KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Kondisi kawah Gunung Tangkubanparahu di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Minggu (28/7/2019). Sebelumnya, Jumat (26/7) erupsi terjadi di Kawah Ratu dan menyebabkan kolom abu setinggi 200 meter. Akibat erupsi tersebut, kawasan wisata tertutup abu vulkanik lebih dari satu sentimeter.

Syukurlah, dari berita hari Senin (29/7/2019), kita tahu aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Parahu berkurang. Statusnya di- nyatakan normal hari Minggu lalu.

Sebelumnya, gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Subang, Jawa Barat, itu erupsi pada Jumat (26/7) sore. Pada satu sisi ada informasi, tanda-tanda Tangkuban Parahu akan erupsi sudah dideteksi dan disampaikan kepada pemerintah terkait, tetapi ada juga informasi, erupsi tersebut tidak didahului oleh getaran atau gempa.

Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Nia Khaerani menilai hal itu merupakan keanehan. Adanya hujan abu di sekitar Kawah Ratu, tanpa ada gejala vulkanik yang jelas, bisa menimbulkan bahaya. Warga atau turis di sekitar gunung yang populer ini tidak mendapatkan isyarat atau tanda peringatan akan datangnya bahaya dari erupsi.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Petugas taman wisata membersihkan kawasan Taman Wisata Alam Gunung Tangkubanparahu di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Minggu (28/7/2019). Sebelumnya, Jumat (26/7) erupsi terjadi di Kawah Ratu dan menyebabkan kolom abu setinggi 200 meter. Akibat erupsi tersebut, kawasan wisata tertutup abu vulkanik lebih dari satu sentimeter.

Di Pos Pemantauan Gunung Api Tangkuban Parahu, seperti dikutip Warta Kota, Sabtu, Nia menyatakan, bisa saja terjadi erupsi meski tak ada gempa. Saat itu seismograf terbaca lurus, yang berarti tidak ada tanda-tanda kegempaan. Ini fenomena yang perlu dicatat, sebab biasanya gunung api yang akan erupsi menunjukkan aktivitas vulkanik, seperti gempa atau peningkatan lontaran material vulkanik.

Kita bersyukur, meski saat erupsi banyak wisatawan, aktivitas vulkanik itu tidak menimbulkan korban jiwa.

Namun, sebagai bangsa yang ingin disebut sebagai bangsa pembelajar, kita tak ingin peristiwa erupsi Tangkuban Parahu tahun 2019 itu berlalu begitu saja.

Setiap terjadi aktivitas vulkanik ada pesan yang harus kita tangkap. Bahwa, tak didapati tanda-tanda pendahuluan terjadinya erupsi, boleh jadi ada hal yang aneh. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu introspeksi, apakah sebelum erupsi telah cermat dalam menyimak sinyal yang muncul. Kalau itu sudah, apakah peralatan seismograf dalam kondisi bekerja baik. Kalau bekerja baik, bisa dicek, apakah instrumen ini termasuk dalam tipe yang memiliki kepekaan tinggi?

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Petugas taman wisata menyusuri jajaran kios di Taman Wisata Alam Gunung Tangkubanparahu di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Minggu (28/7/2019). Sebelumnya, Jumat (26/7) erupsi terjadi di Kawah Ratu dan menyebabkan kolom abu setinggi 200 meter. Akibat erupsi tersebut, kawasan wisata tertutup abu vulkanik lebih dari satu sentimeter.

Hal itu sekadar pertanyaan untuk menggugat diri. Sedikit pun tak ada maksud untuk menyalahkan siapa pun. Hal ini kita angkat supaya kita makin memberi perhatian pada potensi bencana geologis dan vulkanologis. Tak berhenti pada sekadar perhatian, kita juga ingin hal itu diikuti investasi penanggulangan bencana yang memadai.

Sebagai bangsa yang tinggal di kawasan Cincin Api, ditandai dengan 130 gunung api yang tersebar di wilayah Indonesia, kesadaran untuk mempersiapkan diri menghadapi erupsi dan gempa bumi harusnya melekat kuat di sanubari anak bangsa.

Hanya dengan mengembangkan sikap waspada dan melengkapi diri dengan peralatan sensor yang canggih, mutakhir, serta rajin melakukan mitigasi atau simulasi menghadapi bencana, kita sudah berbuat untuk bisa meminimalkan dampak bencana. Semua itu kita lakukan sambil terus mempelajari sains vulkanologi. Kita puji pengetahuan sosok otoritas yang segera mengetahui bahwa erupsi Tangkuban Parahu terakhir tidak berpotensi memicu pergerakan patahan Lembang.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA