RON

Sawitri Supardi Sadarjoen

 

Saat menghadapi kehancuran perkawinan, K (laki-laki, 35 tahun) terkaget-kaget. Ia pun menjadi depresi dan mengalami kecemasan. Akhirnya ia memutuskan untuk menjalani psikoterapi.

Sebelum terjadi perceraian, K bersama istrinya, L (32 tahun), mengikuti konseling perkawinan untuk memperoleh pertolongan demi kesembuhan dan belajar dari pengalaman dalam perkawinan mereka yang menyakitkan.

Proses konseling tersebut menyebabkan K jujur terhadap diri sendiri dan istrinya. Ia membuka diri bahwa rasa sakit hati disebabkan oleh kecenderungan dirinya menipu diri sendiri.

Sebenarnya K tidak pernah melakukan hubungan intim dengan N (perempuan, 29 tahun), tetapi relasi yang terjalin mengandung unsur erotis dan romantis. L membujuk K untuk secara terperinci menceritakan hubungan mereka kepada L. Atas desakan L, K pindah kerja ke kantor lain sehingga K tidak dapat lagi berhubungan dengan N.

K juga menceritakan kepada L tentang pengalamannya bersama N dan menjelaskan alasannya mengakhiri hubungan dengan N. K merasa harus bersikap setia kepada L. Ia tidak ingin menyakiti L, istrinya.

Pengungkapan K ternyata menyebabkan hati L sakit. Untuk itu, dibutuhkan waktu panjang dan proses yang lamban sampai K memperoleh kembali kepercayaan L serta membuat L merasa dicintai dan dipilih dibandingkan dengan N.

Pada dasarnya mereka tidak secepat itu beralih dari efek negatif perselingkuhan K. Mereka dapat mengatasi dan menumbuhkan kembali keintiman relasi dengan upaya K yang luar biasa. K juga berkomitmen untuk selalu berbicara jujur tentang masalah terkait dengan perkawinan mereka.

Namun, usaha itu tidak selalu berhasil baik. Titik paling penting adalah L mendapat peluang untuk mengungkapkan perasaan. Ia memiliki keberanian untuk menyatakan ketidaknyamanannya selama proses perbaikan relasi mereka.

L sangat jujur kepada dirinya sendiri dan juga kepada K. Dia mengklarifikasi pikiran-pikiran dan perasaannya tanpa merasa terpojok pada posisi mengambil jarak. Ia mencari cara untuk tidak selalu saling menyalahkan.

L telah berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan kesempatan terbaik bagi kesuksesan perkawinannya. Dia berpegang pada kekuatannya sendiri ketika berpikir bahwa ia harus mengakhiri perkawinannya. Dengan keputusan yang tegas, akhirnya L meninggalkan K.

Dari permasalahan perkawinan K dan L, kita mendapatkan ilustrasi bahwa hanya dengan membuat pikiran dan perasaan kita jelas untuk diri kita sendiri, maka kita bisa terhindar dari kehidupan yang menyiksa diri secara berkelanjutan, tanpa kepastian sikap dalam mengambil keputusan.

Tidak ada jalan pintas untuk mengatasi masalah perkawinan. Tidak mungkin juga kita berangkat dari hasil refleksi pikiran dan perasaan saja. Respons terbaik akan selalu menyatakan bahwa dengan berjalannya waktu, kita dapat memastikan posisi kita dalam dua kemungkinan alternatif keputusan: bertahan atau melepaskan diri.

Kadang kala kita bisa mendapatkan kejelasan tentang posisi kita, dengan bergulat dengan kesulitan dan ketidaknyamanan perasaan. Hal itu mendorong kita untuk mengungkapkan atau mengambil keputusan dengan gegabah. Tantangannya adalah untuk menyalurkan kecemasan yang mendorong kita berperilaku reaktif.

Ketahuilah, apabila kita sampai pada perkawinan yang sudah berlangsung beberapa tahun, maka kejelasan akan diri jarang sekali akan mencapai nilai seratus persen. Saya (sebagai konselor) bekerja dengan beberapa pasangan perkawinan yang memiliki kesimpulan yang buruk tentang apa yang benar dan pentingnya meninggalkan perkawinan.

Perempuan kerap mengungkapkan keputusan akhir yang merupakan suara yang muncul dari kepalanya dan mengatakan "mungkin ada suatu keharusan yang lebih baik saya lakukan agar perkawinan saya ini berjalan baik", "mungkin dia akan berubah suatu saat", "mungkin ini adalah suatu kesalahan besar yang akan membuat anak-anak saya benci kepada saya".

Apa yang terjadi kemudian ternyata kata "mungkin dan mungkin…" menjadi semakin kecil dan semakin lemah sehingga keputusan untuk meninggalkan perkawinan semakin besar kadarnya.

Bahkan, jika kita telah memperoleh kejelasan dan kekuatan untuk meninggalkan relasi perkawinan, kita pun tetap akan mengalami perasaan sakit yang ambivalen dan membuat diri kita meragukan keputusan kita itu.

Jangan mengancam, bicarakan
"Bila kamu tidak berubah, saya tidak yakin saya akan tetap bertahan pada perkawinan ini!" Ungkapan itu adalah suara dari lubuk hati paling dalam. Orang kerap mengancam bercerai sebagai upaya melerai suasana panas penuh kemarahan.

Padahal, cara itu tidak akan memberikan pertolongan dan terasa tidak adil. Jangan pula Anda mengangkat masalah perceraian sebagai upaya untuk menghukum, menakut-nakuti, membentuk atau menggoyahkan perasaan pasangan.

Seyogianya kita tidak merasa terpaksa melontarkan kata cerai semudah itu karena cara tersebut hanyalah spontanitas sesaat. Banyak orang yang menikah menggunakan fantasi tentang perceraian sebagai penghibur hati lara. Padahal, sebenarnya mereka berada jauh dari keinginan bercerai.

Jadi, bicara tentang perceraian adalah penting jika kita telah memikirkan secara serius walaupun masih bernuansa ambivalen. Kita butuh pertimbangan untuk berbagi tentang pergolakan batin kita dengan pasangan kita.

Apabila memang benar kita ingin mengakhiri perkawinan, akan lebih baik jika pasangan kita mampu mengatasi rasa kehilangan, mengantisipasi, serta merencanakan apa yang akan dia lakukan setelah perceraian itu terjadi.

Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui seberapa besar taruhan yang harus mereka atasi jika mereka memilih untuk tetap bertahan pada ikatan perkawinan. Kita berutang kepada pasangan kita untuk secara jujur mengungkap perasaan tentang permasalahan yang sedemikian dalamnya berpengaruh pada kehidupan perkawinan.

Saya telah melihat beberapa orang laki-laki yang tersiksa perasaannya dan memutuskan untuk menjalani terapi segera setelah istrinya meninggalkan mereka. Mereka galau. Demikian pula keadaan (mantan) istri-istri mereka.

Para perempuan ini mengungkapkan bahwa mereka juga masih menderita kemarahan dan tidak puas pada perceraian itu.

Mereka bahkan merasa tidak benar-benar mendengarkan apa yang disampaikan suami, juga belum berbagi pemikiran tentang perceraian dengan cara yang jelas di dalam prosesnya.

Sering istri tidak terlalu menganggap perceraian sebagai isu serius sampai mereka akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri perkawinannya.