Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 30 Agustus 2020

REFLEKSI BUDAYA: Geregetan Jeihan dan Sapardi (KURNIA JR)


KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Sapardi Djoko Damono dan Jeihan Sukmantoro

Geregetan itu geram, bisa juga gemas banget, tatkala kita sudah jengkel sekali tentang suatu hal yang, menurut kita, disalahpahami orang dan telah kita ajukan berbagai argumen bahwa mereka semestinya mengoreksi pandangan mereka, namun kesalahpahaman itu tetap dijadikan pegangan. Inilah yang saya tangkap dari Jeihan Sukmantoro dan Sapardi Djoko Damono, dua sahabat yang sama-sama meraih nama besar di dunia seni.

Kala itu, 2015, saya cukup intensif kontak dengan Jeihan di galerinya, Jalan Padasuka, Bandung, sehubungan dengan desain program buku dan mengalami perubahan waktu yang seakan tiada habisnya. Sang pelukis sudah menapak jenjang kemapanan, masa-masa menikmati kesuksesan tanpa ambisi yang ingin dikejar lagi.

Semua yang diimpikan seorang pelukis sudah dia raih. Nama besar yang identik dengan kemasyhuran, pengakuan dunia, materi penghargaan, serta kekayaan. Seperti yang dia tuturkan, dia duduk saja di studionya, sekelompok nyonya muda datang dari Jakarta minta dilukis. Dia siapkan kanvas, kuas, dan cat. Sret-sret-sret , lukisan potret yang khas Jeihan pun rampung. Harga dibayar. Mereka pulang. Lukisan akan dikirim ke alamat klien setelah catnya kering.

Dengan gaya menggelora yang khas dan pengakuan kata-kata, dia secara berulang-ulang, dengan gemas dan geram sekali, pengertiannya terhadap mereka yang keliru menafsirkan makna seni komersial dan seni pasaran. Suatu karya yang jelek, sekalipun dibayar mahal, tetap saja karya yang jelek dan bukan karya seni. Sementara karya yang baik dengan nilai estetika tinggi menurut standar dan kriteria tertentu, meskipun dikomersialisasi, tetap posisinya dan memiliki gengsi sebagai karya seni. Komersialisme tidak menjatuhkan nilai estetikanya.

Jeihan mentertawakan seniman dan pelukis yang terjebak idealisme yang salah kaprah. Karya belum mencapai standar nilai estetika tinggi alias belum jadi apa-apa, mereka klaim terhadap selera pasar, "ogah didikte pasar", yang disalahpahami sebagai penolakan terhadap komersialisasi karya seni. Ia menyatakan bahwa komersialisasi berbeda pengertian dengan kepasrahan didikte pasar. Pasar Manakala sudah menerima suatu karya seni, pasar bersedia membayar berapa pun harganya, tanpa mencemari hakikat nilai intrinsiknya.

Jeihan mentertawakan seniman dan pelukis yang terjebak idealisme yang salah kaprah.

Jeihan geregetan. Jeihan ngakak . Pada usia 77 waktu itu, dia menampakkan gairah dan kebugaran fisik. Wajahnya selalu berbinar. Studionya tetap dipenuhi sketsa dan kanvas-kanvas yang siap mewadahi lukisan baru. Di salah satu sudut lantai dua, ada karya seni instalasi atau patung figur Sapardi Djoko Damono, sahabat kentalnya. Bagian alat vitalnya, yang sempat membuat heboh publik, disarungi. Patung Sapardi dengan kelamin gede itu memang sempat membetot perhatian publik. Sang penyair juga ngakak akibat hasil keprigelan tangan sang maestro.

Seperti Jeihan, Sapardi juga menyimpan rasa geregetan sebagai sastrawan dan pemikir kesenian. Dalam rentang waktu 27 tahun, bermula pada 1988 hingga awal 2015, ia geregetan atas satu hal, yaitu pola analisis sastra Indonesia oleh A Teeuw, khususnya pada buku Sastra dan Ilmu Sastra yang dijadikan buku teks di Fakultas Ilmu Budaya UI, dan mungkin juga di perguruan tinggi lain.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Lima maestro (dari kiri ke kanan), A Mustofa Bisri, Acep Zamzam Noor, Zawawi Imron, Sapardi Djoko Damono, dan Jeihan Sukmantoro, berbincang saat pembukaan pameran Lima Rukun di Jeihan Studio, Bandung, Sabtu, 28 September 2013.

Tahunnya 1988. Saya ingat, pagi itu Sapardi mengenakan jas hitam menutup kemeja putihnya. Kami duduk di sofa ruang jurusan sastra Indonesia. Saat diledek Harimurti Kridalaksana, " Lho , tumben pakai jas?", Ia bilang badannya sedang greges-greges — menggigil akibat masuk angin.

Kala itu, kami memperbincangkan metode strukturalisme dalam kajian karya sastra. Ia langsung menyebut nama Teeuw, sarjana Belanda yang sangat produktif melakukan kajian dan menulis tentang sastra Indonesia klasik dan modern. Dengan nada geregetan yang khas, keluarlah istilah itu: "ngawur". Ungkapan yang satu ini, ketika dia membutuhkan, selalu diucapkan Sapardi dengan gestur kocak, tetapi ia sendiri sebetulnya sedang serius.

"'Ngawur' itu A Teeuw. Mana mungkin melakukan pendekatan dan analisis terhadap karya sastra Indonesia dengan metode strukturalisme! Tradisi sastra kita tak cocok untuk dibedah dengan cara seperti itu tanpa dari lingkungannya. " Begitulah kira-kira argumennya. Kala itu saya tidak sependapat. Maklum, sebagai mahasiswa, saya sedang antusias pada teori-teori sastra Barat yang tidak terpisahkan dari tren filsafat Barat sejak Aristoteles hingga periode para filsuf Marxis dan kaum eksistensialis yang, dalam minat saya ketika itu, memuncak pada Umberto Eco dengan teori semiotika, ditambah dengan teori resepsi estetika yang sangat menarik.

Tradisi sastra kita tak cocok untuk dibedah dengan cara seperti itu tanpa harus dari lingkungannya.

Sanggahan saya terhadap Sapardi, jika diringkas, kira-kira begini: "Apa salahnya dengan metode? Itu, kan, hanya pilihan. " Bahkan, diam-diam, saya sempat menuduh dia hanya tak nyaman dengan kompleksitas filsafat Barat, termasuk cara mencabut karya seni dengan konsep-konsep filosofis karena dia hanya cenderung pada narasi dan deskripsi sederhana. Tuduhan ini sebenarnya ada di benak sebagian mahasiswanya, paling tidak di kalangan yang saya kenal kala itu. Tudingan yang kekanak-kanakan, tentu saja.

Seingat saya, dia ingin mengatakan bahwa dia tidak rela mahasiswa kita diracuni dengan contoh analisis yang ditunjukkan Teeuw atas karya sastra kita berdasarkan metode ilmiah Barat. Dengan pisau bedahnya, karya sastra dicacah sesuka hati, atau ibarat seonggok obyek yang diasingkan dari hakikat dan asal-usulnya di bawah organon optik di meja preparat. Akibatnya, karya sastra malah tak bisa bicara kepada publiknya.

Sapardi sendiri mengajar mata kuliah Pengkajian Puisi, Sosiologi Sastra, dan Sastra Bandingan. Dari Sastra Bandingan dia kelak mengembangkan mata kuliah baru yang mengajar di IKJ, yaitu Alih Wahana. Buku Alih Wahana membuktikan kepiawaiannya menaklukkan kompleksitas naratif dalam teori kritik ke dalam deskripsi yang sederhana, namun tetap menukik.

Bertahun-tahun apa yang digerutukan Sapardi tidak pernah lenyap dari benak saya. Ada juga pertanyaan, kenapa dia tak juga menulis buku untuk "menggusur" Teeuw dari ruang kuliah sastra Indonesia?

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sapardi Djoko Damono bercerita tentang dunia sastra di Indonesia kepada mahasiswa dari sejumlah kampus di Bandung saat acara Lego Ergo Scio di Kotabaru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/5/2015). Dirinya mengatakan bahwa hanya media massa cetak Indonesia yang paling banyak memberi ruang sastra dibandingkan media cetak negara lain di Asia Tenggara sehingga tempat menulis sastra di Indonesia lebih leluasa.

Pada 2015, saya bertemu dengan Sapardi di rumah Jeihan di Cigadung, Dago. Hari itu, tanggal 19 Februari, adalah hari lahir Asih, istri sang pelukis. Ada acara sederhana dengan mengundang beberapa teman. Pulangnya, saya menumpang mobil yang mengantarkan Sapardi — fasilitas dari IKJ. Di sepanjang Jalan Tol Cipularang – Jagorawi, Sapardi kembali mengkritik Teeuw. Keluar lagi ungkapan "ngawur" yang jenaka setelah lama tak saya dengar. Perjalanannya yang panjang membuat percakapan tentang "ngawur" itu punya waktu untuk menggapai kedalaman.

Kali ini sapardi lebih siap mengkritik Teeuw secara lebih sistematis. Seakan-akan di benaknya telah terbentuk semacam kubah pemikiran pemikiran mengenai topik ini. Mungkin karena sistematika yang luas dan rumit itu hanya menyebutkan ragangannya saja kepada saya, tentang asal-usul dan kesadaran akan sejarah sastra Nusantara yang membentuk tradisi panjang. Juga tentang teori kritik yang membumi. Dengan "pengantar" ringkas tentang poin-poin tersebut, saya memahami suatu konsep tentang metode kritik sastra Nusantara yang seharusnya dikoreksi.

Kali ini saya sependapat dengan tuduhan "ngawur" Sapardi. Apalagi, sebelumnya, saya sendiri sudah menangkap sisi lemah kajian sastra Teeuw. Analisis puisinya di dalam buku Tergantung pada Kata , salah satu bacaan wajib bagi para mahasiswa sastra Indonesia, menurut saya, gagal memaknai imaji puisi kontemporer Indonesia. Tafsir budaya yang dia terapkan atas sajak-sajak para penyair Indonesia, pada sejumlah kasus, keliru dan menyesatkan, tetapi dia nekat jalan terus.

Tafsir budaya yang dia terapkan atas sajak-sajak para penyair Indonesia, pada sejumlah kasus, keliru dan menyesatkan, tetapi dia nekat jalan terus.

Pengenalan Teeuw tentang kultur lokal yang melatari imaji para penyair kita minimum sehingga, ketika memaksakan metode kritik ilmiah dari Barat, ia gagal total. Sarjana sastra klasik Nusantara dari Leiden ini rupanya terlalu asyik dengan buku-buku sastra sampai-sampai dia alpa mendalami antropologi dan etnologi Nusantara sebagai ilmu bantu yang vital.

Ganjalan batin yang membuat Sapardi geregetan selama puluhan tahun telah mewujud sebagai narasi yang terstruktur. Dia tinggal siap waktu dan konsentrasi untuk mengatur kubah abstrak itu jadi sebuah buku yang konkret.

Saat saya tanyakan kenapa tidak disusun saja pemikirannya itu menjadi buku yang komprehensif, Sapardi mengelak. Saya kira sementara itu alasannya cukup jelas: keterbatasan waktu. Pada usia senja, masih aktif sebagai guru besar tetap di IKJ, dengan tubuhnya yang ringkih, Sapardi tetap bekerja keras diisi hari-harinya.

Bukan hanya menulis, dia juga menerbitkan sendiri karya-karyanya, termasuk buku Tirani Demokrasi danSlamet Rahardjo . Asistennya, Sulaiman, dengan tangkas mengatur ISBN di Perpustakaan Nasional, bolak-balik ke percetakan, menerapkan buku ke pasar, dan lain-lain. Hingga berita tersiar wafatnya sang penyair sekaligus profesor ini, tak saya dapati buku penting itu terwujud.

Seakan-akan dia biarkan rasa geregetan itu tetap terkurung dan meronta-ronta di relung batinnya dan dibawa ke alam kekal tanpa bisa dilepaskan kepada publik.

(Kurnia JR Pujangga)

Kompas, 30 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

RESENSI BUKU: Bukan Kuburan Kata-kata (ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN)


Sampul buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat (Diva Press, 2020)

Judul Buku: Nisan Annemarie (puisi)

Penulis: Binhad Nurrohmat

Penerbit: Diva Press, Yogyakarta

Tahun: April 2020

Tebal  xxii + 198 halaman

ISBN: 978-602-391-918-5

luka ngucap dalam badan/kau telah membawaku/ke atas bukit, ke atas karang, ke atas gunung, ke bintang-bintang/lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/untuk kuburmu alina//untuk kuburmu alina/aku menggali-gali dalam diri/raja dalam darah mengaliri sungai-sungai/mengibarkan bendera hitam/menyeka matahari/membujuk bulan/teguk tangismu alina//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur/laut pergi ke sungai membawa kubur-kubur/sungai pergi ke akar, ke pohon, ke bunga-bunga/membawa kuburmu alina ("Perjalanan Kubur" – Sutardji Calzoum Bachri)

Kubur(an) barangkali sebuah tempat yang kerap menyisakan sejumlah misteri, enigma, atau dipenuhi dengan keganjilan. Sebagai peristirahatan terakhir setiap insan, menyisakan gema dengan auranya tersendiri. Sebagaimana juga takdir, metamorfosis kematian—yang berujung pada kuburan menyimpan sejumlah amsal dan riwayat.

Kuburan mungkin hanya seonggok benda mati, yang hanya berisi nama, tanggal lahir dan kematian. Namun, justru aura setiap individu yang pernah bersinggungan atau katakanlah hanya sekadar mendengarnya dari sejarah turut terlibat dan masuk. Aura yang senantiasa hidup di dalam kepala, sepanjang perjalanan hidup, setiap hal yang bersentuhan dengan almarhum.

Dan tak mengherankan pula, jika sejumlah puisi bergulat dengan tema besar ini: kematian. Beberapa penyair menuliskan sejumlah puisi ihwal kematian, dengan tertib dan tenang. Bahkan beberapa di antaranya menjadikan semacam refleksi bagi diri sendiri. Binhad Nurrohmat adalah satunya.

Penyair yang lahir di Lampung dan kini menetap di Jombang, Jawa Timurm ini memang berusaha membuka tafsiran yang lain dalam puisi-puisi anyarnya. Setelah sebelumnya mengangkat tema-tema ihwal kehidupan kosmopolitan dengan lingkup kota besar yang penuh gemerlap (rendezvous) melalui buku puisi Kuda Ranjang (2004) dan Bau Betina (2007). Namun, di tahun-tahun belakangan ini, ia bergulat dengan sejumlah puisi ihwal kematian, kuburan, ataupun nisan.

Namun, di tahun-tahun belakangan ini, ia bergulat dengan sejumlah puisi ihwal kematian, kuburan, ataupun nisan.

Betapa puisi-puisinya bergeser untuk memotret sudut lain, ia mengambil tema besar sebagai muara dari kehidupan itu sendiri: kematian. Setelah buku puisi Kuburan Imperium(2019), ia kembali menerbitkan Nisan Annemarie, kumpulan puisi teranyar—dengan 171 puisi—yang membawa kesegaran kata-kata dalam puisinya.

Binhad membawa tema-tema ganjil dari banyak hal, yang mungkin tak tersentuh oleh banyak orang. Ia membawakan ruang baru dari sejumlah kematian, nisan, ataupun kuburan. Dan Binhad mengolahnya dengan tertib dan tenang, sejumlah diksinya terasa landai, namun sesekali menukik kepada substansi kehidupan. Ia menciptakan perenungan dengan pergelutannya yang tak pernah tuntas.

Nuansa sunyi dan murung yang turut melingkupi sebagian besar puisinya seakan ingin memberikan sebuah atmosfer bagi kehidupan. Ia berjarak dari segala aktivitas dan ketiadaan, namun membuat tafsir dan perenungan yang penuh dengan lanskap. Kata-katanya bergerak dan menyingkap setiap sudut, bahkan turut pula mendedahkan asal mula manusia itu sendiri.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Papan nisan di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Selasa (12/6/2020).

Satu hal yang menjadi penanda bagi puisi-puisi Binhad ialah dirinya begitu konsisten untuk tetap menuliskannya dengan marjin rata kanan. Di pelbagai puisinya, ia juga tertib untuk menuliskannya menjadi 4 bait, 3 bait, atau 2 bait dalam satu puisi.

Dan Binhad berujar tentang keasingan dari kematian: Kepada siapa kematian berkata/saat jasad dingin terbujur asing./Lahir di dunia bersanding nama/lalu mati bernisan batu anonim// ("Kepada Kuburan Anonim", hlm 63) atau dalam puisi "Pulang dari Kuburan Abdurrahman", hlm 73:Tiada di kubur bunyi ketukan mesin ketik/ memanggil peniup takdir. Apakah ziarah/ seperti kupu lepas dari kepompong kosong.// Malaikat tak berkidung dan kelopak bunga/ rebah pada tanah yang diam. Lonceng asing/ berdentangan tak membangunkan apa pun.//

Diksi "bernisan batu anonim", "kepompong kosong", "lonceng asing" (yang) berdentangan, lebih merebut suasana syahdu, penuh dengan melankoli. Keasingan yang tumbuh saat berziarah, maut yang terasa begitu dekat, dan napas kematian merupakan bagian yang sesungguhnya telah hadir dan tercatat. Bahkan saat kelahiran bermula. Kematian—dengan segala ihwal yang melingkupinya—turut hadir dan mendedahkan pesona misteri bersamanya.

Kematian—dengan segala ihwal yang melingkupinya—turut hadir dan mendedahkan pesona misteri bersamanya.

Ada sebuah lingkup kesunyian yang secara perlahan dibangun. Menggugah sebuah kesadaran diri. Semacam partikel yang terus mengapung, perpaduan antara keputusasaan dan kegairahan seseorang dalam mewarnai sebuah kehidupan.

Dunia yang hiruk-pikuk memang selalu mendedahkan ruang tersendiri, menepikan kita, dan memaksa kita kerap terperosok ke dalamnya. Sebuah ruangan tertutup, yang dipenuhi dimensi-dimensi, memaksa untuk mengetuk—berharap ada tangan yang membukanya. Meskipun kematian yang disuguhkan tidak sepenuhnya cengeng dan larat.

Buku ini terdiri atas tiga bagian. Sejumlah puisi hadir dengan gaya ungkap yang baru, meskipun terasa begitu tenang. Binhad mendedahkannya dengan sejumlah riwayat tentang kematian, juga hal ihwal bagaimana mendiang yang dikenal kebanyakan orang. Ia mengungkap kuburan, dari sisi yang berlainan: Abdurrahman, Kiai Amin Sepuh, Kiai Asyari, Nyai Ageng Pinatih, Fatimah, Munir, Baudelaire, Amangkurat, Hemingway, Walter Benjamin, Helena Petrovna, Annemarie Schimmel, Nikolai Gogol, Van Gogh, Jeihan, dan sebagainya.

Annemarie Schimmel, seorang professor (ustazah), pakar sufisme dari Jerman, sebagaimana yang dikukuhkan sebagai judul buku kumpulan puisi ini. Dari Wikipedia disebutkan bahwa Annemarie, yang meninggal di Bonn pada tahun 2003, minta dibacakan Al Fatihah sebelum meninggal. Pun kata-kata yang terpahat di nisannya dalam bahasa Parsi dan Jerman yang berarti: "Sesungguhnya manusia itu tertidur, dan ketika mereka mati, maka mereka terbangun."

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Bentuk makam Inggris di Jitra, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu, Kamis (25/7/2019).

Binhad mencatat dalam puisinya:Manusia di dunia sejenak tidur belaka/dan tersibak mata sejak tiba kematian.// Takdir membuat masa depan tak ada/ setelah semua diguratkan di belakang// Puisi ini ditutup dengan bait: Lewat kalimat kasat mendiang berucap/ pada nisan dari masa lalu yang terpahat.//Langit bertitah kepada yang kelak lindap/ sedari hayat di dunia haya lelap sesaat// ("Nisan Annemarie", hlm 142-143)

Nisan kata-kata

Setidaknya, kuburan merupakan sebuah tanda. Semacam nisan kata-kata, yang kembali menyeruakkan sejumlah ingatan ihwal perbuatan seseorang semasa hidup. Sebuah wujud penghormatan sekaligus penanda. Penanda, yang pernah diungkapkan oleh WS Rendra dalam puisinya, sebagai aktualisasi rasa hormat dan cinta, meskipun lebih lanjut disebutkan: di akhirat, di mana istriku berada, suatu kuburan tak ada maknanya.

Buku ini semacam rindu kepada kehidupan itu sendiri, memecahkan kebekuan pada hal-hal yang terasing atau mungkin dilupakan. Binhad menulis: Di cerukan tanah lapang atau tersembunyi/nama-nama sunyi seperti rupa orang asing./ Waktu di masa nanti senyap atau bersaksi/ menjelma takdir yang hadir atau berpaling// ("Muasal Kuburan Massal", hlm 97)

Buku ini semacam rindu kepada kehidupan itu sendiri, memecahkan kebekuan pada hal-hal yang terasing atau mungkin dilupakan.

Dengan kata lain, kematian merupakan pelajaran yang paling berharga, merupakan titik akhir dari kehidupan itu sendiri. Ia merupakan final dari apa yang pernah diperbuat, apa yang pernah diperjuangkan, sebagaimana yang pernah diungkapkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, "Cukuplah maut (kematian) sebagai pelajaran bagimu."

(Alexander Robert Nainggolan, Penyair dan Bekerja di Unit Pengelola Penanaman Modal dan PTSP Jakarta Barat)

Kompas, 30 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

EKOLOGI: Menata Danau Toba dengan Hati (ELIAS SITUMORANG OFM CAP)


KOMPAS/NIKSON SINAGA

Danau Toba, Sumatera Utara, 16 Juli 2019.

Di tengah pandemi Covid-19 Kaldera Toba ditetapkan menjadi UNESCO Global Geopark, Selasa (7/7/2020). Penetapan ini menjadi berkah istimewa untuk membangkitkan kembali iklim pariwisata Indonesia dan membantu pemberdayaan masyarakat lokal untuk semakin mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan, keanekaragaman hayati, dan konservasi budaya.

Penetapan ini merupakan awal kerja keras yang lebih besar. Sebab, minimal empat tahun ke depan akan dilakukan kembali penilaian oleh pihak UNESCO; apabila tidak sesuai dengan harapan, penetapan itu akan dapat dicabut kembali. Untuk itu, perlu kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat seputar Danau Toba untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan dan budaya yang ada, termasuk juga kebersihan lingkungan, salah satunya adalah menertibkan keramba jala apung yang masih menjamur di Danau Toba.

Pancaran kesejukan

Kaldera Toba merupakan salah satu situs terunik dan terluas di dunia yang terbentuk dari hasil ledakan super vulkano sekitar 74.000 tahun silam. Dasar kaldera tersebut dipenuhi dengan air. Keunikan dan keindahan Kaldera Toba yang dikenal dengan Danau Toba akan tampak jelas apabila kita sudah memasuki daerah Sibaganding dari arah Pematang Siantar menuju Parapat. Di sebelah kanan jalan tampak bentangan luas Danau Toba memancarkan keindahan. Dari Sibaganding tampak tidak saja alam sedang melukis keindahan, tetapi juga melukis kesempurnaan.

Dari Sibaganding tampak tidak saja alam sedang melukis keindahan, tetapi juga melukis kesempurnaan.

Danau Toba dengan airnya yang biru dapat dipandang sebagai simbol kelembutan. Bukit Barisan yang mengapit Danau Toba dengan batu-batunya yang keras merupakan simbol ketegasan. Ketika keduanya berpelukan mesra, ia menghasilkan kesejukan dan pesan: "Jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, selembut air dalam melayani orang lain. Hasilnya engkau pun jadi bercahaya penuh kesejukan."

Saat mengitari bibir pantai Danau Toba akan tampak juga bunga-bunga mekar nan indah yang tumbuh liar di pinggir Danau Toba. Bunga liar ini seakan tersenyum memanggil: "Hai manusia tersenyumlah karena dalam senyumlah letak kebahagiaan dan persahabatan. Lebih mudah menemukan kedamaian dengan persahabatan dibandingkan dengan permusuhan."

Hanya saja, sapaan bunga-bunga liar ini sering kurang mendapat respons. Banyak orang khususnya warga yang hidup di seputar Danau Toba kurang ramah dalam menyambut wisatawan, kurang mampu melihat perbedaan sebagai kekayaan, dan kurang menjaga kebersihan lingkungan. Suara yang keras dan temperamen yang meledak-ledak walaupun mungkin dalam hati tidak, menjadi "ancaman" bagi orang lain.

DOKUMENTASI BPODT

Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Pariwisata Arief Yahya, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (dari kiri ke kanan) meresmikan Toba Kaldera Resort di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Senin (14/10/2019).

Sedikit saja ada persoalan terutama menyangkut tanah, masyarakat langsung ribut dan tidak jarang harus mengeluarkan biaya sampai ratusan juta rupiah di pengadilan. Rasa harga diri yang teramat tinggi kadang membutakan mata hati akan nilai kedamaian dan persaudaraan. Banyak tanah adat yang tersebar luas di seputar Danau Toba tidak boleh digarap oleh siapa pun sebelum dibagi menurut adat yang prosesnya cukup rumit dan memakan banyak waktu lama karena harus menghubungi semua anggota keluarga yang ada di perantauan.

Inilah adat dan masyarakat Batak khususnya yang tinggal di tepi Danau Toba masih kuat bersendikan pada adat. Kemiskinan tidak membuat mereka terenyuh dan merenungkan kembali makna adat untuk menyejahterakan kehidupan warga. Malah sebaliknya, dalam masyarakat yang beradat dan beragama ini dikenal falsafah, "lebih baik diambil setan ketimbang kamu yang memperolehnya." Sejenis semangat antisosial yang sangat primitif.

Mengasah hati

Jauh sebelum Kaldera Toba menjadi UNESCO Geopark Global, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Danau Toba sebagai salah satu destinasi unggulan wisata di Indonesia. Penetapan ini diperkuat dengan membentuk Badan Otorita Danau Toba (BODT). Tujuan pembentukan BODT adalah agar industri pariwisata di sekitar Danau Toba dapat disinergikan menjadi sebuah paket yang terintegrasi demi kesejahteraan masyarakat lokal.

Rasa harga diri yang teramat tinggi kadang membutakan mata hati akan nilai kedamaian dan persaudaraan.

Selain untuk menyejahterakan masyarakat, pembentukan BODT bertujuan  memuliakan seluruh kekayaan alam, budaya, tradisi, dan lingkungan sekitar Danau Toba. Untuk tujuan tersebut, pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 21 triliun untuk mempercepat pengembangan fisik di kawasan wisata Danau Toba.

Proyek besar dengan mengalokasikan anggaran sekitar Rp 21 triliun merupakan kesempatan yang sangat baik untuk mengembangkan perekonomian masyarakat melalui pariwisata di kawasan Danau Toba yang cukup lama seakan tertidur pulas menyimpan keindahan dan kekayaan peradaban yang luar biasa.

BODT merupakan megaproyek yang hendak mengangkat kembali marwah Danau Toba sebagai Tao Nauli (danau yang indah). Agar proyek dan penetapan Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark sungguh berhasil, pemerintah daerah dan semua warga yang hidup di seputar Danau Toba boleh belajar dari kegagalan megaproyek menara Babel.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Presiden Joko Widodo membagikan 1.000 sertifikat hak milik tanah kepada masyarakat di tujuh kabupaten di kawasan Danau Toba, di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Selasa (30/7/2019). Kawasan Danau Toba merupakan salah satu daerah yang paling banyak lahannya tidak terdaftar. Di Samosir, hanya 4 persen bidang tanah yang telah terdaftar.

Alkisah menara Babel yang dibangun menjadi menara tinggi hingga menggapai langit, tetapi kemudian proyek itu gagal karena tidak ada kerja sama dan kesatuan hati. Megaproyek yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Sargon sekitar 6000 tahun sebelum Masehi menjadi proyek gagal karena para pembangun tak sepaham (Kejadian 11:9).

Namun, di balik proyek gagal tersebut, kisah itu menggambarkan sebuah kondisi masyarakat yang super makmur karena sama seperti masyarakat modern sekarang ini, hanya masyarakat yang makmur secara ekonomis yang mampu membuat proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, gedung tertinggi di dunia Burj Khalifa di Dubai, Royal Clock Tower Hotel di Mekkah, dan lain-lain.

Kegagalan membangun menara Babel kemudian menjadi pelajaran penting bagi Raja Sargon. Sang raja menyadari bahwa pembangunan mental jauh lebih penting daripada pembangunan fisik. Raja Sargon sampai pada satu kesimpulan penting dan sangat mendasar bahwa rakyat terutama yang pra-sejahtera harus diajari cara yang tepat untuk mencapai kesejahteraan.

Kegagalan membangun menara Babel kemudian menjadi pelajaran penting bagi Raja Sargon.

Untuk usaha ini, Raja Sargon meminta Elamites sang kanselir untuk mencari orang terkaya dan sejahtera di Babilon. Arkad, orang terkaya di Babilon pada saat itu, muncul di hadapan sang raja dan dengan tulus memberitahukan kepada Raja Sargon prinsip-prinsip utama yang perlu dipelajari oleh penduduk Babilon supaya makmur dan sejahtera. Prinsip Arkad dari Babilon adalah: temukan kesempatan, bangun hasrat membara, cintai lingkungan, manfaatkan waktu, dan belajarlah dari alam dengan hati.

Sama seperti prinsip Arkad. Agar Kaldera UNESCO Global Geopark dapat berhasil, mental dan hati pemerintah dan masyarakat sekitar Danau Toba perlu diasah dan dimantapkan. Hati yang baik akan melahirkan cinta yang tulus untuk bersaudara dan melayani dengan tulus. Sebab cinta, mencintai, dan dicintai adalah merupakan jiwa manusia.

Cinta kasih itu adalah semangat dan adalah kebahagiaan. Bahkan, mungkin kekuatan kita untuk mencintai adalah titik tertinggi dari hakikat hidup sebagai manusia. Untuk sungguh mampu mencintai, maka perlu meletakkan posisi hati dengan benar dan tepat.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Penari bersiap mengikuti geladi bersih pembukaan Festival Danau Toba di Berastagi, Karo, Sumatera Utara, Kamis (19/11/2015).

Orang yang mampu mentransformasikan cinta yang benar dalam kehidupannya pada akhirnya akan memandang dan menjalani kehidupan secara bermakna, meyakinkan, dan menggembirakan. Cinta kasih berhubungan dengan hati, itu pasti, karena di dalam hati ada unsur keindahan, semangat, dan kebahagiaan.

Agar tujuan Kaldera Toba yang telah ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark berhasil, sangat perlu memperhatikan tiga langkah. Pertama adalah menjadi tuan rumah yang baik. Artinya setiap orang yang berkunjung harus diperlakukan sebagai saudara dengan sikap hormat, disapa, dan dihargai. Sebab, pantas diketahui bahwa para turis adalah sesama manusia yang membutuhkan sopan santun.

Kedua adalah perlu membangun iklim etika bisnis yang baik dan menjamin semakin meningkatnya peluang investasi. Pemerintah harus mendorong agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mampu mendukung kondusifnya iklim bisnis dan investasi dengan aturan yang jelas dan mantap. Untuk ini, birokrasi harus bekerja keras dan siap melayani.

Ketiga adalah "keterbukaan" terhadap budaya pendatang merupakan panggilan masyarakat dengan mempersiapkan budaya lokal dan sarana yang sebanding dan menyenangkan. Pergelaran budaya, mutu hotel, rumah makan yang baik, menjaga kearifan lokal dan lingkungan yang tertata, mempertahankan kampung budaya, dan pelayanan penting dipersiapkan lebih elegan seiring dengan upaya menghadirkan obyek-obyek rekreasi yang menarik dan bersih.

Kepintaran dan ketegasan pun tidak selalu berkorelasi positif dengan kesediaan melayani dan berbagi atau menerima.

Walaupun orang Batak biasa dikenal pintar, tegas, pekerja keras, toleran, dan memiliki adaptasi yang luar biasa, semua karakteristik itu tidak lantas sejalan dengan tuntutan usaha jasa pariwisata apabila tidak diiringi dan didasarkan pada hati.

Kepintaran dan ketegasan pun tidak selalu berkorelasi positif dengan kesediaan melayani dan berbagi atau menerima. Justru perlu diantisipasi bahwa sikap-sikap dasar semacam itu akan menjadi sumber konflik dan akan menjadi kontraproduktif kalau tidak menggunakan hati.

(Elias Situmorang, Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, Pematang Siantar-Sumatera Utara)


Kompas, 29 Agustus 2020



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

CATATAN URBAN: Menangkal Kejahatan di Tengah Wabah (NELI TRIANA)


KOMPAS/HANDINING

Ilustrasi Pencurian

Suatu siang, sekitar dua pekan lalu, teriakan terdengar dari toko elpiji dan air minum kemasan galon di sudut Kampung Pondok Aren, Tangerang Selatan. Teriakan dari perempuan paruh baya pemilik toko yang kaget, panik, sekaligus ketakutan ketika dua laki-laki bersepeda motor mengambil dua tabung gas kemasan 3 kilogram dari tempat usahanya.

Kejadian kriminalitas di permukiman semacam itu tergolong tak mengejutkan. Jenis barang sasaran adalah yang mudah diambil dan laku cepat dijual. Tabung gas termasuk favorit para pencuri, termasuk tabung gas 12 kg. Selain itu, ada sepeda, sepeda motor, dan gawai. Bagi sebagian orang, nilai uang yang didapat dari aksi kriminal ini mungkin tidak seberapa. Namun, bagi sebagian lain, uang hasil "melego" benda curian bisa jadi sangat berarti.

Gas kemasan 3 kg beserta tabungnya di Tangerang Selatan, misalnya, rata-rata dijual Rp 150.000 per unit. Jika dijual cepat, seperti ke penadah, harganya pasti turun jauh. Entah hanya berapa rupiah yang dikantongi para pencuri itu dengan risiko ditangkap, dihajar massa, sampai dipenjara.

Tiga bulan pertama Covid-19 menyebar di Indonesia, angka kriminalitas cenderung meningkat, terutama di perkotaan.

Bagi si pemilik toko, melapor ke pihak berwenang hanya menambah panjang urusan, sementara barang mereka belum tentu kembali. Peristiwa tersebut dimaknai dengan semakin waspada menjaga ladang rupiahnya. Lalu, kehidupan di kampung kembali bergulir dan sesekali cerita pencurian itu digunjingkan lagi sambil mata makin menatap awas terhadap orang-orang baru di sekitar mereka.

Di masa pandemi yang sudah hampir enam bulan terakhir melanda Indonesia dan di tengah pembatasan kegiatan di berbagai bidang, kriminalitas terbukti masih marak terjadi.

Sepanjang tiga bulan pertama Covid-19 menyebar di Indonesia, angka kriminalitas cenderung meningkat, terutama di perkotaan. Polri menyebutkan, periode 6-19 April 2020, secara keseluruhan ada peningkatan 11,8 persen kasus kejahatan. Selama periode 30 Maret-5 April terdapat 3.413 kasus, sedangkan pada periode 6-19 April meningkat menjadi 3.815 kasus. Peningkatan itu didominasi kasus pencurian dan pencurian kendaraan bermotor (Kompas, 10 Mei 2020).

Kawasan perkotaan, bahkan sebelum pandemi, memang dikenal sebagai pusat terjadinya kejahatan. Hal ini "wajar" mengingat konsentrasi jumlah penduduk di area urban lebih banyak dibandingkan dengan non-urban. Di perkotaan, angka ketimpangan dan kemiskinan juga lebih besar dibandingkan dengan di perdesaan. Kondisi ini, dalam berbagai teori, selalu disebut sebagai salah satu faktor pemicu seseorang menerabas hukum.

Laporan semesteran Indonesia Economic Prospects edisi Juli berjudul "Long Road to Recover" menjelaskan: tanpa bantuan sosial dari pemerintah, penduduk miskin akan bertambah 5,5 juta hingga 8 juta tahun ini. Peningkatan ini terutama disebabkan penurunan pendapatan rumah tangga 5-7 persen seiring peningkatan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan (Kompas, 21 Juli 2020).

Dari data tersebut, potensi penambahan jumlah orang miskin terbuka lebar, seiring peluang membesarnya ketimpangan yang terjadi sebagai dampak bencana non-alam kali ini. Muncul kekhawatiran cepat atau lambat tingkat kejahatan, terutama karena motif ekonomi, bakal terus naik di Indonesia.

Naiknya kasus kejahatan di perkotaan selama pandemi tidak hanya terjadi di Nusantara. Riset University of Pennsylvania, AS, menjadi salah satu acuan laporan di situs SafeWise yang menyebutkan bahwa, meskipun di Amerika Serikat secara umum ada kecenderungan turunnya angka kriminalitas,  beberapa jenis kejahatan justru naik tajam selama pagebluk ini.

Laporan tersebut menyatakan, kejahatan yang tampaknya semakin meningkat saat ini adalah bentuk pembangkangan sipil dalam menghadapi pembatasan sosial untuk mengatasi wabah global, pencurian paket (mencuri barang yang dikirimkan via pos atau jasa pengiriman), mengebut, lonjakan epidemi opioid, serta penyerangan terhadap petugas medis dan penegak hukum.

Selain itu, kejahatan yang terus menghantui, yaitu pencurian di kawasan bisnis komersial yang dibiarkan kosong, kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga, kejahatan kebencian (berita bohong, ujaran kebecian, serta yang terkait suku, agama, dan ras), pencurian kendaraan bermotor, dan penipuan keuangan. Penipuan di bidang keuangan ini juga terkait dengan penipuan di dunia maya seiring melejitnya transaksi daring selama pandemi.

Penyebab melanggar hukum

Mencoba mencari tahu mengapa orang melanggar hukum menjadi pembahasan menarik. Hal ini karena, meskipun dihadapkan pada persoalan yang sama, seperti terimpit ekonomi akibat wabah Covid-19, tidak semua warga menerobos regulasi. Bahkan, dapat dikatakan setinggi apa pun lonjakan angka kejahatan, tetap lebih banyak individu yang menaati aturan.

Meski demikian, kejahatan "sereceh" apa pun terbukti membuat orang sekitarnya terdampak, setidaknya terganggu dan terteror. Untuk itu, menekan pelanggaran hukum selalu menjadi tujuan demi mewujudkan rasa aman dan nyaman publik.

Sigmund Freud, seperti dijelaskan diHistory Learning Site UK, meyakini ada dua faktor utama mengapa seseorang berbuat melawan hukum. Pertama, ada orang-orang dengan superego yang sangat dominan sehingga ingin menghilangkan rasa bersalah dengan dihukum. Agar bisa dihukum, maka yang bersangkutan dengan sengaja berbuat ilegal. Yang kedua, terkait dengan keinginan untuk mendapatkan kepuasan atas kesenangan yang diraih. Hal ini terkait seks, makanan, harta benda, kedudukan, dan lainnya.‎

Freud juga percaya bahwa orang memiliki kemampuan untuk belajar di masa kecilnya dulu tentang apa yang benar dan apa yang salah. Meskipun setiap orang mungkin secara naluri ingin mendapatkan apa yang diidamkan, sifat ini dapat dikendalikan oleh apa yang dipelajari di tahun-tahun awal perkembangan hidup manusia, baik dari keluarga maupun lingkungan terdekatnya.

Freud yakin orang-orang yang  mendapatkan pemahaman prinsip-prinsip moral saat kanak-kanak dan lantas hilang karena pola asuh yang buruk ada kemungkinan yang bersangkutan akan tumbuh menjadi individu yang kurang mampu mengendalikan dorongan alami untuk memperoleh apa saja yang dimaui.

Ilustrasi Kriminalitas

Larry J Siegel dalam bukunyaCriminology: Theories, Patterns, and Typologies secara umum menyebutkan enam teori tentang mengapa orang melakukan tindak kejahatan. Salah satu teori rujukan Siegel, yaitu Teori Ikatan Sosial Hirschi.

Dikutip dari The Law Project, teori Hirschi secara singkatnya berasumsi bahwa semua individu berpotensi menjadi pelanggar hukum, tetapi mereka tetap mampu mengendalikan diri karena takut perilaku ilegal akan merusak hubungan mereka dengan teman, orangtua, tetangga, guru, dan majikan. Tanpa ikatan atau ikatan sosial ini, dan tidak adanya kepekaan serta minat pada orang lain, seseorang bebas melakukan tindakan kriminal.

Di perkotaan, kepadatan penduduk disertai begitu majemuknya latar belakang masyarakat yang menyesakinya, ditambah menganganya jurang ketimpangan dan kemiskinan, otomatis merenggangkan ikatan sosial. Dalam Explaining Urban Crime, ini disebut salah satu faktor pendongkrak tingginya kriminalitas di wilayah perkotaan.

Simpati, empati, dan ikatan sosial

Pemerintah pusat ataupun daerah, beserta aparat penegak hukum, tak kurang beraksi untuk mengatasi dampak sosial ekonomi di masa pandemi ini. Program stimulus untuk usaha mikro sampai skala industri besar digulirkan sejak awal virus korona baru diketahui menginfeksi warga republik ini, Maret lalu sampai sekarang. Kebijakan-kebijakan tersebut patut diapresiasi meskipun ada sederet pekerjaan rumah agar program tersebut lebih maksimal dan tepat sasaran.

Di luar kebijakan pemerintah, warga hendaknya berupaya sendiri untuk mempererat kohesi sosial. Gerakan siaga pandemi di lingkungan rukun tetangga dan rukun warga (RT dan RW) di sejumlah tempat, termasuk di Jakarta, Bekasi, Depok, dan lainnya, menjadi gejala positif kesadaran publik untuk melindungi diri dengan menguatkan ikatan kelompok.

RT dan RW siaga pandemi ini diwujudkan dengan bersama-sama memonitor keluar masuk warga, penyediaan tempat dan makanan untuk isolasi mandiri bagi warga yang tertular meski tidak mengalami sakit, juga upaya bersih-bersih kampung.

Meningkatkan kohesi sosial ini didorong dibangun tidak hanya di internal RT/RW atau kompleks perumahan saja. Terkadang kesenjangan antarkompleks tempat tinggal memicu ketidaknyamanan di permukiman. Usaha mengikis jurang itu bisa dilakukan dengan cara sederhana, semisal dengan arisan bersama antara warga kompleks perumahan dan kampung yang berbatasan dengan tembok kompleks.

Salah satu teman menyatakan, ia menjalin hubungan baik dengan penjaga lahan kosong di belakang rumahnya. Penjaga lahan itu kini mendirikan warung makan dan menjadi tempat berkumpul pengojek daring. Lapak pemulung menyusul hadir di sana. Dengan mengenal baik si penjaga lahan, berbagai hal yang berpotensi mengganggu kedua belah pihak bisa dikomunikasikan secara baik. "Namanya hidup bertetangga," begitu kata teman ini.

Selama pagebluk, berbagai tips menjaga keselamatan diri sendiri telah banyak beredar. Beberapa di antaranya imbauan untuk selalu mematuhi aturan di mana pun berada, disiplin protokol kesehatan pencegah penularan dengan memakai masker serta menjaga jarak antarorang, menjaga kebersihan pribadi, menghindari hal dan tempat yang berpotensi berbahaya bagi diri sendiri, memasang alarm dan kamera pemantau di rumah, tak lupa selalu mengunci pintu rumah kala bepergian.

Namun, jangan pernah mengingkari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Ada kebutuhan dan tuntutan untuk selalu saling bersimpati, berempati, dan membantu sesama yang layak dipenuhi. Sikap yang bisa menjadi katrol penyelamat di masa serba susah ini.

Kompas, 29 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger