Suasana Yogyakarta awal bulan Maret saat kedatangan Raja dan Ratu Belanda, Willem Alexander dan Ratu Maxima, masih ayem tentrem. Padahal, Surakarta tetangganya dan juga ibu kota Jakarta sudah bergejolak oleh serangan bertubi-tubi penyakit Covid-19. Masyarakat Yogya waktu itu malah hangat bergunjing soal keris Kiai Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro, yang dikembalikan Pemerintah Belanda bersamaan dengan kunjungan Raja dan Ratu mereka.
Ketika jatuh korban jiwa, seorang Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof Iwan Dwiprahasto, meninggal setelah sembilan hari dirawat di Rumah Sakit Sardjito pekan lalu, barulah masyarakat Yogya tergerak untuk berbenah. Malah ada tiga abdi dalem Keraton Ngayogyakarta (ditilik dari samir yang dikalungkan di leher sampai ke bawah dadanya) melakukan semacam sesajian tolak bala.
Mereka bersimpuh di perempatan jalan, dijagai petugas polisi lalu lintas, menggelar sajian tolak bala berupa tumpeng panca warni (lima warna) hijau, putih, kuning, merah, dan biru, serta sejumlah sesajian lain di titik nol Yogyakarta di ujung selatan Jalan Malioboro. Akan tetapi, rupanya sesaji di titik nol ini, menurut sumber di Keraton Ngayogyakarta, adalah bagian awal saja dari ritual Labuhan (peringatan tingalan dalem atau penobatan raja) yang dilakukan beberapa saat kemudian di pesisir laut selatan.
Di kalangan masyarakat tradisional Yogya juga mulai ada bisik-bisik, apakah kiranya keraton akan mengeluarkan pusaka tolak bala, Kanjeng Kiai Tunggul Wulung, seperti ketika terjadi pandemi dan pagebluk flu Spanyol di wilayah Hindia Belanda pada 1918, dan juga wabah pes maut 1946?
Kanjeng Kiai (KK) Tunggul Wulung adalah pusaka Keraton Ngayogyakarta berupa sebilah tombak berbendera (sobekan) kain kiswah dari Mekkah yang di bagian tengahnya berhias dekorasi keemasan dengan tulisan Surat Al-Kautsar, Asmaul Husna, serta kalimat Syahadat. Sobekan kiswah yang dipercaya berasal dari zaman Sultan Agung (abad ke-17) itu disebutnya Kiai Slamet.
Adapun pengibar bendera pusaka itu berupa tombak dengan pucuknya berbentuk tanduk rusa bernama Kiai Duda. Apabila Kiai Slamet sudah dikibarkan di tombak Kiai Duda, maka pusaka itu disebut Kanjeng Kiai Tunggul Wulung.
Terakhir KK Tunggul Wulung dikirab keliling Yogyakarta pada era Sri Sultan Hamengku Buwana VII tahun 1918 saat dunia dijangkiti wabah penyakit flu Spanyol yang merenggut jutaan jiwa di dunia, serta wabah pes tahun 1946 pada masa Sri Sultan HB IX (Enggar Pikantoyo, 2012).
"Sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan diaraknya KK Tunggul Wulung," kata KRT Enggar Pikantoyo Kusumanagoro, Kepala Tepas Keprajuritan Keraton Yogyakarta, Kamis (26/3/2020) petang, melalui telepon.
Suasana wabah pes yang melanda Yogyakarta pada 1946 digambarkan begitu ganasnya sehingga muncul perumpamaan esuk lara, sore mati, sore lara, esuk mati. Pagi sakit, sorenya mati, sorenya sakit, esoknya mati. Begitu mencekamnya suasana wabah pes waktu itu, sampai-sampai diberitakan tikus pun bisa menularkan penyakit mematikan tersebut.
Wabah yang mencekam masyarakat Ngayogyakarta itu mendorong Sri Sultan Hamengku Buwana IX waktu itu memerintahkan pusaka KK Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta. Tidak dengan ingar-bingar tentunya. Mulai diarak setelah lengser senja, sampai berakhir dini hari.
"Angsarnya gawe slamet (khasiatnya membuat selamat)," ungkap Kanjeng Enggar Pikantoyo pula mengenai bendera sobekan kiswah, Kiai Slamet, yang diarak dengan tombak Kiai Duda itu.
Tentu bukan dimaksudkan setelah bendera dikibarkan, penyakit akan musnah. Pengibaran itu dimaksudkan sebagai semacam perantara doa, atau pengharapan dari masyarakat tradisional Yogyakarta agar bencana segera berlalu. Wabah penyakit segera hilang.
"Berangkat bakda (setelah) maghrib dari keraton keliling kota," kata Kanjeng Enggar Pikantoyo. Dan, menurut Kanjeng Enggar, di setiap perempatan yang dilewatinya, pengiring pusaka melantunkan azan."Dulu rute kirab antara lain melalui Kampung Kricak di daerah Jalan Magelang dan Samirono. Berakhir di keraton bakda subuh," tutur Kanjeng Enggar Pikantoyo.
Pengertian "tolak bala" bagi kalangan masyarakat tradisional di Ngayogyakarta tidak hanya sebatas sesaji dengan harapan agar wabah dan pagebluk segera berlalu. Akan tetapi, juga pernah dilakukan untuk menghindari peristiwa mengerikan yang tidak diinginkan. Tidak banyak orang Yogya yang tahu bahwa seputar peristiwa kerusuhan Mei 1998, secara diam-diam, Keraton Yogyakarta juga mengarak Kanjeng Kiai Tunggul Wulung.
Pengarakan itu dilakukan sehari menjelang "pisowanan ageng" (pertemuan raja dengan seluruh rakyatnya) untuk mendengarkan pidato Sri Sultan Hamengku Buwana X (raja Yogya sekarang). Benar saja, pada hari pisowanan ageng 20 Mei 1998, Yogyakarta aman tenteram.
Sementara di Surakarta, yang hanya 60 kilometer di sebelah timur Yogyakarta, dilukiskan "menjadi karang abang". Terjadi aksi bakar-bakaran di Solo oleh massa yang tidak terkendali. Aksi vandalisme pun merambah ke perusakan dan penjarahan pertokoan di Solo. Sementara Ngayogyakarta yang memiliki kaitan erat dengan Surakarta, sebagai penerus wangsa Mataram, malah aman sentosa dan terkendali.
Setelah wabah flu Spanyol pada 1918, sebenarnya juga ada catatan KK Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta. Persisnya pada 22 Januari 1932 semasa pemerintahan Hamengku Buwana VIII. Ketika itu, Yogya sedang dilanda wabah penyakit diare yang disertai muntah-muntah (muntaber).
Raja waktu itu juga memutuskan mengarak KK Tunggul Wulung. Wabah itu tidak spektakuler seperti saat merebaknya wabah flu Spanyol di era HB VII tahun 1918 yang menelan korban 900.000 jiwa di Hindia Belanda.
Apakah mewabahnya pandemi virus Covid-19 ini akan mendorong Keraton Yogyakarta untuk kembali mengarak KK Tunggul Wulung seperti tradisi mereka jika negara menghadapi pandemi atau wabah penyakit menular yang dahsyat? Rupanya belum ada rencana demikian.
"Ingsun, Hamengku Buwono, ing dina kang kebak was-was lan tidha-tidha iki, nyuwun para warga sami ndedonga kondjuk ing ngarsaning Gusti Allah, mugi kita saged enggal kaparingan pepadhang," sabda Sri Sultan HB X, yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, kepada rakyat Ngayogyakarta pekan lalu.
(Saya, Hamengku Buwono, pada hari yang penuh rasa waswas dan khawatir ini, meminta para warga untuk sama-sama berdoa di hadapan Allah agar segera diberi jalan terang," kata Sri Sultan.)
Sri Sultan juga mengingatkan peristiwa yang sempat meluluhlantakkan Bantul di Yogyakarta, ketika gempa tektonik besar 5,9 SR melanda pada 27 Mei 2006, kali ini memang sungguh harus dihadapi dengan cara berbeda.
"Berbeda dengan peristiwa gempa besar tahun 2006 yang terasa nyata di depan kita. Sekarang ini, yang namanya virus korona ini kalau sudah memasuki badan kita, tidak terasa, dan datangnya juga tidak diduga-duga," sabda Sri Sultan.
Untuk menghadapinya, kata Sri Sultan, masyarakat Yogyakarta juga harus melaksanakan aturan yang baku yang digariskan oleh pemerintah pusat.
"Menurut pendapat saya, hendaklah sadar dan waspada. Ingat pada yang menciptakan hidup dengan laku sunyi, zikir pada malam hari, meminta maaf dan perlindungan pada Gusti. Waspada dengan cara bebersih diri serta lingkungan masing-masing. Kalau memang merasa kurang sehat, harus menerima dan wajib melakukan isolasi diri selama 14 hari. Jaga diri, jaga keluarga, dan jaga persaudaraan dengan masyarakat," kata Sri Sultan dalam kesempatan menyapa warga, yang bertajuk "Cobaning Gusti Allah" (Percobaan oleh Allah) pekan lalu.
Masyarakat tradisional di Yogyakarta masih "ngugemi" (mematuhi) perintah rajanya meskipun sejak kemerdekaan, Sultan sebagai Raja di Yogyakarta hanya merupakan semacam simbol pusat kebudayaan, serta olah spiritual tradisi Jawa. Pusaka KK Tunggul Wulung, yang diduga berasal dari era Sultan Agung di abad ke-17 ini, adalah salah satunya.
"Bendera yang belakangan diarak pada 1946 sebenarnya adalah bendera duplikat dari Kiai Slamet yang asli. Bendera aslinya biasa ikut diarak, tetapi disimpan di dalam kotak pusaka. Sudah berupa kain usang, bahkan sebagian sudah menjadi bubuk…," tutur Kanjeng Enggar Pikantoyo.
Sejak kapan ada pusaka yang dinamai Tunggul Wulung? Tidak dijelaskan angka tahunnya kapan, tetapi menurut beberapa catatan tertulis Tunggul Wulung berasal dari nama seorang senopati Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya, yang lengkapnya bernama Tunggul Sabdojati Amongrogo, atau seorang sosok yang memiliki gelar Ki Ageng Tunggul Wulung (RS Danumurti, majalah Keris edisi 2/2007).
Senopati Majapahit ini diam-diam meninggalkan kerajaan setelah Majapahit mengalami banyak kemunduran setelah berjayanya kerajaan Islam, Demak. Ini berarti sekitar abad ke-15. Perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung ke arah barat berhenti di Dusun Beji (sekarang masuk Sleman, Yogyakarta). Ia "madeg pandhito" atau menjadi pertapa, menjauhi keduniawian. Dalam mitosnya, Ki Ageng ini moksa, hilang bersama badannya, ketika tengah bersemadi di bawah pohon timoho di dekat Sungai Progo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar