Hubungan agama dan negara di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, berbeda dengan masyarakat Barat yang sekuler atau negara-negara kesultanan di Timur Tengah. Di sini kelahiran negara sangat berutang jasa pada gerakan dan perjuangan keagamaan, khususnya Islam, sehingga agama dan negara tak terpisahkan, sekalipun bisa dibedakan.
Pancasila adalah ideologi penghubung antara keduanya. Jika cermati, dalam kelima sila itu terdapat elemen dan spirit paham teokrasi, liberalisme dan sosialisme. Ketiganya disintesakan sebagai ideologi negara, suatu eksperimentasi historis-politis yang akan menjadi kontribusi Indonesia pada teori kenegaraan dan menjadi model dunia kalau saja berhasil.
Ketuhanan dan kebertuhanan
Dari segi bahasa, yang pertama merujuk pada sebuah pemikiran konseptual-filosofis, sedangkan yang kedua merupakan "kata kerja", wilayah praksis. Negara dan warganya secara konstitusional peduli dan meyakini adanya Tuhan, bukannya sebuah negara sekuler ataupun ateis. Adapun pemahaman dan praktik kebertuhanannya masuk pada wilayah pribadi dan komunal yang dilindungi dan difasilitasi negara.
Makanya di Indonesia terdapat Kementerian Agama yang membina pendidikan dan kehidupan beragama. Sedikitnya Rp 60 triliun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disalurkan melalui Kementerian Agama, sebuah anggaran yang cukup besar. Belum lagi biaya kegiatan keagamaan yang dibelanjakan oleh BUMN dan departemen lain sehingga jumlah dana untuk kehidupan beragama di atas Rp 60 triliun. Kenyataan ini sudah mematahkan tuduhan bahwa negara dan pemerintah itu anti-Islam.
Akhir-akhir ini muncul pertanyaan bernada protes, mengapa jumlah agama yang diakui pemerintah hanya enam, mengingat definisi agama sesungguhnya cukup inklusif, tidak sebatas enam agama yang kesemuanya merupakan agama pendatang (asing). Ketika kita memunculkan istilah asing dan pribumi, akan menimbulkan implikasi baru yang cukup serius ketika dialamatkan pada agama. Konsep Tuhan, nabi, kitab suci, dan aturan peribadatan tidak bisa dimonopoli pengertiannya oleh komunitas agama yang kebetulan diakui pemerintah.
Bahkan, konsep ketuhanan dalam setiap agama dan kepercayaan pun berbeda. Begitu pun tentang konsep nabi dan kitab suci. Jadi, definisi dan penetapan sebuah agama merupakan produk politik yang berimplikasi pada anggaran belanja negara dan pejabat birokrasi untuk membinanya.
Penodaan agama
Tidak hanya definisi agama, berbagai isu tentang penodaan, penistaan, dan pelecehan agama juga dipermasalahkan akhir-akhir ini. Tidak mudah memutuskan seseorang menodai agama mengingat di sana tidak ada kesepakatan bulat siapa yang memiliki mandat atau otoritas untuk bicara atas nama agama.
Setiap agama memiliki pluralitas mazhab dan ulama yang tingkat ilmunya dan sudut pandangnya berbeda. Persoalan menjadi semakin sulit andaikan penjelasan akhir harus datang dari Tuhan yang diyakini sebagai pencipta agama yang diturunkan untuk manusia lewat rasul-Nya. Jadi, jangankan meminta klarifikasi dan konfirmasi kepada Tuhan, sedangkan kepada rasul-Nya saja mustahil dilakukan.
Lalu, adakah berarti kita bisa seenaknya merendahkan dan mempermainkan agama? Ketika nilai-nilai agama dielaborasi dan dituangkan ke dalam formula undang-undang (UU) dan etika sosial, pengamanan dan tindakan hukumnya lebih mudah jika ada yang melanggar. Oleh karena itu, sekalipun agama diyakini datang dari Tuhan, tetapi implementasinya memerlukan instrumen negara.
Contoh paling mudah adalah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), substansi dan fungsinya sangat religius karena semua agama antikorupsi. Para koruptor itu telah menghina agama, melanggar peraturan negara, merusak etika sosial, dan menyengsarakan rakyat.
Menghargai agama membutuhkan sikap empati pada pemeluknya. Begitu pun penistaan agama, biasanya pelakunya tidak punya empati bahwa yang dia ucapkan dan lakukan itu menyakiti perasaan pemeluknya. Oleh karena itu, penodaan dan penistaan agama lebih berkaitan dengan etika relasi antarpemeluk agama, bukannya manusia dan Tuhan. Dalam kaitan ini, menyampaikan ucapan selamat ketika teman beda agama merayakan hari besar agamanya, ucapan ini lebih bersifat menghargai persaudaraan sosial, bukan wilayah teologis. Apakah manusia akan mencaci atau memuji agama, tindakannya tidak akan memengaruhi kebesaran dan jabatan Tuhan.
Tepat isi deklarasi bersama antara Paus Fransiskus dan rektor Al-Azhar Mesir di Abu Dhabi bulan lalu, bahwa Tuhan tak perlu dibela. Yang dikehendaki adalah agar dengan agama seseorang bisa membela nasib manusia yang teraniaya dan mengentaskan dari derita hidupnya. Di sini terkandung pesan Tuhan bahwa agama itu sumber dan penebar rahmat bagi semesta. Agama itu penggerak kedamaian dan pilar peradaban, bukan gerakan yang penuh intimidasi dan menakutkan.
Politik atas nama Tuhan
Mengingat semangat beragama masyarakat Indonesia begitu tinggi, sementara itu para politisi tengah bekerja keras mengumpulkan suara untuk memenangi kontestasi pemilu dan pilkada, maka agama dipandang sangat instrumental jika dimanipulasi untuk kontestasi politik. Ketika kesadaran masyarakat sebagai warga negara (sense of citizenship) masih rendah, orang lebih mudah membangun afiliasi politik atas dasar kesamaan etnis dan agama.
Namun, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, diperlukan insentif lain untuk menarik mereka. Insentif lain itu, antara lain, adalah uang, kesamaan ormas, dan slogan ideologis-utopis untuk membangkitkan emosi serta militansi kelompok. Ideologi tanpa ikatan emosional dari pendukungnya akan mati pelan-pelan sehingga setiap perjuangan politik kekuasaan mesti "menciptakan" musuh bersama untuk mengikat simpatisannya agar bekerja secara militan. Sikap militan dan radikal akan tumbuh jika faktor agama dan Tuhan dijadikan titik keberangkatan dan tujuan akhirnya (alfa-omega) karena agama menawarkan insentif keselamatan eskatologis berupa surga setelah kematian.
Tak ada konsep kalah dalam perjuangan ideologi keagamaan. Yang ada hanyalah kemenangan, jika tidak di dunia, ditemui di akhirat nanti.
Berpolitik mengatasnamakan kehendak Tuhan menimbulkan kesulitan untuk dilakukan verifikasi mengingat sosok Tuhan tidak terjangkau, jumlah agama banyak, dan dalam internal komunitas seagama juga banyak tokoh dan mazhab pemikiran yang tidak selalu sejalan terhadap satu masalah yang tengah dihadapi. Sering terjadi, seseorang melakukan tindakan kriminal yang bersifat horizontal dan menurut hukum agama jelas dosa, lalu yang bersangkutan menyelesaikannya dengan melobi memohon maaf kepada Tuhan melalui tindakan ritual. Bahwa berdoa dan beribadah itu baik, tetapi tidak menyelesaikan kriminalitasnya.
Sikap beragama semacam ini jangan-jangan ikut andil memperlemah etika sosial dalam masyarakat yang tinggi semangat agamanya sehingga pertumbuhan korupsi sejalan dengan semaraknya ritual keagamaan. Di sini Tuhan diposisikan untuk meringankan beban jiwanya dengan limpahan maafnya. Yang demikian tidak terjadi pada masyarakat sekuler. Perbuatan kriminal mesti diselesaikan dengan hukum positif di dunia ini, tidak usah menunggu pengadilan akhirat. Mungkin pola pikir (mindset)ini yang membuat beberapa negara sekuler tingkat korupsinya lebih rendah ketimbang masyarakat yang tinggi semangat agamanya.
Menghadapi pemilihan presiden (pilpres), April mendatang, Tuhan dan agama dilibatkan sedemikian jauh. Yang meramaikan dan membuat suhu politik panas tidak semata persaingan antarparpol, tetapi justru antarormas dan penceramah agama dengan melemparkan isu dan slogan keagamaan. Bahkan, Tuhan pun diajak berkoalisi dalam kontestasi pemilihan calon presiden. Pernah beredar pernyataan, partai Tuhan tengah bersaing melawan partai setan. Pilpres ini layaknya sebuah perang jihad yang akan menentukan nasib Islam ke depan.
Ada pula koalisi parpol dan ormas yang mengadakan doa akbar yang tujuannya memohon kepada Tuhan untuk kemenangan jagonya. Padahal, kedua pihak yang berkompetisi ini mengaku agama dan Tuhannya sama. Mungkin hanya di Indonesia fenomena ini terjadi, menambah cerita bagi anak cucu kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar