AFP/ISAAC LAWRENCE

Gas air mata ditembakkan oleh polisi untuk membubarkan unjuk rasa menentang proposal hukum ekstradisi di luar kantor pusat pemerintahan di Hong Kong, Kamis (12/6/2019). Aksi yang diikuti oleh puluhan ribu orang itu memblokir jalan arteri utama di Hong Kong. Aksi itu untuk menentang terhadap rencana pemerintah yang memungkinkan dilakukannya ekstradisi ke Cina. Bentrokan pecah antara pengunjukrasa dengan polisi pecah setelah polisi berusaha menghentikan pengunjuk rasa yang menyerbu parlemen kota.

Demonstrasi yang diwarnai bentrokan di Hong Kong, Minggu (28/7/2019), adalah unjuk rasa akhir pekan kedelapan kali berturut-turut di wilayah itu.

Ada beberapa catatan dari demonstrasi antipemerintah yang terus terjadi di Hong Kong. Pertama, ada tendensi selalu terjadi bentrokan keras antara pengunjuk rasa dan polisi. Pada Minggu silam, misalnya, saat pengunjuk rasa mencoba mencapai kantor perwakilan Pemerintah China, polisi berusaha mencegah mereka. Peluru karet dan gas air mata pun dilepaskan ke arah demonstran.

Catatan kedua, rangkaian demonstrasi yang berlangsung sejak Juni ini menandai bahwa tak tertutup kemungkinan unjuk rasa yang diwarnai bentrokan akan menjadi hal lazim, atau "normal baru", di Hong Kong. Situasi ini jelas merupakan tantangan bagi Pemerintah Hong Kong yang dipimpin Carrie Lam, dan bagi pemerintah pusat di Beijing, mengingat selama ini Hong Kong dikenal sebagai wilayah yang aman.

Rangkaian unjuk rasa di Hong Kong diawali dengan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Ada kecemasan, jika disahkan, regulasi ini memungkinkan mereka yang melanggar hukum dan berseberangan dengan Beijing dikirim ke China daratan. Demonstrasi terus berlangsung meskipun Lam menyatakan tak akan melanjutkan pembahasan RUU itu. Pengunjuk rasa mendesak agar RUU Ekstradisi dicabut. Tak cukup distop pembahasannya.

Dalam perkembangan terakhir, tuntutan unjuk rasa kian meluas. Demonstran meminta Lam dicopot, dibuat pemeriksaan independen terhadap kekerasan yang dilakukan polisi, serta diadakan reformasi demokrasi. Merespons unjuk rasa pada akhir pekan, Beijing menegaskan kembali dukungannya kepada Lam dan petugas keamanan.

Di tengah situasi tersebut, sekelompok orang yang terlibat organisasi kriminal terindikasi ikut memberikan tekanan pada demonstran. Indikasi ini terlihat pada Sabtu, 21 Juli lalu, saat sekelompok orang memukuli demonstran di stasiun. Polisi Hong Kong lalu menangkap pelaku dan mendapati beberapa di antaranya memang memiliki kaitan dengan organisasi kejahatan. Keterlibatan orang-orang ini bisa menjadi tambahan energi bagi gelombang ketidakpuasan.

Diserahkan kembali ke China pada 1997 dari Inggris, wilayah Hong Kong memiliki sistem hukum dan pengadilan yang terpisah dari China daratan. Hal ini menjamin iklim kebebasan yang lebih besar ketimbang di China daratan. Namun, dalam perkembangan terakhir, ada kecemasan di kalangan generasi muda bahwa Beijing berusaha kian menguasai dinamika kehidupan di Hong Kong. Tak tertutup kemungkinan, faktor ketersediaan lapangan kerja dan tingkat biaya hidup ikut menambah kegelisahan di kalangan muda yang merupakan komponen penting dalam unjuk rasa.