaan itu sendiri. Secara subyektivitas politik, tentu tidak ada yang salah dari apa pun yang dilakukan kekuasaan. Akan tetapi, intelektual punya standar etis intelektual yang disandarkan pada moral kemanusiaan. Intelektual yang ikut hadir di pentas kekuasaan, lantas memutuskan keluar karena pertimbangan moral kemanusiaan, pun tetap harus mampu bersikap etis dan proporsional, tidak lantas menyatakan kebenciannya pada kekuasaan.

Tugas intelektual justru lebih pada memperbesar "kebenaran akademis" dalam kekuasaan. Di dalam atau di luar kekuasaan, sepakat pada Cornelis, timbangan pokoknya, kalkulasi kemanusiaan. Kebenaran kekuasaan tidak boleh melesat jauh meninggalkan moral kemanusiaan. Tugas intelektual mendekatkan dan menyejajarkannya. Dalam konteks inilah, asumsi dasar Cornelis segera dapat kita pahami. Menurut Cornelis, kekuasaan dan ilmu pengetahuan, lahir dan bertumbuh di atas cita-cita yang baik, yakni pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Untuk memperjuangkan kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan dengan kekuasaan dengan alasan moral yang kuat dan masuk akal, berjalan bersisian di tengah pesimisme yang berkembang.

Intelektualisasi

Kekuasaan dan intelektualitas, karena itu, bak dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kekuasaan membutuhkan intelektualitas guna menggelar pembangunan yang berwajah manusia. Kaum intelektual punya posisi strategis, tak sekadar dalam konteks sebagai teknokrat. Intelektual dalam kekuasaan punya tanggung jawab moral kemanusiaan yang lebih luas ketimbang sekadar posisinya sebagai pakar kebijakan. Merujuk Soedjatmoko, dimensi manusia dalam pembangunan harus mengemuka.

Intelektual di kekuasaan ialah jantung intelektualisasi atau pencerdasan yang ditumbuhkan melalui tradisi literatif ilmu pengetahuan yang berpijak moral kemanusiaan yang jelas. Konsekuensinya, intelektualisasi tak semata sekadar pencerdasan pengetahuan, tetapi juga pencerahan bagi kualitas kemanusiaan dan peradaban. Kaum intelektual punya tanggung jawab lebih dalam berikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa.

Intelektual dalam kekuasaan sebagai penggelora intelektualisasi juga berfungsi korektif atau evaluasi diri sehingga rezim berkuasa tak larut dalam labirin ambisi kekuasaan yang justru menjauh dari moral kemanusiaan dan pencederaan akal sehat. Mereka idealnya juga pembendung arus balik dan berfungsi sebagai kekuatan detoksifikasi, otoritarianisasi kekuasaan. Mereka referensi penting rezim berkuasa yang lazim didominasi kaum politisi, memperkuat tradisi legitimasi intelektualitas, kekuasaan argumentatif, dan basis moral kemanusiaan yang kuat.

Harus diakui, pada praktiknya relasi intelektual dan kekuasaan tak mudah. Diasumsikan, semakin demokratis suatu entitas kekuasaan, kian leluasa para intelektualnya menggelorakan arus kuat intelektualisasi. Kian tak demokratis, semakin terpinggirkanlah intelektual, reduplah tradisi intelektualisasi. Namun, di tengah jenis kekuasaan apa pun, mereka tetap berfungsi menjaga moral kemanusiaan dan mencerahkan. Hal itu dilakukan melalui interupsi-interupsinya pada kekuasaan, proaktif mengingatkan rezim berkuasa untuk tak lepas dari orientasi kemanusiaan. Gambarannya seperti yang dilakukan punakawan intelektual dalam pewayangan.

Iklim demokrasi

Dalam entitas kekuasaan yang demokratis, intelektual turut berikhtiar merawat iklim kebebasan agar yang selalu muncul kecenderungan jenis kekuasaan, apa yang diistilahkan Geoff Mulgan (2006), kekuasaan yang baik (good power), bukan kekuasaan yang buruk (bad power). Kekuasaan yang baik bisa mewujud manakala kaum intelektual, politisi, dan birokrat fungsional.

Kuatnya arus intelektualisasi kekuasaan berpeluang terjadi dalam iklim demokratis, yakni ketika etika intelektualitas juga dikedepankan oleh kaum politisi dan birokrat. Intelektualisasi kekuasaan memang sering dihadapkan pada tantangan politisasi dan birokratisasi. Politisasi terjadi ketika ragam argumentasi intelektual, sekadar dipakai sebagai alat pukul politik, bukan motivasi pencerahan, sedangkan birokratisasi ialah formalisasi yang berpotensi menjauhkan tradisi intelektualitas yang mengutamakan substansi, kreativitas, dan inovasi.

Intelektual dalam kekuasaan tak semata-mata berfungsi menjawab kritik masyarakat dan intelektual luar kekuasaan, tetapi lebih mendasar ialah menyerap aspirasi intelektual. Kekuasaan tak boleh jauh meninggalkan aspirasi intelektual, justru karena terlampau tingginya kadar politisasi dan birokratisasi. Intelektualisasi kekuasaan mengemuka pada sikap yang tidak pernah sinis, apalagi alergi, terhadap ragam kritik. Segenap kritik direspons dengan etika dan argumentasi intelektual yang kuat, bahkan ketika hoaks dan fitnah media sosial gencar.

Intelektual tak sekadar bisa berfungsi menumbuhkan iklim intelektualisasi politisi, tetapi juga reformasi birokrasi. Intelektualisasi birokrasi bermakna implementasi moral kemanusiaan agar mereka semakin mampu meningkatkan pelayanannya secara baik kendati di tengah keterbatasan. Dengan demikian, arus intelektualitas terjaga dalam tradisi kaum intelektual itu sendiri, kaum politisi dan birokrat pemerintahan.

Intelektual memiliki ciri yang unik, mengingat apakah mereka di dalam atau luar kekuasaan, merujuk Cornelis, dalih moral kemanusiaanlah yang selalu dipegang. Mereka sama-sama mencegah kualitas kekuasaan merosot, keluar dari bingkai kelaziman moralnya ke arah kekuasaan yang buruk. Moralitas kekuasaan selalu dikaitkan tanggung jawabnya mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Intelektual dalam kekuasaan setidaknya punya peluang lebih besar mengingatkan rezim berkuasa agar tidak merosot moralitas kekuasaannya.

M Alfan Alfian Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional; Pengurus Pusat HIPIIS

Kompas, 27 Februari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger