Legalisme Otokratis Merongrong Pancasila (Haryatmoko)
Legalisme otokratis adalah upaya merekayasa penyelenggaraan negara melalui penggunaan mekanisme hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang cenderung otoriter dengan tetap mempertahankan struktur resmi demokrasi (Levitsky dan Ziblatt, 2018).
Legalisme otokratis ini mengacu pada bagaimana pemimpin menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan dan tindakan untuk mempertahankan kekuasaan tanpa harus menggunakan kekerasan.
Kecenderungan legalisme otokratis melemahkan institusi demokratis (sila keempat) karena masyarakat dijauhkan dari partisipasi dalam pengambilan kebijakan dan penguasa membungkam suara kritis dengan menjadikan pengadilan dan aparat penegak hukum (APH) sebagai alat kriminalisasi lawan politik melalui lawfare (hukum dipakai sebagai senjata politik).
Jadi, legalisme otokratis ini juga melanggar sila kedua dan tuntutan sila pertama (moralitas pejabat publik). Padahal, Astacita Presiden Prabowo yang diletakkan di urutan pertama adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM).
Kecerdikan perekayasa legalisme otokratis terletak dalam mengeksploitasi celah hukum, menerapkan hukum secara selektif, atau memanipulasi sistem peradilan untuk melemahkan lembaga-lembaga demokratis sembari mempertahankan kesan legalitas.
Memang, penguasa dan kroninya tidak melanggar prosedur demokrasi, tetapi memanipulasi hukum secara bertahap untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Strategi ini mengelabui masyarakat dengan tetap mempertahankan façade demokrasi: pemilu dan institusi hukum, tampaknya masih berfungsi.
Legalisme otokratis merupakan bentuk perusakan demokrasi yang sulit dikenali karena menggunakan mekanisme hukum yang tampak sah. Dengan mengubah hukum secara bertahap, menekan lawan politik melalui regulasi, serta mengendalikan narasi publik, pemimpin dapat membangun kekuasaan yang sulit dilawan tanpa perlu menghapus pemilu atau membubarkan parlemen.
Masyarakat tak menyadari bahwa sedang dikendalikan oleh sistem yang secara hukum tampak demokratis, tetapi pada hakikatnya telah kehilangan prinsip-prinsip demokrasi.
”Rule by law”, bukan ”rule of law”
Legalisme otokratis bukan sekadar teori hukum, tetapi juga ideologi politik yang menekankan efisiensi, kekuasaan negara yang kuat, serta supremasi hukum sebagai alat kontrol sosial dan politik (Tao Jiang, 2021).
Masalahnya, hukum digunakan lebih sebagai mekanisme rule by law (hukum sebagai alat kontrol negara atau untuk kepentingan negara), bukan rule of law, yaitu supremasi hukum di atas negara atau hukum yang melindungi individu dari kekuasaan negara (Lubman, 2000).
Maka, formalisme hukum (kepatuhan terhadap prosedur dan legalitas teknis) dieksploitasi untuk membenarkan tindakan yang tak demokratis sambil mengabaikan semangat demokrasi konstitusional, bisa juga dalam bentuk melanggar prosedur, transparansi, substansi, dan cacat politik dalam pengesahan UU.
Proses legalisasi melanggar secara prosedural ketika hukum disahkan tanpa konsultasi publik yang memadai. Lemahnya transparansi, ketika perubahan pasal dilakukan secara mendadak, tanpa pembahasan terbuka. Cacat dari sisi substansi karena hukum yang dibuat hanya menguntungkan kelompok tertentu atau merugikan kelompok lain tanpa alasan sah.
Dari sisi politik, ada legislative capture, yaitu proses legislasi dikendalikan oleh kelompok kepentingan tertentu yang memiliki kekuatan untuk menekan secara politis sehingga mengabaikan aspirasi rakyat. Pengesahan mendadak atau dipercepat tanpa alasan kuat: RUU disahkan dalam waktu singkat, apalagi bila ada indikasi legislator menerima gratifikasi.
Meski memiliki banyak UU dan sistem peradilannya juga berkembang, realitasnya hukum sering ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Hakim dan penegak hukum lain tak independen dan sering menerima instruksi dari pejabat partai yang berkuasa.
Korupsi dalam sistem hukum masih menjadi masalah besar, terutama dalam proses pengadilan dan penegakan hukum, bahkan sejak prosedur pengesahan RUU menjadi UU. Seandainya ada reformasi hukum, lebih dalam kerangka meningkatkan kepastian hukum di bidang ekonomi, tetapi tidak membawa independensi peradilan atau tidak menjamin perlindungan hak-hak sipil.
Merusak demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila sebagai demokrasi konstitusional mensyaratkan pemisahan kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif, yang saling mengawasi. Namun, dengan memperluas kekuasaan eksekutif secara hukum, memanipulasi hakim, atau membuat UU yang membatasi partisipasi lawan politik, penguasa otokratis melemahkan prinsip check and balance.
Penguasa menggunakan mayoritas parlemen untuk mengamendemen konstitusi atau mengintervensi proses legislasi demi memperkuat kendali eksekutif. Model perubahan ini sering dikemas dengan istilah yang memikat ”reformasi hukum” yang diperlukan untuk membuka lapangan kerja, efisiensi pemerintahan, kepastian hukum, dan stabilitas politik.
Kaum legalis otokratis biasanya mengikis demokrasi secara bertahap, membuat perubahan tampak bisa dibenarkan secara hukum dan tak mengancam. Incrementalism ini untuk mengurangi resistensi agar tak menimbulkan ketidakstabilan sosial-politik sehingga memungkinkan konsolidasi kekuasaan dari waktu ke waktu.
Ternyata berhadapan dengan legalisme otokratis, keberadaan hukum saja tidak cukup untuk melindungi demokrasi. Pertaruhan yang sesungguhnya terletak pada cara bagaimana kerangka hukum ditafsirkan, ditegakkan, dan dipertentangkan.
Hal ini karena penguasa dengan mudah bisa: (i) mengganti sistem pemilu agar menguntungkan partai berkuasa; (ii) membatasi akses oposisi ke media atau pendanaan kampanye; (iii) mengontrol lembaga penyelenggara pemilu agar berpihak kepada pemerintah dan mempersulit partai lawan; dan (iv) penguasa menggunakan hukum untuk menekan lawan politik dan kritik publik.
Demokrasi konstitusional bergantung pada peradilan yang independen sebagai penjaga supremasi hukum. Namun, legalisme otokratis menggunakan berbagai cara untuk mengontrol pengadilan, seperti mengangkat hakim yang loyal kepada pemerintah, bahkan mengubah hukum untuk mengganti hakim-hakim MK dengan hakim loyalis pemerintah. Membatasi yurisdiksi pengadilan dalam menangani kasus politik.
Depolitisasi masyarakat
Penganut legalisme otoriter menggunakan propaganda hukum untuk meyakinkan masyarakat bahwa semua tindakan mereka sah dan diperlukan. Media yang dikendalikan negara atau sekutu pemerintah memainkan peran besar dalam menyebarkan narasi legitimasi ini.
Misalnya: ”Kita hanya ingin menegakkan ketertiban dan hukum.” ”UU baru ini dibuat untuk melindungi kemajuan bangsa dan menciptakan lapangan pekerjaan.” ”Lawan politik yang didanai asing sedang berusaha mengacaukan negara dengan melawan hukum.”
Narasi legitimasi yang diperkuat dengan kebijakan populis digunakan untuk mendeskreditkan lawan-lawan politik dan membuai lapisan besar masyarakat sampai opini publik berpihak kepada penguasa. Akibatnya, terjadi depolitisasi masyarakat.
Kebijakan populis (subsidi, bansos, Makan Siang Gratis) digunakan untuk membangun loyalitas masyarakat agar tak lagi mempersoalkan masalah kebebasan politik. Menyebarkan gagasan bahwa ”politik itu kotor” sehingga masyarakat kehilangan minat dalam perubahan politik.
Medsos diawasi dan digunakan untuk menyebarkan propaganda serta menyerang lawan politik dengan buzzer, troll atau penggunaan kecerdasan buatan men-take down informasi atau suara-suara yang kritis atau melawan penguasa. Parlemen tetap berfungsi, tetapi sebagian besar anggotanya ada di bawah kendali aliansi partai yang berkuasa.
Masih ada ruang untuk perbedaan pendapat dan kritis, tetapi dikontrol ketat dan hanya berfungsi sebagai pelengkap demokrasi semu. Ada forum konsultasi publik, tetapi keputusan akhir tetap ditentukan elite penguasa
Dampak legalisme otokratik
Dampak politik legalisme otokratik ialah penurunan kebebasan sipil. Wartawan, akademisi, dan aktivis mulai menghadapi tekanan hukum, seperti tuntutan defamasi atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pemerintah memanfaatkan propaganda untuk membangun narasi bahwa mereka yang kritis kepada pemerintah adalah pengkhianat, agen asing, atau ancaman bagi negara. Perpecahan sosial dan polarisasi politik meningkat antara pendukung pemerintah dan kelompok prodemokrasi.
Dampak ekonomi, ketidakpastian bagi investor dan dunia usaha. Jika aturan hukum jadi lebih fleksibel untuk kepentingan politik, investor mulai ragu terhadap stabilitas jangka panjang. Korupsi kian meningkat karena hukum dipakai untuk melindungi kroni politik.
Pemerintah menggunakan hukum untuk mengatur perusahaan atau industri tertentu guna memperkuat cengkeraman mereka atas ekonomi, sehingga berkembang sistem ekonomi patronase (crony capitalism): bisnis dan proyek negara diberikan kepada orang-orang dekat pemerintah. Investor menarik modalnya karena melihat bahwa aturan hukum tak fair dan dapat berubah sesuai kepentingan politik.
Ketimpangan sosial semakin tajam karena hanya kroni penguasa yang mendapatkan manfaat ekonomi. Rakyat dipaksa hidup dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit karena inflasi, pajak yang tinggi, atau ketidakpastian kerja. Kritik terhadap pemerintah dikriminalisasi, menciptakan efek ketakutan dalam masyarakat.
Politik identitas digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Masyarakat menjadi kian terpolarisasi dan sulit bersatu kembali. Perusahaan atau orang yang mendukung partai lawan atau bersikap netral mengalami tekanan, melalui pajak atau regulasi yang diskriminatif.
Lembaga demokrasi kehilangan fungsinya karena parlemen berubah jadi lembaga simbolis tanpa kekuatan nyata dikendalikan oleh aliansi partai berkuasa. Sistem peradilan semakin tunduk ke eksekutif, membuat keputusan yang menguntungkan pemerintah dan membatasi oposisi, sehingga kehilangan independensinya.
Eksodus kaum intelektual dan profesional (brain drain). Orang-orang berbakat, termasuk akademisi dan pengusaha, mulai meninggalkan negara karena lemahnya kebebasan dan kesempatan untuk berkembang. Jika represi terus dilakukan, ketidakstabilan politik bisa meningkat sehingga berisiko memantik pergolakan sosial.
Legalisme otokratis dalam jangka panjang merusak kebebasan sipil, menghancurkan keadilan hukum, memperburuk korupsi, dan menciptakan negara otoriter dengan kontrol penuh atas politik, ekonomi, dan masyarakat. Untuk menghindari jebakan ini, penting bagi masyarakat sipil, media, akademisi, dan institusi hukum untuk tetap waspada terhadap setiap upaya legalisasi otoritarianisme, sebelum sistem demokrasi benar-benar runtuh.
Haryatmoko Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP dan Anggota AIPI Komisi Kebudayaan
Sumber: Opini - Kompas.id, Kamis 27 Maret 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar