Diskusi dedolarisasi belakangan ini merujuk pada fenomena global. Fenomena ini sama sekali bukan hal baru, tetapi situasi terakhir mengakselerasi kecenderungan tersebut.
Dinamika ekonomi tak pernah berada di ruang hampa; dia selalu berdialektika dengan konteks sosial dan politiknya. Meskipun begitu, motif utamanya (basic instinct) tetap sama, yaitu memanfaatkan peluang secara optimal. Begitu pun tentang dedolarisasi. Meredupnya integrasi perekonomian global menjadi konteks semakin turunnya kepemilikan aset dollar Amerika Serikat secara global. Fragmentasi geopolitik serta meredupnya globalisasi melatari gejala dedolarisasi.
Dalam literatur keuangan internasional, dedolarisasi dipahami secara lebih luas sebagai fenomena berkurangnya ketergantungan perekonomian suatu negara terhadap mata uang asing, utamanya dollar AS, sebagai mata uang dominan. Ketergantungan pada dollar (dolarisasi) tak serta merta buruk karena menunjukkan integrasi dalam perekonomian global. Namun, ketergantungan berlebihan pada likuiditas berdenominasi asing membuat perekonomian domestik rentan gejolak dan tak independennya kebijakan moneter.
Diskusi dedolarisasi belakangan ini merujuk pada fenomena global di mana banyak negara mulai mengurangi proporsi kepemilikan aset dalam dollar AS dengan cara mendiversifikasi dalam mata uang lain. Fenomena ini sama sekali bukan hal baru, tetapi situasi terakhir mengakselerasi kecenderungan tersebut. Tentu saja dominasi dollar AS tidak serta merta tergantikan dalam waktu cepat. Namun, sepertinya ritme penurunannya akan lebih cepat di masa depan.
Diskusi dedolarisasi belakangan ini merujuk pada fenomena global di mana banyak negara mulai mengurangi proporsi kepemilikan aset dalam dollar AS dengan cara mediversifikasi dalam mata uang lain.
Fragmentasi geo-politik
Sejak Rusia dikucilkan Amerika Serikat, Eropa, dan sekutunya, penggunaan dollar AS justru merosot. Seperti diperkirakan sebelumnya, pengenaan sanksi secara ketat akan memicu kebijakan balasan yang akhirnya merugikan semua pihak. Sekutu Amerika Serikat menerapkan sanksi keras kepada Rusia, termasuk membekukan semua transaksi dengan mata uang rubel, dengan cara memutus penukaran uang antarlembaga keuangan lintas negara atau SWIFT (Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication). Tindakan ini menandai fenomena baru di era modern, yaitu penggunaan mata uang (dollar AS) sebagai amunisi perang (dollar weaponization).
Tentu saja Rusia tidak tinggal diam. Rusia menjual minyak ke India melalui Uni Emirat Arab dengan menggunakan mata uang dirham dan rubel. Sementara Rusia melakukan transaksi berbagai komoditas, seperti minyak, batubara, dan metal dengan China menggunakan yuan. Rusia dan sekutunya secara rasional menggunakan peluang ini untuk keluar dari dominasi (mata uang) AS. Keberanian menggunakan mata uang yuan semakin meluas. Kontrak perusahaan minyak nasional China atau China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dengan TotalEnergies dari Perancis mengenai eksplorasi gas alam untuk pertama kalinya dilakukan dengan mata uang yuan pada Maret lalu.
Kecenderungan serupa diikuti banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang ”lebih berani” melakukan transaksi dengan mata uang lokal (local transaction settlement). Belum lama ini, Bank Indonesia dengan Bank Sentral Korea Selatan sepakat mendorong transaksi perdagangan dan investasi dengan mata uang lokal masing-masing atau tidak perlu dikonversi dengan dollar AS. Perjanjian serupa telah dijalankan dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan China. Kesepakatan dengan Korea Selatan tersebut dilakukan di sela-sela pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 pada Selasa (2/5/2023) lalu.
Melemahnya peran dollar AS tidak terjadi belakangan ini saja. Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan terjadinya penurunan peran dollar AS dalam 20 tahun terakhir. Jika pada 2001 cadangan devisa dalam bentuk mata uang dollar AS masih mencapai sekitar 70 persen, pada akhir 2022 sudah merosot menjadi 58 persen. Sementara itu, pada periode yang sama mata uang yuan semakin meningkat peranannya, yakni dari tidak ada sama sekali pada 15 tahun lalu menjadi 7 persen pada tahun lalu.
Meski menurun, dominasi dollar AS masih tetap tinggi, apalagi dibandingkan yuan. Pendapat bahwa yuan akan segera menggantikan dollar AS tentu saja tidak punya dasar. Namun, proses tergerusnya dominasi dollar AS di satu sisi dan meningkatnya yuan di sisi lain bisa jadi akan lebih cepat dari perkiraan banyak pihak. Fragmentasi geopolitik telah memberi insentif bagi kebijakan meninggalkan dominasi dollar AS dan menggunakan mata uang lain.
Dengan kata lain, dedolarisasi merupakan bagian dari gejala deglobalisasi yang juga meningkat sejak krisis Ukraina. Gejala deglobalisasi juga sudah terjadi sejak lama, tetapi intensitasnya meningkat belakangan ini. Meski globalisasi tak akan berbalik arah dengan segera, destinasinya telah bergeser dan konvergensi semakin sulit dicapai. Fragmentasi ekonomi-politik akan memengaruhi peradaban global di masa depan.
Bagaimana kita harus bersikap menghadapi situasi yang berubah ini? Realitas baru globalisasi yang diwarnai dengan fragmentasi perlu disikapi dengan sikap yang jelas dengan cara yang lentur. Kolaborasi regional perlu dikonsolidasikan secara intensif melalui Keketuaan Indonesia untuk ASEAN.
Dalam pertemuan G-20 tahun lalu, Bank Indonesia telah memprakarsasi kerja sama penggunaan pembayaran berbasis digital bersama empat negara ASEAN lainnya (Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina). Aplikasi Quick Response Code Indonesia standard (QRIS) menjadi pendukung transaksi pembayaran digital berupa uang elektronik lintas negara dalam format Regional Payment Digital Connectivity.
Di tengah perubahan konstelasi global, adopsi teknologi guna mendukung penggunaan mata uang lokal perlu diperluas kerangkanya. Dedolarisasi perlu dimaknai sebagai upaya memperkuat ekosistem ekonomi regional yang meliputi perdagangan, investasi dan aliran modal lintas negara. Tujuannya, meningkatkan resiliensi ekonomi domestik melalui integrasi ekonomi regional. Upaya ini tak akan mudah karena negara besar terus membangun koaliasi baru sebagai upaya mempertahankan dominasinya.
Langkah yang dilakukan Bank Indonesia patut diapreasiasi dan didukung guna mendorong kesiapan melakukan transaksi digital dengan semakin banyak pihak. Sistem pembayaran sebagai pendukung (enabler) perlu dilanjutkan dengan pemetaan rantai pasok regional (regional supply chain) di segala aspek, mulai dari perdagangan, investasi, hingga industrialisasi.
Perekonomian Asia bisa memiliki peluang tumbuh dan berkembang pesat di tengah meningkatnya fragmentasi geopolitik. Peluang ini harus dimanfatkan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi domestik.
*A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/05/dedolarisasi-dan-deglobalisasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar