Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Juli 2019

KEBIJAKAN PANGAN: Pakta Milan, Kota, Limbah Pangan (BUDI WIDIANARKO)

KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Tampak anak-anak asal Nduga di Distrik Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, tampak kelaparan pada Senin (22/7/2019). KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

A hungry world: Lots of food,
in too few places
Mark Koba, 2013


Setiap kota dihadapkan pada sebuah paradoks, kemelimpahan sekaligus kekurangan pangan.

Padahal, setiap kota dituntut mampu memenuhi hak atas pangan warganya sebagai bagian dari HAM. Setiap kota memikul tugas menyediakan pangan yang berkelanjutan bagi warganya. Pemenuhan tugas vital itu ternyata menghadapi berbagai kendala seperti distribusi dan akses yang tidak seimbang, kerusakan lingkungan, kelangkaan sumber daya, perubahan iklim; pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan serta susut pangan (food loss) serta limbah pangan (food waste).

Limbah pangan adalah pangan siap santap yang terhambur sia-sia, sedangkan susut pangan merujuk pada bahan pangan yang hilang sepanjang proses pembuatan mulai dari lahan pertanian hingga menjadi produk siap santap. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebut susut pangan sebagai penurunan kuantitas atau kualitas pangan dan limbah pangan tercakup di dalamnya. Limbah pangan merujuk pangan bergizi yang layak konsumsi, tetapi terbuang atau digunakan bukan sebagai pangan sepanjang alur pasok.

Indeks Keberlanjutan Pangan (FSI) 2018 yang dirilis The Economist Intelligence Unit dan the Barilla Center for Food & Nutrition (EIU-BCFN) menunjukkan, dalam hal kehilangan pangan—gabungan susut dan limbah pangan—Indonesia menempati peringkat ke-53 dari 67 negara yang disurvei dengan nilai 61,4 (maksimal 100). Jika dipisah, nilai susut pangan Indonesia adalah 57,4. Yang menarik, nilai limbah pangannya relatif tinggi, yaitu 69,6, sehingga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-21 dari 67 negara.

Setiap kota memikul tugas menyediakan pangan yang berkelanjutan bagi warganya.

Lebih gamblang lagi, infografik FSI menunjukkan tingkat kehilangan pangan per kapita Indonesia yang menempati peringkat kedua—di bawah Arab Saudi dan di atas AS—yakni 300 kilogram (kg)/orang/tahun. Kajian FSI bertumpu pada asumsi di negara kaya limbah pangan cenderung lebih tinggi daripada susut pangan, sedangkan di negara miskin yang terjadi sebaliknya. Sebenarnya, asumsi ini belum tentu sahih untuk kondisi perkotaan di Indonesia.

Hasil penelitian Gabriel Andari Kristanto tahun 2012 di perumahan kecil, menengah, dan atas di Jakarta menunjukkan sekitar 50 persen di antara sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta adalah sampah makanan (Kompas, 14/12/2013). Jika diandaikan setiap orang di Jakarta membuang sampah sekitar 1 kg/hari, penghamburan pangan per hari mencapai 0,5 kilogram/orang atau sekitar 180 kilogram per tahun—sudah melampaui separuh angka kehilangan pangan per kapita versi FSI.

Salah satu pemicu timbulan limbah pangan adalah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat kota. Dalam berbagai jamuan makan dan pesta, misalnya tuan rumah umumnya berprinsip lebih baik sisa daripada kurang. Dalam kehidupan kita sehari-hari, atas nama keramahan, tren, dan gengsi, makanan yang disajikan dalam berbagai acara cenderung berlebih. Begitu pula makanan yang disediakan di berbagai restoran dan hotel selalu berlimpah.

Jika pihak tuan rumah atau penyedia hidangan cenderung menyediakan dalam jumlah berlebih, di ujung yang lain acap kali atas nama sopan santun atau harga diri para tamu tidak menyantap secara tuntas makanan yang mereka ambil atau pesan.

Jika diandaikan setiap orang di Jakarta membuang sampah sekitar 1 kg/hari, penghamburan pangan per hari mencapai 0,5 kilogram/orang atau sekitar 180 kilogram per tahun—sudah melampaui separuh angka kehilangan pangan per kapita versi FSI.

Pakta Milan

Keprihatian atas "kegagalan" sistem pangan perkotaan itu  menggerakkan Kota Milan, Italia, pada 2014 memulai kajian tentang sistem pangan lokalnya dengan fokus pada daur pangan di kota itu, lengkap dengan konteks dan para pelakunya. Hasil kajian itu diperbincangkan dalam sebuah konsultasi publik yang melibatkan 700 pemangku kepentingan hingga akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pangan perkotaan yang komprehensif. Strategi ini menemukenali lima bidang intervensi, dengan salah satu prioritas utamanya adalah memerangi limbah pangan.

Berpijak dari hasil kajian itu, wali kota Milan saat itu (2011-2016), Giuliano Pisapia, memprakarsai jejaring kota-kota dunia yang peduli pada keberlanjutan sistem pangannya. Kebetulan pada 2015, selama enam bulan penuh, Milan menjadi tuan rumah Expo 2015 sebuah pameran dunia bertajuk "Feeding the Planet, Energy for Life". Ekspo yang menghadirkan stan 145 negara dan 50 lembaga internasional itu ternyata tak berlalu begitu saja.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pemulung menyortir sampah yang diratakan alat berat di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019). Data kajian Dinas Kebersihan DKI tahun 2011 menunjukkan, 60,5 persen sampah DKI bersumber dari permukiman. Sampah dari kawasan komersial dan dunia usaha menyumbang 28,7 persen total volume sampah DKI, tertinggi kedua setelah sampah dari permukiman. Dari data penimbangan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang di Kota Bekasi, total sampah Jakarta 7.500 ton per hari. Kompas/AGUS SUSANTO (AGS) 14-6-2019

Expo 2015 ini meninggalkan sebuah warisan penting berupa Pakta Milan untuk Kebijakan Pangan (Milan Urban Food Policy Pact/MUFPP). Sebenarnya, pakta ini sudah dirancang sejak Milan mempersiapkan diri menjadi tuan rumah expo.

Tujuh komitmen yang ditandatangani para wali kota dalam Pakta Milan meliputi: (1) mengembangkan sistem pangan berkelanjutan yang inklusif, tangguh, aman, dan beragam, yang menyediakan makanan sehat dan terjangkau bagi semua orang dalam kerangka kerja berbasis HAM, yang meminimalkan limbah dan melestarikan keanekaragaman hayati sambil beradaptasi dan mengurangi dampak dari perubahan iklim.

Strategi ini menemukenali lima bidang intervensi, dengan salah satu prioritas utamanya adalah memerangi limbah pangan.

Kemudian, (2) mendorong koordinasi antardinas dan lintas sektor di tingkat kota dan masyarakat, bekerja mengintegrasikan pertimbangan kebijakan pangan perkotaan ke dalam kebijakan, program dan inisiatif sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti pasokan dan distribusi makanan, perlindungan sosial, nutrisi, pemerataan, produksi pangan, pendidikan, keamanan pangan, serta pengurangan limbah; (3) mengembangkan keselarasan antara kebijakan, program terkait pangan kota, dan kebijakan serta proses subnasional, nasional, regional, dan internasional yang relevan.

Lalu, (4) melibatkan semua sektor dalam sistem pangan (termasuk pimpinan wilayah tetangga, organisasi teknis dan akademik, masyarakat sipil, produsen skala kecil, sektor swasta) dalam perumusan, implementasi, dan penilaian semua kebijakan, program, dan inisiatif terkait pangan; (5) meninjau dan mengubah kebijakan, rencana, dan peraturan perkotaan yang ada untuk mendorong terciptanya sistem pangan yang adil, tangguh, berkelanjutan.

Saat ini telah tercatat 184 kota yang ikut gerakan Pakta Milan, dengan perkiraan total populasi 450 juta. Sayangnya, belum ada satu pun kota di Indonesia jadi anggota.

Selanjutnya, (6) menggunakan kerangka tindakan sebagai titik awal bagi setiap kota mengatasi pengembangan sistem pangan perkotaan mereka sendiri dan akan berbagi perkembangan dengan kota-kota yang berpartisipasi dan pemerintah nasional dan lembaga internasional jika diperlukan; (7) mendorong kota-kota lain bergabung dengan aksi kebijakan pangan ini.

Pakta Milan sudah ditandatangani oleh 100 kota dunia pada 15 Oktober 2015 di Milan. Karena sifatnya yang terbuka, jumlah kota yang menandatangani terus bertambah. Saat ini telah tercatat 184 kota yang ikut gerakan Pakta Milan, dengan perkiraan total populasi 450 juta. Sayangnya, belum ada satu pun kota di Indonesia jadi anggota. Siapkah Jakarta?

(Budi Widianarko Guru Besar Unika Soegijapranata dan Anggota Board Gita Pertiwi, Solo)

Kompas, 30 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger