Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Desember 2025

Butuh Aksi Nyata dan Kebijakan Berpihak di Tengah Krisis Ekologis

Cahaya Lilin Kecil
Bencana ekologis yang terus melanda Indonesia dan berbagai wilayah Asia—banjir besar, longsor, kekeringan ekstrem, dan kebakaran hutan—bukan lagi peristiwa yang bisa dilihat sebagai musibah alam semata. Ia adalah simptom krisis yang lebih dalam dan sistemik.

Di balik rusaknya bentang alam, yang sesungguhnya sedang terancam adalah kemanusiaan: martabat manusia, solidaritas sosial, dan kemampuan kita hidup bersama secara adil.

Air yang meluap, tanah yang longsor, dan udara yang kian beracun tidak mengenal sekat agama, budaya, atau kelas sosial. Namun dampaknya justru paling keras dirasakan oleh mereka yang paling rentan: kaum miskin, komunitas adat, kelompok pinggiran, serta mereka yang hidup di wilayah dengan tata kelola lingkungan yang rapuh. Krisis ini, dengan demikian, bukan hanya krisis ekologis, melainkan juga krisis keadilan sosial.

Ironisnya, dalam situasi darurat kemanusiaan, masih kerap muncul kecenderungan yang memprihatinkan: penderitaan manusia dijadikan komoditas pencitraan, bantuan dijadikan panggung kepentingan, dan solidaritas direduksi menjadi ritual simbolik. Ada orang tertentu tiba-tiba membantu korban sesaat demi citra di media.

Memulihkan Kehidupan

Padahal, ketika krisis melanda, yang dibutuhkan bukanlah klaim moral atau lomba kepedulian, melainkan aksi nyata yang memulihkan kehidupan. Semua dipanggil untuk menyelamatkan kemanusiaan sesuai profesi dan peran masing-masing.

Dari perspektif sosiologi, krisis iklim menyingkap apa yang oleh Ulrich Beck disebut sebagai risk society: masyarakat modern yang hidup dalam risiko buatan manusia sendiri. Modernisasi yang bertumpu pada eksploitasi alam, pertumbuhan tanpa batas, dan efisiensi ekonomi telah melahirkan ancaman yang tidak bisa lagi dikendalikan secara individual. Risiko ekologis melintasi batas negara, kelas, dan generasi—namun tanggung jawabnya justru sering dihindari.

Sementara itu, Zygmunt Bauman mengingatkan bahwa masyarakat modern cair cenderung melemahkan rasa tanggung jawab bersama. Ketika segalanya serba cair—relasi, institusi, bahkan komitmen moral—manusia mudah terjebak pada sikap “asal selamat sendiri”.

Dalam konteks krisis iklim, mentalitas ini tampak dalam ketidakpedulian struktural: kerusakan lingkungan dianggap sebagai harga kemajuan, dan penderitaan korban dipandang sebagai nasib belaka dan angka statistik.

Di sinilah urgensi menyelamatkan kemanusiaan menemukan maknanya. Menyelamatkan kemanusiaan berarti melampaui respons karitatif sesaat dan membangun solidaritas yang berakar pada keadilan. Ia menuntut pergeseran cara pandang: dari melihat korban sebagai penerima bantuan pasif menuju pengakuan bahwa mereka adalah subjek bermartabat, pemilik pengalaman, dan mitra dalam pemulihan.

Krisis Spiritual

Dari sudut pandang teologis, krisis ekologis adalah juga krisis spiritual. Dalam ensiklik Laudato Si', Paus Fransiskus menegaskan bahwa kerusakan bumi tidak dapat dilepaskan dari dosa struktural manusia: keserakahan, konsumerisme, dan ilusi bahwa manusia adalah penguasa absolut atas ciptaan. “Jeritan bumi dan jeritan kaum miskin adalah satu jeritan yang sama,” tulisnya. Maka, tanggapan atas krisis iklim bukan hanya teknokratis, melainkan juga moral dan rohani.

Konsep pertobatan ekologis menjadi kunci. Pertobatan ekologis bukan sekadar perubahan perilaku individual—seperti menghemat energi atau mengurangi sampah—melainkan transformasi cara hidup. Ia menuntut perubahan relasi: relasi manusia dengan alam, dengan sesama, dan dengan generasi mendatang. Dalam tradisi iman, pertobatan selalu mengandaikan perubahan arah hidup (metanoia), bukan kosmetik moral.

Pertobatan ekologis juga bersifat kolektif. Ia mengajak komunitas lintas iman dan budaya untuk menemukan titik temu dalam nilai-nilai universal: menjaga kehidupan, melindungi yang lemah, dan merawat rumah bersama. Ketika iman diwujudkan dalam aksi konkret—dari dapur umum bagi korban bencana hingga advokasi kebijakan lingkungan—agama tampil bukan sebagai simbol identitas, melainkan sebagai daya pembebas.

Kebijakan Publik yang Berpihak

Namun, tanggung jawab tidak boleh dibebankan hanya kepada masyarakat sipil. Negara memegang peran strategis. Menyelamatkan kemanusiaan di tengah krisis iklim membutuhkan kebijakan publik yang berpihak pada keselamatan warga, bukan pada kepentingan jangka pendek. Mitigasi dan adaptasi iklim harus berbasis keadilan sosial, melibatkan komunitas terdampak, serta memastikan perlindungan bagi mereka yang paling rentan.

Pada akhirnya, krisis iklim adalah ujian etis zaman ini. Ia menanyakan kepada kita: apakah kita memilih menjadi masyarakat yang saling menjaga, atau masyarakat yang saling mengabaikan? Menyelamatkan kemanusiaan menuntut keberanian untuk bertindak—bukan demi citra, bukan demi keuntungan, melainkan demi kehidupan itu sendiri.

Dalam dunia yang kian rapuh akibat krisis ekologis, hanya dengan aksi nyata dan tulus yang berakar pada solidaritas, keadilan, dan pertobatan ekologis, manusia dapat bertahan bukan dengan mengorbankan sesama, melainkan dengan saling menopang sebagai satu keluarga besar insani di bumi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger