Pada setiap situasi genting, manusia biasanya berpaling pada agama yang diyakini untuk mencari ketenteraman jiwa dan sekaligus jawaban terhadap situasi genting itu.
Ketika merebak wabah Covid-19 di hampir seluruh dunia saat ini, para pemuka tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi, kini tak pelak lagi turut berperan besar mengarahkan massa pengikutnya melalui fatwa-fatwa keagamaan dalam upaya mencegah penyebaran wabah tersebut.
Para pemuka agama Islam (ulama), Kristen (pendeta), dan Yahudi (Khaham/Rabbi) telah menggunakan otoritas keagamaannya dengan mengeluarkan fatwa-fatwa agama yang mengusung satu misi dan sejalan dengan rekomendasi ilmu kesehatan atau kedokteran modern.
Misi para pemuka agama samawi melalui fatwa-fatwa agama itu adalah mencegah kerumunan manusia yang sangat berpotensi bagi penyebaran Covid-19. Maka, para pemuka agama samawi kini dengan fatwa-fatwa agama tersebut berperan besar mencegah penyelenggaraan ibadah agama yang melibatkan massa skala besar.
Karena itu, peran para pemuka agama samawi sangat besar dalam membantu pemerintah negara-negara mereka dalam upaya mencegah penyebaran wabah Covid-19. Atau dengan kata lain, telah terjadi kerja sama yang sangat produktif antara ulama/pendeta/rabbi dan pemerintah dalam menghadapi Covid-19.
Para pemuka agama Islam, misalnya, menggunakan dalil berbagai ayat Al Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan melaksanakan shalat di rumah jika ada kemadharatan atau kesulitan akut. Para ahli tafsir menafsirkan, jika ada kemudaratan atau kesulitan saja bisa shalat di rumah, apalagi kini ada sekelas wabah Covid-19 yang mematikan.
Baca juga: Belajar dari Sukses Korea Jinakkan Covid-19
Bagi para pemuka agama Islam, isu wabah sesungguhnya sudah tidak asing lagi. Dalam sejarah Islam, penguasa dan ulama Islam sudah menghadapi musibah besar ketika merebak wabah Amwas pada era Khalifah Umar Bin Khattab tahun 639 M di desa kecil Amwas, Palestina.
Wabah Amwas itu segera menyebar ke seluruh wilayah Syam saat itu (kini meliputi Palestina, Jordania, Lebanon, dan Suriah) dan menewaskan 25.000 orang hingga 30.000 orang.
Wabah besar kedua kemudian muncul pada tahun 1348 M yang menyebar ke seluruh dunia dan menewaskan sekitar 50 juta penduduk dunia saat itu. Di Eropa dikenal dengan sebutan wabah maut hitam karena sangat banyak korban yang tewas akibat wabah tersebut.
Akibat wabah Amwas tahun 639 M dan wabah besar tahun 1348 M itu, lahirlah kitab-kitab klasik para ulama Islam saat itu yang membahas tentang wabah menurut penafsiran agama. Kini, kitab-kitab klasik tentang wabah itu banyak dipelajari di pesantren-pesantren.
Oleh karena itu, para ulama Islam saat ini sudah memiliki banyak rujukan dalil, baik dari Al Quran, Hadis Nabi Muhammad SAW, maupun pendapat ulama salaf/dahulu dalam menghadapi Covid-19.
Maka, Darul Ifta Mesir tidak ragu-ragu langsung mendukung secara legalitas keagamaan keputusan Pemerintah Arab Saudi pada 27 Februari lalu untuk menghentikan sementara kegiatan ibadah umrah di Masjidil Haram, Mekkah. Darul Ifta adalah lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa-fatwa agama di Mesir sesuai dengan perkembangan dan tantangan dunia modern.
Keputusan menghentikan sementara ibadah umrah itu merupakan keputusan besar pertama Arab Saudi terkait kegiatan ibadah keagamaan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Kemudian diikuti fatwa agama dari hampir semua negara berpenduduk mayoritas Muslim yang mengizinkan meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur, serta menyerukan tidak melakukan shalat berjemaah pada shalat lima waktu.
Baca juga: Ratusan Ribu Orang Jadi Relawan Lawan Covid-19
Bermula dari keputusan Kementerian Waqaf Kuwait pada 14 Maret 2020 yang memutuskan membolehkan tidak shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur, serta menyerukan tidak melaksanakan shalat berjemaah lima waktu.
Para ulama besar Al-Azhar kemudian pada 15 Maret 2020 mengeluarkan fatwa membolehkan meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur, serta mengimbau tidak menjalankan shalat berjemaah dalam shalat lima waktu.
Menurut para ulama Al Azhar, ada dua halangan atau uzur yang memperbolehkan seseorang meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjemaah, yaitu ketakutan dan sakit. Salah satu dalil nash yang dijadikan acuan adalah hadis riwayat Abu Dawud yang menjelaskan bahwa menurut Rasulullah SAW, halangan shalat adalah sakit dan takut.
Selain itu, para ulama juga mengiaskan dengan dalil lain dalam hadis Al Bukhari bahwa Rasulullah SAW juga pernah meminta orang keluar dari masjid dan shalat di rumah saja karena ia baru saja makan bawang karena baunya dapat mengganggu orang lain.
Dari Jabir bin Abdullah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda, 'Orang yang makan bawang putih atau bawang merah, maka jauhkanlah diri kalian dari kami (dalam riwayat lain: dari masjid kami), dan menetaplah di rumah'. (H.R Al Bukhari)
Sehari setelahnya, pada 16 Maret 2020, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa serupa. Ketua Dewan Fatwa MUI Hasanuddin mengatakan, setiap Muslim yang berada di daerah berpotensi terjangkit Covid-19 diizinkan meninggalkan ibadah shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur.
Beberapa negara Islam lalu mengeluarkan fatwa serupa, seperti Turki, Uni Emirat Arab (UEA), Malaysia, Arab Saudi, Palestina, Jordania, Tunisia, Qatar, Oman, Bahrain, dan Iran.
Seperti halnya para pemuka agama Islam, para pemuka agama Yahudi juga mengeluarkan fatwa agama yang menyerukan melaksanakan ibadah di rumah dan hindari kerumunan massa meskipun untuk tujuan ibadah. Para rabbi/pemuka agama Yahudi di Israel menyerukan agar rakyat Israel tidak pergi ke sinagoga untuk menghindari kerumunan massa dalam beribadah.
Pemerintah Israel sejak pertengahan Maret lalu membatalkan semua perayaan agama Yahudi untuk mencegah kerumunan massa yang sangat berpotensi penyebaran Covid-19. Para rabbi melalui media sosial mendukung keputusan Pemerintah Israel tersebut dengan cara memberi penafsiran menurut agama Yahudi. Hingga Rabu (25/3/2020), jumlah korban positif Covid-19 di Israel sudah mencapai 2030 orang.
Seperti hal pula pemuka agama Islam dan Yahudi, pemuka agama Kristen juga menyerukan umat Kristiani menjalankan ibadah di rumah. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia menyerukan umat Kristiani tidak melaksanakan ibadah Minggu di gereja.
Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom mengungkapkan, PGI sudah mengeluarkan edaran sejak 16 Maret lalu yang mengimbau umat Kristiani melakukan ibadah Minggu di rumah masing-masing, tidak berkumpul di Gereja.
Di Palestina, Patriarch Latin Jerusalem menyerukan kegiatan ibadah Minggu di rumah masing-masing. Patriarch Latin Jerusalem mengeluarkan aturan, jika terpaksa dilakukan perayaan agama, massa yang hadir tidak boleh lebih dari 15 orang dan jarak antara satu dan lain orang harus lebih dari 1 meter.
Otoritas Palestina sejak 12 Maret lalu menutup Gereja Nativity di Bethlehem untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar