Setelah menutupi informasi terkait Covid-19 dan hendak menyelesaikannya melalui operasi senyap, pemerintah mulai terbuka.
Namun, sejumlah informasi penting mengenai pasien, termasuk mereka yang meninggal dengan gejala Covid-19, masih juga ditutupi. Padahal, transparansi dan pelibatan warga merupakan kunci untuk mengatasi pandemi.
Pada pertengahan Maret 2020, Presiden Joko Widodo masih menyatakan tidak membuka sepenuhnya data terkait Covid-19. Presiden berusaha meyakinkan bahwa pemerintah telah bekerja, termasuk melacak kasus penularan melalui operasi senyap. Alasannya, hal itu dilakukan agar tidak memicu kepanikan dan keresahan masyarakat (Kompas, 13 Maret 2020).
Pernyataan ini seolah hendak mengambil alih risiko bahaya dari masyarakat. Padahal, para ahli mengatakan, komunikasi yang transparan dan saling percaya antara pemerintah dan publik sangat penting untuk mengatasi krisis.
Sikap itu, misalnya, ditunjukkan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Setelah pemerintah pada 7 Februari 2020 menaikkan kewaspadaan wabahnya menjadi oranye, satu tingkat di bawah maksimum, warga Singapura segera mengosongkan rak-rak supermarket.
Untuk memadamkan kegelisahan, Lee menyampaikan pidato kepada warga dalam tiga dari empat bahasa resmi negara itu. "Aku ingin berbicara langsung denganmu, untuk menjelaskan di mana kita berada, dan apa yang ada di depan," katanya.
Secara terbuka, Lee menyampaikan bahwa saat itu Singapura sudah menghadapi penularan secara domestik, tetapi wabah masih bisa dikendalikan, sepanjang semua pihak bekerja sama mengatasinya. Pidato tersebut memiliki efek langsung karena pengurasan barang di supermarket segera mereda.
Agar dapat dipercaya, menurut Hooker, pemerintah harus terbuka, jujur, dan transparan.
"Itu salah satu bagian paling indah dari komunikasi risiko yang pernah saya lihat," kata Claire Hooker, seorang dosen senior di University of Sydney yang mempelajari komunikasi kesehatan, seperti dikutip Times, 13 Maret 2020.
Agar dapat dipercaya, menurut Hooker, pemerintah harus terbuka, jujur, dan transparan. "Anda perlu menunjukkan kompetensi Anda dan menunjukkan kepada orang lain bahwa Anda benar-benar peduli," kata Hooker
Kompetensi itu pula yang ditunjukkan Perdana Menteri Taiwan Tsai Ing-wen. Di minggu-minggu pertama Januari sejak munculnya wabah di Wuhan, Pusat Komando Epidemi Taiwan telah mengimplementasikan 124 langkah, termasuk kontrol perbatasan dari udara dan laut, identifikasi kasus menggunakan data dan teknologi, karantina kasus yang mencurigakan, hingga mengedukasi publik.
Untuk membangun kepercayaan publik, Pemerintah Taiwan bahkan menetapkan harga masker serta menggunakan dana pemerintah dan personel militer untuk memproduksi masker.
Pada 20 Januari 2020, Taiwan mengumumkan bahwa mereka memiliki persediaan 44 juta masker bedah, 1,9 juta masker N95, dan 1.100 ruang isolasi tekanan negatif.
Dengan langkah tepercaya itu, masyarakat Taiwan menurut untuk memasang aplikasi yang bisa memindai keberadaan mereka. Orang-orang yang telah melakukan perjalanan ke daerah berisiko tinggi dikarantina di rumah dan dilacak melalui ponsel mereka untuk memastikan bahwa mereka tinggal di rumah selama masa inkubasi.
Informasi pasien
Selain itu, Singapura juga selalu merilis informasi pasien dalam hal latar belakang kasus dan hubungannya dengan kasus-kasus lain. Berdasarkan data ini, sejumlah ahli teknologi di Singapura kemudian membuat peta lokasi pasien dan kondisinya sehingga setiap orang bisa mengikuti perkembangan dan menjadi mawas diri.
Informasi serupa juga ditunjukkan Taiwan, Korea Selatan, dan sejumlah negara lain. Dalam situs-situs resmi pemerintah asing ini, dengan mudah kita bisa mengetahui kluster penularan dan latar belakangnya.
Indonesia telah memiliki portal Covid-19 di tingkat nasional dan regional yang memvisualisasikan statistik dan distribusi. Namun, tidak satu pun portal ini memberi informasi spesifik kronologi kasus, karakteristik pasien, dan hubungan dengan kasus-kasus sebelumnya.
Sementara itu, pemutakhiran data yang dilakukan setiap hari oleh juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, hanya menyebutkan tentang jumlah kasus, orang yang sembuh, dan mati. Hingga Kamis (23/4/2020), jumlah kasus 7.775, sembuh 960 orang, dan meninggal 647 orang.
Jika sebelumnya ditutup-tutupi, sejak seminggu terakhir Achmad mengumumkan jumlah orang dalam pemantauan (ODP) 18.283 orang dan pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 sebanyak 195.948 orang.
Pembukaan data ODP dan PDP ini dilakukan setelah Presiden Joko Widodo meminta agar data Covid-19 dibuka. Namun, pembukaan ini ternyata masih separuh-separuh.
Dalam data perkembangan yang dirilis setiap hari ini, Achmad tidak pernah mengumumkan berapa banyak ODP dan PDP Covid-19 yang telah meninggal. Padahal, data di sejumlah daerah menunjukkan, ODP dan PDP yang meninggal rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah positif dan meninggal.
Data yang dikompilasi Kompas dari laporan sejumlah pemerintah daerah dan laporcovid19.org, platform pelaporan berbasis warga, menunjukkan jumlah ODP dan PDP Covid-19 yang meninggal di Jawa saja sebanyak 1.558 orang.
Permintaan untuk membuka data ODP dan PDP ini juga sebelumnya disampaikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pengurus IDI Halik Malik mengatakan, data ODP dan PDP yang meninggal harus dibuka karena penting untuk menunjukkan kondisi yang sesungguhnya di lapangan, mengingat data korban positif Covid-19 di Indonesia yang tidak representatif akibat keterbatasan pemeriksaan.
Beben Benyamin, ahli biostatistika Indonesia yang saat ini menjadi pengajar di School of Health Sciences of South Australia, mengatakan pentingnya data dan informasi ini dibuka.
Sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), korban Covid-19 adalah yang sudah dikonfirmasi positif sesuai tes PCR. Masalahnya, tes PCR di Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Banyak terjadi korban yang meninggal belum sempat diperiksa.
"Kalau data PDP dan ODP meninggal tidak diumumkan, secara administrasi mungkin tidak salah, tetapi niat baiknya perlu dipertanyakan karena itu menutupi skala wabah yang sesungguhnya," ujarnya.
Menurut Beben, selain transparansi data korban, pemerintah juga diharapkan membuka informasi mengenai pasien meninggal yang meliputi umur, jenis kelamin, termasuk gejala hingga penyakit penyerta, karena hal itu penting untuk melakukan analisis klinis dan juga studi ilmiah. "Untuk nama bisa di-koding agar tidak memicu masalah atau stigmatisasi," ucapnya.
Ketertutupan data juga membuat para peneliti di Indonesia kesulitan membuat laporan ilmiah mengenai kondisi klinis terkait Covid-19, termasuk terhadap kelompok rentan. "Padahal, negara-negara lain sudah melakukannya," kata Beben.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar