Selamat atas banyak prestasi Pemerintah Kota Bandung dengan nakhoda Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Meski demikian, ada hal-hal yang belum tersentuh pembenahan. Salah satunya adalah pengelolaan Trans Metro Bandung (TMB).
Moda transportasi gagasan pemerintah pusat ini, awalnya memang ditentang para pengusaha angkutan swasta karena khawatir mengurangi pendapatan mereka. Namun, karena janji Pemkot Bandung untuk hanya berhenti di halte dan melalui jalur yang bukan rute angkot, jadilah TMB menjelajahi wilayah Bandung Raya.
Sayang, janji TMB untuk berhenti di halte saja, tidak sepenuhnya dijalankan. TMB bisa berhenti di mana saja, tergantung di mana penumpang ingin turun atau calon penumpang ingin naik. Lalu untuk apa halte begitu banyak dibangun? Sungguh sayang investasinya.
TMB juga masih menggunakan karcis melalui sopir atau kondektur di dalam bus, belum menggunakan kartu sesuai ajakan pemerintah dengan "Gerakan Nasional Nontunai dengan Menggunakan Uang Elektronik." Sering kondektur atau sopir tidak memberikan karcis kepada penumpang, dengan berbagai alasan.
Padahal, ongkos terus naik, semula Rp 4.000 menjadi Rp 6.000 dan sekarang Rp 8.000 untuk jarak tempuh terjauh. Dari dan ke jurusan kawasan Gedebage, pengamen bahkan diperbolehkan masuk.
Sebenarnya sudah ada usaha Wali Kota dengan beberapa kali mengganti Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung, tetapi belum menampakkan hasil. Mengapa tidak memanfaatkan keberadaan para ahli transportasi ITB? Mengapa tidak belajar dari pengelola transjakarta, Trans Semarang atau Transjogja? Hanya dengan Rp 3.500 sudah ke mana-mana, sepanjang tidak keluar dari halte.
Semoga Wali Kota Ridwan Kamil masih berkesempatan memperbaiki pengelolaan TMB, sebelum ia dipromosikan ke tempat yang lebih tinggi.
TAMSIR RIZAL
Desa Cihanjuang, Kecamatan Parongpong, Bandung 40559
Tanggapan BPJS
Menanggapi surat pembaca Bapak Odang Muchtar berjudul "Mereka Sakit, Bukan Sehat", (Kompas, 22/6), kami sampaikan hal-hal berikut.
Perlu diketahui bahwa kondisi BPJS Kesehatan saat ini bukan defisit, tetapimismatch. Mismatch ini telah diprediksi sejak awal karena ketidaksesuaian besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dengan perhitungan besaran iuran ideal.
Iuran ideal untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) adalah Rp 36.000 per orang per bulan untuk kelas rawat III. Sementara iuran ideal untuk peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) alias peserta mandiri adalah Rp 80.000 untuk kelas rawat I, Rp 63.000 kelas rawat II, dan Rp 53.000 kelas rawat III.
Besaran iuran ideal sudah merupakan perhitungan aktuaris para ahli, termasuk rekomendasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Namun, kemampuan pemerintah dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia membuat besaran iuran peserta PBI adalah Rp 23.000 per orang per bulan dan besaran iuran peserta PBPU kelas I Rp 80.000 (sudah sesuai besaran ideal), kelas rawat II Rp 51.000 (belum sesuai), dan kelas rawat III Rp 25.500 (belum sesuai).
Dapat kami sampaikan bahwa meskipun seluruh penduduk Indonesia telah menjadi peserta JKN-KIS dan membayar iuran sesuai masing-masing hak kelas rawatnya, ada kendali mutu dan kendali biaya, dan tidak ada lagi konsumsi berlebih dalam hal pemanfaatan pelayanan kesehatan, mismatch yang dialami BPJS Kesehatan tetap tidak akan tertutup. Hal ini terjadi karena masih terdapat gap antara kondisi besaran iuran faktual dengan besaran iuran ideal berdasarkan perhitungan aktuaria.
BUDI MOHAMAD ARIEF
Kepala Grup Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga, BPJS Kesehatan
Tanggapan JNE
Menanggapi surat pembaca di Kompas, Senin (5/6), berjudul "Paket Tertukar", kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami Ibu Lilik Handini.
Sebagai itikad baik, kami telah menghubungi Ibu Lilik dan permasalahan telah selesai dengan baik pada kedua belah pihak.
Terima kasih atas kepercayaannya menggunakan jasa kiriman JNE. Untuk saran dan kritik mengenai kami, silakan menghubungi petugas Customer Care: 021-29278888 atau e-mail: customercare@jne.co.id.
HENDRIANIDA PRIMANTI
Head Of Media Relations Dept, JNE Express
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar