Merebaknya wabah Covid-19 yang berasal dari kota Wuhan, China, pada Desember lalu dan kemudian merambah secara masif ke seluruh dunia, dianggap akibat dari gagalnya jaringan institusi intelijen top internasional. Mereka gagal mendapat informasi sedini mungkin, menganalisisnya, dan lalu memprediksi tumbuh dan berkembangnya wabah itu.
Jaringan intelijen internasional itu, di antaranya CIA (Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat), Mossad (dinas intelijen luar negeri Israel), SVR RF (dinas intelijen luar negeri Rusia), SIS (dinas intelijen Inggris), FAS (dinas intelijen Perancis), dan BND (dinas intelijen federal Jerman).
Gagalnya kinerja jaringan intelijen internasional itu, kini berakibat fatal, yakni tewasnya ratusan ribu manusia dan lebih dari 2 juta yang positif terinfeksi Covid-19. Bahkan menyebarnya wabah Covid-19 tersebut kini juga melumpuhkan ekonomi dunia. Ironisnya, belum ada kepastian, kapan situasi seperti ini akan berakhir. Dunia kini menunggu ditemukannya vaksin khusus untuk membasmi penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru (SARS-CoV-2) itu.
Menurut data Worldometer, hingga Kamis (23/4/2020), jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia 2.659.163 orang, 730.393 orang di antaranya sembuh dan 185.461 meninggal.
Sejarah pun seperti sering berulang. Gagalnya kinerja institusi intelijen sering berakibat fatal dan berdampak luar biasa. Gagalnya lembaga intelijen AS yang kini bernama CIA mendeteksi serangan besar Jepang atas Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, telah berdampak meletusnya perang besar di Pasifik antara AS dan Jepang. Perang Pasifik itu baru berakhir dengan dijatuhkannya bom atom atas kota Nagasaki dan Hiroshima pada Agustus 1945 yang menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa.
CIA dan Mossad juga tercatat gagal mendeteksi serangan bersama Mesir dan Suriah atas Israel pada 6 Oktober 1973 yang menyebabkan Israel sempat dipukul mundur dari Gurun Sinai dan Dataran Tinggi Golan. Perang Arab-Israel pada 1973 itu cukup berdampak besar terhadap Timur Tengah, yakni mengantarkan tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir di Camp David, AS pada 1979.
Gagalnya CIA yang juga berdampak sangat besar ketika gagal mendeteksi serangan teroris Tanzim Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden atas kota New York dan Washington DC pada 11 September 2001.
Padahal, sebelum serangan 11 September 2001 itu, Tanzim Al Qaeda telah melancarkan serangan besar atas kantor kedutaan besar AS di Nairobi (Kenya) dan di Dar es-Salaam (Tanzania) pada 1998 yang menewaskan 224 orang.
Kemudian, Tanzim Al Qaeda kembali melancarkan serangan besar atas kapal perang AS, USS Cole, di dekat Pelabuhan Aden, Yaman, tahun 2000 yang menyebabkan kapal perang tersebut rusak berat.
CIA tampaknya saat itu menganalisis bahwa Tanzim Al Qaeda hanya mampu menyerang sasaran AS di wilayah Timur Tengah dan Afrika. CIA dan Pemerintah AS pun terbelalak dan panik, ketika kota New York dan Washington DC mendapat serangan Tanzim Al Qaeda pada 11 September 2001.
Dampak dari serangan teroris 11 September 2001 itu, AS kemudian menumbangkan rezim Taliban di Afghanistan yang saat itu dituduh melindungi Osama bin Laden dan kemudian juga menggulingkan rezim Saddam Hussein di Irak tahun 2003.
Fokus agenda kinerja CIA dan jaringan intelijen lainnya pada tahun 2000-an adalah memantau dan memburu aktivis Tanzim Al Qaeda di seluruh dunia.
Lagi-lagi CIA dan jaringan intelijen internasional kecolongan lagi, ketika Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan negara Khilafah dari kota Mosul, Irak bernama Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pada Juni 2014.
Akibat gagalnya CIA dan jaringan intelijen lainnya membaca dan mendeteksi kelompok itu, NIIS sempat menguasai wilayah sangat luas di Irak dan Suriah. Bahkan NIIS sudah mendekati Kota Baghdad.
AS pun terpaksa membangun koalisi internasional pada September 2014 untuk memerangi NIIS dan baru berhasil mengalahkannya pada awal 2019 setelah lebih dari empat tahun bertempur.
Sesungguhnya masih belum berakhir ancaman NIIS di seantero dunia, tiba-tiba muncul wabah Covid-19 yang sangat mengejutkan. Dunia pun cukup panik menghadapi penyebaran Covid-19 yang sangat masif karena sebenarnya belum siap menghadapinya.
Ketika bergulir berita munculnya Covid-19 di kota Wuhan pada Desember lalu, masih banyak yang mengira wabah itu adalah wabah lokal yang hanya tersebar di China.
Baru setelah wabah Covid-19 menjalar begitu cepat ke Korea Selatan, Jepang, Iran, dan negara-negara Eropa pada Januari dan Februari lalu, dunia mulai kelabakan menghadapi ancaman yang datang begitu tiba-tiba itu.
Hal ini kembali menjadi cerita kegagalan jaringan intelijen membaca dan memprediksi penyebaran begitu masif wabah Covid-19 tersebut.
Setelah gagal berperan memasok informasi sedini mungkin tentang kedatangan wabah Covid-19 itu, jaringan intelijen kini segera mengubah agenda misi. Mereka kini menjadi garda depan untuk mencari informasi dan mendeteksi jumlah kasus positif virus korona serta memburu peralatan medis seperti masker, ventilator, dan alat tes cepat (rapid test) Covid-19.
Perubahan agenda misi itu kini dilakukan Mossad. Di Israel, pada 19 Maret lalu sempat viral berita Mossad gagal memasok 100.000 alat tes cepat korona dari dua negara Arab Teluk kaya, karena ternyata alat tes cepat korona yang dipasok Mossad tersebut tidak layak pakai alias palsu.
Dua negara Arab Teluk itu diduga kuat adalah Uni Emirat Arab (UEA) dan Kesultanan Oman yang memiliki hubungan sangat baik dengan Israel, meskipun secara resmi belum menjalin hubungan diplomatik. Harian The Jerusalem Post melansir, Mossad mendapat mandat dari Pemerintah Israel untuk memasok 4 juta alat tes cepat Covid-19 ke Israel.
PM Israel Benjamin Netanyahu memberi wewenang pula kepada Shin Bet (dinas intelijen dalam negeri Israel) untuk meretas telepon seluler penduduk Israel dalam upaya memantau korban positif virus korona. Wewenang itu sebelumnya dipikul Shin Bet untuk meretas telepon seluler penduduk dalam upaya membongkar jaringan teroris.
Terakhir ini, intelijen juga seperti ingin terlibat mencari tahu dari mana sesungguhnya wabah Covid-19 itu. Apakah virus korona itu adalah virus rekayasa atau virus alami?
Polemik pun berkembang, ketika pakar intelijen asal Israel, Dany Shoham yang dilansir The Washington Postpada 27 Januari 2020, menyebut bahwa virus korona merupakan bagian dari proyek senjata biologi China yang bocor dari laboratorium Wuhan Institute of Virology di kota Wuhan.
Narasi yang dibangun pakar intelijen asal Israel itu, seperti membantah narasi selama ini yang menyebut bahwa wabah Covid-19 berasal dari pasar hewan di kota Wuhan.
Munculnya krisis ini, lagi-lagi menunjukkan intelijen gagal memberi kepastian tentang asal-muasal Covid-19 itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar