Seperti diberitakan harian ini, Selasa (29/1/2019), sejumlah calon anggota parlemen mengutarakan kenaikan biaya kampanye Pemilu 2019. Bahkan, kenaikannya bisa 10 kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Padahal, biaya pembuatan alat peraga kampanye hampir tak ada perubahan dibandingkan dengan lima tahun lalu.

ANTARA FOTO/HENDRA NURDIYANSAH

Petugas gabungan mencopot baliho saat penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) Pemilu 2019 di kawasan Kecamatan Kraton, Yogyakarta, Rabu (23/1/2019). Tim gabungan Bawaslu, KPU dan Satpol PP melakukan penertiban atribut kampanye Pemilu 2019 yang melanggar aturan pemasangan.

Pengakuan sejumlah calon anggota DPR, yang kini masih menjabat itu, kian menguatkan pengertian bahwa politik itu mahal. Di negeri ini, jika ingin menjadi pejabat publik, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

Tak hanya menjadi wakil rakyat, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau kepala dinas di daerah pun acap kali mereka harus mengeluarkan biaya besar. Akibatnya, sejumlah kepala daerah ditangkap karena menerima suap dari aparatur bawahannya yang menginginkan jabatan tertentu. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, kurun 2004-2018, ada 121 kepala daerah terbelit korupsi.

Jumlah anggota DPR dan DPRD yang terbelit korupsi lebih banyak lagi, 247 orang, pada kurun 2004-2018. Angka ini yang terbanyak dibandingkan dengan profesi lainnya yang terjerat korupsi dan ditangani KPK. Dalam masa sama, KPK menangani perkara korupsi yang melibatkan 998 orang. Sejumlah wakil rakyat yang terbelit korupsi mengakui "harus mengembalikan" modal yang dikeluarkan saat berlaga dalam pemilu, atau "mengumpulkan modal" untuk kembali berlaga dalam pemilu berikutnya.

Oleh karena itu, pernyataan sejumlah calon wakil rakyat tentang besarnya biaya kampanye Pemilu 2019 menimbulkan kekhawatiran. Jika mereka tidak memiliki modal sendiri, bisa jadi ada orang lain yang mendanai pencalonannya, dan pada gilirannya akan meminta kembali "investasi" yang ditanamkannya, beserta keuntungannya. Dalam politik, ada idiom "tiada makan siang gratis". Semua ada hitungan yang jelas. Jika mereka memakai modal sendiri, apakah tidak ingin "kembali modal", disertai dengan bunganya?

Harian Kompas, 11 Oktober 2018, melaporkan, anggota DPR dalam satu tahun, jika berhemat, bisa menabung sekitar Rp 2 miliar. Jika mereka menjabat selama lima tahun, sebenarnya modal untuk mencalonkan kembali itu sangat memadai. Tak perlu mereka berharap modal itu kembali, dengan keuntungan yang besar, sehingga terjerat korupsi dan menjadi pesakitan seperti yang selama ini terjadi.