Belakangan ini ada kekhawatiran soal keindonesiaan kita bersama. Hal itu terkait dengan keterbelahan, hilangnya persaudaraan, dan akhirnya hilangnya Indonesia sebagai rumah bersama.

Memang belum (sepenuhnya) terjadi, tetapi kekhawatiran ini muncul melihat pelbagai macam fenomena sosial politik mutakhir: dari aksi dukung-mendukung golongan, ras, suku, dan terutama agama.

Kondisi media sosial yang sangat terbuka, tetapi tidak disertai kesiapan wawasan dan kematangan bersikap telah jadi "arena konflik" yang sangat luas dan bersifat terus-menerus.

Seseorang atau pihak mana pun bisa menyerang para pihak yang tidak disukai kapan saja, dengan bahasa apa saja, bahkan dengan cara apa saja, termasuk fitnah dan hoaks. Semua ini membuat soal keterbelahan begitu dekat, di depan mata.

Suasana ini membuat para pihak yang peduli keindonesiaan berupaya menghidupkan narasi kebangsaan, persatuan, dan realitas keberagaman. Pemerintah memopulerkan slogan-slogan keindonesiaan seperti "Pancasila adalah Kita", bahkan mengantisipasi semua itu dengan regulasi dan penegakan hukum.

Namun, pelbagai macam upaya itu belum menuai hasil yang diharapkan. Justru kekhawatiran yang ada semakin kuat karena seakan membentuk pola aksi-reaksi di antara pemerintah bersama pendukungnya di satu sisi, dengan oposisi di sisi lain. Seakan pendukung keindonesiaan (sebagian memang mendukung tanpa kepentingan apa pun) di satu sisi, dengan yang tidak mendukung keindonesiaan (sebagian memang tidak mendukung secara ideologis) di sisi lain.

Rasa persaudaraan hilang

Dalam hemat penulis, ada satu hal yang lebih krusial dari semua tantangan tersebut, yaitu hilangnya rasa persaudaraan. Dalam konteks seperti ini, kita bisa mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri: apakah bangsa ini telah terbelah? Apakah aku sebagai individu telah terbelah dari aku-aku yang lain sebagai satu warga negara-bangsa? Hanya kita yang bisa menjawab secara pasti. Jawaban yang menjadi indikator ke(tak)terbelahan kita sebagai satu warga negara-bangsa.

Manakala kita memandang dan meyakini yang lain sebagai musuh (bukan sebagai saudara), maka sejak saat itu kita sebagai warga bangsa telah terbelah. Baik dalam arti agama, ras, suku, golongan, ormas, mazhab pemikiran, mazhab ekonomi, kenegaraan, kelompok politik, maupun lainnya.

Sebaliknya, manakala yang lain itu masih menjelma sebagai saudara dalam sanubari kita, sesungguhnya keterbelahan itu tak pernah terjadi, sejauh apa pun yang lain itu berada: tak hanya mereka yang berada di rumah ibadah berbeda, tak hanya mereka yang berada di kelompok politik berbeda.

Persoalannya adalah, disadari atau tidak, sebagian dari kita mengidap penyakit "persaudaraan langkah kaki" atau al-ukhuwah al-ba'idah (persaudaraan jauh). Ini sejenis persaudaraan yang berpijak pada bumi-bumi yang jauh di sana. Sementara bumi-bumi yang dekat di sini justru "dilangkahi" dan tak mendapatkan pijakan persaudaraan kita.

Persaudaraan langkah kaki telah membuat penderitaan masyarakat yang jauh di luar Indonesia terasa begitu dekat, tetapi pada waktu bersamaan, kita hampir mengabaikan penderitaan masyarakat di sekitar kita. Persaudaraan langkah kaki membuat kita hampir mengabaikan bahkan mungkin memusuhi mereka yang berbeda di sekeliling kita.

Persis seperti berjalan kaki, kita ayunkan kaki persaudaraan untuk memijak tanah-tanah yang terjauh dalam jangkauan kita, tetapi kita mengabaikan tanah-tanah dekat yang ada di antara langkah-langkah kita.

Persaudaraan menyeluruh

Apa yang disampaikan oleh para tokoh panutan terkait dengan persaudaraan sejatinya menjadi renungan, refleksi, dan introspeksi bagi semua pihak, khususnya para pengambil kebijakan. Sebagai contoh, KH Akhmad Shiddiq (1926-1991) mengenalkan konsepsi persaudaraan menyeluruh yang berpijak pada tiga komponen utama, yaitu persaudaraan atas dasar keagamaan (dalam hal ini Islam, ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukuwah insaniyah).

Dalam hemat penulis, dilihat dari norma-norma keislaman yang bersifat universal, konsep persaudaraan menyeluruh di atas bisa ditambah dengan satu komponen lagi, yaitu persaudaraan sesama makhluk (ukhuwah khalqiyah).

Dalam salah satu ayat Al-Quran (QS 21: 107) disebutkan bahwa kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam (wama arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin, dan, "Kami tidak mengutus engkau—Muhammad— melainkan untuk—menjadi— rahmat bagi seluruh alam)."

Istilah seluruh alam tentu tak hanya merujuk pada golongan-golongan manusia tertentu. Bukan juga hanya merujuk kepada manusia secara umum, melainkan merujuk kepada seluruh makhluk yang diciptakan Allah SWT.

Dalam pancaran konsepsi persaudaraan menyeluruh ini, tak ada pihak di bawah kolong langit ini yang dapat disebut (apalagi diperlakukan) sebagai musuh. Karena kalau bukan saudara seagama atau saudara sebangsa, yang lain adalah saudara sesama makhluk berakal budi. Bahkan yang tak berakal budi sekalipun masuk dalam jangkauan: persaudaraan sesama makhluk.

Rasa persaudaraan ini sangat penting untuk menumbuhkan sikap ataupun kebijakan yang proporsional dalam menyikapi yang lain. Walaupun berada di luar pemahaman keagamaan ataupun kenegaraan kita, martabat dan hak-hak mereka sebagai manusia harus tetap dihormati. Di samping itu, rasa persaudaraan akan mendorong tiap-tiap pihak untuk melakukan perjumpaan secara langsung dan memusyawarahkan hal-hal yang menjadi titik tengkar ataupun perselisihan.

Dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad SAW mengatakan, unshur akhaka dzaliman aw madzluman (tolonglah saudaramu yang zalim maupun yang terzalimi). Dalam hadis ini, Nabi menggunakan istilah saudara (akhaka) terhadap orang yang zalim sekalipun. Bahkan tindakan pun harus berada dalam orientasi yang positif dan  dalam bingkai persaudaraan, yaitu menolong (unshur).

Oleh karena itu, sejatinya persaudaraan menyeluruh ini menjadi modal dan kekuatan bangsa ini ke depan untuk menghadapi segala tantangan. Perbedaan yang ada bisa dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan bersama.