Acara pulang mudik Lebaran selalu disambut dengan antusias oleh masyarakat layaknya sebuah selebrasi kolosal. Pulang mudik bukan sekadar melepas rindu kampung halaman, melainkan juga dihayati sebagai rangkaian rasa syukur dengan berakhirnya ibadah puasa selama sebulan.
Ada keyakinan bagi mereka yang berpuasa bahwa ampunan Tuhan yang dijanjikan dalam bulan Ramadhan akan terganjal jika antara anak dan orangtua dan antara sesama teman serta keluarga belum saling memaafkan. Makanya acara pulang mudik juga punya makna spiritual yang kental, di samping melepas rindu dan napak tilas dengan kampung halaman. Mereka berkumpul dan berhalalbihalal saling memaafkan terutama dengan keluarga dan tetangga.
Selama bulan Ramadhan umat Islam bagaikan berjalan memasuki lorong waktu yang suasananya serba bernuansa spiritual. Tiba-tiba mereka lebih dekat dengan Tuhan, dekat dengan masjid, dengan kitab suci, rajin sembahyang, rajin mendengarkan ceramah keagamaan, dan semua ucapan serta tindakannya pun serba terkontrol. Yang unik, jadwal tidur dan jadwal makan juga berubah, tetapi semuanya dilakukan dengan suka cita.
Menjelang waktu iftar, restauran di mal dan masjid penuh dengan acara buka bersama. Acara buka bersama ini juga diselenggarakan di kota-kota besar dunia, seperti New York, London, Moskwa, yang berlangsung layaknya sebuah selebrasi dan festival makanan berkelas internasional.
Memperkuat Kohesi Sosial
Sebagai bangsa yang sedemikian plural dari sisi etnis, pulang mudik secara sosiologis sangat instrumental untuk menjaga identitas diri dan akar sosial seseorang. Dengan mudik bersama orangtua, generasi milenial dan gen-Z sebagai produk dari perkawinan silang lintas etnis (cross ethnical marriage) diharapkan lebih familiar dengan tradisi dan akar sosial orangtuanya karena mereka lahir dan tumbuh di kota. Mereka berjumpa dengan keluarga besarnya, menjadi forum untuk saling mengenal dan menumbuhkan empati terhadap realitas kehidupan masyarakat daerah.
Sering dikatakan bahwa DNA bangsa ini adalah pluralitas dan religiositas. Ini bisa kita saksikan selama aktivitas Ramadhan dan acara pulang mudik yang tidak hanya diikuti dan dinikmati oleh umat Islam saja, tetapi juga terbuka bagi pemeluk agama lain untuk ikut serta meramaikan.
Dilihat dari aspek perputaran uang dan ekonomi, acara mudik ikut mendorong pemerataan putaran uang dan meramaikan bidang bisnis jasa, seperti perhotelan, restoran, dan transportasi. Hari libur Lebaran yang cukup panjang juga dinikmati oleh teman-teman non-Muslim.
Penumpang Kapal Motor Awuk milik PT Pelni dari Kumai, Kalimantan Tengah saat turun di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/3/2025). Bagi perantau yang masih memiliki keterikatan dengan kampung halamannya karena keluarga, orangtua, dan kerabat menjadikan mudik sebagai momentum untuk bertemu. PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni memproyeksikan penumpang periode Angkutan Lebaran 2025 sebanyak 644.102 orang.
Penumpang Kapal Motor Awuk milik PT Pelni dari Kumai, Kalimantan Tengah, saat turun di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/3/2025). PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni memproyeksikan penumpang periode Angkutan Lebaran 2025 sebanyak 644.102 orang.
Indonesia dengan penduduk yang besar dengan alamnya yang luas serta indah, acara mudik juga merupakan acara wisata budaya religius yang menggairahkan. Bandingkan dengan negara kecil semacam Brunei atau Singapura, pasti tidak punya tradisi mudik yang heboh seperti di Indonesia mengingat tidak sampai dua jam perjalanan mobil sudah bertemu perbatasan negara.
Selesai dari pulang mudik, biasanya dilanjutkan lagi dengan acara halalbihalal yang diselenggarakan di lingkungan kompleks perumahan dan perkantoran dalam suasana yang lebih inklusif. Semakin terasa bahwa rangkaian acara Idul Fitri itu telah memperkuat kohesi sosial dari bangsa yang plural ini. Para politisi pun saling berlomba menjumpai konstituennya. Mereka mesti meminta maaf kepada rakyat, banyak janji politik yang belum atau tidak dilaksanakan.
Sinergi Agama dan Budaya
Agama dan budaya di Indonesia tumbuh secara sinergis. Masing-masing saling memperkaya terhadap yang lain. Bahkan jumlah hari libur nasional paling banyak berkaitan dengan hari besar keagamaan, khususnya Islam, yang diperingati oleh negara di istana ataupun oleh masyarakat. Tradisi dan ekspresi kultural keagamaan yang telah menyatu dengan budaya bangsa Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan ekspresi kultural keagamaan yang berkembang di negara-negara Arab.
Hal ini mudah difahami mengingat sebelum Islam masuk dan berkembang di Indonesia, di bumi Nusantara sudah tumbuh maju dan kaya kebudayaannya. Sangat berbeda dari kondisi sosial tanah Arabia ketika Islam muncul di abad ke-6 yang ragam kebudayaannya tidak sekaya Indonesia. Oleh karenanya perjumpaan budaya dan agama di Indonesia sangat warna-warni. Masing-masing daerah memiliki keunikan tersendiri sejalan dengan kebinekaan rakyat Indonesia.
Semakin terasa bahwa rangkaian acara Idul Fitri itu telah memperkuat kohesi sosial dari bangsa yang plural ini.
Kekayaan dan kelenturan budaya Nusantara ini telah melahirkan ekspresi budaya keagamaan yang khas, baik yang terjadi pada agama Hindu, Buddha, Islam, ataupun Kristen yang berbeda dari tanah leluhurnya tempat agama itu dilahirkan. Makanya jika ada kalangan yang mengaku habib keturunan Arab yang memandang Islam Indonesia penuh khurafat yang bercampur tradisi lokal, perlu disadari bahwa tak ada agama yang tumbuh tanpa kendaraan dan baju budaya.
Tanpa kendaraan budaya, sebuah agama sulit berkembang. Kita di Indonesia pun senantiasa bisa membedakan mana unsur Islamisme dan mana unsur Arabisme. Tidak semua yang berbau Arab dan datang dari Arab adalah ajaran Islam. Antara unsur budaya lokal dan agama tidak bisa dipisahkan, tetapi bisa dibedakan.
Kegagalan Membangun Etika Politik
Dari aspek ritual dan ekspresi kultural, Islam di Indonesia berkembang sangat mengesankan. Sampai-sampai hasil survei selalu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia itu dikenal religius. Masyarakatnya memandang agama sebagai faktor penting dalam hidupnya. Jemaah jumrah setiap hari tak pernah sepi. Identitas keagamaan bahkan diabadikan dalam kartu tanda penduduk.
Namun hasil survei itu ternyata berbading lurus dengan hasil survei tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia yang juga tinggi. Orang pun secara sinis sering membandingkan dengan negara sekuler yang ekonominya maju, sistim pemerintahannya telah mapan, yang tingkat korupsinya sangat rendah. Secara karikatural bahkan dibandingkan dengan China yang ateis tapi lebih tegas dalam memberantas korupsi. Orang pun bertanya, apa dampak keberagamaan dalam membangun etika publik dan etika bernegara?
Bagaimana memahami gambaran yang paradoksal ini? Ada tiga catatan penting yang akan saya kemukakan di sini. Pertama, ada dua kategori dosa. Yaitu dosa individual (individual sin) dan dosa sosial (social crime). Dulu ketika masyarakat hidupnya masih sangat sederhana, dosa sosial seperti mencuri, merampok, dan melanggar norma sosial, diselesaikan oleh tokoh masyarakat atau diselesaikan melalui mekanisme pengadilan adat.
Dua, dakwah agama selama ini lebih banyak menekankan dimensi ritual dan amar mahruf (mengajak pada kebaikan), tetapi lemah dalam aspek nahi munkar, mencegah kemungkaran yang mendatangkan kerusakan sosial (fasad). Terlebih lagi kemungkaran yang bersifat struktural-sistemik, seakan di luar jangkauan ilmu dan wacana para pendakwah.
Tiga, dengan lahirnya negara bangsa, maka menjadi tugas negara untuk melakukan amar maruf-nahi munkar dalam ruang publik dan kehidupan bernegara.
Jadi, sekalipun para kiai dan pendeta berbusa-busa mengecam korupsi, mereka tidak memiliki otoritas dan kompetensi politik untuk memberantasnya. Tugas itu telah diambil alih oleh negara dan pemerintah. Dengan demikian, tingginya korupsi di Indonesia tidak tepat jika dialamatkan ke lembaga keagamaan dan umat beragama, tetapi mesti dialamatkan pada negara yang gagal memberantas korupsi.
Itulah yang dilakukan oleh negara semacam RRC, Singapura, Finlandia, Korea, Jepang, tanpa melibatkan institusi dan retorika agama, berhasil menekan tingkat korupsi.
Yang terlihat di Indonesia kadang menyedihkan, ceramah agama yang sering disampaikan tanpa disadari telah menghibur para koruptor dan tidak membuat mereka jera karena dengan formula doa-doa dan ritual semua dosa itu akan menjadi putih bersih.
Saya rasa itu tepat untuk dosa individual bagi mereka yang tidak melaksanakan perintah Allah, seperti meningalkan shalat dan puasa, atau melanggar larangannya. Namun, dosa sosial dan struktural, negara mesti tegas menghukum mereka dan merampas hasil korupsinya.
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Internasional Indonesia.
Sumber: Kompas.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar