Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 Maret 2020

Covid-19: Antara Beijing dan Roma (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Ketika tahun lalu, 24 Maret 2019, Italia menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) dengan China berkait dengan Inisiatif Jalan dan Sabuk (Belt and Road Initiative/BRI) China, banyak pihak—termasuk sesama negara Uni Eropa dan bahkan rakyat Italia—kurang mendukungnya. Italia menjadi negara pertama dari G-7 yang menandatangani kerja sama dengan China berkait dengan BRI.

Penandatanganan MOU itu seakan menghidupkan kembali cerita lama: cerita tentang perjalanan dan petualangan Marco Polo. Adalah Marco Polo yang dikenal sebagai pedagang dari Italia (lahir di Venesia), penjelajah, dan penulis yang pernah pergi sampai ke China yang waktu itu di bawah Dinasti Yuan, menyusuri Jalan Sutera antara 1271 dan 1295. Kisah perjalanan Marco Polo dibukukan dengan judul Perjalanan Marco Polo.

Menurut Mercy A Kuo, sekurang-kurangnya ada tiga alasan, mengapa Italia mendukung BRI. Pertama, untuk mendapatkan kembali landasan yang hilang dalam hubungan perdagangan dengan China. Kedua, adanya niat dari China untuk investasi di Italia, di saat perusahaan-perusahaan dan pemerintah Italia membutuhkan suntikan modal. Ketiga, alasan yang lebih berorientasi politik. Pemerintah Italia terinspirasi oleh sentimen anti-kemapanan dan Uni Eropa diidentifikasi memiliki tatanan tradisional (The Diplomat, 24/4/2019).

Sebenarnya, Italia mengikuti jalan Jerman dan Perancis yang lebih dahulu menjalin hubungan bisnis dengan China. Yang lebih mendasar, pendorong utama Italia menandatangani MOU BRI adalah "alasan komersial" dan "keuntungan ekonomi."

KOMPAS/ANITA YOSSIHARA

Presiden China Xi Jinping, terlihat dari layar, menyampaikan pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) di Beijing, China, Jumat (26/4/2019).

Akan tetapi, hampir setahun setelah penandatanganan MOU itu impian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan hubungan perdagangan dengan China, belum menjadi kenyataan. Bahkan, hubungan Roma dan Beijing berisiko memburuk. Apalagi, defisit perdanganannya dengan China makin melebar. Menurut data yang dikeluarkan Januari lalu, ada ketidakimbangan dalam hubungan dagang Italia dengan China: defisit perdagangan tercatat 18,7 miliar euro atau 20 miliar dollar AS (Bloomberg).

Kecewa, Italia mengeraskan pendiriannya pada catatan hak asasi manusia China dan membatasi akses Huawei Technologies Co. ke jaringan data. Kebijakan Italia untuk mempertimbangan melarang Huawei memasok peralatan-peralatan teknologi jaringan 5G, didasarkan rekomendasi dari komite keamanan dan intelijen parlemen Italia. Tentu, kebijakan itu mengecewakan Beijing.

Ketika wabah Covid-19 merebak, muncul kebijakan baru dari Italia. Mereka menghentikan penerbangan ke dan dari China, Hongkong, serta Makau, mulai 31 Januari 2020. Langkah tersebut diambil untuk mencegah meluasnya serangan Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh virus korona tipe baru (SARS-CoV-2). Italia menjadi negara pertama di Eropa yang melakukan penghentikan penerbangan itu. Beijing meminta agar Roma "menahan diri untuk tidak melaksanakan keputusan tersebut."

Italia memiliki pengalaman pait berkait dengan penyebaran virus dari China. Sekurang-kurangnya, menurut catatan sejarah, Italia empat kali (termasuk sekarang ini dengan Covid-19) dihantam gelombang serangan virus dari China. Gelombang serangan pertama terjadi pada abad ke-6 di zaman Justinianus I (Flavius Justinianus), menjadi Kaisar Byzantium (527-565).

AFP/ANDREAS SOLARO

Petugas medis dengan berpakaian khusus membawa pasien berstatus dalam perawatan intensif ke rumah sakit Columbus Covid 2 yang baru dibangun untuk menanggulangi wabah Covid-19 di Rumah Sakit Gemelli, Roma, Italia, 16 Maret 2020.

Ketika itu (542), ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, Konstanstinopel, menjadi korban lewat kapal dari Mesir. Menurut catatan sejarah, tiga dari lima penduduk kota itu menjadi korban. Wabah (Yersinia pestis) itu kemudian disebut sebagai wabah Justinian yang menyebar serta "menguasai" kawasan Mediterania selama 225 tahun dan baru hilang tahun 750. Jutaan orang tewas.

Serangan gelombang kedua—Black Death—terjadi pada abad ke-14. Black Death atau yang dalam bahasa Italia disebut La Pestilenza masuk ke Italia lewat laut; pertama-tama menyentuh Sicilia, pada awal Oktober 1347. Bulan Januari 1348 sudah masuk Venesia dan Genoa. Beberapa pekan kemudian, penduduk di Pisa sudah terserangBlack Death, lalu Tuscany dan akhirnya ke selatan masuk Roma. Diperkirakan akibat wabah Black Death itu, lebih dari sepertiga penduduk Italia, meninggal dunia.

Gelombang serangan ketiga terjadi pada abad ke-19. Wabah penyakit yang menyerang daratan Eropa—berasal dari Propinsi Yunan, China (1894). Sekarang, pandemi Covid-19 adalah gelombang serangan keempat ke Eropa, juga lewat Italia dan menjadi negeri yang terparah di seluruh daratan Eropa.

"Kemenangan" China

Akan tetapi, merebaknya wabah Covid-19 telah mendorong pemerintah Roma mengambil kebijakan baru dalam hubungan dengan China. Serangan Covid-19 di Italia demikian cepat dan dahsyat. Pada tanggal 20 Maret 2020, Covid-19 telah menewaskan lebih dari 3.400 orang,  lebih banyak dari jumlah korban tewas di China, tempat pandemi itu mulai meledak pada akhir 2019. Kantor berita BBC, Jumat (27/3/2020), memberitakan, 969 orang meninggal pada hari itu saja. Dengan tambahan itu, jumlah orang yang meninggal sudah mencapai 9.134 orang.

AFP/ALBERTO PIZZOLI

Pekerja medis yang mengenakan alat pelindung merawat pasien pada 24 Maret 2020 di unit perawatan intensif Covid-19 di Rumah Sakit Casal Palocco dekat Roma, Italia. Korban jiwa di Italia akibat wabah ini melampaui China.

Sebagai negara anggota Uni Eropa dan juga NATO, pada awal Maret, Italia meminta bantuan negara-negara anggota Uni Eropa lewat Mekanisme Perlindungan Sipil Uni Eropa. Akan tetapi, tidak ada satu pun negara Uni Eropa yang menanggapi permintaan bantuan itu. Apalagi, Perancis dan Jerman mengeluarkan kebijakan larangan ekspor masker. AS pun sebagai sekutu, tidak mengulurkan tangan. Memang, negara-negara Eropa lainnya juga mulai diserang Covid-19. Ketika itu, banyak orang Italia merasa dihina oleh Uni Eropa.

Pemerintah Italia meratap bahwa "tak satupun negara Uni Eropa" yang "memberikan tanggapan permohonan bantuan alat-alat kesehatan." Ironisnya, justru China yang segera tanggap akan teriakan dan ratapan Italia itu dan segera mengulurkan tangan. Menurut berita yang tersiar, Beijing mengirimkan 30 ton alat-alat kebutuhan medis ke Roma dan dokter ahli. Menlu Italia Luigi Di Maio lantas mengunggah video kedatangan pesawat yang mengangkut bantuan dari China itu di laman Facebook-nya.

Secara tidak langsung, unggahan tersebut, semacam pengumuman kemenangan diplomasi publik China, yang segera tanggap teriakan Italia yang membutuhkan bantuan.Postingan itu bagaikan arak-arakan pasukan Romawi yang masuk ke kota Roma lengkap dengan jarahan dan tentara musuh yang diikat, setelah mereka berhasil memenangi peperangan, pada zaman dulu.

AFP/STRINGER/ANSA

Ahli dan petugas medis asal China, mendarat di Roma, Italia, untuk membantu negara ini mengatasi pandemi Covid-19, 13 Maret 2020.

China—yang lebih dahulu didera Covid-19 dan berhasil mengatasinya—telah tampil sebagai penyelamat Italia; sementara negara-negara Eropa masih ragu-ragu mengambil tindakan. Tidak bisa dihindari, tidak bisa dicegah, kalau kemudian muncul narasi: Uni Eropa meninggalkan Italia dan China datang sebagai penyelamat.

Tanda bahaya

Ini adalah pertanda tidak baik dari solidaritas Uni Eropa. China masuk ketika sesama negara anggota Uni Eropa telah gagal memberikan bantuan medis. Dan, China mengisi kekosongan itu.

Bukan kali ini saja, Italia merasakan "kurangnya solidaritas" sesama negara anggota Uni Eropa. Selama krisis pengungsi 2015, sekitar 1,7 juta orang tiba di wilayah Uni Eropa, sebagian besar di Italia dan Yunani (Jerman dan Swedia sebagai tujuan paling umum). Tetapi, pada 2017, beberapa negara anggota Uni Eropa masih menolak untuk menerima pengungsi di bawah skema solidaritas. Padahal, krisis Covid-19 ini adalah ancaman global. Karena itu, sebenarnya Eropa membutuhkan respons Eropa. Hanya saja, hal itu tidak terjadi.

Tentu, keegoisan Eropa secara moral pantas disesalkan. Sikap tersebut adalah tidak bijaksana. Sebab, seperti manusia, sebuah negara yang tengah dilanda duka pun membutuhkan kawan. Kehancuran Italia, pasti akan berpengaruh terhadap negara-negara Eropa lainnya. Tidak mungkin, hanya Italia saja yang hancur.

AFP/PAOLO MIRANDA

Seorang perawat menyemangati rekannya saat pergantian tugas jaga di Rumah Sakit Cremona, Italia, 13 Maret 2020.

Akan tetapi, ketika Italia meratap dan berteriak mintak pertolongan, negara-negara lain memberikan tanggapan dingin. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau terjadi krisis yang lebih parah dibanding krisis karena Covid-19 yang sekarang mendera Eropa? Misalnya, serangan siber besar-besaran yang merobohkan Eropa untuk jangka waktu lama?

Pandemi Covid-19 ini memberikan bukti nyata, bahwa tidak ada satupun negara yang bisa mandiri, hidup sendiri, memikirkan diri sendiri. Bahkan, negara super sombong seperti AS pun akhirnya minta bantuan China untuk mengatasi Covid-19.

Semoga, apa yang terjadi di Italia, semakin memperkuat kerja sama regional—termasuk kerja sama ASEAN—kerja sama antar-negara, di masa depan. Pandemi Covid-19 ini benar-benar menguji solidaritas antar-negara.

Kompas, 28 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

”Gigaton” Album Baru Pearl Jam tentang Betapa Rapuhnya Kita (EKO WUSTUK)


KOMPAS/BUDI SUWARNA

Seorang penggemar Pearl Jam membuka situs resmi Pearl Jam dengan latar belakang sampul album terbaru Pearl Jam, Gigaton.

Greta Thunberg. Pada 2019 (setelah memulai rangkaian aksi protesnya di depan gedung parlemen Swedia pada Agustus 2018), aktivis lingkungan asal Swedia itu mengguncang dunia dengan kekuatan hatinya. Kecintaannya pada bumi menjadi pijakan kokoh bagi kedua kaki mungilnya menantang para pemimpin dunia-–seperti Trump-–yang bukan hanya masa bodoh pada kerusakan lingkungan, melainkan juga menjadi salah satu penyebab utama.

Selang setahun dari guncangan Thunberg, pada 27 Maret 2020, Pearl Jam yang sejak dulu berdiri di garis keras pembela lingkungan (lihat saja tato di bagian dalam betis kanan Eddie Vedder yang menunjukkan logo Earth First), merilis album teranyar mereka:Gigaton.  Bagi awam, itu adalah satuan massa yang digunakan untuk mengukur dan menggambarkan besaran lapisan es yang mencair di kutub utara. Satu gigaton setara dengan satu miliar ton.

Sampul album tersebut mengambil foto tebing es raksasa yang menghadap samudra (dengan seekor burung melintas di air terjun yang semakin menunjukkan kemegahan tebing es raksasa tersebut) karya Paul Nicklen, fotografer alam bebas yang telah berulang kali memenangi penghargaan tertinggi fotografi alam bebas dari World Press.

Melalui akun Instagram-nya, Paul Nicklen menjelaskan, betapa rapuh kemegahan tebing es yang difotonya di Norwegia pada periode 2014 itu. Hari ini ada, besok mungkin sudah tiada. Begitu juga dengan semua hewan liar yang menjadi obyek fotonya selama ini: indah, tetapi bisa dengan mudah begitu saja musnah.

Rupanya kesadaran akan rapuhnya dunia—tidak hanya bumi, tetapi juga kita, manusia yang berjalan dengan angkuh di permukaannya—itulah yang menjadi tema besar Gigaton. Dengan arah musik yang sangat mengejutkan (sangat berbeda dibandingkanLightning Bolt, album yang dirilis nyaris tujuh tahun sebelum Gigaton, Pearl Jam menyuguhkan lapis demi lapis pemikiran mendalam soal itu.

Eddie Vedder yang memang tidak pernah main-main dengan liriknya, menumpahkan banyak sekali kekesalan, kemarahan, dan ketakutannya pada masa depan bumi. Pada masa depan manusia.

Eddie Vedder yang memang tidak pernah main-main dengan liriknya menumpahkan banyak sekali kekesalan, kemarahan, dan ketakutannya pada masa depan bumi. Pada masa depan manusia.

Tentu saja ia tidak berhenti di sana. Seperti biasa, Eddie selalu pandai menyisipkan harapan dan semangat perlawanan dalam setiap lagunya yang gelap dan kerap penuh amarah. Kemarahan, di tangan Eddie, tidak berhenti sekadar jadi caci maki, tetapi menggelinding jauh menjadi kekuatan untuk bangkit dan melawan. Mengubah keadaan.

Album ini dibuka dengan "Who Ever Said". Sejak detik pertama nuansa yang dibangun sudah mencekam. Tak berapa lama, alunan punk rock penuh tenaga menggulung. Tepat pada detik ke-40, suara bariton emas Eddie Vedder berselancar di atas jalinan bas, drum, dan distorsi gitar yang terdengar matang. Sangat matang.

Nomor kedua lebih riang tetapi tetap garang. "Superblood Wolfmoon" dijamin bikin kita ingin jejingkrakanatau setidaknya mengangguk-anggukkan kepala penuh semangat. Dari semua nomor yang ada dalamGigaton, ini boleh dibilang yang bernuansa paling terang. Solo guitarMike McReady di lagu ini sungguh seru. Liar menyambar.

Lalu, muncullah "Dance of the Clairvoyants". Nomor paling aneh. Setelah dibuka dengan dua nomorpunk rock yang energik, mendadak Pearl Jam menyuguhkan funk. Perjalanan bunyi yang meninggi mendadak berhenti. Sama sekali bukan sesuatu yang buruk karena lagu ini seperti rambu jalan yang mengingatkan akan datangnya kelokan-kelokan musik yang lebih mengejutkan di nomor-nomor selanjutnya.

"Quick Escape" jadi yang keempat. Menderu seperti badai. Melalui nomor ini, Pearl Jam seperti mau bilang kalau main musik rock bagi mereka adalah perkara sepele. Mau dibengkokkan seperti apa pun arah musiknya, energinya akan selalu terjaga. Di nomor ini, Eddie kembali dengan kebiasaan nekatnya: memaki Presiden Amerika Serikat yang dianggapnya tidak becus bekerja. Setelah mencibir Bush dalam lagu "Bu$hleaguer" di album Riot Act (2002), kali ini giliran Trump yang diledek. "Crossed the border to Morocco, Kashmir than Marrakech/ The lengths we had to go to then/ To find a place Trump hadn't fucked up yet//," demikian Eddie bernyanyi. Lebih tepatnya, menggeram.

It's alright, to be alone. To listen for a heartbeat, it's your own.  It's alright, to quiet up. To disappear in thin air, it's your own

Nomor kelima, "Alright", bicara soal kesendirian. Sebuah ajakan untuk menurunkan tempo hidup dan menerima diri sendiri. Hangat, Eddie seperti memberikan wejangan kepada anaknya ketika menyanyikan bait ini: "It's alright, to be alone/ To listen for a heartbeat, it's your own/  It's alright, to quiet up/ To disappear in thin air, it's your own//."

Paruh pertama Gigaton ditutup sebuah nomor lembut dan mistis: "Seven O'clock". Dibuka dengan untaian nada yang terdengar biasa saja, chorus lagu ini tidak bisa dimungkiri langsung nancap di telinga. Terdengar manis sekali. Dari 12 lagu yang ada, barangkali inilah yang termanis.

Energi kembali meninggi di nomor ketujuh, "Never Destination" yang berbicara soal perjalanan—atau lebih tepatnya petualangan—manusia yang tiada akhir. Eddie seperti ingin mengingatkan kita bahwa pada hakikatnya hidup adalah perjalanan yang sama sekali tidak pernah kita ketahui arah dan terlebih akhirnya. Dalam liriknya tersebut nama Paul Theroux yang merupakan penulis kisah-kisah perjalanan kenamaan asal Amerika Serikat. Nomor ini mengingatkan pada ramuan punk rockmanis yang jadi resep manjur suksesnya album Backspacer (2009). Tempo sedang, harmonis, dipamungkasi solo guitar yang terdengar gagah.

"Take The Long Way" lebih keras lagi. Si nomor delapan yang rumit. Pearl Jam bermain-main dengan ketukan ganjil yang kerap mendadak berganti. Tidak masalah. Semua tahu, dengan Matt Cameron di singgasana drum, ke mana pun musik Pearl Jam menikung, dijamin aman.

"Buckle Up". Balada yang dijadikan nomor kesembilan ini sungguh menipu. Nadanya yang lembut dan nyaris terdengar membosankan sama sekali tidak selaras dengan isi liriknya yang ganas. Bagaimana tidak ganas, dua baris pertama liriknya saja sudah berbunyi "I got blood, blood on my hands".

"Comes Then Goes", nomor kesepuluh dalam Gigaton, sejelas kristal menunjukkan betapa megah perpaduan dua hal yang sangat sederhana ini: gitar akustik dan vokal. Tidak ada omong kosong di situ. Tidak ada tipuan efek suara yang bisa jadi pelindung kekurangan musikalitas. Dan Eddie, dengan suara bariton emasnya, tentu saja sedang berkisah tentang perpisahan yang perih. Dengar rintihannya ketika melantunkan "Divisions came and troubles multiplied, Incisions made by scalpel blades of time".

Mendengarkan "Retrogade" rasanya tidak mungkin untuk tidak mengingat film Into the Wild (2007). Nuansa bunyi dalam nomor kesebelas di albumGigaton ini sangat dekat dengan suasanya pegunungan yang dingin dan sunyi, yang ditangkap dengan luar biasa sempurna oleh Sean Penn melalui bidikan kamera filmnya. Kebetulan soundtrack film itu memang digarap seluruhnya oleh Eddie Vedder.

Sebagai nomor penutup, seperti biasa, Pearl Jam menyuguhkan nuansa lembut namun mencekam. Di albumTen (1991) ada "Release", Vs (1993) punya "Indifferece", loncat keBackspacer (2009) dengan "The End", dan kini Gigaton (2020) menyajikan "River Cross".

Seperti Chairil yang menuliskan pudarnya semangat di hadapan kematian dalam Derai-Derai Cemara, di nomor ini Eddie menyuarakan kepasrahannya pada kuasa waktu. Pada kepastian bahwa segala yang baik dan juga yang buruk tentulah menemui akhir. Menemui ajal. Lembut ia berbisik, "I want this dream to last forever/ A wish denied to lengthen our time/ I wish this moment was never ending/ Let it be a lie that all future's die//."

Eko Wustuk

ARSIP PRIBADI

Eko Wustuk

Anggota komunitas Pearl Jam Indonesia

Penulis buku: Rock Memberontak danI'm All EAR's

Kompas, 28 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TRADISI JAWA: Mengarak Pusaka Tunggul Wulung Saat Pandemi Melanda (JIMMY S HARIANTO)


ARSIP PRIBADI

Jimmy S Harianto, Wartawan Senior Kompas

Suasana Yogyakarta awal bulan Maret saat kedatangan Raja dan Ratu Belanda, Willem Alexander dan Ratu Maxima, masih ayem tentrem. Padahal, Surakarta tetangganya dan juga ibu kota Jakarta sudah bergejolak oleh serangan bertubi-tubi  penyakit Covid-19. Masyarakat Yogya waktu itu malah hangat bergunjing  soal keris Kiai Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro, yang dikembalikan Pemerintah Belanda bersamaan dengan kunjungan Raja dan Ratu mereka.

Ketika jatuh korban jiwa, seorang Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof Iwan Dwiprahasto, meninggal setelah sembilan hari dirawat di Rumah Sakit Sardjito pekan lalu, barulah masyarakat Yogya tergerak untuk berbenah. Malah ada tiga abdi dalem Keraton Ngayogyakarta (ditilik dari samir yang dikalungkan di leher sampai ke bawah dadanya) melakukan semacam sesajian tolak bala.

Mereka bersimpuh di perempatan jalan, dijagai petugas polisi lalu lintas, menggelar sajian tolak bala berupa tumpeng panca warni (lima warna) hijau, putih, kuning, merah, dan biru, serta sejumlah sesajian lain di titik nol Yogyakarta di ujung selatan  Jalan Malioboro. Akan tetapi, rupanya sesaji di titik nol ini, menurut sumber di Keraton Ngayogyakarta, adalah bagian awal saja dari ritual Labuhan (peringatan tingalan dalem atau penobatan raja) yang dilakukan beberapa saat kemudian di pesisir laut selatan.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Prosesi pembuatan minuman teh untuk raja di Keraton Yogyakarta. Sabtu (13/7/2019). Ritual Patehan yang dipertahankan hingga sekarang ini telah menjadi atraksi wisata bagi pengunjung keraton.

Di kalangan masyarakat tradisional Yogya juga mulai ada bisik-bisik, apakah kiranya keraton akan mengeluarkan pusaka tolak bala, Kanjeng Kiai Tunggul Wulung, seperti ketika terjadi pandemi dan pagebluk flu Spanyol di wilayah Hindia Belanda pada 1918, dan juga wabah pes maut 1946?

Kanjeng Kiai (KK) Tunggul Wulung adalah pusaka Keraton Ngayogyakarta berupa sebilah tombak berbendera (sobekan) kain kiswah dari Mekkah yang di bagian tengahnya berhias dekorasi keemasan dengan tulisan Surat Al-Kautsar, Asmaul Husna, serta kalimat Syahadat. Sobekan kiswah yang dipercaya berasal dari zaman Sultan Agung (abad ke-17)  itu disebutnya Kiai Slamet.

Adapun pengibar bendera pusaka itu berupa tombak dengan pucuknya berbentuk tanduk rusa bernama Kiai Duda. Apabila Kiai Slamet sudah dikibarkan di tombak Kiai Duda, maka pusaka itu disebut Kanjeng Kiai Tunggul Wulung.

REPRO FOTO KRATON JOGJA THE HISTORY AND CULTURAL HERITAGE

Pusaka Kiai Tunggul Wulung, yang terdiri dari bendera sobekan kiswah bertuliskan tulisan Surat Al-Kautsar, Asmaul Husna, serta kalimat Sahadat, ketika akan dikirab keliling Yogyakarta saat wabah pes melanda Yogya pada 1946.

Terakhir KK Tunggul Wulung dikirab keliling Yogyakarta pada era Sri Sultan Hamengku Buwana VII tahun 1918 saat dunia dijangkiti wabah penyakit flu Spanyol yang merenggut jutaan jiwa di dunia, serta wabah pes tahun 1946 pada masa Sri Sultan HB IX (Enggar Pikantoyo, 2012).

"Sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan diaraknya KK Tunggul Wulung," kata KRT Enggar Pikantoyo Kusumanagoro, Kepala Tepas Keprajuritan Keraton Yogyakarta, Kamis (26/3/2020) petang, melalui telepon.

Suasana wabah pes yang melanda Yogyakarta pada 1946 digambarkan begitu ganasnya sehingga muncul perumpamaan esuk lara, sore mati, sore lara, esuk mati.  Pagi sakit, sorenya mati, sorenya sakit, esoknya mati.  Begitu mencekamnya suasana wabah pes waktu itu, sampai-sampai diberitakan tikus pun bisa menularkan penyakit mematikan tersebut.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Raja Belanda Willem-Alexander (duduk kiri) bersama Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menonton pertunjukan Tari Lawung Ageng di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta, Rabu (11/3/2020).

Wabah yang mencekam masyarakat Ngayogyakarta itu mendorong Sri Sultan Hamengku Buwana IX waktu itu memerintahkan pusaka KK Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta. Tidak dengan ingar-bingar tentunya. Mulai diarak setelah lengser senja, sampai berakhir dini hari.

"Angsarnya gawe slamet (khasiatnya membuat selamat)," ungkap Kanjeng Enggar Pikantoyo pula mengenai bendera sobekan kiswah, Kiai Slamet, yang diarak dengan tombak Kiai Duda itu.

Tentu bukan dimaksudkan setelah bendera dikibarkan, penyakit akan musnah. Pengibaran itu dimaksudkan sebagai semacam perantara doa, atau pengharapan dari masyarakat tradisional Yogyakarta agar bencana segera berlalu. Wabah penyakit segera hilang.

KOMPAS/JIMMY S HARIANTO

Keris dengan pamor yang bermotif mirip simbol Tunggul Wulung, umum disebut sebagai pamor Tunggul Wulung, yang banyak dicari lantaran mirip dengan rajah pusaka Kanjeng Kiai Tunggul Wulung Keraton Ngayogyakarta.

"Berangkat bakda (setelah) maghrib dari keraton keliling kota," kata Kanjeng Enggar Pikantoyo. Dan, menurut Kanjeng Enggar, di setiap perempatan yang dilewatinya, pengiring pusaka melantunkan azan."Dulu rute kirab antara lain melalui Kampung Kricak di daerah Jalan Magelang dan Samirono. Berakhir di keraton bakda subuh," tutur Kanjeng Enggar Pikantoyo.

Pengertian "tolak bala" bagi kalangan masyarakat tradisional di Ngayogyakarta tidak hanya sebatas sesaji dengan harapan agar wabah dan pagebluk segera berlalu. Akan tetapi, juga pernah dilakukan untuk menghindari peristiwa mengerikan yang tidak diinginkan. Tidak banyak orang Yogya yang tahu bahwa seputar peristiwa kerusuhan Mei 1998, secara diam-diam, Keraton Yogyakarta juga mengarak Kanjeng Kiai Tunggul Wulung.

Pengarakan itu dilakukan sehari menjelang "pisowanan ageng" (pertemuan raja dengan seluruh rakyatnya) untuk mendengarkan pidato Sri Sultan Hamengku Buwana X (raja Yogya sekarang). Benar saja, pada hari pisowanan ageng 20 Mei 1998, Yogyakarta aman tenteram.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga menghadiri Pisowanan Agung Jogja Gumregah di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Sabtu (7/3/2015). Kirab budaya tersebut merupakan peringatan Jumenengan Ke-26 Sri Sultan Hamengkubuwono X sekaligus peluncuran logo dan tagline baru Jogja Istimewa.

Sementara di Surakarta, yang hanya 60 kilometer di sebelah timur Yogyakarta, dilukiskan "menjadi karang abang". Terjadi aksi bakar-bakaran di Solo oleh massa yang tidak terkendali. Aksi vandalisme pun merambah ke perusakan dan penjarahan pertokoan di Solo. Sementara Ngayogyakarta yang memiliki kaitan erat dengan Surakarta, sebagai penerus wangsa Mataram, malah aman sentosa dan terkendali.

Setelah wabah flu Spanyol pada 1918, sebenarnya juga ada catatan KK Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta. Persisnya pada 22 Januari 1932 semasa pemerintahan Hamengku Buwana VIII. Ketika itu, Yogya sedang dilanda wabah penyakit diare yang disertai muntah-muntah (muntaber).

Raja waktu itu juga memutuskan mengarak KK Tunggul Wulung. Wabah itu tidak spektakuler seperti saat merebaknya wabah flu Spanyol di era HB VII tahun 1918 yang menelan korban 900.000 jiwa di Hindia Belanda.

KERATON KASEPUHAN CIREBON

Bendera yang lebih kurang serupa dengan Kiai Tunggul Wulung di Yogyakarta, yakni Bendera Macanali, yang juga merupakan bendera resmi Keraton Cirebon, memakai simbol Tunggul Wulung, seperti pedang dua mata. Yang menyerupai sosok simbolik manusia dan kepala.

Apakah mewabahnya pandemi virus Covid-19 ini akan mendorong Keraton Yogyakarta untuk kembali mengarak KK Tunggul Wulung seperti tradisi mereka jika negara menghadapi pandemi atau wabah penyakit menular yang dahsyat? Rupanya belum ada rencana demikian.

"Ingsun, Hamengku Buwono, ing dina kang kebak was-was lan tidha-tidha iki, nyuwun para warga sami ndedonga kondjuk ing ngarsaning Gusti Allah, mugi kita saged enggal kaparingan pepadhang," sabda Sri Sultan HB X, yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, kepada rakyat Ngayogyakarta pekan lalu.

(Saya, Hamengku Buwono, pada hari yang penuh rasa waswas dan khawatir ini, meminta para warga untuk sama-sama berdoa di hadapan Allah agar segera diberi jalan terang," kata Sri Sultan.)

Sri Sultan juga mengingatkan peristiwa yang sempat meluluhlantakkan Bantul di Yogyakarta, ketika gempa tektonik besar 5,9 SR melanda pada 27 Mei 2006, kali ini memang sungguh harus dihadapi dengan cara berbeda.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X (tengah), didampingi Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Paku Alam X (kiri) dan Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji (kanan), menyampaikan pernyataan mengenai penanganan penyakit Covid-19 akibat virus korona jenis baru, Senin (23/3/2020), di Bangsal Kepatihan, kompleks kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta.

"Berbeda dengan peristiwa gempa besar tahun 2006 yang terasa nyata di depan kita. Sekarang ini, yang namanya virus korona ini kalau sudah memasuki badan kita, tidak terasa, dan datangnya juga tidak diduga-duga," sabda Sri Sultan.

Untuk menghadapinya, kata Sri Sultan, masyarakat Yogyakarta juga harus melaksanakan aturan yang baku yang digariskan oleh pemerintah pusat.

"Menurut pendapat saya, hendaklah sadar dan waspada. Ingat pada yang menciptakan hidup dengan laku sunyi, zikir pada malam hari, meminta maaf dan perlindungan pada Gusti. Waspada dengan cara bebersih diri serta lingkungan masing-masing. Kalau memang merasa kurang sehat, harus menerima dan wajib melakukan isolasi diri selama 14 hari. Jaga diri, jaga keluarga, dan jaga persaudaraan dengan masyarakat," kata Sri Sultan dalam kesempatan menyapa warga, yang bertajuk "Cobaning Gusti Allah" (Percobaan oleh Allah) pekan lalu.

Masyarakat tradisional di Yogyakarta masih "ngugemi" (mematuhi) perintah rajanya meskipun sejak kemerdekaan, Sultan sebagai Raja di Yogyakarta hanya merupakan semacam simbol pusat kebudayaan, serta olah spiritual tradisi Jawa. Pusaka KK Tunggul Wulung, yang diduga berasal dari era Sultan Agung di abad ke-17 ini, adalah salah satunya.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Seorang pengemudi andong tampak terlelap saat menunggu penumpang di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, Minggu (22/3/2020) sore. Selama sepekan terakhir, jumlah pengunjung di kawasan Malioboro tampak berkurang signifikan dibanding biasanya.

"Bendera yang belakangan diarak pada 1946 sebenarnya adalah bendera duplikat dari Kiai Slamet yang asli. Bendera aslinya biasa ikut diarak, tetapi disimpan di dalam kotak pusaka. Sudah berupa kain usang, bahkan sebagian sudah menjadi bubuk…," tutur Kanjeng Enggar Pikantoyo.

Sejak kapan ada pusaka yang dinamai Tunggul Wulung? Tidak dijelaskan angka tahunnya kapan, tetapi menurut beberapa catatan tertulis Tunggul Wulung berasal dari nama seorang senopati Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya, yang lengkapnya bernama Tunggul Sabdojati Amongrogo, atau seorang sosok yang memiliki gelar Ki Ageng Tunggul Wulung (RS Danumurti, majalah Keris edisi 2/2007).

Senopati Majapahit ini diam-diam meninggalkan kerajaan setelah Majapahit mengalami banyak kemunduran setelah berjayanya kerajaan Islam, Demak. Ini berarti sekitar abad ke-15. Perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung ke arah barat berhenti di Dusun Beji (sekarang masuk Sleman, Yogyakarta). Ia "madeg pandhito" atau menjadi pertapa, menjauhi keduniawian. Dalam mitosnya, Ki Ageng ini moksa, hilang bersama badannya, ketika tengah bersemadi di bawah pohon timoho di dekat Sungai Progo.

Di tempat konon moksanya Ki Ageng Tunggul Wulung ini di Beji, Sleman, masyarakat setempat masih terus melestarikan upacara "Bersih Desa", membersihkan lingkungan dengan acara tumpengan atau gunungan, menapak tilas perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung.

Kompas, 27 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

CATATAN TIMUR TENGAH: Agama Samawi Usung Satu Misi Hadapi Covid-19 (MUSTHAFA ABD. RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, wartawan senior Kompas

Pada setiap situasi genting, manusia biasanya berpaling pada agama yang diyakini untuk mencari ketenteraman jiwa dan sekaligus jawaban terhadap situasi genting itu.

Ketika merebak wabah Covid-19  di hampir seluruh dunia saat ini, para pemuka tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi, kini tak pelak lagi turut berperan besar mengarahkan massa pengikutnya melalui fatwa-fatwa keagamaan  dalam upaya mencegah penyebaran wabah tersebut.

Para pemuka agama Islam (ulama), Kristen (pendeta), dan Yahudi (Khaham/Rabbi) telah menggunakan otoritas keagamaannya dengan mengeluarkan fatwa-fatwa agama yang mengusung satu misi  dan sejalan dengan rekomendasi ilmu kesehatan atau kedokteran modern.

Misi para pemuka agama samawi melalui fatwa-fatwa agama itu adalah mencegah kerumunan manusia yang sangat berpotensi bagi penyebaran Covid-19. Maka, para pemuka agama samawi kini dengan fatwa-fatwa agama tersebut berperan besar mencegah penyelenggaraan ibadah agama yang melibatkan massa skala besar.

REUTERS/GANOO ESSA

Pemandangan Kabah di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, Jumat (6/3/2020). Pemerintah Arab Saudi menangguhkan layanan umrah di tengah meluasnya wabah Covid-19 di seluruh dunia.

Karena itu, peran para pemuka agama samawi sangat besar dalam membantu pemerintah negara-negara mereka dalam upaya mencegah penyebaran wabah Covid-19. Atau dengan kata lain, telah terjadi kerja sama yang sangat produktif antara ulama/pendeta/rabbi dan pemerintah dalam menghadapi Covid-19.

Para pemuka agama Islam, misalnya, menggunakan dalil berbagai ayat Al Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan melaksanakan shalat di rumah jika ada kemadharatan atau kesulitan akut. Para ahli tafsir menafsirkan, jika ada kemudaratan atau kesulitan saja bisa shalat di rumah, apalagi kini ada sekelas wabah Covid-19 yang mematikan.

Baca juga: Belajar dari Sukses Korea Jinakkan Covid-19

Bagi para pemuka agama Islam, isu wabah sesungguhnya sudah tidak asing lagi. Dalam sejarah Islam, penguasa dan ulama Islam sudah menghadapi musibah besar ketika merebak wabah Amwas pada era Khalifah Umar Bin Khattab tahun 639 M di desa kecil Amwas, Palestina.

Wabah Amwas itu segera menyebar ke seluruh wilayah Syam saat itu (kini meliputi Palestina, Jordania, Lebanon, dan Suriah) dan menewaskan 25.000 orang hingga 30.000 orang.

AFP/GIUSEPPE CACACE

Sebuah mal di Dubai, Uni Emirat Arab, kosong setelah pemerintah mengumumkan penutupan pusat perbelanjaan demi mencegah penyebaran penyakit Covid-19, Senin (23/3/2020).

Wabah besar kedua kemudian muncul pada tahun 1348 M yang menyebar ke seluruh dunia dan menewaskan sekitar 50 juta penduduk dunia saat itu. Di Eropa dikenal dengan sebutan wabah maut hitam karena sangat banyak korban yang tewas akibat wabah tersebut.

Akibat wabah Amwas tahun 639 M dan wabah besar tahun 1348 M itu, lahirlah kitab-kitab klasik para ulama Islam saat itu yang membahas tentang wabah menurut penafsiran agama. Kini, kitab-kitab klasik tentang wabah itu banyak dipelajari di pesantren-pesantren.

Oleh karena itu, para ulama Islam saat ini sudah memiliki banyak rujukan dalil, baik dari Al Quran, Hadis Nabi Muhammad  SAW, maupun pendapat ulama salaf/dahulu dalam menghadapi Covid-19.

Maka, Darul Ifta Mesir tidak ragu-ragu langsung mendukung secara legalitas keagamaan keputusan Pemerintah Arab Saudi pada 27 Februari lalu untuk menghentikan sementara kegiatan ibadah umrah di Masjidil Haram, Mekkah. Darul Ifta adalah lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa-fatwa agama di Mesir sesuai dengan perkembangan dan tantangan dunia modern.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Warga memasuki Masjid Raya Hubbul Wathan Islamic Center Nusa Tenggara Barat di Mataram, Minggu (22/3/2020), untuk mengikuti shalat Zuhur berjemaah. Dibandingkan hari-hari sebelumnya, warga yang mengikuti shalat berjemaah di masjid tersebut kali ini lebih sedikit. Kondisi itu karena masyarakat Kota Mataram mulai menjalankan pembatasan sosial dan tinggal di rumah untuk menghindari penyebaran Covid-19.

Keputusan menghentikan sementara ibadah umrah itu merupakan keputusan besar pertama Arab Saudi terkait kegiatan ibadah keagamaan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Kemudian diikuti fatwa agama dari hampir semua negara berpenduduk mayoritas Muslim yang mengizinkan meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur, serta menyerukan tidak melakukan shalat berjemaah pada shalat lima waktu.

Baca juga: Ratusan Ribu Orang Jadi Relawan Lawan Covid-19

Bermula dari keputusan Kementerian Waqaf Kuwait pada 14 Maret 2020 yang memutuskan membolehkan tidak shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur, serta menyerukan tidak melaksanakan shalat berjemaah lima waktu.

Para ulama besar Al-Azhar kemudian pada 15 Maret 2020 mengeluarkan fatwa membolehkan meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur, serta mengimbau tidak menjalankan shalat berjemaah dalam shalat lima waktu.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Jemaat meninggalkan tempat setelah menjalankan salat Dzuhur berjemaah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (20/3/2020). Masjid Istiqlal meniadakan shalat Jumat sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta kebijakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI, tetapi menggelar shalat Dzuhur berjemaah dengan saf yang renggang. Selepas shalat, jemaah diminta segera meninggalkan masjid untuk mengurangi penyebaran COVID-19.

Menurut para ulama Al Azhar, ada dua halangan atau uzur yang memperbolehkan seseorang meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjemaah, yaitu ketakutan dan sakit. Salah satu dalil nash yang dijadikan acuan adalah hadis riwayat Abu Dawud yang menjelaskan bahwa menurut Rasulullah SAW, halangan shalat adalah sakit dan takut.

Selain itu, para ulama juga mengiaskan dengan dalil lain dalam hadis Al Bukhari bahwa Rasulullah SAW juga pernah meminta orang keluar dari masjid dan shalat di rumah saja karena ia baru saja makan bawang karena baunya dapat mengganggu orang lain.

Dari Jabir bin Abdullah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda, 'Orang yang makan bawang putih atau bawang merah, maka jauhkanlah diri kalian dari kami (dalam riwayat lain: dari masjid kami), dan menetaplah di rumah'. (H.R Al Bukhari)

Sehari setelahnya, pada 16 Maret 2020, Majelis Ulama Indonesia (MUI)  juga mengeluarkan fatwa serupa. Ketua Dewan Fatwa MUI Hasanuddin mengatakan, setiap Muslim yang berada di daerah berpotensi terjangkit Covid-19 diizinkan meninggalkan ibadah shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur.

Beberapa negara Islam lalu mengeluarkan fatwa serupa, seperti Turki, Uni Emirat Arab (UEA), Malaysia, Arab Saudi, Palestina, Jordania, Tunisia, Qatar, Oman, Bahrain, dan Iran.

AFP/EMMANUEL DUNAND

Seorang pria melintasi Dome of the Rock atau Kubah Batu di kompleks Masjid Al Aqsa di Kota Tua Jerusalem, Senin (16/3/2020). Israel menerapkan karantina dua pekan bagi semua turis mancanegara yang datang, hampir menghentikan kegiatan pariwisata, dan membatasi pengumpulan massa untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Seperti halnya para pemuka agama Islam, para pemuka agama Yahudi juga mengeluarkan fatwa agama yang menyerukan melaksanakan ibadah di rumah dan hindari kerumunan massa meskipun untuk tujuan ibadah. Para rabbi/pemuka agama Yahudi di Israel menyerukan agar rakyat Israel tidak pergi ke sinagoga untuk menghindari kerumunan massa dalam beribadah.

Pemerintah Israel sejak pertengahan Maret lalu membatalkan semua perayaan agama Yahudi untuk mencegah kerumunan massa yang sangat berpotensi penyebaran Covid-19. Para rabbi melalui media sosial mendukung keputusan Pemerintah Israel tersebut dengan cara memberi penafsiran menurut agama Yahudi. Hingga Rabu (25/3/2020), jumlah korban positif Covid-19 di Israel sudah mencapai 2030 orang.

Seperti hal pula pemuka agama Islam dan Yahudi, pemuka agama Kristen juga menyerukan umat Kristiani menjalankan ibadah di rumah. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia menyerukan umat Kristiani tidak melaksanakan ibadah Minggu di gereja.

Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom mengungkapkan, PGI sudah mengeluarkan edaran sejak 16 Maret lalu yang mengimbau umat Kristiani melakukan ibadah Minggu di rumah masing-masing, tidak berkumpul di Gereja.

AFP/ANDREAS SOLARO

Seorang warga dengan menggunakan masker wajah melintas di terowongan dekat Basilika Santo Petrus, Vatikan, yang sepi karena wabah Covid 19, Minggu (15/3/2020).

Di Palestina, Patriarch Latin Jerusalem menyerukan kegiatan ibadah Minggu di rumah masing-masing. Patriarch Latin Jerusalem mengeluarkan aturan, jika terpaksa dilakukan perayaan agama, massa yang hadir tidak boleh lebih dari 15 orang dan jarak antara satu dan lain orang harus lebih dari 1 meter.

Otoritas Palestina sejak 12 Maret lalu menutup Gereja Nativity di Bethlehem untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Di Italia, Vatikan diberitakan juga menutup sementara semua gereja Katolik di seluruh Roma untuk membendung penyebaran Covid-19 dan akan dibuka kembali pada 3 April.

Kompas,
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger