Dengan dalil apa pun yang sudah menjadi konsensus nasional, pelaksanaan Pemilu 2019 ini menjadi istimewa karena kontestan harus mengampanyekan dua pemilu sekaligus, yaitu pileg dan pilpres. Apalagi pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, selain mengampanyekan diri (para calon) untuk dipilih, termasuk partainya, juga harus mengampanyekan pasangan capres-cawapres yang diusung partainya.
Kondisi ini tentu tak mudah karena ada dua misi sekaligus yang harus dijalankan. Padahal, upaya meyakinkan rakyat untuk memilih dirinya menjadi anggota DPR/DPRD saja tidaklah mudah. Salah satu hal yang harus dirasakan oleh para calon anggota legislatif ini adalah "kurang populernya" pileg dibandingkan dengan pilpres.
Kelebihannya, dengan keserentakan ini, partai politik dan/ atau para calon anggota DPR/ DPRD memperoleh keuntungan (advantage) dari kepopuleran atau bahkan elektabilitas dari pasangan capres dan cawapres yang diusung partai politiknya. Hal itu yang kemudian disebut sebagai coat tail effect (pengaruh ekor jas). Lalu, apa maksudnya pengaruh ekor jas tersebut?
Dalam konsep ilmu politik, sebenarnya coat tail effect atau bisa juga disebut down ballot effect adalah kecenderungan bagi pemimpin politik yang populer yang dapat memberikan pengaruh bagi perolehan suara calon anggota legislatif dalam pemilu yang biasanya dari partai yang sama.
Sebagai contoh pada pelaksanaan pemilu di Amerika Serikat, yaitu partai yang berhasil memenangi pemilu presiden, maka relatif akan memperoleh kursi terbesar di kongres. Kondisi ini terjadi juga pada level pemilu di bawahnya, seperti dalam pemilihan gubernur atau bahkan berlaku di sistem parlementer, seperti terjadi di Inggris dan Kanada di mana masyarakat memiliki kecenderungan memilih yang menjadi basis dari perdana menteri.
Secara harfiah, konsep coat tail effect ini bermula dari sebuah cerita seseorang yang bernama Warren Harding yang merupakan seorang editor surat kabar di kota kecil Marion, Ohio, AS, yang tengah ikut pemilu senat tahun 1899. Harding bersaing dengan Harry Daugherty, orang yang cerdas dalam dunia politik dan terkenal sebagai orang di belakang layar. Keduanya berbincang serius dan Daugherty tertarik dengan penampilan Harding yang dianggapnya cocok menjadi seorang presiden.
Dalam usia 35 tahun, Harding memiliki postur tubuh ideal dan berpenampilan menarik sehingga memiliki daya tarik untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan kondisi tersebut, Harding berhasil menjadi senator tahun 1914, bahkan menjadi Presiden AS melalui kemenangan dalam konvensi Partai Republik tahun 1920. Tragisnya, Harding hanya menjabat dua setengah tahun karena meninggal akibat stroke.
Penyederhanaan sistem kepartaian
Melalui penjelasan di atas, maka sejatinya ketika pemilu dilaksanakan serentak akan berdampak terhadap partai- partai pengusung kedua pasangan capres dan cawapres. Berdasarkan survei beberapa lembaga survei terhadap elektabilitas partai politik, terlihat partai yang memiliki calon presiden dan/atau wakil presiden memperoleh elektabilitas cukup tinggi.
Seperti hasil survei Polmark Indonesia yang dilaksanakan rentang waktu Oktober 2018- Februari 2019 di 73 daerah pemilihan (dari seluruhnya 80 dapil) yang menempatkan PDI-P dan Partai Gerindra memperoleh dua persentase tertinggi, masing-masing 28,6 persen dan 14,1 persen. Sementara parpol anggota koalisi lainnya juga memperoleh nilai yang melampaui ambang batas 4 persen.
Golkar memperoleh 13,5 persen, PKB 11,5 persen, Nasdem 5,6 persen, dan PPP 4,5 persen. Partai-partai tersebut tergabung dalam koalisi yang mengusung pasangan Joko Widodo- Ma'ruf Amin. Sementara koalisi pengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, selain Gerindra yang memperoleh elektabilitas di atas 4 persen adalah Partai Demokrat 6,9 persen, PAN 5,9 persen, dan PKS 4,6 persen.
Apakah angka-angka itu gambaran dari adanya coat tail effect? Tentu jawabannya harus dibuktikan pada pemilu 17 April mendatang. Meski demikian, yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan pemilu serentak antara pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan dengan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden merupakan sebuah upaya dalam menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen sebagaimana hasil studi Mark Payne (2002). Apalagi pemilu serentak ini sangat terkait dengan model sistem pemerintahan.
Menurut Sri Soemantri, sistem pemerintahan yang berbeda akan membawa implikasi terhadap pelaksanaan pemilunya. Secara umum, relasi antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemilu (legislatif dan presiden) yang digunakan di suatu negara, termasuk Indonesia, merupakan sebuah hubungan saling terkait. Apalagi jika pilihan penyelenggaraannya adalah serentak, maka akan berdampak pada sistem dan mekanisme kerja kepartaian, penyelenggaraan pemerintahan yang pada gilirannya akan memperlihatkan performa sistem presidensial itu sendiri.
Sistem presidensial
Upaya untuk semakin meningkatkan kualitas pelaksanaan pemilu dan hasilnya yang tak hanya prosedural, tetapi juga substansial, tentu jadi tanggung jawab bersama, terutama partai peserta pemilu serta pasangan capres dan cawapres. Sebab, pilihan sistem pemerintahan dan sistem pemilu ini akan memiliki konsekuensi bagi penyelenggaraan pemerintahan negara itu sendiri.
Ketika kita memilih sistem pemerintahan presidensial, maka kelebihannya harus benar- benar terwujud pada penyelenggaraan pemerintahan negara. Arend Lijphart menyatakan bahwa terdapat kelebihan sistem presidensial, yaitu pemerintahan akan berjalan dengan stabil dan pemerintahan yang terbentuk akan terjaga kepemimpinannya selama masa periodenya (fixed term).
Berikutnya, dalam sistem presidensial, pemilihan pemimpin lebih demokratis karena dipilih secara langsung. Terakhir, kelebihan sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan yang jelas yang dapat menghilangkan otoritarianisme dalam pemerintahan. Presiden dapat menyesuaikan program-programnya sesuai dengan masa periodenya.
Saat ini, fase kampanye masih berlangsung dan akan berhenti tepat tiga hari menjelang hari pemilihan 17 April 2019. Oleh karena itu, setiap calon anggota lembaga perwakilan, terutama calon anggota DPR dan DPRD, partai politik peserta pemilu, serta pasangan capres dan cawapres melalui tim kampanyenya harus benar-benar memanfaatkan masa ini dengan baik melalui penyampaian visi dan misi serta program ke depan.
Apalagi bagi partai pengusung pasangan capres dan cawapres, pemilu serentak ini merupakan arena pembuktian bahwa ide dan gagasannya akan bisa memberikan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia melalui pasangan capres dan cawapres yang diusungnya. Namun, tetap harus disadari bahwa dalam sistem presidensial, relasi antara eksekutif dan lembaga perwakilan adalah dalam kerangka checks and balances dengan tugas serta fungsi yang berbeda.
Oleh karena itu, lembaga perwakilan harus senantiasa memberikan kontrol dan masukan konstruktif pada saat pemerintahan periode baru sudah terbentuk. Sistem presidensial sebenarnya tidak mengenal istilah "partai penguasa" dan "partai oposisi". Kedudukan kedua lembaga tersebut (presiden dan parlemen) sama kuatnya dan tak bisa saling menjatuhkan. Keduanya harus berkolaborasi dalam mewujudkan ide serta gagasan terbaik yang ditawarkan dan diprogramkan oleh presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 demi Indonesia lebih baik.
Semoga apa yang kita ikhtiarkan dalam membangun Indonesia yang lebih baik dapat terwujud. Kita butuh kebersamaan dalam perbedaan tanpa saling menisbikan. Pilihan atas demokrasi harus jadi pijakan bagi berlangsungnya peradaban yang bernama Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar