Oleh Syamsuddin Haris
Setelah dinyatakan lolos dalam verifikasi administratif dan faktual, sepuluh partai politik peserta Pemilu 2014 kini mulai sibuk menyusun daftar calon anggota legislatif. Beberapa partai politik bahkan secara terbuka mengundang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon anggota legislatif. Mungkinkah kualitas parlemen menjadi lebih baik?
Secara internal, setiap partai politik sebenarnya telah memiliki mekanisme perekrutan calon anggota legislatif. Sejak Pemilu 2004, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, sudah mempunyai sistem skoring dan pembobotan untuk mengetahui rekam jejak para calon anggota legislatif dan atas dasar itu daftar calon anggota legislatif disusun pimpinan partai.
Partai Golkar sejak lama memiliki instrumen PD2LT (prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas, dan tidak tercela) sebagai prasyarat dasar dalam menilai calon anggota legislatif. Partai politik lain memiliki mekanisme internal serupa dengan variasi berbeda-beda pula.
Pada umumnya partai politik juga membuka diri dengan memberi jatah sekitar 10-20 bagi orang luar nonkader sebagai calon anggota legislatif.
Yang menjadi persoalan, mekanisme internal ini tidak sepenuhnya berjalan di lapangan. Hak istimewa ketua umum atau segelintir pemimpin partai politik sebagai pemutus akhir acap kali mengecewakan kader partai politik sendiri.
Di sisi lain, sistem kaderisasi yang semestinya menjadi kerja rutin partai politik tidak berjalan di sebagian besar partai politik. Akibatnya, partai politik sering kali terperangkap mencalonkan mereka yang memenuhi tiga kategori, yakni memiliki hubungan nepotis dengan pimpinan partai politik, populer secara publik, dan mempunyai modal finansial yang cukup.
Keluarga para petinggi partai politik, artis, dan para pengusaha akhirnya lebih berpeluang menjadi calon anggota legislatif.
Dampak melembaganya oligarki partai politik adalah tidak adanya standar kompetensi dalam perekrutan calon anggota legislatif. Sistem proporsional daftar terbuka dengan mekanisme suara terbanyak justru cenderung semakin memperburuk kualitas para legislator. Hal ini tecermin dalam rapat-rapat komisi DPR yang hanya diramaikan oleh beberapa gelintir anggota. Sebagian besar anggota parlemen lainnya cenderung diam alias tidak bersuara selama lima tahun menjadi anggota DPR.
Menurut tracking media yang dilakukan Charta Politika, hanya 10-15 persen anggota DPR yang aktif bersuara dan didengar media (Kompas, 21/1). Implikasinya, produktivitas legislasi DPR umumnya di bawah 40 persen dari target tahunan, sedangkan kualitasnya sering digugat berbagai kalangan melalui uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi.
Sistem tidak terbangun
Apa yang salah? Sulit dimungkiri, pada umumnya partai politik hanya sibuk dan akhirnya "panik", termasuk dalam perekrutan calon anggota legislatif setiap menjelang pemilu. Kerja politik rutin partai politik berupa kaderisasi, latihan dasar kepemimpinan, dan pembekalan wawasan kebangsaan dan pemerintahan yang seharusnya berlangsung di antara dua masa pemilu relatif tidak berlangsung.
Semua kerja politik yang semestinya menjadi rutinitas partai politik akhirnya dilakukan secara instan dan ad hoc.
Kecenderungan kerja instan yang sama dilakukan partai politik dalam relasi dengan konstituen di daerah pemilihan. Kerja partai politik secara institusi untuk merawat dukungan konstituen di daerah pemilihan amat minim dilakukan. Hanya sebagian kecil anggota DPR yang secara individu benar-benar rajin merawat dukungan mereka di daerah pemilihan.
Implikasi kecenderungan ini adalah tidak stabilnya dukungan konstituen terhadap partai politik dalam setiap pemilu di Indonesia. Hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009 memberi gambaran jelas, dukungan pemilih terhadap partai politik bersifat sangat "cair". Akibatnya, suatu partai politik yang memenangi daerah pemilihan tertentu pada pemilu sebelumnya belum tentu bisa mempertahankan kemenangan itu pada pemilu berikutnya.
Secara singkat dapat dikatakan, sebagian besar partai politik yang berkuasa di negeri ini gagal membangun dan melembagakan organisasi partai politik sebagai pilar demokrasi kita, terutama dalam mewadahi proses kaderisasi serta regenerasi kepemimpinan politik.
Setelah memperoleh kursi legislatif dan eksekutif, para petinggi partai politik lebih sibuk memburu rente dengan cara mengutak-atik dana publik (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk disalahgunakan ketimbang kerja "kering" merawat dukungan konstituen di daerah pemilihan masing-masing.
Berbagai kasus korupsi yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan anggota parlemen, kepala daerah, hingga menteri mengindikasikan hal itu.
Berita buruk
Kesediaan partai politik membuka diri bagi orang luar nonpartai politik untuk menjadi calon anggota legislatif di satu pihak mungkin dapat dipandang sebagai "berita baik".
Artinya, berbagai elemen masyarakat yang selama ini kritis terhadap partai politik memiliki kesempatan untuk terjun langsung sebagai legislator. Namun, di pihak lain, pemberian kesempatan bagi publik menjadi calon anggota legislatif tersebut sekaligus juga merupakan berita buruk bagi perkembangan demokrasi bangsa kita atas dasar beberapa argumen.
Pertama, undangan terbuka bagi orang luar nonkader sebagai calon anggota legislatif dapat dipandang sebagai pengakuan tidak langsung kalangan partai politik atas kegagalan mereka dalam memproduksi calon anggota legislatif yang kompeten untuk pemilu mendatang.
Kedua, karena proses perekrutan bersifat instan, tidak ada jaminan bahwa calon anggota legislatif nonkader lebih kompeten dan berintegritas dibandingkan calon anggota legislatif dari kalangan internal partai politik.
Ketiga, proses politik instan cenderung menghasilkan komitmen dan tanggung jawab yang serba instan pula sehingga agak sulit membayangkan hal itu berdampak positif bagi peningkatan kualitas kinerja para legislator khususnya dan kualitas lembaga-lembaga perwakilan rakyat pada umumnya.
Karena itu, semangat berburu calon anggota legislatif yang dilakukan partai politik mengingatkan kita pada lukisan Djokopekik yang menggambarkan momen jatuhnya Soeharto pada 1998. Lukisan cat minyak yang dahsyat itu berjudul "Indonesia 1998, Berburu Celeng".
Semoga saja partai-partai politik kita tidak salah berburu sehingga benar-benar memperoleh calon anggota legislatif yang menjanjikan, bukan "celeng", yakni mereka yang akhirnya mengkhianati diri sendiri dan rakyat yang diwakilinya.
SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset LIPI
(Kompas cetak, 28 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar