Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 06 Juni 2023

Lingkungan Hidup - Kepenatan Lingkungan

 Industrialisasi telah menghantarkan revolusi terbesar pandangan bahwa manusia berhak menguasai (memodifikasi dan bahkan merusak) tatanan alam. Bumi kini sangat penat dan kerap murka dalam rupa berbagai peristiwa bencana.

Oleh HEFNI EFFENDI
 Ilustrasi  
HERYUNANTO

Ilustrasi

Pada awal abad ke-19 (tahun 1800), Bumi dihuni oleh sekitar satu miliar manusia. Pada pertengahan abad ke-20 (tahun 1950), angkanya berlipat menjadi 2,6 miliar manusia. Kemudian pada abad ke-21 (tahun 2023) alam ini sudah dijejali delapan miliar manusia, meningkat delapan kali lipat hanya dalam dua abad.

Apa yang diprediksi Thomas Robert Malthus (1798) dalam An essay on the principle of population, dan Paul Erlich (1968) tentang The population bomb sudah jadi keniscayaan.

Tahun 1900, jumlah penduduk Indonesia masih sekitar 40 juta. Namun, pada 2023 berlipat sekitar tujuh kali lipat menjadi 276 juta jiwa manusia, yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya dan disediakan habitat hidupnya.

Peledakan jumlah penduduk memang tak bisa dimungkiri sejatinya dipicu oleh Revolusi Industri abad ke-18 dan mulai enyahnya kolonialisme pada pertengahan abad ke-20. Dua kejadian luar biasa itu telah mengubah secara fundamental peradaban manusia dalam mengarungi derap kehidupan.

Ada kemudahan, kenyamanan, dan kebebasan yang muncul sebagai konsekuensi dua fenomena dunia ini.

Bumi kelelahan

Bumi ini telah sangat penat dan tertatih-tatih. Tidak hanya dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia berupa pangan dan habitat, tetapi juga harus memuaskan kerakusan manusia yang merasa dialah center of anthropocentric yang memonopoli moral bahwa merekalah tumpuan akhir. Makhluk lain dan sistem ekologi hanyalah sarana untuk merealisasikan tujuan manusia.

Berbagai peristiwa atau fenomena yang terjadi selama ini kiranya merupakan salah satu bentuk murka alam sebagai ekspresi kepenatannya.

Mulai dari pandemi Covid-19 yang telah menelan 6.871.572 nyawa manusia (Worldometers, 2023); hingga fenomena VUCA (volatility, uncertainty, complexity and ambiguity); pemanasan global yang berimplikasi pada perubahan iklim yang tak menentu; lubang ozon yang makin menganga; serta keberadaan The Great Pacific Garbage Patch berupa sampah mengapung yang didominasi oleh plastik di Samudera Pasifik bagian utara yang luasnya setara negara bagian Texas di Amerika.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/3M8d8_IZS9p8k9B-zuvuOoGQFSY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F19%2F6e6eb072-1956-4154-99a3-a759f45e7e63_jpg.jpg

Ilustrasi

VUCA yang dikemukakan oleh Warren Bennis (1987) mengilustrasikan situasi yang mengalami perubahan sangat cepat, tidak terduga, sulit dikontrol, dan tak bisa diprediksi, karena dipengaruhi oleh banyak variabel. Perubahan ini harus diantisipasi oleh segenap insan manusia di era sekarang.

Filosofi moral eksploitasi SDA

Manakala Revolusi Industri berlangsung di panggung dunia sejak abad ke-18, Donald Worster (1993) menilai industrialisasi telah menghantarkan revolusi terbesar pandangan bahwa manusia berhak menguasai (memodifikasi dan bahkan merusak) tatanan alam.

Bahkan, secara radikal mengubahnya menjadi barang, dalam mengejar produksi ekonomi maksimum; dan hanya hal-hal yang diproduksi oleh industri dan ditempatkan di etalase pasar untuk dijual, yang memiliki nilai.

Tulisan Auguste Comte (1893) turut memperburuk situasi ini. Ia mengungkapkan filsafat positif yang menggambarkan hal yang tak terhindarkan, tak dapat diubah, tahap demi tahap, dan tak terhentikan, dalam memajukan umat manusia menuju zaman keemasan di Bumi. Di sana ditanamkan optimisme bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengarah pada kesempurnaan moral umat manusia.

Aliran filosofi moral pemanfaatan sumber daya alam (SDA) masa lalu menegasikan aspek keberlanjutan. Hanya kepuasan nafsu tamak dan hedonisme manusia yang diagungkan.

Perubahan ini harus diantisipasi oleh segenap insan manusia di era sekarang.

Sistem Take-Make-Waste, manusia mengambil SDA seperti: mineral, ikan, kayu, batubara, minyak, dan sebagainya; lalu menggunakannya untuk membangkitkan ekonomi dengan mengolah bahan tersebut menjadi barang konsumsi dan jasa untuk dinikmati. Produktivitas industri dinilai semata dari peningkatan kuantitas produk yang dihasilkan.

Paham lain yang turut menunjang pengurasan SDA secara besar-besaran adalah Utilitarianism (Mill, 1861) yang disimplifikasi sebagai Ends-Based-Thinking. Pemanfaatan SDA demikian berfokus pada hasil terbaik (the greatest good) yang dinikmati oleh banyak orang (the greatest number), meminggirkan konsekuensi kerusakan dan kesempatan generasi mendatang untuk menikmatinya.

Utilitarianisme adalah tradisi filsafat etika yang diasosiasikan dengan Jeremy Bentham (1747-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Perbuatan adalah benar jika mendorong kebahagiaan, dan salah jika mendorong ketidakbahagiaan.

Ketika digunakan dalam konstruksi sosiopolitik, etika utilitarian bertujuan untuk perbaikan masyarakat secara keseluruhan. Utilitarianisme mempromosikan jumlah kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar orang. Tidak memperhitungkan perasaan, emosi, budaya, atau keadilan; menolak sistem moral yang berisi ketabuan yang didasarkan pada adat, tradisi, atau perintah pemimpin atau makhluk gaib.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/FT2VUG1S9WuWtWCaSfUclMVVSp8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F22%2F5cf7bfc3-5bc4-47ea-b7af-40553a010037_jpg.jpg

Sebaliknya, kaum utilitarian berpikir bahwa yang membuat suatu moralitas menjadi benar adalah kontribusi positifnya terhadap umat manusia.

Selanjutnya, pemanfaatan SDA dan lingkungan oleh manusia dipengaruhi oleh paham Rule-Base-Thinking yang diintroduksi oleh filosof Jerman Immanuel Kant pada abad ke-18.

Dalam eksploitasi SDA, mesti berperilaku sesuai ketentuan yang orang lain juga mengikuti ketentuan tersebut. Pemikiran berbasis aturan menekankan kebutuhan untuk bertindak berdasarkan prinsip, daripada berlandaskan konsekuensi yang tidak dapat diprediksi. Paradigma ini juga mengesampingkan aspek kelestarian.

Selanjutnya berkembang Care-Based-Thinking (Kidder, 1995). Prinsip ini menyatakan pentingnya mengutamakan cinta orang lain. Ada aturan utama yang menyatakan, lakukan pada orang lain apa yang Anda ingin mereka lakukan untuk Anda.

Aspek reversibilitas mulai dikaitkan dalam paradigma ini.

Mazhab masa lalu ini tak ada yang keliru, semua berjaya pada masanya, tatkala kelentingan (resiliensi) alam belum terusik.

Namun, ketika diaplikasikan dalam konteks kekinian, mazhab tersebut akan sangat usang, karena tidak kompatibel dengan dinamika kompleksitas permasalahan lingkungan yang mengemuka saat ini.

Selanjutnya paradigma bergeser lagi menjadi Borrow -Use-Return, yakni bahan mentah diekstraksi dari alam. Material dan energi dikonversi menjadi barang dan jasa. Kemudian setelah dipakai, dikembalikan ke alam berupa nutrien untuk pertumbuhan makhluk lain selanjutnya. Dipertimbangkan pula kemampuan alam dalam melakukan asimilasi dan purifikasi. Aspek homeostasis dan eksternalitas antropogenik yang berlebihan memasuki alam jadi konsideran utama.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/JYFY_MITpwMDHUrvOkf_6_MofYM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F09%2F0cea16ab-7de2-4e17-825d-c56f5c62a1a9_jpg.jpg

Ilustrasi

Kerja kolektif untuk keberlanjutan lingkungan

Kemudian, Brundtland Report (1987) secara tegas mengintroduksi konsep pembangunan berkelanjutan, yang bermakna pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Namun, cukupkah konsep Brundtland dan adanya konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) menguraikan dinamika permasalahan lingkungan yang kian kompleks dan mengglobal tanpa kenal lintas batas, yang telah melelahkan planet Bumi sebagai satu-satunya yang dapat dihuni ini?

Seyogianya itu didorong terobosan lanjutan berikut. Pertama, perlu penajaman komitmen global, terutama negara industri maju, untuk tak hanya piawai mengglobalkan isu lingkungan dan berkilah untuk meratifikasi konsensus global demi kepentingan internal.

Aliran filosofi moral pemanfaatan sumber daya alam (SDA) masa lalu menegasikan aspek keberlanjutan.

Kedua, secara kolektif berkomitmen menyingkirkan throw away society dan konsumsi yang eksesif (excessive consumption).

Ketiga, negara berkembang yang masih menerapkan konsep trade off dalam eksploitasi SDA dan lingkungan harus terus memperjuangkan aspek keadilan di tataran internasional. Keempat, terus secara intensif menanamkan kesadaran global dalam pelestarian lingkungan yang menjadi tugas kolektif segenap umat manusia.

Kelima, kemitraan (partnership) global dalam pelestarian lingkungan tidak boleh hanya sebagai jargon miskin makna, tapi implementatif.

Semoga Hari Lingkungan Hidup 5 Juni ini dapat menggugah dan melipatgandakan spirit umat dunia untuk memperbaharui komitmen tersebut.

Hefni Effendi,Guru Besar Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP) FPIK, IPB University

Sumber:  https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/05/kepenatan-lingkungan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger