Di tengah pandemi Covid-19 Kaldera Toba ditetapkan menjadi UNESCO Global Geopark, Selasa (7/7/2020). Penetapan ini menjadi berkah istimewa untuk membangkitkan kembali iklim pariwisata Indonesia dan membantu pemberdayaan masyarakat lokal untuk semakin mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan, keanekaragaman hayati, dan konservasi budaya.
Penetapan ini merupakan awal kerja keras yang lebih besar. Sebab, minimal empat tahun ke depan akan dilakukan kembali penilaian oleh pihak UNESCO; apabila tidak sesuai dengan harapan, penetapan itu akan dapat dicabut kembali. Untuk itu, perlu kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat seputar Danau Toba untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan dan budaya yang ada, termasuk juga kebersihan lingkungan, salah satunya adalah menertibkan keramba jala apung yang masih menjamur di Danau Toba.
Pancaran kesejukan
Kaldera Toba merupakan salah satu situs terunik dan terluas di dunia yang terbentuk dari hasil ledakan super vulkano sekitar 74.000 tahun silam. Dasar kaldera tersebut dipenuhi dengan air. Keunikan dan keindahan Kaldera Toba yang dikenal dengan Danau Toba akan tampak jelas apabila kita sudah memasuki daerah Sibaganding dari arah Pematang Siantar menuju Parapat. Di sebelah kanan jalan tampak bentangan luas Danau Toba memancarkan keindahan. Dari Sibaganding tampak tidak saja alam sedang melukis keindahan, tetapi juga melukis kesempurnaan.
Dari Sibaganding tampak tidak saja alam sedang melukis keindahan, tetapi juga melukis kesempurnaan.
Danau Toba dengan airnya yang biru dapat dipandang sebagai simbol kelembutan. Bukit Barisan yang mengapit Danau Toba dengan batu-batunya yang keras merupakan simbol ketegasan. Ketika keduanya berpelukan mesra, ia menghasilkan kesejukan dan pesan: "Jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, selembut air dalam melayani orang lain. Hasilnya engkau pun jadi bercahaya penuh kesejukan."
Saat mengitari bibir pantai Danau Toba akan tampak juga bunga-bunga mekar nan indah yang tumbuh liar di pinggir Danau Toba. Bunga liar ini seakan tersenyum memanggil: "Hai manusia tersenyumlah karena dalam senyumlah letak kebahagiaan dan persahabatan. Lebih mudah menemukan kedamaian dengan persahabatan dibandingkan dengan permusuhan."
Hanya saja, sapaan bunga-bunga liar ini sering kurang mendapat respons. Banyak orang khususnya warga yang hidup di seputar Danau Toba kurang ramah dalam menyambut wisatawan, kurang mampu melihat perbedaan sebagai kekayaan, dan kurang menjaga kebersihan lingkungan. Suara yang keras dan temperamen yang meledak-ledak walaupun mungkin dalam hati tidak, menjadi "ancaman" bagi orang lain.
Sedikit saja ada persoalan terutama menyangkut tanah, masyarakat langsung ribut dan tidak jarang harus mengeluarkan biaya sampai ratusan juta rupiah di pengadilan. Rasa harga diri yang teramat tinggi kadang membutakan mata hati akan nilai kedamaian dan persaudaraan. Banyak tanah adat yang tersebar luas di seputar Danau Toba tidak boleh digarap oleh siapa pun sebelum dibagi menurut adat yang prosesnya cukup rumit dan memakan banyak waktu lama karena harus menghubungi semua anggota keluarga yang ada di perantauan.
Inilah adat dan masyarakat Batak khususnya yang tinggal di tepi Danau Toba masih kuat bersendikan pada adat. Kemiskinan tidak membuat mereka terenyuh dan merenungkan kembali makna adat untuk menyejahterakan kehidupan warga. Malah sebaliknya, dalam masyarakat yang beradat dan beragama ini dikenal falsafah, "lebih baik diambil setan ketimbang kamu yang memperolehnya." Sejenis semangat antisosial yang sangat primitif.
Mengasah hati
Jauh sebelum Kaldera Toba menjadi UNESCO Geopark Global, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Danau Toba sebagai salah satu destinasi unggulan wisata di Indonesia. Penetapan ini diperkuat dengan membentuk Badan Otorita Danau Toba (BODT). Tujuan pembentukan BODT adalah agar industri pariwisata di sekitar Danau Toba dapat disinergikan menjadi sebuah paket yang terintegrasi demi kesejahteraan masyarakat lokal.
Rasa harga diri yang teramat tinggi kadang membutakan mata hati akan nilai kedamaian dan persaudaraan.
Selain untuk menyejahterakan masyarakat, pembentukan BODT bertujuan memuliakan seluruh kekayaan alam, budaya, tradisi, dan lingkungan sekitar Danau Toba. Untuk tujuan tersebut, pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 21 triliun untuk mempercepat pengembangan fisik di kawasan wisata Danau Toba.
Proyek besar dengan mengalokasikan anggaran sekitar Rp 21 triliun merupakan kesempatan yang sangat baik untuk mengembangkan perekonomian masyarakat melalui pariwisata di kawasan Danau Toba yang cukup lama seakan tertidur pulas menyimpan keindahan dan kekayaan peradaban yang luar biasa.
BODT merupakan megaproyek yang hendak mengangkat kembali marwah Danau Toba sebagai Tao Nauli (danau yang indah). Agar proyek dan penetapan Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark sungguh berhasil, pemerintah daerah dan semua warga yang hidup di seputar Danau Toba boleh belajar dari kegagalan megaproyek menara Babel.
Alkisah menara Babel yang dibangun menjadi menara tinggi hingga menggapai langit, tetapi kemudian proyek itu gagal karena tidak ada kerja sama dan kesatuan hati. Megaproyek yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Sargon sekitar 6000 tahun sebelum Masehi menjadi proyek gagal karena para pembangun tak sepaham (Kejadian 11:9).
Namun, di balik proyek gagal tersebut, kisah itu menggambarkan sebuah kondisi masyarakat yang super makmur karena sama seperti masyarakat modern sekarang ini, hanya masyarakat yang makmur secara ekonomis yang mampu membuat proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, gedung tertinggi di dunia Burj Khalifa di Dubai, Royal Clock Tower Hotel di Mekkah, dan lain-lain.
Kegagalan membangun menara Babel kemudian menjadi pelajaran penting bagi Raja Sargon. Sang raja menyadari bahwa pembangunan mental jauh lebih penting daripada pembangunan fisik. Raja Sargon sampai pada satu kesimpulan penting dan sangat mendasar bahwa rakyat terutama yang pra-sejahtera harus diajari cara yang tepat untuk mencapai kesejahteraan.
Kegagalan membangun menara Babel kemudian menjadi pelajaran penting bagi Raja Sargon.
Untuk usaha ini, Raja Sargon meminta Elamites sang kanselir untuk mencari orang terkaya dan sejahtera di Babilon. Arkad, orang terkaya di Babilon pada saat itu, muncul di hadapan sang raja dan dengan tulus memberitahukan kepada Raja Sargon prinsip-prinsip utama yang perlu dipelajari oleh penduduk Babilon supaya makmur dan sejahtera. Prinsip Arkad dari Babilon adalah: temukan kesempatan, bangun hasrat membara, cintai lingkungan, manfaatkan waktu, dan belajarlah dari alam dengan hati.
Sama seperti prinsip Arkad. Agar Kaldera UNESCO Global Geopark dapat berhasil, mental dan hati pemerintah dan masyarakat sekitar Danau Toba perlu diasah dan dimantapkan. Hati yang baik akan melahirkan cinta yang tulus untuk bersaudara dan melayani dengan tulus. Sebab cinta, mencintai, dan dicintai adalah merupakan jiwa manusia.
Cinta kasih itu adalah semangat dan adalah kebahagiaan. Bahkan, mungkin kekuatan kita untuk mencintai adalah titik tertinggi dari hakikat hidup sebagai manusia. Untuk sungguh mampu mencintai, maka perlu meletakkan posisi hati dengan benar dan tepat.
Orang yang mampu mentransformasikan cinta yang benar dalam kehidupannya pada akhirnya akan memandang dan menjalani kehidupan secara bermakna, meyakinkan, dan menggembirakan. Cinta kasih berhubungan dengan hati, itu pasti, karena di dalam hati ada unsur keindahan, semangat, dan kebahagiaan.
Agar tujuan Kaldera Toba yang telah ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark berhasil, sangat perlu memperhatikan tiga langkah. Pertama adalah menjadi tuan rumah yang baik. Artinya setiap orang yang berkunjung harus diperlakukan sebagai saudara dengan sikap hormat, disapa, dan dihargai. Sebab, pantas diketahui bahwa para turis adalah sesama manusia yang membutuhkan sopan santun.
Kedua adalah perlu membangun iklim etika bisnis yang baik dan menjamin semakin meningkatnya peluang investasi. Pemerintah harus mendorong agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mampu mendukung kondusifnya iklim bisnis dan investasi dengan aturan yang jelas dan mantap. Untuk ini, birokrasi harus bekerja keras dan siap melayani.
Ketiga adalah "keterbukaan" terhadap budaya pendatang merupakan panggilan masyarakat dengan mempersiapkan budaya lokal dan sarana yang sebanding dan menyenangkan. Pergelaran budaya, mutu hotel, rumah makan yang baik, menjaga kearifan lokal dan lingkungan yang tertata, mempertahankan kampung budaya, dan pelayanan penting dipersiapkan lebih elegan seiring dengan upaya menghadirkan obyek-obyek rekreasi yang menarik dan bersih.
Kepintaran dan ketegasan pun tidak selalu berkorelasi positif dengan kesediaan melayani dan berbagi atau menerima.
Walaupun orang Batak biasa dikenal pintar, tegas, pekerja keras, toleran, dan memiliki adaptasi yang luar biasa, semua karakteristik itu tidak lantas sejalan dengan tuntutan usaha jasa pariwisata apabila tidak diiringi dan didasarkan pada hati.
Kepintaran dan ketegasan pun tidak selalu berkorelasi positif dengan kesediaan melayani dan berbagi atau menerima. Justru perlu diantisipasi bahwa sikap-sikap dasar semacam itu akan menjadi sumber konflik dan akan menjadi kontraproduktif kalau tidak menggunakan hati.
(Elias Situmorang, Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, Pematang Siantar-Sumatera Utara)
Kompas, 29 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar