Oleh M Alfan Alfian
Political parties are like poets,
born, not made.
Henry Ford
Ketika Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan sepuluh partai politik peserta pemilu, kompetisi semakin jelas. Dalam bingkai demokrasi prosedural, partai-partai berebut pengaruh.
Sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, mempertegas hakikat persaingan tidak semata antarpartai, tetapi antarelite. Bahkan, inilah kali pertama eksperimen perebutan pemilih "one person, one vote, one value" (OPOVOV) di pasar politik yang terbuka.
Nomor calon anggota legislatif (caleg) tidak lagi sesignifikan pemilu bersistem proporsional tertutup. Kecuali aspek psikologis, caleg nomor urut satu tidak otomatis terpilih. Semua harus berpeluh dalam kompetisi yang meniscayakan kanibalisme politik.
Maka, persaingan tidak hanya bersifat eksternal atau antarpartai, tetapi persaingan di dalam tak kalah seru. Kegaduhan politik 2013 hingga Pemilu 2014 akan didominasi persaingan yang cenderung pragmatis-transaksional. Multipartai berebut pemilih terbatas dan beradu strategi di dua pemilu, legislatif, dan pemilihan presiden (pilpres).
Namun, tingginya partisipasi membuat para elite politik tidak terlalu resah dengan fenomena "golongan putih" (golput) atau nonvoters. Di tingkat lokal, memang banyak pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dimenangkan golput. Hanya saja, gejala demikian belum akan terjadi pada pemilu nasional. Artinya, pasar politik nasional masih terbuka atau prospektif.
Penyempitan ideologi
Banyak penelitian dan analisis mengenai karakter pemilih, tetapi aspek kultural yang masih sangat melekat di bangsa Timur mengenai fenomena patron sosial kurang dibahas. Para elite sosial akan menjadi penentu ke mana arah dukungan politik. Mereka adalah kelompok referensi penentu sehingga menjadi sasaran para elite politik yang tengah bersaing. Elite-elite sosial itu, setidaknya dalam rekam jejak era reformasi ini, cenderung mengabaikan aspek ideologis.
Penyebabnya, pertama, kaburnya ideologi politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Partai yang satu dengan yang lainnya hampir tidak berbeda, kecuali simbolnya. Partai seolah hanya sebatas simbol. Sementara dalam menyikapi kebijakan publik, tidak tampak partai yang mengusung isu pemihakan ideologis.
Spektrum ideologi politik kita juga semakin sederhana. Sepuluh peserta Pemilu 2014 secara umum dapat dibelah jadi dua, yakni nasionalis dan Islam. Sebagai perbandingan, sepuluh peserta Pemilu 1971 lebih variatif ketika partai Kristen dan Katolik eksis. Pada Pemilu 2014, konstituen akan dihadapkan pada pilihan non-ideologis.
Kedua, gencarnya pendekatan pragmatis-transaksional membuat pergerakan politik lebih banyak disetir oleh struktur insentif ketimbang ideologi. Artinya, aksi politik Laswellian "who gets what" yang mengemuka. Dalam konteks ini, mobilisasi politik akan menggejala dengan penggeraknya adalah kapital. Maka, ongkos politik semakin mahal pasca-Reformasi.
Kontes elite
Karena penanda ideologis kabur, yang mengemuka adalah tokoh. Partai adalah alat pelontar tokoh-tokoh. Pemilu-pemilu era Reformasi, khususnya setelah pilpres langsung, sesungguhnya merupakan kontes elite atau tokoh. Maka, kepopuleran tokoh menentukan. Piranti media menjadi sangat penting.
Idolisasi politik mengemuka. Ketika KPU memperbolehkan kampanye terbatas partai peserta pemilu (11 Januari 2013 hingga 5 April 2014), itu hanya formalitas saja. Kampanye yang sesungguhnya telah berlangsung lama. Masyarakat hanya menjadi obyek penetrasi pengaruh elite partai. Dari sisi inilah, eksistensi dan peran kelompok kritis dalam masyarakat sangat dibutuhkan.
Kelompok kritis berisiko menjadi kue bika, dari atas diimpit partai-partai dan dari bawah oleh masyarakat yang permisif. Sayang, menjelang Pemilu 2014 elemen independen pro-demokrasi tidak sesemarak era transisi (1998-1999 dan 1999-2004). Institut demokrasi banyak yang tidak lagi terdengar kiprahnya.
Dengan langkanya kelompok kritis yang independen, dalam demokrasi kontestatif ini kita hanya bisa berharap pada bekerjanya checks and balances. Artinya, para elite yang berlaga itu yang saling mengontrol, baik dalam internal partai maupun antarpartai. Tetapi, yang perlu diingat adalah sisi gelap yang bisa terjadi lebih sering, yakni kerja sama transaksional-pragmatis.
Di tengah realitas demikian, etika dan rasionalitas politik harus tetap mengemuka. Di seberang wilayah etika, penegakan hukum harus kuat. Perangkat-perangkat formal yang berfungsi dalam pengawasan pemilu dituntut bekerja ekstra keras. Penegak hukum harus berwibawa, konsisten, dan independen.
Epilog
Masalah dari pemilu ke pemilu sepanjang Reformasi ini sebenarnya hampir sama, yaitu sebagai momen vivere pericoloso yang mempertaruhkan kualitas demokrasi. Pemilu mestinya tidak boleh sekadar disikapi secara teknis, melainkan harus diwaspadai sebagai sebuah permainan politik.
Pemilu dengan gaya demokrasi elektoral yang demikian bebas ini harus dipikirkan untuk tidak melabrak bangunan integrasi bangsa. Legitimasi demokrasi penting dalam suatu bangsa yang berdaulat. Karenanya, ia harus dijaga untuk tak berhenti sebatas permainan. Demokrasi teknis harus dengan cepat bertransformasi ke demokrasi makna.
Bila demikian, persaingan politik bukan dipandang semata persaingan demokrasi teknis, melainkan persaingan yang bermakna. Inilah tantangan para elite partai!
M ALFAN ALFIAN Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
(Kompas cetak, 23 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar