Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 April 2020

PANDEMI COVID-19: Buka Tutup Data Penanganan Korona (AHMAD ARIF)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Ahmad Arif, wartawan Kompas.

Setelah menutupi informasi terkait Covid-19 dan hendak menyelesaikannya melalui operasi senyap, pemerintah mulai terbuka.

Namun, sejumlah informasi penting mengenai pasien, termasuk mereka yang meninggal dengan gejala Covid-19, masih juga ditutupi. Padahal, transparansi dan pelibatan warga merupakan kunci untuk mengatasi pandemi.

Pada pertengahan Maret 2020, Presiden Joko Widodo masih menyatakan tidak membuka sepenuhnya data terkait Covid-19. Presiden berusaha meyakinkan bahwa pemerintah telah bekerja, termasuk melacak kasus penularan melalui operasi senyap. Alasannya, hal itu dilakukan agar tidak memicu kepanikan dan keresahan masyarakat (Kompas, 13 Maret 2020).

Pernyataan ini seolah hendak mengambil alih risiko bahaya dari masyarakat. Padahal, para ahli mengatakan, komunikasi yang transparan dan saling percaya antara pemerintah dan publik sangat penting untuk mengatasi krisis.

Sikap itu, misalnya, ditunjukkan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Setelah pemerintah pada 7 Februari 2020 menaikkan kewaspadaan wabahnya menjadi oranye, satu tingkat di bawah maksimum, warga Singapura segera mengosongkan rak-rak supermarket.

AFP/ROSLAN RAHMAN

Warga antre membeli masker wajah, termometer, dan pembersih tangan di Singapura, Rabu (29/1/2020). Kepanikan terhadap kasus korona mendorong warga memborong berbagai barang. Tindakan mereka berhenti setelah pemerintah meyakinkan wabah bisa dikendalikan jika semua bekerja sama.

Untuk memadamkan kegelisahan, Lee menyampaikan pidato kepada warga dalam tiga dari empat bahasa resmi negara itu. "Aku ingin berbicara langsung denganmu, untuk menjelaskan di mana kita berada, dan apa yang ada di depan," katanya.

Secara terbuka, Lee menyampaikan bahwa saat itu Singapura sudah menghadapi penularan secara domestik, tetapi wabah masih bisa dikendalikan, sepanjang semua pihak bekerja sama mengatasinya. Pidato tersebut memiliki efek langsung karena pengurasan barang di supermarket segera mereda.

Agar dapat dipercaya, menurut Hooker, pemerintah harus terbuka, jujur, ​​dan transparan.

"Itu salah satu bagian paling indah dari komunikasi risiko yang pernah saya lihat," kata Claire Hooker, seorang dosen senior di University of Sydney yang mempelajari komunikasi kesehatan, seperti dikutip Times, 13 Maret 2020.

Agar dapat dipercaya, menurut Hooker, pemerintah harus terbuka, jujur, ​​dan transparan. "Anda perlu menunjukkan kompetensi Anda dan menunjukkan kepada orang lain bahwa Anda benar-benar peduli," kata Hooker

Kompetensi itu pula yang ditunjukkan Perdana Menteri Taiwan Tsai Ing-wen. Di minggu-minggu pertama Januari sejak munculnya wabah di Wuhan, Pusat Komando Epidemi Taiwan telah mengimplementasikan 124 langkah, termasuk kontrol perbatasan dari udara dan laut, identifikasi kasus menggunakan data dan teknologi, karantina kasus yang mencurigakan, hingga mengedukasi publik.

Untuk membangun kepercayaan publik, Pemerintah Taiwan bahkan menetapkan harga masker serta menggunakan dana pemerintah dan personel militer untuk memproduksi masker.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Barang bukti kardus dan masker kesehatan saat penggerebekan di Kawasan Pergudangan Central Cakung, Rorotan, Cilincing Jakarta Utara, oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Jumat (28/2/2020). Kelangkaan dan mahalnya masker membuat pihak-pihak tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi saat ini.

Pada 20 Januari 2020, Taiwan mengumumkan bahwa mereka memiliki persediaan 44 juta masker bedah, 1,9 juta masker N95, dan 1.100 ruang isolasi tekanan negatif.

Dengan langkah tepercaya itu, masyarakat Taiwan menurut untuk memasang aplikasi yang bisa memindai keberadaan mereka. Orang-orang yang telah melakukan perjalanan ke daerah berisiko tinggi dikarantina di rumah dan dilacak melalui ponsel mereka untuk memastikan bahwa mereka tinggal di rumah selama masa inkubasi.

Informasi pasien


Dalam hal pelacakan kasus, transparansi itu pula yang ditunjukkan Kementerian Kesehatan Singapura yang memaparkan informasi waktu nyata dan terbuka tentang acara dan tempat-tempat publik yang berisiko menjadi kluster penularan. Dengan informasi ini, warga yang hadir di acara atau tempat tersebut dapat dipanggil untuk berpartisipasi dalam pengujian cepat segera.

Selain itu, Singapura juga selalu merilis informasi pasien dalam hal latar belakang kasus dan hubungannya dengan kasus-kasus lain. Berdasarkan data ini, sejumlah ahli teknologi di Singapura kemudian membuat peta lokasi pasien dan kondisinya sehingga setiap orang bisa mengikuti perkembangan dan menjadi mawas diri.

Informasi serupa juga ditunjukkan Taiwan, Korea Selatan, dan sejumlah negara lain. Dalam situs-situs resmi pemerintah asing ini, dengan mudah kita bisa mengetahui kluster penularan dan latar belakangnya.

Indonesia telah memiliki portal Covid-19 di tingkat nasional dan regional yang memvisualisasikan statistik dan distribusi. Namun, tidak satu pun portal ini memberi informasi spesifik kronologi kasus, karakteristik pasien, dan hubungan dengan kasus-kasus sebelumnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Petugas pemakaman membawa jenazah dengan prosedur khusus penanganan jenazah pasien Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (18/4/2020).

Sementara itu, pemutakhiran data yang dilakukan setiap hari oleh juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, hanya menyebutkan tentang jumlah kasus, orang yang sembuh, dan mati. Hingga Kamis (23/4/2020), jumlah kasus 7.775, sembuh 960 orang, dan meninggal 647 orang.

Jika sebelumnya ditutup-tutupi, sejak seminggu terakhir Achmad mengumumkan jumlah orang dalam pemantauan (ODP) 18.283 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 sebanyak 195.948 orang.

Pembukaan data ODP dan PDP ini dilakukan setelah Presiden Joko Widodo meminta agar data Covid-19 dibuka. Namun, pembukaan ini ternyata masih separuh-separuh.

Dalam data perkembangan yang dirilis setiap hari ini, Achmad tidak pernah mengumumkan berapa banyak ODP dan PDP Covid-19 yang telah meninggal. Padahal, data di sejumlah daerah menunjukkan, ODP dan PDP yang meninggal rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan  dengan yang sudah positif dan meninggal.

Data yang dikompilasi Kompas dari laporan sejumlah pemerintah daerah dan laporcovid19.orgplatform pelaporan berbasis warga, menunjukkan jumlah ODP dan PDP Covid-19 yang meninggal di Jawa saja sebanyak 1.558 orang.

Permintaan untuk membuka data ODP dan PDP ini juga sebelumnya disampaikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pengurus IDI Halik Malik mengatakan, data ODP dan PDP yang meninggal harus dibuka karena penting untuk menunjukkan kondisi yang sesungguhnya di lapangan, mengingat data korban positif Covid-19 di Indonesia yang tidak representatif akibat keterbatasan pemeriksaan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas medis melakukan tes cepat (rapid test) Covid-19 kepada warga secara drive thru di parkir Cibis Park, Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (23/4/2020).

Beben Benyamin, ahli biostatistika Indonesia yang saat ini menjadi pengajar di School of Health Sciences of South Australia, mengatakan pentingnya data dan informasi ini dibuka.

Sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), korban Covid-19 adalah yang sudah dikonfirmasi positif sesuai tes PCR. Masalahnya, tes PCR di Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Banyak terjadi korban yang meninggal belum sempat diperiksa.

"Kalau data PDP dan ODP meninggal tidak diumumkan, secara administrasi mungkin tidak salah, tetapi niat baiknya perlu dipertanyakan karena itu menutupi skala wabah yang sesungguhnya," ujarnya.

Menurut Beben, selain transparansi data korban, pemerintah juga diharapkan membuka informasi mengenai pasien meninggal yang meliputi umur, jenis kelamin, termasuk gejala hingga penyakit penyerta, karena hal itu penting untuk melakukan analisis klinis dan juga studi ilmiah. "Untuk nama bisa di-koding agar tidak memicu masalah atau stigmatisasi," ucapnya.‎

Ketertutupan data juga membuat para peneliti di Indonesia kesulitan membuat laporan ilmiah mengenai kondisi klinis terkait Covid-19, termasuk terhadap kelompok rentan. "Padahal, negara-negara lain sudah melakukannya," kata Beben.

Selain itu, ketidaktransparanan data juga pasti akan menyulitkan para epidemiolog untuk menganalisis dan memproyeksikan kasus di Indonesia. Dengan ketidaktransparanan data ini, masyarakat Indonesia ibarat melawan Covid-19 dengan mata tertutup.

Kompas, 24 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

CATATAN TIMUR TENGAH: Gagalnya Jaringan Intelijen di Balik Merebaknya Covid-19 (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan seniorKompas

Merebaknya wabah Covid-19 yang  berasal dari kota Wuhan, China, pada Desember lalu dan kemudian merambah secara masif ke seluruh dunia, dianggap akibat dari gagalnya jaringan institusi intelijen top internasional. Mereka gagal mendapat informasi sedini mungkin, menganalisisnya, dan lalu memprediksi tumbuh dan berkembangnya wabah itu.

Jaringan intelijen internasional itu, di antaranya CIA (Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat), Mossad (dinas intelijen luar negeri Israel), SVR RF (dinas intelijen luar negeri Rusia), SIS (dinas intelijen Inggris), FAS (dinas intelijen Perancis), dan BND (dinas intelijen federal Jerman).

Gagalnya kinerja jaringan intelijen internasional itu, kini berakibat fatal, yakni tewasnya ratusan ribu manusia dan lebih dari 2 juta yang positif terinfeksi Covid-19. Bahkan menyebarnya wabah Covid-19 tersebut kini juga melumpuhkan ekonomi dunia. Ironisnya, belum ada kepastian, kapan situasi seperti ini akan berakhir. Dunia kini menunggu ditemukannya vaksin khusus untuk membasmi penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru (SARS-CoV-2) itu.

Menurut data Worldometer, hingga Kamis (23/4/2020), jumlah kasus positif  Covid-19 di seluruh dunia 2.659.163 orang, 730.393 orang di antaranya sembuh dan 185.461 meninggal.

REUTERS/KEVIN LAMARQUE

Direktur CIA Gina Haspel saat bersaksi di depan Kongres AS, 9 Mei 2018. Intelijen dinilai gagal memberi peringatan atas merebaknya wabah Covid-19.

Sejarah pun seperti sering berulang. Gagalnya kinerja institusi intelijen sering berakibat fatal dan berdampak luar biasa. Gagalnya lembaga intelijen AS yang kini bernama CIA mendeteksi serangan besar Jepang atas Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, telah berdampak meletusnya perang besar di Pasifik antara AS dan Jepang. Perang Pasifik itu baru berakhir dengan dijatuhkannya bom atom atas kota Nagasaki dan Hiroshima pada Agustus 1945 yang menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa.

CIA dan Mossad juga tercatat gagal mendeteksi serangan bersama Mesir dan Suriah atas Israel pada 6 Oktober 1973 yang menyebabkan Israel sempat dipukul mundur dari Gurun Sinai dan Dataran Tinggi Golan. Perang Arab-Israel pada 1973 itu cukup berdampak besar terhadap Timur Tengah, yakni mengantarkan tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir di Camp David, AS pada 1979.

Gagalnya CIA yang juga berdampak sangat besar ketika gagal mendeteksi serangan teroris Tanzim Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden atas kota New York dan Washington DC pada 11 September 2001.

Padahal, sebelum serangan 11 September 2001 itu, Tanzim Al Qaeda telah melancarkan serangan besar atas kantor kedutaan besar AS di Nairobi (Kenya) dan di Dar es-Salaam (Tanzania) pada 1998 yang menewaskan 224 orang.

Kemudian, Tanzim Al Qaeda kembali melancarkan serangan besar atas kapal perang AS, USS Cole, di dekat Pelabuhan Aden, Yaman, tahun 2000 yang menyebabkan kapal perang tersebut rusak berat.

AFP PHOTO/HENNY RAY ABRAMS

Asap membubung dari menara kembar World Trade Center setelah ditabrak pesawat yang dibajak teroris di AS, 11 September 2001. Intelijen AS dinilai gagal mendeteksi serangan ini.

CIA tampaknya saat itu menganalisis bahwa Tanzim Al Qaeda hanya mampu menyerang sasaran AS di wilayah Timur Tengah dan Afrika. CIA dan Pemerintah AS pun terbelalak dan panik, ketika kota New York dan Washington DC mendapat serangan Tanzim Al Qaeda pada 11 September 2001.

Dampak dari serangan teroris 11 September 2001 itu, AS kemudian menumbangkan rezim Taliban di Afghanistan yang saat itu dituduh melindungi Osama bin Laden dan kemudian juga menggulingkan rezim Saddam Hussein di Irak tahun 2003.

Fokus agenda kinerja CIA dan jaringan intelijen lainnya pada tahun 2000-an adalah memantau dan memburu aktivis Tanzim Al Qaeda di seluruh dunia.

Lagi-lagi CIA dan jaringan intelijen internasional kecolongan lagi, ketika Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan negara Khilafah dari kota Mosul, Irak bernama Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pada Juni 2014.

Akibat gagalnya CIA dan jaringan intelijen lainnya membaca dan mendeteksi kelompok itu, NIIS sempat menguasai wilayah sangat luas di Irak dan Suriah. Bahkan NIIS sudah mendekati Kota Baghdad.

AFP/GIUSEPPE CACACE

Orang-orang melarikan diri ketika asap tebal membubung di Desa Baghouz, area terakhir yang dikuasai kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Senin (18/3/2019).

AS pun terpaksa membangun koalisi internasional pada September 2014 untuk memerangi NIIS dan baru berhasil mengalahkannya pada awal 2019 setelah lebih dari empat tahun bertempur.

Sesungguhnya masih belum berakhir ancaman NIIS di seantero dunia, tiba-tiba muncul wabah Covid-19 yang sangat mengejutkan. Dunia pun cukup panik menghadapi penyebaran Covid-19 yang sangat masif karena sebenarnya belum siap menghadapinya.

Ketika bergulir berita munculnya Covid-19 di kota Wuhan pada Desember lalu, masih banyak yang mengira wabah itu adalah wabah lokal yang hanya tersebar di China.

Baru setelah wabah Covid-19 menjalar begitu cepat ke Korea Selatan, Jepang, Iran, dan negara-negara Eropa pada Januari dan Februari lalu, dunia mulai kelabakan menghadapi ancaman yang datang begitu tiba-tiba itu.

Hal ini kembali menjadi cerita kegagalan jaringan intelijen membaca dan memprediksi penyebaran begitu masif wabah Covid-19 tersebut.

Setelah gagal berperan memasok informasi sedini mungkin tentang kedatangan wabah Covid-19 itu, jaringan intelijen kini segera mengubah agenda misi. Mereka kini menjadi garda depan untuk mencari informasi dan mendeteksi jumlah kasus positif virus korona serta memburu peralatan medis seperti masker, ventilator, dan alat tes cepat (rapid test) Covid-19.

CHINATOPIX VIA AP

Rumah sakit darurat di Arena Senam Tazihu, Wuhan, China,  untuk menampung pasien Covid-19 pada 21 Februari 2020. Wabah virus korona diduga muncul pertama di Wuhan.

Perubahan agenda misi itu kini dilakukan Mossad. Di Israel, pada 19 Maret lalu sempat viral berita Mossad gagal memasok 100.000 alat tes cepat korona dari dua negara Arab Teluk kaya, karena ternyata alat tes cepat korona yang dipasok Mossad tersebut tidak layak pakai alias palsu.

Dua negara Arab Teluk itu diduga kuat adalah Uni Emirat Arab (UEA) dan Kesultanan Oman yang memiliki hubungan sangat baik dengan Israel, meskipun secara resmi belum menjalin hubungan diplomatik. Harian The Jerusalem Post melansir, Mossad mendapat mandat dari Pemerintah Israel untuk memasok 4 juta alat tes cepat Covid-19 ke Israel.

PM Israel Benjamin Netanyahu memberi wewenang pula kepada Shin Bet (dinas intelijen dalam negeri Israel) untuk meretas telepon seluler penduduk Israel dalam upaya memantau korban positif virus korona. Wewenang itu sebelumnya dipikul Shin Bet untuk meretas telepon seluler penduduk dalam upaya membongkar jaringan teroris.

Terakhir ini, intelijen juga seperti ingin terlibat mencari tahu dari mana sesungguhnya wabah Covid-19 itu. Apakah virus korona itu adalah virus rekayasa atau virus alami?

AFP/HECTOR RETAMAL

Suasana di laboratorium P4 kompleks Wuhan Institute of Virology, Wuhan, China, 17 April 2020.

Polemik pun berkembang, ketika pakar intelijen asal Israel, Dany Shoham yang dilansir The Washington Postpada 27 Januari 2020, menyebut bahwa virus korona merupakan bagian dari proyek senjata biologi China yang bocor dari laboratorium Wuhan Institute of Virology di kota Wuhan.

Narasi yang dibangun pakar intelijen asal Israel itu, seperti membantah narasi selama ini yang menyebut bahwa wabah Covid-19 berasal dari pasar hewan di kota Wuhan.

Munculnya krisis ini, lagi-lagi menunjukkan intelijen gagal memberi kepastian tentang asal-muasal Covid-19 itu.

Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir

Kompas, 24 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

PANDEMI COVID-19: Pencegahan Covid-19 Versus HAM (HAMID AWALUDIN)


KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko berdiri di depan altar saat membuka ibadah Jumat Agung di Gereja Katedral, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (10/4/2020). Ibadah itu berlangsung tanpa umat yang datang ke gereja untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19. Umat Katolik mengikuti ibadah selama Tri Hari Suci Paskah melalui televisi dan daring.

Pandemi Covid-19 datang mengentak dan melumat. Seisi dunia ketar-ketir dibuatnya. Sudah ratusan ribu nyawa terenggut dan jutaan orang positif mengidap virus. Warga planet Bumi hidup tidak sekadar dalam kecemasan dan ketidakpastian, tetapi juga harus menjaga jarak, bahkan mengisolasi diri, satu dari yang lainnya.

Kegiatan hidup warga dunia dihentikan, minimal sangat dibatasi. Sejumlah agenda dunia dibatalkan, seperti Olimpiade. Kegiatan ekonomi seolah lumpuh total. Kegiatan keagamaan pun ikut kena imbas. Serba dibatasi.

Pandemi ini menembus dinding-dinding negara, tak mengenal negara adidaya, negara sedang berkembang, hingga negara kecil di pelosok belahan dunia, yang susah sekali diketahui. Semuanya tertaklukkan. Indonesia bukan pengecualian dari itu semua.

Ikhtiar untuk menaklukkan virus ini tampaknya seragam secara global: melakukan pembatasan interaksi sosial. Kebebasan bergerak dan berkumpul sangat dibatasi. Indonesia menyebut ikhtiar ini dengan terminologi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Di tengah ikhtiar kita semua membendung penyebaran virus dan menghentikan laju angka kematian manusia, tiba-tiba ada saja yang mempersoalkan ikhtiar kita itu atas nama hak asasi manusia (HAM). Mereka menganggap bahwa pembatasan bergerak adalah bentuk pelanggaran HAM karena mengangkangi kebebasan individu untuk leluasa bergerak kian kemari, dan memereteli kebebasan berkumpul yang dijamin dalam instrumen hukum HAM.

Di tengah ikhtiar kita semua membendung penyebaran virus dan menghentikan laju angka kematian manusia, tiba-tiba ada saja yang mempersoalkan ikhtiar kita itu atas nama hak asasi manusia (HAM).

Bencana umum

Pembatasan berkumpul dan bergerak dalam konteks Covid- 19 bukan hanya tidak melanggar segala ketentuan yuridis yang berkaitan dengan HAM, melainkan justru mutlak dilakukan oleh negara untuk melindungi warga negara.

Covid-19 adalah bencana dunia yang nyata-nyata hadir dan mengancam keselamatan manusia. Dalam konteks ini, Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966, dengan Indonesia menjadi salah satu negara penanda tangan konvensi, dengan jelas dan tegas menyatakan pada Pasal 4, dalam keadaan bencana umum, atau darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa, negara peserta konvensi bisa mengambil kebijakan yang mengesampingkan kewajiban mereka yang diatur dalam konvensi.

Yang dimaksud dengan kewajiban di sini ialah menjamin dilaksanakan atau diimplementasikannya hak-hak warga negara. Definisi bencana umum atau darurat umum harus memenuhi dua unsur utama, yaitu memengaruhi seluruh penduduk dan mengancam integritas fisik penduduk. Kedua unsur tersebut telah dipenuhi oleh penyebaran Covid-19.

Pengecualian tersebut harus diiringi beberapa persyaratan utama. Pertama, negara yang mengambil kebijakan pengecualian tersebut tidak boleh melakukan diskriminasi berdasarkan etnis, ras, agama, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, dan asal-muasal warga.

Persyaratan kedua, negara harus mengumumkan kepada publik mengenai kondisi yang membahayakan dan mengancam kehidupan warga negara, yang menjadi dasar pengecualian kewajiban-kewajiban tersebut.

Ketiga, negara harus mengumumkan jenis kebijakan atau tindakan yang dilakukannya, untuk mencegah, mengurangi laju, atau menghentikan bahaya yang mengancam tersebut. Dan, tindakan negara itu harus didasarkan pada hukum.

Keempat, organ atau pejabat yang mengumumkannya haruslah pejabat yang memiliki otoritas dari negara, yang memang berkaitan dengan kondisi yang membahayakan dan tindakan atau kebijakan yang diambil oleh negara.

Persyaratan kelima, kendati negara memiliki peluang untuk mengambil kebijakan yang tidak sejalan dengan kewajiban-kewajibannya yang diatur dalam konvensi, negara tetap tidak boleh mengesampingkan hak-hak yang mutlak (non-derogable rights).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Wartawan merekam pidato pengantar Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas Lanjutan Pembahasan Antisipasi Mudik dengan sejumlah menteri dan kepala daerah melalui telekonferensi video di ruang wartawan Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Kamis (2/4/2020).

Konvensi internasional mengenai hak-hak sipil dan politik ini secara detail dan jelas mengatur jenis-jenis non-derogable rights itu: hak untuk hidup, hak untuk tidak dijadikan budak ataupun diperbudak, tidak boleh ada penyiksaan atau diperlakukan secara tidak manusiawi, tiap orang harus diakui sebagai subyek hukum di mana pun ia berada, tidak dibolehkannya menghukum seseorang dengan hukum berlaku surut, tidak melarang ataupun membatasi kebebasan berpikir, hati nurani, serta agama.

Lantas ada yang menganggap bahwa non-derogable rights, khususnya kebebasan beragama, telah dilanggar oleh negara karena rakyat dilarang atau dibatasi secara ketat untuk berkumpul di masjid, gereja, pura, dan wihara. Kebijakan pembatasan atau larangan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebebasan beragama.

Negara hanya membatasi, atau melarang warga negara untuk sementara waktu, beribadah di masjid, gereja, pura, dan wihara karena di tempat-tempat itulah penularan Covid-19 secara masif terjadi dan sangat membahayakan hidup warga negara juga.

Sanksi

Yang patut kita beri kekhawatiran adalah pemberian sanksi yang berlebihan terhadap warga negara yang tidak mematuhi PSBB. Sebagaimana yang kita saksikan melalui layar televisi, ada aparat negara di daerah yang mengancam warganya yang melanggar PSBB dengan pukulan rotan. Tindakan berlebihan (excessive) itu bisa jatuh dalam kategori penyiksaan atau penganiayaan yang dilarang keras oleh konvensi (non-derogable rights).

Kebijakan pembatasan atau larangan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebebasan beragama.

Di atas segalanya, melarang dan membatasi pergerakan warga dalam kaitan Covid-19 merupakan ikhtiar pemerintah negara menjalankan kewajibannya: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia" (Pembukaan UUD 1945).

(Hamid Awaludin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Kompas, 24 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

INDUSTRI DIGITAL: Mengapa Pemodal Ventura Tetap Berinvestasi Saat Pandemi Covid-19? (ANDREAS MARYOTO)


Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas

Banyak usaha rintisan (start up) yang terdampak pandemi Covid-19. Ada yang berguguran, ada yang terpaksa mengurangi jumlah karyawan, dan tidak sedikit yang kesulitan keuangan. Akan tetapi, situasi ini tidak selamanya dipandang sebagai musibah atau kiamat. Buktinya? Banyak pemodal ventura malah mengucurkan dananya di berbagai usaha rintisan.

Di kalangan pelaku usaha rintisan, sejak awal tahun hingga sekarang ini boleh dibilang mendung yang terus-menerus. Tanda-tanda resesi semakin jelas sehingga seolah tidak ada harapan. Meski demikian, para analis mengingatkan, usaha rintisan tak boleh selamanya mengutuki mendung itu. Mereka harus secepatnya melangkah seperti melakukan penyelamatan dan melihat peluang ke depan.

Beberapa pemodal ventura mungkin pening dengan situasi sekarang karena meningkatkan ketidakpastian investasi mereka. Meski demikian, beberapa pemodal malah masuk di tengah pandemi.

Bulan lalu, menurut laman Forbes,perusahaan ventura General Catalyst mengumumkan menyiapkan dana 2,3 miliar dollar AS untuk tiga pendanaan baru yang meliputi pendanaan untuk tahap awal, pendanaan usaha rintisan yang sedang tumbuh, dan pendanaan untuk mendukung usaha rintisan besar agar bisa meningkatkan penjualan.

Terkait dengan pendanaan itu, eksekutif General Catalyst menjelaskan, pandemi memberikan panduan kepada kita bagaimana teknologi bisa digunakan untuk memikirkan ulang berbagai layanan inti, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan usaha kecil. Mereka opimistis para pendiri usaha rintisan akan mengambil langkah maju dan membuat karya yang mengagumkan di tengah pandemi. Untuk itulah mereka tetap menyuntikkan dana ke usaha rintisan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Beberapa usaha rintisan justru berkembang di tengah pandemi seperti layanan kesehatan daring dan pendidikan daring. Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan perusahaan rintisan kesehatan Halodoc menggelar tes cepat pemeriksaan Covid-19 gratis untuk wartawan di  Jakarta, Rabu (8/4/2020).

Investor juga masih mendanai usaha rintisan yang bergerak di bidang keamanan siber. Di tengah pandemi, perusahaan yang menjadi klien mereka memang mengurangi pengeluaran. Namun, mereka juga melihat pengamanan aset digital semakin ditingkatkan. Hanya saja mereka mengingatkan, langkah mengurangi pengeluaran untuk keamanan siber bisa berbahaya karena semakin banyak pekerjaan yang dilakukan di luar kantor dan banyak pelaku kejahatan siber beraksi di tengah ketakutan virus korona baru ini.

Mereka melihat, industri keamanan siber adalah sedikit industri yang tetap berjalan di tengah pandemi, bahkan saham beberapa perusahaan jenis ini melonjak. Investor di industri ini mengakui mereka tidak mengurangi pengucuran dana di usaha rintisan keamanan siber.

Sebuah perusahaan ventura, YLVentures, seperti dikutip laman Protocol mengatakan, perusahaannya telah menyepakati pendanaan beberapa miliar dollar AS dengan sebuah usaha rintisan pengembang perangkat lunak keamanan siber dan sedang menyiapkan delapan pendanaan baru.

Banyak kalangan yang berasumsi bahwa pemodal ventura tidak akan melakukan investasi. Seorang eksekutif dari perusahaan yang memimpin pendanaan, Laurent Grill, seperti dikutip dot.LA, sempat penasaran dengan asumsi ini dan mengirimkan surat kepada ratusan investor yang tergabung dengan dia. Ia mendapatkan 275 tanggapan dan sebagian besar mengatakan mereka akan tetap berinvestasi. Dari tanggapan itu, dia kemudian melihat bahwa masih banyak peluang di tengah mendung dan badai.

Pelaku usaha rintisan perlu meyakinkan bahwa mereka bisa bertahan di tengah pandemi atau malah moncer saat situasi mendung.

Meski demikian, Grill mengingatkan fenomena ini tidak berarti membuat usaha rintisan mudah mendapatkan dana. Pemilik dana tentu tetap berhati-hati dan memilih-milih usaha rintisan yang didanai. Pemilik modal tidak mau dana yang dikucurkan hilang percuma.

Pelaku usaha rintisan perlu meyakinkan bahwa mereka bisa bertahan di tengah pandemi atau malah moncer saat situasi mendung. Secara umum beberapa bidang yang masih bagus di tengah masalah saat ini adalah usaha rintisan di bidang, antara lain, logistik, pendidikan, kesehatan, dan keamanan siber.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Seorang pegawai bank bekerja di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (17/3/2020), untuk mencegah penyebaran korona. Keamanan siber sangat penting untuk perlindungan data saat perusahaan memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah.

Di Eropa, beberapa pemodal ventura juga masih melakukan pendanaan, bahkan pendanaan untuk usaha rintisan berbasis teknologi finansial. Mereka masih optimistis dengan usaha ini meski saat ini merupakan masa yang sulit. Analis mengatakan, sejauh ini kalangan pemodal ventura masih melakukan pendanaan dan dari tinjauan yang ada terlihat positif. Bahkan, mereka bekerja sama dengan industri lain untuk mengeksplorasi kemungkinan mendukung sejumlah usaha rintisan.

Para investor mengatakan, dampak pandemi terhadap mereka sejauh ini hanya soal proses kesepakatan bisnis antara mereka dan usaha rintisan bisa dilakukan. Mereka tidak bisa lagi bertemu langsung secara personal dengan para pendiri usaha rintisan. Lain itu, mereka tetap yakin dengan pendanaan yang dilakukan.

Oleh karena itu, usaha rintisan perlu meyakinkan bahwa mereka bisa dipercaya untuk mengelola dana di tengah kesepakatan yang harus dilakukan secara jarak jauh. Usaha rintisan sepertinya perlu berkomunikasi dengan ekosistem industri digital untuk menghadapi masalah saat ini.

Kompas, 23 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

SURAT BERHARGA NEGARA: Dipojokkan Investor Asing (M FAJAR MARTA)


KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas menyiapkan uang rupiah di Cash Center PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, di Jakarta, Kamis (3/10/2019).

Nilai tukar rupiah dalam tren menguat selama dua pekan terakhir dan berada di posisi Rp 15.567 per dollar AS pada Rabu (22/4/2020) berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate. Tren penguatan nilai tukar ini melegakan karena, sejak awal Maret 2020 hingga pekan pertama April 2020, rupiah terjerembab begitu dalam.

Kejatuhan rupiah terjadi karena investor asing beramai-ramai melepas aset-aset domestik dalam rupiah, seperti saham dan Surat Berharga Negara (SBN). Kemudian, investor mengalihkannya ke aset-aset safe-haven dalam dollar AS, sepertitreasury bonds atau treasury billsyang diterbitkan Pemerintah Amerika Serikat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada Maret 2020, investor asing melepas SBN Rp 112,74 triliun.

Kejatuhan kurs terjadi karena investor asing beramai-ramai melepas aset-aset keuangan dalam denominasi rupiah.

Kondisi ini mengakibatkan permintaan dollar AS di pasar keuangan Indonesia meningkat tajam sehingga nilai tukar dollar AS terhadap rupiah melonjak signifikan. Nilai tukar yang pada 4 Maret masih Rp 14.171 per dollar AS sempat menyentuh Rp 16.741 per dollar AS pada 2 April 2020.

Untuk mencegah pelemahan lebih dalam, Bank Indonesia mengintervensi valuta asing senilai 7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 112 triliun selama Maret 2020. Tentu tidak hanya rupiah yang terpuruk. Semua mata uang negara-negara berkembang terperosok seiring pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan perekonomian dunia.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ilustrasi dollar AS.

Di tengah krisis ekonomi yang penuh ketidakpastian seperti saat ini, berdasarkan konsensus investor global, risiko investasi di negara-negara berkembang meningkat sehingga tak sebanding lagi dengan imbal hasil yang mereka peroleh. Oleh karena itu, investor asing ramai-ramai melepas portofolio investasi mereka di negara berkembang dan memindahkannya ke aset-aset safe-haven.

Investasi portofolio pada obligasi AS mungkin yang paling aman, tetapi sebenarnya paling tidak menguntungkan. Pasalnya, imbal hasil yang ditawarkan obligasi AS jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara berkembang, apalagi dibandingkan dengan Indonesia yang imbal hasil surat utangnya relatif tinggi.

Berdasarkan data Bloomberg per 17 April 2020, yield treasury bonds 10 tahun hanya 0,64 persen, turun 192 basis poin dalam setahun terakhir. Karena menawarkan imbal hasil kecil, investor asing tentu tak ingin berlama-lama menaruh dananya di obligasi AS. Mereka menunggu pemerintah negara-negara berkembang menerbitkan obligasi dengan yield yang sudah naik, sesuai ekspektasi pasar.

Seiring aksi jual SBN secara besar-besaran oleh investor asing, credit default swap (CDS) Indonesia melonjak tajam. Sebelum wabah covid-19 melanda, CDS surat utang global Indonesia bertenor 5 tahun hanya sekitar 67 basis poin. Namun, pada April 2020, CDS melonjak menjadi 258 basis poin.

Secara bersamaan, lembaga pemeringkat global S&P menurunkan peringkat outlook utang jangka panjang Indonesia dari stabil menjadi negatif. Kenaikan CDS dan penurunan rating ini mengindikasikan peningkatan yield akibat lonjakan risiko.

Artinya, jika pemerintah Indonesia menerbitkan obligasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi sesuai kenaikan CDS, investor asing dengan senang hati akan kembali menanamkan dananya di pasar negera berkembang. Begitulah memang pasar global bekerja.

Pemicu krisis


Di sisi lain, Indonesia sangat concern dengan kurs rupiah. Wajar saja, kita masih trauma dengan krisis 1998 yang awalnya dipicu oleh gejolak kurs.

Pada krisis 1997 – 1998, perbankan nasional luluh lantak, yang awalnya dipicu oleh merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam, menyusul gejolak pasar keuangan di beberapa negara Asia. Nilai tukar rupiah yang sepanjang 1996 rata-rata hanya Rp 2.383 per dollar AS meningkat hampir 4 kali lipat menjadi rata-rata Rp 8.025 per dollar AS sepanjang 1998, dengan kurs rupiah sempat menyentuh Rp 16.650 per dollar AS.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ilustrasi perbankan

Dampaknya, korporasi domestik yang memiliki utang luar negeri dalam dollar AS, harus menyediakan rupiah yang berlipat-lipat untuk membayar utangnya mengingat sebagian besar tidak melakukan lindung nilai (hedging). Banyak korporasi yang akhirnya kolaps sehingga perbankan pun harus menanggung kredit bermasalah yang menggunung.

Perbankan makin terjepit karena pada saat yang sama, mereka pun memiliki banyak utang dalam dollar AS. Derita bank mencapai puncaknya ketika nasabah berbondong-bondong menarik dananya akibat jatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Sekuat apapun bank, tak akan sanggup bertahan jika terjadi bank rush.

Akibat krisis 1997-1998, sejumlah bank ditutup dan pemerintah harus menyuntik modal melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi sebesar Rp 430 triliun untuk menyelamatkan perbankan nasional.

Baca juga: Nasib Perbankan dan Bantuan Kredit Pemerintah

Apalagi, pasar keuangan Indonesia masih sangat tergantung asing. Sekitar 40 persen SBN dan 50 persen saham yang diperdagangkan di BEI, dimiliki investor asing.

Akibat pandemi Covid-19, pemerintah pun membutuhkan utang yang sangat besar untuk menutup defisit fiskal yang melebar. Karena tak semua utang bisa dipenuhi dari dalam negeri, pemerintah pun membutuhkan dana dari luar negeri.

Pendek kata, ketergantungan pemerintah saat ini terhadap investor asing makin berlipat-lipat. Karena itu, investor asing harus ditarik kembali masuk ke pasar domestik. Pemerintah tak punya pilihan selain menawarkan obligasi dengan yield yang diinginkan investor asing.

Karena itulah, untuk menarik kembali investor asing, pada 7 April 2020, Pemerintah Indonesia menerbitkan obligasi global senilai total 4,3 miliar dollar AS atau setara Rp 70 triliun dengan imbal hasil yang relatif lebih tinggi. Surat utang global yang diterbitkan terdiri dari 3 tenor, yakni 10,5 tahun, 30,5 tahun, dan 50 tahun.

KEMENKEU

Penerbitan global bonds

Untuk yang berjangka waktu 10,5 tahun, nilai yang dilepas 1,65 miliar dollar AS dengan imbal hasil 3,9 persen. Imbal hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasilglobal bond 10 tahun RI pada Januari 2020 yang sebesar 2,88 persen.

Seiring kenaikan imbal hasil surat utang global RI, imbal hasil SBN dalam denominasi rupiah juga meningkat. Imbal hasil surat utang negara (SUN) 10 tahun yang pada Januari 2020 sekitar 6,68 persen, melonjak menjadi 7,94 persen per 15 April 2020. Pemerintah pun menaikkan kupon SBN sesuai imbal hasil agar surat utangnya diserap pasar.

Terbukti, dengan penyesuaian imbal hasil surat utang ini, rupiah perlahan-lahan mulai kembali menguat. Selama periode 13-20 April 2020, dana investor asing yang masuk ke SBN tercatat Rp 4,37 triliun.

Sejatinya, investor global hanya melihat keuntungan semata. Mereka tahu, pasar keuangan Indonesia masih membutuhkan pasokan dollar AS. Dengan melepas SBN dan saham, mereka sebenarnya sedang meminta keuntungan yang lebih besar, yang sudah pasti akan dipenuhi. Begitulah selalu terulang, investor asing lari, imbal hasil SBN naik, investor asing masuk kembali. Kita memang selalu dipojokkan investor asing.

Kompas, 23 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger