Secara sederhana, demokrasi adalah people power. Ada kejanggalan wacana people power yang dientakkan Prof Amien Rais, lalu ada kegaduhan. Ada dislokasi wacana people power yang mengisyaratkan demokrasi kitalah yang sebetulnya justru bermasalah.
Terminologi people power setara dengan popular control ataupun kontrol publik. Kontrol ini diharapkan mencakup keseluruhan siklus pemerintahan. Dalam slogan Abraham Lincoln, "dari", "oleh", dan "untuk" rakyat.
Dalam ungkapan lain demokrasi adalah artikulasi kedaulatan rakyat. Untuk merunut dislokasi, kita harus sensitif konteks dan konteks yang melatari kegaduhan adalah pemilihan umum, termasuk di dalamnya pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Dari segi artikulator, entakan wacana ini dilakukan oleh begawan demokrasi negeri ini lebih dalam kapasitasnya partisipan, daripada pengamat atau komentator.
Dalam posisi, mengentakkan wacana people power, adalah 100 persen sah, sebagai pilihan strategi berpartisipasi dalam demokrasi yang ingin dia wujudkan. Kegaduhan menyeruak ketika pewacanaan people power terartikulasikan sebagai sebentuk ancaman atau ultimatum.
Ada yang merasa ancaman itu dialamatkan kepada penguasa atau pemegang kekuasaan pemerintahan yang kebetulan saat ini ikut dalam kontestasi. Dalam konteks inilah kegaduhan berlangsung. Agar tidak memperpanjang kegaduhan, tulisan ini hendak menyeriusi ancaman hakikinya.
Bahwa voting ataupun pemilu sejatinya desain untuk mengartikulasikan people power melalui kesepakatan prosedural. Siapa yang paling banyak pendukung, dialah penentu. Ketika kesepakatan untuk berebut kekuasaan melalui jalur damai (baca nir-kekerasan) yang syarat utamanya adalah taat prosedur termasuk jujur dicederai, maka people power niscaya terartikulasi secara brutal. Entah dikatakan oleh Pak Amien ataupun tidak, kapasitas people power untuk brutal itu ada.
Yang paling penting digarisbawahi, dalam kerangka pikir demokrasi, penentu brutalitas itu adalah the people; suatu untaian kebersamaan warga negara. Yang menjustifikasi keluhan Amien adalah tak kunjung tuntasnya infrastruktur bersama untuk berkontestasi secara legitimate.
Meski masih dalam dosis yang legitimate, pemilu sejauh ini masih dihantui ketakutan akan adanya praktik kecurangan. Artikulasi keluhan ini melebar jadi kegaduhan ketika ia memimpin gerakan reformasi 1990-an, entakan people power waktu itu meluluhkan tatanan otoriter. Gerakan reformasi menghadirkan dua sisi artikulasi people power.
Dari kegaduhan ini ada konsensus bahwa yang secara tegas ditolak sejatinya bukan sentralitas people power, melainkan potensi beloknya demokrasi dari jalur elektoral ke jalur jalanan.
Dua pelajaran penting
Di sini ada dua pelajaran penting. Pertama, perubahan politik yang signifikansinya kita juluki "reformasi" melibatkan dua wajah artikulasi people power. Keduanya saling terkait. Kegagalan kita berdemokrasi secara elektoral akan tumpah menjadi demokrasi jalanan.
Pak Amien mengalami kesulitan untuk menjelaskan keterkaitan di antara keduanya karena ia terjun langsung sebagai partisipan dalam kontestasi. Nuansa "we" yang merujuk "the people" menyempit maknanya menjadi kontestan. Kegaduhan berlangsung dalam lingkup kecil, para kontestan, yang memperebutkan sesuatu yang riil: kekuasaan yang ada pada the people.
Kedua, ada ironi dahsyat yang luput dari refleksi kita. Ketika para pejuang reformasi tenggelam dalam praktik-praktik pemerintahan, dahsyatnya kekuasaan "the people" sebagai pemilik kekuasaan ternyata tidak ada. Mereka adalah penonton kegaduhan. Karena itu, ada keperluan untuk menyelamatkan makna asasi people power, bukan untuk membela Pak Amien yang sedang memanen suara sumbang, melainkan karena demokrasi kita sebetulnya sumbang.
Demokrasi sumbang
Ya, demokrasi kita sumbang karena ancaman dalam penggunaan people power, sebetulnya tidak datang dari the people, melainkan dari kontestan. Perlu digarisbawahi, yang menjadikan "the people" itu powerful adalah karena sifatnya yang menyeluruh, yang menjadi fondasi keabsahan sistem. Pemilu, termasuk pilpres, memang membuka ruang untuk adu kuat dukungan, adu hebat dalam menyeret ke salah satu kubu kontestasi.
Namun, nuansa "we'" atau "the people"' hilang karena setiap diri warga negara terkonversi sebagai recehan vote. Sumbangnya demokrasi kita terjadi karena ada diskoneksi antara kewarganegaraan dan voting. Yang berharga adalah vote yang dimiliki setiap warga negara, bukan kewarganegaraan yang kita agungkan, kalau tidak kita sakralkan dengan sikap antipati terhadap kecurangan dalam voting atau pemungutan suara.
Tatkala pemilu, termasuk pilpres, masih saja menjadi milik kontestan, maka nalar demokrasi kita tidak jauh lebih baik daripada nalar demokrasi di masa pemerintahan otoriter. Perbedaan signifikannya ada suasana dalam kontestasi yang lebih fair, tetapi demokrasi tetap cacat karena pelanggaran dalam kontestasi belum kita definisikan sebagai pelecehan terhadap kewarganegaraan kita. Ketika kualitas kewarganegaraan kita sudah mencapai level ini, ancaman bagi berlangsungnya demokrasi jalanan bukan datang dari tokoh yang sekaligus kontestan, melainkan dari akal sehat atau kearifannya warga negara.
Proses demokratisasi di negeri ini mengikuti jalur liberal dan kata kunci dalam liberalisasi adalah partisipasi dan kontestasi. Dalam berdemokrasi menurut model ini, amanah leluhur untuk bermusyawarah terartikulasi dalam kegaduhan dan kesediaan untuk mengambil pelajaran dari kegaduhan ini sangat diperlukan.
Yang berlangsung sejauh ini adalah kegaduhan dalam lingkup elitis, sifatnya masih fungsional, membendung kegaduhan masif yang kita takutkan, yang terartikulasi sebagai demokrasi jalanan. Hanya saja perlu dicatat, yang harus dihindari adalah artikulasinya, agar tetap nir-kekerasan.
Yang tersisa adalah justru yang paling esensial; memastikan negeri ini tetap dalam kendali people power. Kalau artikulasinya dibalik, bagaimana para partisipan perpolitikan yang sejak awal digiring untuk partisan agar bisa berkontestasi tidak terjebak, sekadar berebut kemenangan. Ibarat tubuh yang berolahraga, tarik ulur antarotot dalam tubuh harus dilakukan, tetapi muaranya adalah tubuh yang fit atau sehat.
Dalam metafora ini, kontestasi adalah tarik ulur otot dan demokrasi adalah kesehatan yang kita peroleh. Demokrasi kita terjangkit mudah keseleo (mengalami dislokasi otot) karena tarik-menarik antar- otot tak disadari untuk menyehatkan keseluruhan tubuh, melainkan untuk keunggulan salah satu otot.
Dislokasi otot-otot demokrasi kita mudah terjadi karena kita kurang saksama dalam proses pemanasan. Karena begitu bersemangat mengikuti resep demokratisasi di sejumlah negara, hal yang pertama-tama diagendakan dalam reformasi adalah melembagakan berkontestasi antarpartai.
Yang terlewatkan adalah pendidikan kewarganegaraan. Justru karena esensi demokrasi adalah people power, parpol harus dipastikan sebagai instrumen artikulasinya.
Sebagaimana terjadi di era pemerintahan otoriter, parpol-lah yang menyiasati rakyat atau warga negara. Ketika parpol sebagai otot demokrasi liberal digenjot untuk kontestasi, kita tak boleh terkejut ketika mendapati kenyataan tubuh demokrasi Indonesia yang masih kecanduan mobilisasi harus keseleo. Dari tubuh kesakitan inilah ada ungkapan yang jika diresapi terasa sumbang.
Demokrasi elektoral mengharuskan asah kearifan warga negara, asah kecerdasan untuk hadir sebagai kolektivitas. Pilpres sudah dekat dan pengembangan kewarganegaraan tak bisa diselenggarakan dalam hitungan hari. Dalam siklus pengembangan demokrasi elektoral pasca-pilpres, hal ini harus menjadi agenda kunci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar