Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Juli 2019

REFORMASI PERPAJAKAN: “Quo Vadis” Perpajakan Kita (YUSTINUS PRASTOWO)

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Direktorat Jenderak Pajak bekerja sama dengan PT Bursa Efek Indonesia PT Kliring Penjamin Efek Indonesia dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia menggelar sosialisasi, Workshop Go Publik dan fasilitas perpajakan bagi perusahaan yang tercatat di bursa. Acara ini di gelar di gedung Mari'e Muhammad kantor pusat Dirjen Pajak, Jakarta, Senin (29/4/2019). Petugas memberikan penjelasan kepada wajib pajak. KOMPAS/ALIF ICHWAN

Perjumpaan hangat presiden terpilih Joko Widodo dan Prabowo Subianto menurunkan tensi politik dan menyembulkan harapan akan stabilitas.
Harapan yang sangat wajar di tengah kegamangan dan ketidakpastian yang mengombang-ambingkan. Berlarutnya ketidakmenentuan politik berpotensi menghilangkan momentum perbaikan lantaran banyak kebijakan bertumpu pada stabilitas, tak terkecuali sektor perpajakan.

Pasca-amnesti pajak yang cukup menjanjikan, kita justru diuji dengan dihadapkan pada tantangan keberlanjutan perbaikan dan pembaruan. Dinamika global pun membuat kita limbung dan kehilangan kompas pemandu. Visi dan ideologi yang terang dan kuat menjadi prasyarat penting bagi perbaikan sektor fiskal.

Situasi yang menantang

Mayoritas sepakat amnesti pajak yang diterapkan 2016-2017 menuai hasil cukup baik. Di luar statistik pencapaian uang tebusan, repatriasi dana, dan deklarasi harta; aspek penting hasil program amnesti pajak adalah terbukanya kembali kesempatan melakukan reformasi perpajakan pasca-stagnasi dan kebuntuan yang kita hadapi.

Sebagaimana diketahui, pasca berakhirnya berkah harga komoditas, kinerja penerimaan pajak kembali merosot. Padahal kebutuhan akan pendapatan negara kian besar, terutama bagi pemerintahan baru Jokowi-JK yang ingin mewujudkan janji-janjinya.

Target penerimaan pajak 2015 pun digenjot naik hingga 30 persen, di tengah perekonomian global dan domestik yang melambat. Hasilnya kita menghadapi dilema, mana lebih dahulu, mengejar wajib pajak (WP) untuk menambah setoran atau menggelontorkan stimulus agar ekonomi kembali menggeliat.

Program amnesti pajak akhirnya menjadi puncak kebijakan yang akan menentukan arah kebijakan perpajakan ke depan. Pemerintah memilih menawarkan pengampunan bagi dosa pajak di masa lalu dengan kesadaran penuh bahwa pemerintah pun ikut andil terhadap kondisi yang ada, disertai harapan fasilitas ini akan membawa era baru yang dicirikan transparansi dan saling percaya.

Target penerimaan pajak 2015 pun digenjot naik hingga 30 persen, di tengah perekonomian global dan domestik yang melambat.

Komitmen saat DPR menyetujui amnesti pajak pun lugas, bahwa program amnesti merupakan kunci pembuka bagi reformasi pajak, yang ditandai dengan pembahasan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan keikutsertaan Indonesia di inisiatif AEoI (Auotomatic Exchange of Information).

Meski Kemenkeu mencanangkan Program Reformasi Perpajakan pada Desember 2016, tetapi reformasi tak cukup dituntun oleh visi yang terang dan dukungan politik kuat. Penyebabnya, saat amnesti dimulai, kita jatuh dalam euforia dan alpa berjaga-jaga untuk merawat momentum dengan menyiapkan peta jalan jangka panjang yang mengikat.

Kini kita menghadapi gejala penuaan dini perpajakan yang merisaukan, yaitu kemandekan tren positif pasca-amnesti pajak sebagai buah perluasan basis pajak, peningkatan kesadaran, dan pembaruan komprehensif sistem perpajakan Indonesia. Meski Kemenkeu sudah berupaya sekuat tenaga, toh sergapan mentalitas status quo sulit dihindari. Hal ini tercermin dalam kinerja penerimaan pajak tahun ini yang cukup mengkhawatirkan.

Pasca pertumbuhan yang bagus di 2018 karena membaiknya harga komoditas dan peningkatan kepatuhan perpajakan, tahun 2019 kita mengalami pertumbuhan yang amat rendah di hampir seluruh sektor dominan dan seluruh jenis pajak.

Meski Kemenkeu mencanangkan Program Reformasi Perpajakan pada Desember 2016, tetapi reformasi tak cukup dituntun oleh visi yang terang dan dukungan politik kuat.

Sisa-sisa harapan pasca-amnesti pajak seolah tak berbekas dan justru menyisakan kegundahan. Jika 2018 kita berhasil membukukan pertumbuhan 16 persen, semester I-2019 kita hanya dapat tumbuh 3,75 persen. Hingga akhir Juni 2019, realisasi penerimaan pajak baru 38,25 persen atau Rp 603,34 triliun dari target Rp 1.572,5 triliun.

Industri pengolahan yang menyumbang 29,3 persen total penerimaan tumbuh negatif 2,6 persen, sektor perdagangan yang berkontribusi 20,8 persen hanya tumbuh 2,5 persen. Bahkan semua jenis pajak tumbuh di bawah pertumbuhan 2018 sebesar 16 persen, berturut-turut PPh Pasal 21 (14,93 persen), PPh Badan (3,4 persen), Pajak atas impor (minus 1,05 persen), dan PPN dalam negeri (minus 2,9 persen).

Rasio pajak kita juga belum beranjak membanggakan, berkutat di kisaran 10-11 persen. Jika demikian, apa sesungguhnya problem mendasar sistem perpajakan kita dan jalan keluar apa yang mesti ditempuh?

Merawat kedaruratan

Tak dimungkiri salah satu faktor penyebab kerentanan sistem perpajakan kita adalah praktik politik yang tak sehat. Instabilitas dan sensitivitas politik terhadap isu perpajakan memaksa pemerintah terlalu berhati-hati dalam melakukan penegakan hukum. Padahal penegakan hukum adalah prasyarat bagi self-assessment system yang bertanggung jawab dan terbangunnya sistem perpajakan yang berwibawa.

Tiap upaya penegakan hukum, semoderat apapun, harus diukur tensinya di bawah ketiak politik. Kekhawatiran yang berlebihan akan gaduh politik, meski menemukan alasan pembenar, menjadikan otoritas pajak kita melempem bak macan ompong. Hal ini tampak dalam beberapa kebijakan dan regulasi yang kerap muncul tiba-tiba dan lenyap dalam sekejap. Lugasnya, pemerintah gagal memanfaatkan potensi hegemonik pajak untuk meraih dukungan publik melalui artikulasi penegakan hukum yang terukur, fair, dan objektif.

Faktor berikutnya, tarikan kebutuhan insentif pajak. Dalam situasi perekonomian yang lesu darah dan butuh stimulus, optimalisasi peran pajak sebagai instrumen kebijakan menemukan relevansi dan kemendesakannya.

Lugasnya, pemerintah gagal memanfaatkan potensi hegemonik pajak untuk meraih dukungan publik melalui artikulasi penegakan hukum yang terukur, fair, dan objektif.

Sepanjang pemerintahan Jokowi-JK, berbagai insentif pajak telah diberikan, bahkan terkesan jor-joran dan terlampau murah hati. Mulai dari penurunan tarif revaluasi aktiva tetap, penghapusan sanksi perpajakan, kenaikan pendapatan tak kena pajak (PTKP), penurunan tarif pajak UMKM, dan puncaknya amnesti pajak.

Tak berhenti di situ, cakupan tax holiday dan tax allowance pun terus diperluas agar lebih menarik bagi investor. Yang teranyar adalah super deductible tax untuk pendidikan vokasi dan riset. Cukup pasti rangkaian kebijakan insentif ini tidak keliru, bahkan amat dibutuhkan. Yang kurang diperhatikan adalah mengukur ketepatan bidikan, efektivitas, kemujaraban, dan trade off berupa dampak pengganda bagi perekonomian dan perpajakan.

Ternyata banyak kebijakan, regulasi, dan praktik perpajakan yang masih luput dari teropong insentif, seperti asimetri kebijakan fiskal pusat-daerah, praktik pemungutan pajak daerah yang tak profesional, dengan tarif pajak daerah yang tak seragam dan tak jarang terlampau memberatkan dunia usaha, dan pada gilirannya jadi zero sum game.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Layanan konsultasi pajak gratis dalam FinTax Fair 2019 di Menara Mandiri, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Pameran dan seminar selama dua hari ini memberikan edukasi dunia kewirausahaan di era digital terkait finansial, perpajakan dan teknologi. KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI) 17-01-2019

Pengebawahan kewibawaan pajak pada dinamika politik, termasuk kecepatan pemberian insentif dibanding perluasan basis pajak dan peningkatan kapasitas memungut pajak menuntun kita mengenali faktor ketiga, yaitu daya antisipasi. Hampir tiap tahun kita hanya berkutat pada angka realisasi target penerimaan dan melupakan peta jalan kepatuhan yang lebih substansial.

Sepanjang pemerintahan Jokowi-JK, berbagai insentif pajak telah diberikan, bahkan terkesan jor-joran dan terlampau murah hati.

Otoritas pajak selalu dituntut berkinerja prima namun ruang geraknya kian dipartisi dan kurang diberi ruang artikulasi yang lebih otonom. Celakanya, kekuasaan yang tak pejal melahirkan banyak aktor kepentingan yang berpengaruh dan membuka akses pada kekuasaan yang tak setara. Dukungan politik dari elite dan oligarkh pun tak jarang menimbulkan kecanggungan di lapangan.

Tak dimungkiri pajak adalah muara berbagai kepentingan yang amat seksi untuk diperebutkan. Konsekuensinya, proses perumusan kebijakan yang deliberatif tak kunjung lahir karena interupsi dan fait accompli. Proyek reformasi yang seharusnya mengandaikan desain besar yang tegas dan peta jalan yang jelas, justru harus berhadapan dengan intervensi-intervensi yang seringkali berada di luar akal sehat teori dan best practice perpajakan.

Meminjam filsuf politik Italia, Giorgio Agamben (Agus Sudibyo:2019), demokrasi yang seharusnya menghadirkan normalitas, justru dikendalikan oleh kedaruratan, bahkan melanggengkannya. Contoh mutakhir: desakan agar tarif PPh segera diturunkan demi kompetisi dengan negara lain, meski literatur dan sejarah mencatat supply-side economics dan argumen bahwa pemangkasan tarif pajak akan menggairahkan investasi dan meningkatkan penerimaan pajak tak cukup kokoh (Monica Prasad:2018).

Tarif pajak hanya simtom yang prima facie menjadi kebutuhan penting, padahal sejatinya ada hal-hal mendasar yang lebih penting dan mendesak diselesaikan. Lagi-lagi, atas nama kedaruratan, interupsi kebijakan ini memakan korban yaitu revisi UU KUP yang seharusnya menjadi pandu, visi, dan corak baru perpajakan.

Keluar dari kebuntuan

Jika demikian, apakah proyek reformasi perpajakan menemui jalan buntu? Tentu saja kita tak perlu larut dalam arus pesimisme, meski tetap harus menakar secara saksama peluang untuk keluar dari jebakan status quo. Kita wajib mempertahankan ideal pajak sebagai urat nadi dan penentu denyut kehidupan bangsa sebagaimana digagas para pendiri bangsa, dengan syarat segera terjaga dari siuman pragmatisme-kedaruratan. Jika tidak, lonceng kemunduran akan segera bergema dan bangsa ini akan kehilangan satu sendi kegotong-royongan yang paling bernilai.

Tentu saja kita tak perlu larut dalam arus pesimisme, meski tetap harus menakar secara saksama peluang untuk keluar dari jebakan status quo.

Periode kedua pemerintahan Jokowi harus sungguh-sungguh dimulai dengan melakukan evaluasi secara mendasar, reorientasi ideologi, rejuvenasi strategi, dan berjarak dengan seluruh kelompok kepentingan agar dapat mencuri kejernihan. Kita tak boleh jatuh pada kutukan negara berkembang, sebagaimana tiga dekade silam diingatkan Milka Casanegra de Jantscher, 'in developing countries, tax administration is tax policy'.

Problem besar reformasi perpajakan bukanlah teknokrasi atau teknis-administratif, tetapi absennya imajinasi dan visi besar yang bersifat politis – bukan dalam pengertian pragmatis-transaksional – yang merengkuh prinsip etis seperti keadilan, kesetaraan, redistribusi yang fair, dan akuntabilitas. Hakikat pajak adalah mengambil secara legal dan legitimate sebagian kekayaan kelompok kaya untuk diredistribusikan kepada kelompok yang kurang beruntung.

Di sinilah legitimasi pemungutan pajak menemukan basis moralnya, bahwa 'yang mampu harus membayar pajak lebih tinggi' (Thomas Aquinas), pajak adalah perkara 'mengetahui siapa memiliki apa' (Thomas Piketty), dan hanya mengizinkan ketidaksetaraan jika menguntungkan yang paling lemah-papa (John Rawls). Maka, sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum menjadi tujuan reformasi dan seluruh energi diarahkan bagi perbaikan yang menyeluruh.

HERYUNANTO

Hal 6: Opini: MLA dan Perpajakan Kita—Yustinus Prastowo HERYUNANTO 11-02-2019

Lugasnya, bersama anggota DPR terpilih rancang bangun UU KUP yang visioner perlu segera dituntaskan sehingga fondasi kokoh dan arsitektur baru dapat segera dikenali dan dijadikan pedoman. Ini sekaligus cara menjinakkan jargon kedaruratan yang merajalela.

Hakikat pajak adalah mengambil secara legal dan legitimate sebagian kekayaan kelompok kaya untuk diredistribusikan kepada kelompok yang kurang beruntung.

Sebagai turunan, revisi UU PPh dan UU PPN tak perlu dipaksakan dan secara terburu-buru diselesaikan dengan risiko akan compang-camping dan sekadar tambal sulam. Kita tak sedang berkejaran dengan apapun kecuali dikejar bayangan sendiri yang terlampau gelisah menangkap angin perubahan hingga kehilangan ketenangan.

Kita sudah berjalan di jalur yang tepat ketika mengambil kebijakan amnesti pajak yang berisiko, berkomitmen mendorong transparansi, dan melakukan berbagai perbaikan administrasi. Modal sosial inilah yang harus terus-menerus dipupuk agar pohon saling percaya semakin rindang dan berbuah. Kuncinya pada sinyal tegas dan tindakan simbolik yang nyata-nyata berpihak pada kepatuhan, perlakuan adil dan setara, dan memilah secara jelas dan tegas wajib pajak kelas kambing dan domba.

Akhirnya, seluruh proses politik yang bertanggung jawab dan mengabdi pada kepentingan publik hanya mungkin terwujud jika defisit cara berpikir normatif segera diatasi. Pajak adalah instrumen yang memungkinkan sebagai pengait (nexus) dan pengungkit (leverage), yakni mengaitkan berbagai kepentingan dan mengungkit perubahan sosial.

Kini saat yang tepat rehat sejenak dan melakukan kontemplasi eksistensial, menimbang tujuan reformasi perpajakan. Jika itu untuk kemaslahatan bangsa dan menuju keadilan sosial, maka tak ada cara lain kecuali melakukan anamnesis (pengenangan) diskursus brilian para pendiri bangsa, 14 Juli 1945.

Kita tak sedang berkejaran dengan apapun kecuali dikejar bayangan sendiri yang terlampau gelisah menangkap angin perubahan hingga kehilangan ketenangan.

Kita merindukan mata elang Bung Karno, persistensi dan konsistensi Bung Hatta, dan tangan dingin Radjiman. Agenda menuntaskan proyek Nomor Identitas Tunggal, penataan ulang kelembagaan pajak yang berwibawa dan akuntabel, kebijakan perpajakan yang jelas, regulasi yang adil dan berkepastian, sistem perpajakan yang transparan, prosedur yang sederhana, dan kepatuhan yang tinggi.

Jangan sampai kita terhuyung-huyung di pusaran pertarungan ideologi dunia tanpa jangkar prinsip yang kuat, hingga melupakan amaran Steve A Bank, bahwa jika di abad lalu pajak adalah pedang (sword), kini pajak adalah perisai (shield), yang akan membentengi masa depan. Jika demikian, warisan apa yang hendak kita berikan?

(Yustinus Prastowo Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) dan Alumnus STF Driyarkara Jakarta)

Kompas, 30 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

PERPAJAKAN: Mengkaji Transformasi Tarif Pajak (IRWAN WISANGGENI)

KOMPAS/PRIYOMBODO

Sebanyak 20 stan dari perusahaan teknolofi finansial FinTax Fair 2019 di Menara Mandiri, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Pameran dan seminar selama dua hari ini memberikan edukasi dunia kewirausahaan di era digital terkait finansial, perpajakan dan teknologi. KOMPAS/PRIYOMBODO

Menkeu Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini (19/6/2019) memberikan sinyal kuat akan menurunkan tarif  pajak penghasilan untuk wajib pajak badan (PPh WP Badan) dari 25 persen menjadi 20 persen, meski sebenarnya saat ini pun secara khusus tarif pajak  PPh WP Badan sudah 20 persen  bagi  perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek (go public) sesuai UU PPh Pasal 17 Ayat 2b.

Pemerintah dalam menurunkan PPh WP Badan  (perusahaan)   untuk mendorong laju investasi ke dalam negeri, melihat kondisi PPh untuk WP badan di negara tetangga seperti Singapura yang kini 17 persen, Thailand 23 persen, dan Vietnam 20 persen. Penurunan tarif pajak ini diharapkan dapat "mengambil hati" investor untuk investasi di Indonesia.

Terobosan penurunan tarif PPh WP Badan pasti direspons positif oleh para pengusaha atau  investor  karena beban pajak di perusahaan akan terpangkas. Namun, bagaimana imbas terhadap penerimaan negara, jika tarif pajak penghasilan badan jadi diturunkan?

Penurunan tarif pajak ini diharapkan dapat "mengambil hati" investor untuk investasi di Indonesia.

SUPRIYANTO

Mengkaji Transformasi Tarif Pajak

Teori ilmu perpajakan, yakni Kurva Laffer, mengungkapkan, jika tarif pajak turun maka penerimaan negara dalam jangka panjang akan mengalami kenaikan. Ada hubungan erat antara tarif pajak (tax rates) dengan penerimaan negara (tax revenue). Kurva ini menunjukkan, pada titik tarif pajak nol persen, pemerintah tak mendapatkan penerimaan negara dari pajak.

Hal serupa juga terjadi pada tarif pajak 100 persen, karena dengan tarif sebesar itu, kesediaan masyarakat bayar pajak akan mengalami penurunan sehingga timbul praktik penghindaran pajak secara masif.

Dari teori ini, kita melihat tarif pajak yang tepat dapat memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian nasional dan memberikan kontribusi optimal untuk peneriman negara dari sektor pajak.  Perubahan tarif  pajak akan memberikan dampak cukup siginifikan terhadap ekonomi makro.

Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan pemerintah untuk memengaruhi perekonomian negara melalui aspek penerimaan dan pengeluaran dalam anggaran negara.

Jhon Lindauer, ekonom AS dalam teori multiplier- nya menunjukkan adanya tingkat keseimbangan ekonomi sebagai akibat perubahan dalam salah satu komponen yang memengaruhinya, yakni pembelian pemerintah, transfer, pajak dan pinjaman uang. Setiap perubahan salah satu komponen fiskal (pajak salah satunya) akan berakibat perubahan pada keseimbangan pendapatan nasional.

Perubahan tarif  pajak akan memberikan dampak cukup siginifikan terhadap ekonomi makro.

Fenomena

Fenomena penurunan tarif PPh WP Badan pernah terjadi di Indonesia beberapa kali. Sebelum 2009, tarif  PPh WP Badan 30 persen, tahun 2009 menjadi 28 persen, tahun 2010 sampai saat ini 25 persen. Jika kita cermati, penurunan pajak ini akan berakibat pada menurunnya penerimaan pajak dalam jangka pendek, namun tren kenaikannya akan nampak di penerimaan jangka panjang.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Petugas melayani pengunjung di stan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang berada di One BellPark Mall, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (1/2/2019). Kegiatan ini membuka pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, Pemprov DKI, BUMN dan BUMD serta swasta seperti izin usaha, izin kegiatan perorangan, izin lingkunan, Keimigrasian, Perpajakan, BPJS Ketenagakerjaan, Kesehatan, Vaksinasi hewan peliharaan, perbankanprgoram kewirausahaan. KOMPAS/RIZA FATHONI

Terbukti dengan realisasi penerimaan pajak pada 2008 sebesar Rp 658,7 triliun yang mengalami penurunan pada 2009 menjadi Rp 619,9 triliun, namun pada 2010 meningkat lagi menjadi Rp 723 triliun. Sedangkan tahun 2011, 2012 penerimaan pajak masing-masing Rp 873,4 triliun dan Rp 980,5 triliun, terus bergerak naik dari tahun ke tahun. Data ini membuktikan, penurunan tarif pajak menghasilkan nilai tambah bagi penerimaan negara dari sektor pajak secara jangka panjang.

Namun, untuk mengubah tarif pajak PPh WP Badan, mekanisme hukumnya akan berjalan panjang berliku dan memakan waktu cukup lama karena harus mengganti UU Pajak Penghasilan. Penyebabnya, dalam Pasal 17 UU Ayat 2 UU PPh tarif pajak hanya dapat diturunkan menjadi paling rendah 25 persen. Jadi, diperlukan payung hukum yang baru untuk dapat menurunkan tarif PPh WP Badan menjadi 20 persen.

Setiap perubahan salah satu komponen fiskal (pajak salah satunya) akan berakibat perubahan pada keseimbangan pendapatan nasional.

Diharapkan dalam waktu dekat akan lahir UU Pajak Penghasilan yang baru yang di dalamnya terdapat beleid penurunan tarif pajak. Penurunan pajak ini akan memberikan stimulus yang akan memengaruhi efisiensi  biaya di perusahaan dalam negeri dan pertumbuhan iklim investasi ,  yang tentunya secara otomatis akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi makro.

(Irwan Wisanggeni Dosen  Trisakti School of Management)

Kompas, 30 Juli 2019 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

KEBIJAKAN PANGAN: Pakta Milan, Kota, Limbah Pangan (BUDI WIDIANARKO)

KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Tampak anak-anak asal Nduga di Distrik Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, tampak kelaparan pada Senin (22/7/2019). KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

A hungry world: Lots of food,
in too few places
Mark Koba, 2013


Setiap kota dihadapkan pada sebuah paradoks, kemelimpahan sekaligus kekurangan pangan.

Padahal, setiap kota dituntut mampu memenuhi hak atas pangan warganya sebagai bagian dari HAM. Setiap kota memikul tugas menyediakan pangan yang berkelanjutan bagi warganya. Pemenuhan tugas vital itu ternyata menghadapi berbagai kendala seperti distribusi dan akses yang tidak seimbang, kerusakan lingkungan, kelangkaan sumber daya, perubahan iklim; pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan serta susut pangan (food loss) serta limbah pangan (food waste).

Limbah pangan adalah pangan siap santap yang terhambur sia-sia, sedangkan susut pangan merujuk pada bahan pangan yang hilang sepanjang proses pembuatan mulai dari lahan pertanian hingga menjadi produk siap santap. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebut susut pangan sebagai penurunan kuantitas atau kualitas pangan dan limbah pangan tercakup di dalamnya. Limbah pangan merujuk pangan bergizi yang layak konsumsi, tetapi terbuang atau digunakan bukan sebagai pangan sepanjang alur pasok.

Indeks Keberlanjutan Pangan (FSI) 2018 yang dirilis The Economist Intelligence Unit dan the Barilla Center for Food & Nutrition (EIU-BCFN) menunjukkan, dalam hal kehilangan pangan—gabungan susut dan limbah pangan—Indonesia menempati peringkat ke-53 dari 67 negara yang disurvei dengan nilai 61,4 (maksimal 100). Jika dipisah, nilai susut pangan Indonesia adalah 57,4. Yang menarik, nilai limbah pangannya relatif tinggi, yaitu 69,6, sehingga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-21 dari 67 negara.

Setiap kota memikul tugas menyediakan pangan yang berkelanjutan bagi warganya.

Lebih gamblang lagi, infografik FSI menunjukkan tingkat kehilangan pangan per kapita Indonesia yang menempati peringkat kedua—di bawah Arab Saudi dan di atas AS—yakni 300 kilogram (kg)/orang/tahun. Kajian FSI bertumpu pada asumsi di negara kaya limbah pangan cenderung lebih tinggi daripada susut pangan, sedangkan di negara miskin yang terjadi sebaliknya. Sebenarnya, asumsi ini belum tentu sahih untuk kondisi perkotaan di Indonesia.

Hasil penelitian Gabriel Andari Kristanto tahun 2012 di perumahan kecil, menengah, dan atas di Jakarta menunjukkan sekitar 50 persen di antara sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta adalah sampah makanan (Kompas, 14/12/2013). Jika diandaikan setiap orang di Jakarta membuang sampah sekitar 1 kg/hari, penghamburan pangan per hari mencapai 0,5 kilogram/orang atau sekitar 180 kilogram per tahun—sudah melampaui separuh angka kehilangan pangan per kapita versi FSI.

Salah satu pemicu timbulan limbah pangan adalah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat kota. Dalam berbagai jamuan makan dan pesta, misalnya tuan rumah umumnya berprinsip lebih baik sisa daripada kurang. Dalam kehidupan kita sehari-hari, atas nama keramahan, tren, dan gengsi, makanan yang disajikan dalam berbagai acara cenderung berlebih. Begitu pula makanan yang disediakan di berbagai restoran dan hotel selalu berlimpah.

Jika pihak tuan rumah atau penyedia hidangan cenderung menyediakan dalam jumlah berlebih, di ujung yang lain acap kali atas nama sopan santun atau harga diri para tamu tidak menyantap secara tuntas makanan yang mereka ambil atau pesan.

Jika diandaikan setiap orang di Jakarta membuang sampah sekitar 1 kg/hari, penghamburan pangan per hari mencapai 0,5 kilogram/orang atau sekitar 180 kilogram per tahun—sudah melampaui separuh angka kehilangan pangan per kapita versi FSI.

Pakta Milan

Keprihatian atas "kegagalan" sistem pangan perkotaan itu  menggerakkan Kota Milan, Italia, pada 2014 memulai kajian tentang sistem pangan lokalnya dengan fokus pada daur pangan di kota itu, lengkap dengan konteks dan para pelakunya. Hasil kajian itu diperbincangkan dalam sebuah konsultasi publik yang melibatkan 700 pemangku kepentingan hingga akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pangan perkotaan yang komprehensif. Strategi ini menemukenali lima bidang intervensi, dengan salah satu prioritas utamanya adalah memerangi limbah pangan.

Berpijak dari hasil kajian itu, wali kota Milan saat itu (2011-2016), Giuliano Pisapia, memprakarsai jejaring kota-kota dunia yang peduli pada keberlanjutan sistem pangannya. Kebetulan pada 2015, selama enam bulan penuh, Milan menjadi tuan rumah Expo 2015 sebuah pameran dunia bertajuk "Feeding the Planet, Energy for Life". Ekspo yang menghadirkan stan 145 negara dan 50 lembaga internasional itu ternyata tak berlalu begitu saja.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pemulung menyortir sampah yang diratakan alat berat di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019). Data kajian Dinas Kebersihan DKI tahun 2011 menunjukkan, 60,5 persen sampah DKI bersumber dari permukiman. Sampah dari kawasan komersial dan dunia usaha menyumbang 28,7 persen total volume sampah DKI, tertinggi kedua setelah sampah dari permukiman. Dari data penimbangan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang di Kota Bekasi, total sampah Jakarta 7.500 ton per hari. Kompas/AGUS SUSANTO (AGS) 14-6-2019

Expo 2015 ini meninggalkan sebuah warisan penting berupa Pakta Milan untuk Kebijakan Pangan (Milan Urban Food Policy Pact/MUFPP). Sebenarnya, pakta ini sudah dirancang sejak Milan mempersiapkan diri menjadi tuan rumah expo.

Tujuh komitmen yang ditandatangani para wali kota dalam Pakta Milan meliputi: (1) mengembangkan sistem pangan berkelanjutan yang inklusif, tangguh, aman, dan beragam, yang menyediakan makanan sehat dan terjangkau bagi semua orang dalam kerangka kerja berbasis HAM, yang meminimalkan limbah dan melestarikan keanekaragaman hayati sambil beradaptasi dan mengurangi dampak dari perubahan iklim.

Strategi ini menemukenali lima bidang intervensi, dengan salah satu prioritas utamanya adalah memerangi limbah pangan.

Kemudian, (2) mendorong koordinasi antardinas dan lintas sektor di tingkat kota dan masyarakat, bekerja mengintegrasikan pertimbangan kebijakan pangan perkotaan ke dalam kebijakan, program dan inisiatif sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti pasokan dan distribusi makanan, perlindungan sosial, nutrisi, pemerataan, produksi pangan, pendidikan, keamanan pangan, serta pengurangan limbah; (3) mengembangkan keselarasan antara kebijakan, program terkait pangan kota, dan kebijakan serta proses subnasional, nasional, regional, dan internasional yang relevan.

Lalu, (4) melibatkan semua sektor dalam sistem pangan (termasuk pimpinan wilayah tetangga, organisasi teknis dan akademik, masyarakat sipil, produsen skala kecil, sektor swasta) dalam perumusan, implementasi, dan penilaian semua kebijakan, program, dan inisiatif terkait pangan; (5) meninjau dan mengubah kebijakan, rencana, dan peraturan perkotaan yang ada untuk mendorong terciptanya sistem pangan yang adil, tangguh, berkelanjutan.

Saat ini telah tercatat 184 kota yang ikut gerakan Pakta Milan, dengan perkiraan total populasi 450 juta. Sayangnya, belum ada satu pun kota di Indonesia jadi anggota.

Selanjutnya, (6) menggunakan kerangka tindakan sebagai titik awal bagi setiap kota mengatasi pengembangan sistem pangan perkotaan mereka sendiri dan akan berbagi perkembangan dengan kota-kota yang berpartisipasi dan pemerintah nasional dan lembaga internasional jika diperlukan; (7) mendorong kota-kota lain bergabung dengan aksi kebijakan pangan ini.

Pakta Milan sudah ditandatangani oleh 100 kota dunia pada 15 Oktober 2015 di Milan. Karena sifatnya yang terbuka, jumlah kota yang menandatangani terus bertambah. Saat ini telah tercatat 184 kota yang ikut gerakan Pakta Milan, dengan perkiraan total populasi 450 juta. Sayangnya, belum ada satu pun kota di Indonesia jadi anggota. Siapkah Jakarta?

(Budi Widianarko Guru Besar Unika Soegijapranata dan Anggota Board Gita Pertiwi, Solo)

Kompas, 30 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pengamalan Pancasila//Negara Berdaulat (Surat Pembaca Kompas)


Pengamalan Pancasila

Saya sependapat dengan artikel Rikard Bagun (31/5/2019) dan Suyadi Prawirosentono tentang realisasi pengamalan Pancasila (5/7/2019). Menurut saya, mudah saja. Pancasila dapat secara sederhana dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya, ketika kita beramal kepada saudara kita yang membutuhkan sebagai bentuk syukur kita kepada Tuhan. Hal ini akan sesuai dengan pengamalan Pancasila sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Contoh lain adalah ketika menghormati rekan-rekan kita yang berlainan agama atau kepercayaan dan menghargai kebebasan mereka menjalankan ibadah sesuai tata cara agama atau kepercayaan yang dianutnya. Itu sesuai Pancasila sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.

Ketika Indonesia menjadi ketua Dewan Keamanan PBB dan Presiden Joko Widodo datang ke acara G-20 di Jepang, bukankah hal itu termasuk pengamalan sila kedua dan kelima karena turut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial.

Pancasila dan butir-butir Pancasila yang singkat, padat, dan jelas telah mewakili pengakuan hak-hak asasi manusia di dunia. Oleh karena itu, Pancasila sebaiknya diajarkan sejak dini. Mungkin dari anak-anak usia SD karena mereka masih mudah mengingat dan mengamalkan.

Sungguh Pancasila sejatinya sederhana dan merupakan dasar budi pekerti yang baik. Insya Allah, sesuai dengan ajaran kebaikan di setiap agama dan kepercayaan.

Saya ingat, sampai dekade 1980-1990-an, menghafal lima sila Pancasila terbukti efektif. Semoga cara ini dapat membantu penanaman Pancasila sejak dini dan terpatri pada setiap diri manusia Indonesia sampai akhir hayat.

Swasta Priambada
Sedang studi lanjut di Swinburne University of ‎Technology, Melbourne, Australia

 

Negara Berdaulat

Artikel berjudul "Dilema Penanganan 'Alumni' NIIS" oleh Noor Huda Ismail menarik (Kompas, 9/7/2019), mengingat ada Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Indonesia (KWNI) yang harus diterapkan secara tegas. Ini demi kepastian hukum di negara kita sekaligus mewajibkan ketaatan semua WNI atas hukum yang berlaku. Jika tegas menerapkan UU, kita tidak perlu menghadapi dilema yang diungkap Noor Huda.

Dalam Bab IV Pasal 23 tentang KWNI tertulis tentang kehilangan kewarganegaraan Indonesia, antara lain "menjadi tentara negara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden RI". Jadi, berdasarkan UU tersebut, WNI yang menjadi atau membantu NIIS secara otomatis menjadi warga negara asing (WNA).

Adanya eks WNI yang telah menjadi WNA di kamp pengungsian di Suriah saat ini bukan urusan Pemerintah RI. Pemerintah tak berhak lagi mengurus mereka yang jadi WNA. Bahkan, jika ikut campur, berarti RI melanggar UU.

Bagaimana tentang anak- anak mereka? Karena orangtuanya sudah menjadi WNA anak-anaknya otomatis WNA pula. Artinya, Pemerintah RI tak punya hak atau wewenang sama sekali atas mereka.

Bagaimana tentang Pasal 25 Bab IV KWNI yang menyatakan bahwa anak-anaknya tidak otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia?
Jelas bahwa Pasal 25 bertentangan dengan Pasal 23. Mengapa? Karena kedua orangtua sudah menjadi WNA berarti anak-anaknya otomatis WNA. Berarti tidak ada logikanya jika ditulis anak-anak tidak serta-merta kehilangan kewarganegaraan Indonesia.

Jadi, Pemerintah RI telah melanggar UU Pasal 23 dan Pasal 25 dengan membiarkan para WNA dan anak-anaknya kembali tanpa proses hukum, dari WNA menjadi WNI. Jangan diulang lagi.

Mereka akan menjadi dilema. Maka, yang lebih penting lagi adalah cegah jangan ada lagi WNI jadi tentara asing tanpa izin. Memangnya negara tanpa kedaulatan, bebas keluar masuk RI tanpa sanksi.
Enak aje lu pade!

Suyadi Prawirosentono

Selakopi Pasir Mulya, Bogor

Kompas, 30 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Pesan dari Tangkuban Parahu (Kompas)

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Kondisi kawah Gunung Tangkubanparahu di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Minggu (28/7/2019). Sebelumnya, Jumat (26/7) erupsi terjadi di Kawah Ratu dan menyebabkan kolom abu setinggi 200 meter. Akibat erupsi tersebut, kawasan wisata tertutup abu vulkanik lebih dari satu sentimeter.

Syukurlah, dari berita hari Senin (29/7/2019), kita tahu aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Parahu berkurang. Statusnya di- nyatakan normal hari Minggu lalu.

Sebelumnya, gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Subang, Jawa Barat, itu erupsi pada Jumat (26/7) sore. Pada satu sisi ada informasi, tanda-tanda Tangkuban Parahu akan erupsi sudah dideteksi dan disampaikan kepada pemerintah terkait, tetapi ada juga informasi, erupsi tersebut tidak didahului oleh getaran atau gempa.

Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Nia Khaerani menilai hal itu merupakan keanehan. Adanya hujan abu di sekitar Kawah Ratu, tanpa ada gejala vulkanik yang jelas, bisa menimbulkan bahaya. Warga atau turis di sekitar gunung yang populer ini tidak mendapatkan isyarat atau tanda peringatan akan datangnya bahaya dari erupsi.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Petugas taman wisata membersihkan kawasan Taman Wisata Alam Gunung Tangkubanparahu di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Minggu (28/7/2019). Sebelumnya, Jumat (26/7) erupsi terjadi di Kawah Ratu dan menyebabkan kolom abu setinggi 200 meter. Akibat erupsi tersebut, kawasan wisata tertutup abu vulkanik lebih dari satu sentimeter.

Di Pos Pemantauan Gunung Api Tangkuban Parahu, seperti dikutip Warta Kota, Sabtu, Nia menyatakan, bisa saja terjadi erupsi meski tak ada gempa. Saat itu seismograf terbaca lurus, yang berarti tidak ada tanda-tanda kegempaan. Ini fenomena yang perlu dicatat, sebab biasanya gunung api yang akan erupsi menunjukkan aktivitas vulkanik, seperti gempa atau peningkatan lontaran material vulkanik.

Kita bersyukur, meski saat erupsi banyak wisatawan, aktivitas vulkanik itu tidak menimbulkan korban jiwa.

Namun, sebagai bangsa yang ingin disebut sebagai bangsa pembelajar, kita tak ingin peristiwa erupsi Tangkuban Parahu tahun 2019 itu berlalu begitu saja.

Setiap terjadi aktivitas vulkanik ada pesan yang harus kita tangkap. Bahwa, tak didapati tanda-tanda pendahuluan terjadinya erupsi, boleh jadi ada hal yang aneh. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu introspeksi, apakah sebelum erupsi telah cermat dalam menyimak sinyal yang muncul. Kalau itu sudah, apakah peralatan seismograf dalam kondisi bekerja baik. Kalau bekerja baik, bisa dicek, apakah instrumen ini termasuk dalam tipe yang memiliki kepekaan tinggi?

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Petugas taman wisata menyusuri jajaran kios di Taman Wisata Alam Gunung Tangkubanparahu di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Minggu (28/7/2019). Sebelumnya, Jumat (26/7) erupsi terjadi di Kawah Ratu dan menyebabkan kolom abu setinggi 200 meter. Akibat erupsi tersebut, kawasan wisata tertutup abu vulkanik lebih dari satu sentimeter.

Hal itu sekadar pertanyaan untuk menggugat diri. Sedikit pun tak ada maksud untuk menyalahkan siapa pun. Hal ini kita angkat supaya kita makin memberi perhatian pada potensi bencana geologis dan vulkanologis. Tak berhenti pada sekadar perhatian, kita juga ingin hal itu diikuti investasi penanggulangan bencana yang memadai.

Sebagai bangsa yang tinggal di kawasan Cincin Api, ditandai dengan 130 gunung api yang tersebar di wilayah Indonesia, kesadaran untuk mempersiapkan diri menghadapi erupsi dan gempa bumi harusnya melekat kuat di sanubari anak bangsa.

Hanya dengan mengembangkan sikap waspada dan melengkapi diri dengan peralatan sensor yang canggih, mutakhir, serta rajin melakukan mitigasi atau simulasi menghadapi bencana, kita sudah berbuat untuk bisa meminimalkan dampak bencana. Semua itu kita lakukan sambil terus mempelajari sains vulkanologi. Kita puji pengetahuan sosok otoritas yang segera mengetahui bahwa erupsi Tangkuban Parahu terakhir tidak berpotensi memicu pergerakan patahan Lembang.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Pedagang dan petugas bekerja sama membersihkan kawasan parkir di Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat, Senin (29/7/2019). Akibat erupsi Kawah Ratu, Jumat (26/7) sore, seluruh area wisata Gunung Tangkuban Parahu tertutup abu vulkanik. Seluruh abu diminta untuk dibersihkan sebelum destinasi wisata tersebut dibuka untuk umum.

Kompas, 30 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Bentrokan di Hong Kong (Kompas)

AFP/ISAAC LAWRENCE

Gas air mata ditembakkan oleh polisi untuk membubarkan unjuk rasa menentang proposal hukum ekstradisi di luar kantor pusat pemerintahan di Hong Kong, Kamis (12/6/2019). Aksi yang diikuti oleh puluhan ribu orang itu memblokir jalan arteri utama di Hong Kong. Aksi itu untuk menentang terhadap rencana pemerintah yang memungkinkan dilakukannya ekstradisi ke Cina. Bentrokan pecah antara pengunjukrasa dengan polisi pecah setelah polisi berusaha menghentikan pengunjuk rasa yang menyerbu parlemen kota.

Demonstrasi yang diwarnai bentrokan di Hong Kong, Minggu (28/7/2019), adalah unjuk rasa akhir pekan kedelapan kali berturut-turut di wilayah itu.

Ada beberapa catatan dari demonstrasi antipemerintah yang terus terjadi di Hong Kong. Pertama, ada tendensi selalu terjadi bentrokan keras antara pengunjuk rasa dan polisi. Pada Minggu silam, misalnya, saat pengunjuk rasa mencoba mencapai kantor perwakilan Pemerintah China, polisi berusaha mencegah mereka. Peluru karet dan gas air mata pun dilepaskan ke arah demonstran.

Catatan kedua, rangkaian demonstrasi yang berlangsung sejak Juni ini menandai bahwa tak tertutup kemungkinan unjuk rasa yang diwarnai bentrokan akan menjadi hal lazim, atau "normal baru", di Hong Kong. Situasi ini jelas merupakan tantangan bagi Pemerintah Hong Kong yang dipimpin Carrie Lam, dan bagi pemerintah pusat di Beijing, mengingat selama ini Hong Kong dikenal sebagai wilayah yang aman.

Rangkaian unjuk rasa di Hong Kong diawali dengan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Ada kecemasan, jika disahkan, regulasi ini memungkinkan mereka yang melanggar hukum dan berseberangan dengan Beijing dikirim ke China daratan. Demonstrasi terus berlangsung meskipun Lam menyatakan tak akan melanjutkan pembahasan RUU itu. Pengunjuk rasa mendesak agar RUU Ekstradisi dicabut. Tak cukup distop pembahasannya.

Dalam perkembangan terakhir, tuntutan unjuk rasa kian meluas. Demonstran meminta Lam dicopot, dibuat pemeriksaan independen terhadap kekerasan yang dilakukan polisi, serta diadakan reformasi demokrasi. Merespons unjuk rasa pada akhir pekan, Beijing menegaskan kembali dukungannya kepada Lam dan petugas keamanan.

Di tengah situasi tersebut, sekelompok orang yang terlibat organisasi kriminal terindikasi ikut memberikan tekanan pada demonstran. Indikasi ini terlihat pada Sabtu, 21 Juli lalu, saat sekelompok orang memukuli demonstran di stasiun. Polisi Hong Kong lalu menangkap pelaku dan mendapati beberapa di antaranya memang memiliki kaitan dengan organisasi kejahatan. Keterlibatan orang-orang ini bisa menjadi tambahan energi bagi gelombang ketidakpuasan.

Diserahkan kembali ke China pada 1997 dari Inggris, wilayah Hong Kong memiliki sistem hukum dan pengadilan yang terpisah dari China daratan. Hal ini menjamin iklim kebebasan yang lebih besar ketimbang di China daratan. Namun, dalam perkembangan terakhir, ada kecemasan di kalangan generasi muda bahwa Beijing berusaha kian menguasai dinamika kehidupan di Hong Kong. Tak tertutup kemungkinan, faktor ketersediaan lapangan kerja dan tingkat biaya hidup ikut menambah kegelisahan di kalangan muda yang merupakan komponen penting dalam unjuk rasa.

Saat ini, bagaimana Beijing dan Pemerintah Hong Kong menangani gelombang ketidakpuasan serta demonstrasi pada masa mendatang sangat ditunggu masyarakat internasional.

Kompas, 30 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger