Sebelum didapuk sebagai salah satu elemen protokol kesehatan melawan wabah korona, frase "jaga jarak" hanyalah sebentuk cakapan sehari-hari—seperti halnya "jaga kebersihan" dan yang serupa. Fungsinya, jika tak dimaksudkan lain, sebagai peringatan agar orang waspada atau bertindak sesuai dengan tuntutan situasi tertentu. Suatu kali, saya pernah memergoki tulisan "jaga jarak" di bagian belakang bak kayu truk pengangkut barang di suatu ruas jalan raya. Sepertinya cuma iseng (goresan grafisnya pun asal-asalan), tapi pesan singkat itu bagaikan wewanti emak di rumah agar hati-hati berkendara di jalanan.
Seturut dengan KBBI (Edisi V), "jarak" berarti 'ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat'. Sejauh ini tak tersua sublema atau contoh kalimat memakai "(men-)jaga jarak" dalam kamus itu. Namun, bermodal arti kata dasar "jarak", maka "jaga jarak" bisa dimaknai 'memelihara ruang sela' tersebut. Bisa juga merujuk pada bentuk turunan "menjarak" yang berarti 'membuat jarak', 'menjadi terpisah', 'menjauhkan diri'. "Menjarak" menyiratkan bahwa yang memiliki jarak atau berjarak adalah manusia atau makhluk bernyawa; sementara nomina "jarak" mengacu hanya pada benda atau tempat sebagai subyek yang berjarak.
Ungkapan "jaga jarak" bisa dikata menyangkut sikap sadar dan psikologi manusia. Bisa positif bisa negatif. Para pandega koran ini, umpamanya, senantiasa menjaga jarak dari kekuasaan dunia apa pun demi merawat independensi dan kejujuran dalam menyiarkan kebenaran (testimoni 55 tahun, Kompas, 29/6/2020). Lain ceritanya jika "jaga jarak" adalah suatu retorika politis. Seorang pemimpin yang "menjaga jarak" dari rakyatnya, menurut rasan-rasan warga, dinilai bukan amir yang ideal. Sebaliknya, jika bisa ditamsilkan sebagai khadim alias pelayan, pemimpin semestinya tak berjarak dari kawulanya.
Lantaran serangan korona, "jaga jarak" diserap jadi istilah populer kesehatan sehingga maknanya melebihi pengertian umumnya—yakni serangkaian tindakan intervensi nonfarmasi untuk mencegah penyebaran penyakit menular dengan menjaga jarak fisik atau mengurangi kontak dekat antarorang. Jadi, "jaga jarak" bukanlah obat, melainkan cara preventif menangkal peluang penjangkitan. Metode serupa itu bahkan telah dipakai sejak berabad lampau sebelum Masehi seperti tersurat dalam Kitab Imamat, "Dan penderita kusta yang terkena wabah itu. . . ia akan tinggal sendirian; [di luar] tempat tinggalnya" (dikutip dalam Wikipedia).
Jaga jarak' bukanlah obat, melainkan cara preventif menangkal peluang penjangkitan.
Satu lagi lema "jarak" dalam kamus bahasa Indonesia, yaitu jenis tanaman perdu liar (Latin: Ricinus communis)yang tumbuh di hutan atau lahan kosong. Biji jarak bisa diolah menjadi minyak bakar. Itu sebabnya ketika menduduki tanah Jawa, pemerintah militer Jepang memobilisasi orang-orang desa supaya menanam pohon jarak sebagai bahan bakar tank dan pesawat tempur tentara Nipon selama perang. Jadi, "jaga jarak" (bila diucapkan begitu) pada zaman itu bisa berarti titah penjajah.
Sebagai strategi pencegahan pandemi, "jaga jarak" sejatinya tak langsung dihadapkan pada keroyokan virus ganas itu. Namun, ironinya, protokol itu di sana-sini justru "dilawan" sendiri oleh ketakpatuhan orang-orang yang hendak dilindunginya. Idiomatik, "jaga jarak" juga masih harus menyangkak "social distancing" demi mengukuhkan "pengucapan asli" di negeri sendiri agar lebih dihayati orang ramai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar