Industri perbankan kembali memasuki masa gelap tahun ini setelah krisis ekonomi 1998 dan krisis keuangan 2008. Tahun ini, penyaluran kredit perbankan akan makin seret karena likuiditas di pasar sangat terbatas. Perbankan juga sepertinya akan lebih fokus menahan angka kredit macetnya tidak melonjak di tengah kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia.
Padahal, dengan fungsi intermediasinya, perbankan sebenarnya sangat diharapkan bisa memanfaatkan momentum perdagangan dunia yang tengah mandek dan sekaligus menahan pelemahan ekonomi nasional. Wabah Covid-19 telah membuat Indonesia kesulitan mengimpor bahan baku dan bahan penolong, terutama dari China, yang membatasi aktivitas ekonominya sejak Covid-19 melanda negara tersebut.
Dalam kondisi saat ini, perbankan seharusnya bisa mengambil kesempatan dengan lebih banyak menyalurkan kredit. Utamanya untuk mengembangkan produk-produk substitusi impor di dalam negeri.
Misalnya, perbankan menyalurkan kredit lebih besar ke industri tekstil dan produk tekstil nasional agar kapasitas produksinya bisa meningkat sehingga bisa mengisi kekosongan pasokan produk tekstil dari impor. Namun, hal ini sulit diharapkan karena kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit kian melemah.
Faktor utama lemahnya penyaluran kredit perbankan adalah likuiditas. Kondisi ini sebenarnya telah terasa dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak 2015, rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposits ratio/LDR) cenderung tinggi dan berada di atas batas aman. Puncaknya pada 2019, LDR perbankan sebesar 94,43 persen, di atas batas aman 92 persen.
Faktor utama lemahnya penyaluran kredit perbankan adalah likuiditas.
Tingginya LDR tersebut bukan disebabkan oleh ekspansifnya perbankan menyalurkan kredit. Terbukti selama periode 2015-2019, penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh rata-rata 8,9 persen, jauh di bawah periode 2010-2014 yang sebesar 20,9 persen. Pada 2019, pertumbuhan kredit tercatat sebagai yang terendah sejak krisis 1998, yakni hanya 6,08 persen.
LDR menjadi tinggi karena pasokan dana pihak ketiga (DPK) sangat terbatas. Sepanjang 2015-2019, pertumbuhan DPK rata-rata berkisar hanya 6-9 persen, sedangkan pada 2010-2014 rata-rata 16 persen.
DPK merupakan sumber utama pendanaan perbankan. Bank memang masih bisa mencari sumber pendanaan lain, misalnya dengan menerbitkan obligasi dan menjual saham. Namun, jumlah dana yang didapat dari kedua upaya itu terbatas dan tidak bisa sebesar DPK.
Jadi, karena DPK yang bisa dihimpun bank sangat terbatas, kapasitas bank menyalurkan kredit akhirnya juga tak besar. Pertanyaannya sekarang, mengapa DPK yang bisa dihimpun bank selama periode 2015-2019 tidak besar?
Hal ini terjadi karena likuiditas atau uang yang beredar di masyarakat dan sistem perbankan tidak sebanyak sebelumnya. Sejak 2015, pemerintah banyak menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan suku bunga yang lebih menarik ketimbang deposito perbankan.
Akibatnya, banyak nasabah yang menarik dananya dari bank untuk dibelikan SBN. Nah, dana masyarakat yang masuk ke SBN dalam kurun waktu tertentu akan disimpan di Bank Indonesia sehingga keluar dari sistem perbankan. Inilah yang membuat likuiditas di pasar keuangan menjadi terbatas dan cenderung ketat.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, SBN neto yang diterbitkan pemerintah sepanjang periode 2015-2019 rata-rata sebesar Rp 297 triliun dengan yang tertinggi pada 2019, yakni Rp 360 triliun. Penerbitan SBN neto selama periode 2015-2019 jauh lebih besar dibandingkan dengan periode 2010-2014 yang rata-rata hanya Rp 128 triliun.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo selama periode pertama memang berutang besar-besaran melalui penerbitan SBN berdenominasi rupiah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di seantero Indonesia. Namun, dampaknya, likuiditas di pasar tersedot ke rekening pemerintah sehingga DPK yang dihimpun perbankan menjadi terbatas.
Pada 2020, sesuai APBN, pemerintah berencana menerbitkan SBN neto sebesar Rp 389,3 triliun. Pemerintah bisa berutang lebih besar jika tak ada pengalihan dana untuk penanganan wabah Covid-19 yang dianggarkan sebesar Rp 118,3 triliun-Rp 121,3 triliun.
Fokus bank
Dengan adanya wabah Covid-19, pemerintah kemungkinan akan berutang lebih besar pada tahun ini. Ini berarti akan semakin banyak SBN yang diterbitkan. Dampaknya, likuiditas di pasar akan semakin kering sehingga perbankan pun makin sulit menghimpun DPK. Ujungnya, perbankan akan semakin mandul dalam penyaluran kredit.
Likuiditas di pasar tersedot ke rekening pemerintah sehingga DPK yang dihimpun perbankan menjadi terbatas.
Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan telah memahami hal ini. Itulah mengapa dalam pemberian stimulus kepada perbankan sebagai kebijakan kontra siklus dampak penyebaran Covid-19 tidak ada yang sifatnya mendorong penyaluran kredit.
Stimulus yang diberikan lebih ditujukan agar kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan tidak membesar, yakni dengan memperlonggar aturan penilaian kualitas kredit dan restrukturisasi kredit.
Adapun insentif moneter yang diberikan Bank Indonesia dengan menurunkan suku bunga acuan juga tidak serta menurunkan suku bunga kredit karena transmisinya biasanya memakan waktu selama 18 bulan. Ini membuat debitor sulit mendapatkan kredit dengan bunga yang lebih rendah dalam waktu dekat.
Ketimbang menyalurkan kredit, perbankan sepertinya akan lebih fokus menangani kredit-kredit bermasalah yang akan muncul. Wabah Covid-19 bakal membuat perekonomian Indonesia dan dunia makin terpuruk. Perdagangan dunia yang terganggu akan membuat kinerja ekspor-impor menurun.
Ketimbang menyalurkan kredit, perbankan sepertinya akan lebih fokus menangani kredit-kredit bermasalah yang akan muncul.
Dampaknya, proses produksi perusahaan menjadi terganggu. Pembatasan sosial untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 juga akan mengurangi kinerja perusahaan. Alhasil, penerimaan perusahaan akan anjlok sehingga mengurangi kemampuan perusahaan dalam membayar utang ke bank. Berdasarkan data OJK, NPL perbankan per Desember 2019 sebesar 2,52 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar