Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 Maret 2020

”Gigaton” Album Baru Pearl Jam tentang Betapa Rapuhnya Kita (EKO WUSTUK)


KOMPAS/BUDI SUWARNA

Seorang penggemar Pearl Jam membuka situs resmi Pearl Jam dengan latar belakang sampul album terbaru Pearl Jam, Gigaton.

Greta Thunberg. Pada 2019 (setelah memulai rangkaian aksi protesnya di depan gedung parlemen Swedia pada Agustus 2018), aktivis lingkungan asal Swedia itu mengguncang dunia dengan kekuatan hatinya. Kecintaannya pada bumi menjadi pijakan kokoh bagi kedua kaki mungilnya menantang para pemimpin dunia-–seperti Trump-–yang bukan hanya masa bodoh pada kerusakan lingkungan, melainkan juga menjadi salah satu penyebab utama.

Selang setahun dari guncangan Thunberg, pada 27 Maret 2020, Pearl Jam yang sejak dulu berdiri di garis keras pembela lingkungan (lihat saja tato di bagian dalam betis kanan Eddie Vedder yang menunjukkan logo Earth First), merilis album teranyar mereka:Gigaton.  Bagi awam, itu adalah satuan massa yang digunakan untuk mengukur dan menggambarkan besaran lapisan es yang mencair di kutub utara. Satu gigaton setara dengan satu miliar ton.

Sampul album tersebut mengambil foto tebing es raksasa yang menghadap samudra (dengan seekor burung melintas di air terjun yang semakin menunjukkan kemegahan tebing es raksasa tersebut) karya Paul Nicklen, fotografer alam bebas yang telah berulang kali memenangi penghargaan tertinggi fotografi alam bebas dari World Press.

Melalui akun Instagram-nya, Paul Nicklen menjelaskan, betapa rapuh kemegahan tebing es yang difotonya di Norwegia pada periode 2014 itu. Hari ini ada, besok mungkin sudah tiada. Begitu juga dengan semua hewan liar yang menjadi obyek fotonya selama ini: indah, tetapi bisa dengan mudah begitu saja musnah.

Rupanya kesadaran akan rapuhnya dunia—tidak hanya bumi, tetapi juga kita, manusia yang berjalan dengan angkuh di permukaannya—itulah yang menjadi tema besar Gigaton. Dengan arah musik yang sangat mengejutkan (sangat berbeda dibandingkanLightning Bolt, album yang dirilis nyaris tujuh tahun sebelum Gigaton, Pearl Jam menyuguhkan lapis demi lapis pemikiran mendalam soal itu.

Eddie Vedder yang memang tidak pernah main-main dengan liriknya, menumpahkan banyak sekali kekesalan, kemarahan, dan ketakutannya pada masa depan bumi. Pada masa depan manusia.

Eddie Vedder yang memang tidak pernah main-main dengan liriknya menumpahkan banyak sekali kekesalan, kemarahan, dan ketakutannya pada masa depan bumi. Pada masa depan manusia.

Tentu saja ia tidak berhenti di sana. Seperti biasa, Eddie selalu pandai menyisipkan harapan dan semangat perlawanan dalam setiap lagunya yang gelap dan kerap penuh amarah. Kemarahan, di tangan Eddie, tidak berhenti sekadar jadi caci maki, tetapi menggelinding jauh menjadi kekuatan untuk bangkit dan melawan. Mengubah keadaan.

Album ini dibuka dengan "Who Ever Said". Sejak detik pertama nuansa yang dibangun sudah mencekam. Tak berapa lama, alunan punk rock penuh tenaga menggulung. Tepat pada detik ke-40, suara bariton emas Eddie Vedder berselancar di atas jalinan bas, drum, dan distorsi gitar yang terdengar matang. Sangat matang.

Nomor kedua lebih riang tetapi tetap garang. "Superblood Wolfmoon" dijamin bikin kita ingin jejingkrakanatau setidaknya mengangguk-anggukkan kepala penuh semangat. Dari semua nomor yang ada dalamGigaton, ini boleh dibilang yang bernuansa paling terang. Solo guitarMike McReady di lagu ini sungguh seru. Liar menyambar.

Lalu, muncullah "Dance of the Clairvoyants". Nomor paling aneh. Setelah dibuka dengan dua nomorpunk rock yang energik, mendadak Pearl Jam menyuguhkan funk. Perjalanan bunyi yang meninggi mendadak berhenti. Sama sekali bukan sesuatu yang buruk karena lagu ini seperti rambu jalan yang mengingatkan akan datangnya kelokan-kelokan musik yang lebih mengejutkan di nomor-nomor selanjutnya.

"Quick Escape" jadi yang keempat. Menderu seperti badai. Melalui nomor ini, Pearl Jam seperti mau bilang kalau main musik rock bagi mereka adalah perkara sepele. Mau dibengkokkan seperti apa pun arah musiknya, energinya akan selalu terjaga. Di nomor ini, Eddie kembali dengan kebiasaan nekatnya: memaki Presiden Amerika Serikat yang dianggapnya tidak becus bekerja. Setelah mencibir Bush dalam lagu "Bu$hleaguer" di album Riot Act (2002), kali ini giliran Trump yang diledek. "Crossed the border to Morocco, Kashmir than Marrakech/ The lengths we had to go to then/ To find a place Trump hadn't fucked up yet//," demikian Eddie bernyanyi. Lebih tepatnya, menggeram.

It's alright, to be alone. To listen for a heartbeat, it's your own.  It's alright, to quiet up. To disappear in thin air, it's your own

Nomor kelima, "Alright", bicara soal kesendirian. Sebuah ajakan untuk menurunkan tempo hidup dan menerima diri sendiri. Hangat, Eddie seperti memberikan wejangan kepada anaknya ketika menyanyikan bait ini: "It's alright, to be alone/ To listen for a heartbeat, it's your own/  It's alright, to quiet up/ To disappear in thin air, it's your own//."

Paruh pertama Gigaton ditutup sebuah nomor lembut dan mistis: "Seven O'clock". Dibuka dengan untaian nada yang terdengar biasa saja, chorus lagu ini tidak bisa dimungkiri langsung nancap di telinga. Terdengar manis sekali. Dari 12 lagu yang ada, barangkali inilah yang termanis.

Energi kembali meninggi di nomor ketujuh, "Never Destination" yang berbicara soal perjalanan—atau lebih tepatnya petualangan—manusia yang tiada akhir. Eddie seperti ingin mengingatkan kita bahwa pada hakikatnya hidup adalah perjalanan yang sama sekali tidak pernah kita ketahui arah dan terlebih akhirnya. Dalam liriknya tersebut nama Paul Theroux yang merupakan penulis kisah-kisah perjalanan kenamaan asal Amerika Serikat. Nomor ini mengingatkan pada ramuan punk rockmanis yang jadi resep manjur suksesnya album Backspacer (2009). Tempo sedang, harmonis, dipamungkasi solo guitar yang terdengar gagah.

"Take The Long Way" lebih keras lagi. Si nomor delapan yang rumit. Pearl Jam bermain-main dengan ketukan ganjil yang kerap mendadak berganti. Tidak masalah. Semua tahu, dengan Matt Cameron di singgasana drum, ke mana pun musik Pearl Jam menikung, dijamin aman.

"Buckle Up". Balada yang dijadikan nomor kesembilan ini sungguh menipu. Nadanya yang lembut dan nyaris terdengar membosankan sama sekali tidak selaras dengan isi liriknya yang ganas. Bagaimana tidak ganas, dua baris pertama liriknya saja sudah berbunyi "I got blood, blood on my hands".

"Comes Then Goes", nomor kesepuluh dalam Gigaton, sejelas kristal menunjukkan betapa megah perpaduan dua hal yang sangat sederhana ini: gitar akustik dan vokal. Tidak ada omong kosong di situ. Tidak ada tipuan efek suara yang bisa jadi pelindung kekurangan musikalitas. Dan Eddie, dengan suara bariton emasnya, tentu saja sedang berkisah tentang perpisahan yang perih. Dengar rintihannya ketika melantunkan "Divisions came and troubles multiplied, Incisions made by scalpel blades of time".

Mendengarkan "Retrogade" rasanya tidak mungkin untuk tidak mengingat film Into the Wild (2007). Nuansa bunyi dalam nomor kesebelas di albumGigaton ini sangat dekat dengan suasanya pegunungan yang dingin dan sunyi, yang ditangkap dengan luar biasa sempurna oleh Sean Penn melalui bidikan kamera filmnya. Kebetulan soundtrack film itu memang digarap seluruhnya oleh Eddie Vedder.

Sebagai nomor penutup, seperti biasa, Pearl Jam menyuguhkan nuansa lembut namun mencekam. Di albumTen (1991) ada "Release", Vs (1993) punya "Indifferece", loncat keBackspacer (2009) dengan "The End", dan kini Gigaton (2020) menyajikan "River Cross".

Seperti Chairil yang menuliskan pudarnya semangat di hadapan kematian dalam Derai-Derai Cemara, di nomor ini Eddie menyuarakan kepasrahannya pada kuasa waktu. Pada kepastian bahwa segala yang baik dan juga yang buruk tentulah menemui akhir. Menemui ajal. Lembut ia berbisik, "I want this dream to last forever/ A wish denied to lengthen our time/ I wish this moment was never ending/ Let it be a lie that all future's die//."

Eko Wustuk

ARSIP PRIBADI

Eko Wustuk

Anggota komunitas Pearl Jam Indonesia

Penulis buku: Rock Memberontak danI'm All EAR's

Kompas, 28 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger