Seperti biasa, ketika ayam jantan masih malas membuka matanya, apalagi berkokok, ketika embun pagi masih menguasai dedaunan, ketika kabut masih menyelimuti alam raya seisinya, dan matahari masih bermalas-malasan di peraduannya sekalipun sudah bangun, kami sudah duduk bersila di atas tikar yang digelar di pendopo.
Pagi itu, kami semua tidak bisa menahan diam, seperti biasanya. Kami saling beradu pandang, saling bertukar senyum, dan saling mengamit ketika melihat di hadapan kami ada makanan dan minuman. Ini tidak biasa. Biasanya tidak ada makanan dan minuman. Karena kami berkumpul di pendopo untuk mendengarkan ajaran Guru, bukan untuk makan dan minum.
Ada klepon dan cemplon yang ditata apik di atas piring-piring kecil di depan kami. Dan, ada minuman panas yang sudah dituang di cangkir-cangkir yang sangat jarang kami gunakan. Apakah hari ini Guru ulang tahun? Belum terjawab pertanyaan kami, Guru sudah datang dan segera duduk di tempat biasanya: di atas batu hitam pipih, berbentuk bulat, tanpa alas. Guru tersenyum, sambil memandangi kami semua. Lalu berkata:
Kemunafikan masyarakat menggejala dengan adanya gap, jurang antara kata—biasanya kata-katanya indah—dan perbuatan-perbuatan buruk yang sangat bertentangan dengan yang diucapkan dengan teriakan lantang, dengan penuh kesombongan, dengan menganggap dirinya paling benar, paling bersih, dan paling suci. Kami semua, tidak tahu maksud Guru dengan mengatakan itu. Mengapa Guru mengawali wejangannya dengan kata "kemunafikan". Ketika hati kami masih bertanya-tanya, Guru sudah berkata:
Para pejabat publik, sebelum memangku jabatan mengucapkan sumpah jabatan. Sumpah jabatan diucapkan menurut keyakinan agama yang dianut, yang diyakini, yang diimaninya, dengan menumpangkan salah satu tangannya di atas Kitab Suci. Mereka mengawali sumpahnya—sesuai dengan agama masing-masing—dengan mengatakan, "Demi Allah, saya bersumpah" atau "Demi Tuhan saya berjanji" atau "Om Atah Parama Wisesa", atau "Demi Sang Hyang Adi Buddha." Dan, sumpah diakhiri dengan mengucapkan, "Semoga Tuhan menolong saya."
Sumpah jabatan yang diucapkan merupakan ikrar kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk sedia melayani publik dengan seadil-adilnya, juga bekerja dengan jujur, tertib, cermat danbersemangat untuk kepentingan negara, bukan untuk kantongnya sendiri, kelompoknya sendiri, atau partainya sendiri. Namun, untuk kepentingan negara!
Akan tetapi, perilaku mementingkan diri sendiri dalam berbagai bentuk termasuk korupsi terus terjadi. Ini suatu kebohongan, yang disebut sebagai locution contra mentem, ucapan yang bertentangan dengan pikiran. Artinya, tidak ada kesesuaian antara verbum oris, yang diucapkan, dan verbum mentis, yang dipikirkan.
Tentang hal seperti ini, banyak contohnya. Kalian bisa mencari sendiri. Banyak orang melakukan sesuatu perbuatan yang tidak selaras dengan perkataannya. Ketika seseorang mengatakan pesan-pesan kebaikan kepada orang lain, tetapi dirinya sendiri berperilaku sebaliknya; maka orang tidak lagi mempercayai kata-katanya karena ketidakselarasan menyebabkan hilangnya kepercayaan.
Ada yang menyebut hal semacam itu tak ber-akhlaq. Kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, yakni jama' darikhuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab, dan tindakan. Itu berarti, dalam segala hal haruslah menyamakan perkataan dan perbuatan, termasuk dalam hal rohani. Kita bisa berkoar-koar memiliki iman, tetapi jika gaya atau cara hidup kita tidak mencerminkan apa yang kita katakan, bagaimana mungkin orang bisa percaya?
Dilihat orang, rajin berdoa panjang-panjang. Namun, hidup dalam kecemasan, kecurigaan, atau kesinisan. Rajin beribadah, tetapi isi perkataan hanyalah iri hati, dengki, kebohongan, dan hujatan. Bukankah kalian semua tahu bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong. Bahkan, mati!
Saya kutipkan pendapat Hassan Hanafi (Greg Soetomo, SJ, 2018): Iman memiliki dimensi internal (pengetahuan dan perasaan) dan dimensi eksternal (kata dan tindakan). Iman yang matang, menurut Hanafi, adalah kesatuan antara pengetahuan dan perasaan, iman dan tindakan. Banyak retorika yang sebenarnya hanya merupakan pencitraan (eksternal), dan tidak keluar dari hati dan batin (internal). Kemunafikan masyarakat menggejala dengan adanyagap antara kata (yang indah) dan perbuatan (yang buruk). Praktik semacam ini membuat manusia stagnan dan mandul, masyrakat menjadi tidak kokoh.
Banyak orang mengira bahwa kata-kata yang keluar bebas dari mulutnya, akan menguap begitu saja dibawa angin. Salah. Orang masih mengingatnya. Apalagi zaman sekarang, zaman teknologi canggih ini. Semua terekam. Semua ada jejaknya. Sangat beruntung kalau yang diucapkan itu kata-kata baik. Namun, bagaimana kalau yang diucapkan itu, kata-kata yang tidak baik, yang buruk?
Bukankah, sudah diajarkan bahwa setiap kata yang baik, menghasilkan pahala yang baik. Namun, setiap perkataan buruk pasti akan dibalas dengan imbalan yang juga buruk. Maka itu, setiap perkataan harus dipertanggungjawabkan. Ketika mulut dan hati tidak mampu seirama, kebohongan terlahir dari dalam jiwa. Sebab, ada tertulis, Quo mendacium publicum continuatum eo hominis ingenium submersum excitatum, yang artinya kurang lebih, di mana kebohongan publik makin diterus-teruskan, maka di situ pula citra kepribadian seseorang akan semakin terperosok.
Dalam rumusan lain, ajining diri saka lathi, seseorang dapat dihargai itu berdasarkan ucapannya. Bukankah, kejujuran tidak mengorbankan apa pun, tetapi kebohongan akan menghabiskan segalanya. Mohon maaf, Guru, sela seorang murid. Mengapa hari ini tidak seperti biasanya, ada makanan kecil? Ini ada klepon dan cemplon. Bahkan dengan minum sereh dan jahe panas juga.
Guru tersenyum mendengar pertanyaan muridnya itu. Setelah menyapu wajah-wajah muridnya dengan pandangannya yang teduh, Guru berkata: Kalian semua menduga apa? Apakah kalian menduga bahwa aku hari ini akan menjelaskan soal klepon dan cemplon, kedua jenis makanan tradisional yang enak ini? Inilah makanan kesukaanku.
Hari ini aku sengaja mau berbagi kesukaan kepada kalian semua. Aku menyukai dua jenis makanan ini: klepon dan cemplon. Setiap kali aku makan entah itu klepon, entah itu cemplon, aku merasa bahagia. Aku merasa harus membagikan kebahagiaan itu kepada kalian semua. Bukankah kebahagiaan harus dibagi, dirasakan bersama-sama? Aku diberi, maka aku memberi. Komunitas kita, yang kecil ini, adalah komunitas yang berbagi, bukan hanya masalah dunia di luar sana, di luar pagar rumah kita ini. Tidak! Kita sebagai satu keluarga harus juga saling berbagi. Kita sebagai satu masyarakat, satu bangsa, harus berbagi. Kita berbagi bukan karena kita kasihan kepada orang lain, tetapi memang dilandasi oleh semangat kepedulian, compassion. Itulah spiritualitas kita.
Kalian perlu catat dalam hati dan pikiranmu bahwa kita berbagi bukan karena kita berkelebihan. Bukan! Ada kata-kata indah yang bisa kalian ingat,Nemo dat quod non habet, tidak seorang pun yang memberi dari apa yang tidak dimilikinya. Artinya, kalau kita tidak mempunyai barang, harta benda, uang, ya kita tidak bisa memberikan semua itu. Kalau yang kita miliki adalah kebahagiaan, suka cita, maka kita kebahagiaan dan suka cita itu.
Jadi, kalau hari ini kalian semua ikut menikmati makanan kesukaanku—klepon dan cemplon—aku hanya ingin berbagai kesukaan, kebahagiaan, tidak kunikmati sendiri. Itu saja. Jangan memikir yang bukan-bukan.
Mari kita nikmati, klepon dan cemplon serta wedang sereh dan jahe ini, mumpung masih panas. Begitu Guru selesai mengatakan hal itu, tangan kami buru-buru meraih klepon, lalu cemplon, dan akhirnya cangkir berisi wedang sereh dan jahe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar