Ini ucapan anggota DPR, Eva Kusuma Sundari, yang dikutip wartawan Liputan6.com pada 15 Januari 2013 perihal perkataan calon hakim agung Daming Sunusi di DPR tentang hukum atas pemerkosa yang menghebohkan itu.
"Dia tidak bisa menjadikan isu yang menjadi concern HAM global ini sebagai candaan karena eksesnya jiwa yang cacat atau trauma. Dia tidak siap jadi hakim agung karena empati saja tidak mampu, karena lack sensitivitas jadi akan gagal men-deliver keadilan sebagaimana amanat UU KDRT, UU HAM, UU Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Perlindungan Anak, bahkan UU Sistem Peradilan Anak. Mind set-nya sudah oppressive terhadap perempuan."
Masih mengutip Eva, reporter menulis: "Ketua MA, ungkapnya, harus mengkondiser ini sebagai permasalahan serius karena mind set para hakim yang oppressive terhadap minoritas perempuan merupakan indikator pengadilan yang sexist juga."
Di sini kita mendapati bahwa wartawan yang seharusnya siap dengan perangkat dasar komunikasi, yaitu bahasa, sudah masuk perangkap bahasa kacau sebagian besar tokoh publik. Kita mafhum ini bukan satu-satunya, juga bukan kasus langka.
Sekadar menyebut beberapa bentukan yang kacau: "menjadi concern", "empati saja tidak mampu", "lack sensitivitas", "men-deliver", "mind set-nya sudah oppressive", "mengkondiser". Bagaimana seharusnya mengatakan hal yang sama dengan cara yang tepat? Yang bersangkutan sendiri harus mulai dengan kedisiplinan dalam berbahasa.
Sejak awal pertumbuhannya, kaum intelektual bumiputra tak bisa lepas dari hegemoni bahasa Barat. Berlatar belakang budaya feodal, ditambah pengalaman dijajah selama ratusan tahun, terbentuk kondisi mental minder (istilah ini dari bahasa Belanda) pada kelas atas, yang merembes ke bawah.
Perpaduan perilaku gengsi dan mental minder mencetak pribadi yang tak mampu menghargai nilai diri sendiri. Sebagai dampaknya, muncul sikap suka pamer. Sindiran orang Betawi, "biar tekor asal kesohor".
Ambisi pamer diri, yang pada golongan tertentu cenderung mencakup aspek aksesori jasmaniah, pada golongan intelektual—di samping wartawan, penulis, seniman, dan akademikus, sebagian politikus dan birokrat dapat dianggap termasuk golongan ini—cenderung mencakup aspek intelek dan pengetahuan. Orang kaya pamer harta, orang yang banyak membaca pamer perbendaharaan bacaan, sedangkan orang yang merasa memiliki lisensi "bicara kepada publik" pamer kosakata.
Di negeri paternalistik ini, sampai sekarang masih banyak birokrat dan politikus yang ketika diwawancara wartawan atau "menyampaikan amanat, komentar, sambutan" tak ubahnya sedang berpetuah kepada kawula. Yang dihamburkan bukan kalimat-kalimat sederhana yang mudah dimengerti khalayak dari segala lapisan, melainkan seperti raja unjuk kekuasaan. Ironisnya, acap kali yang bersangkutan tak sadar bahwa ucapannya hanya kata-kata dari berbagai bahasa yang berserakan tanpa sistem yang membentuk makna.
Dalam kasus semacam ini wartawan seharusnya jadi penyaring; kritikus bahasa yang pragmatis bagi khalayak. Dalam kutipan tak langsung saringlah residu yang tak perlu agar tersaji berita dalam bahasa yang efektif.
Kurnia JR Sastrawan
(Kompas cetak, 25 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar